Tuesday, July 4, 2017

BSG - Bab III : GP - Babak-25

BALADA SWANDARU GENI
Bab 3 : Gilang Pamungkas
Babak – 25



Kepercayaan Swandaru atas kebenaran cerita Kiai Garda semakin tebal. Apa yang diceritakan sama sekali tidak geseh dan bahkan melengkapi dengan apa yang diketahuinya selama ini. Ia ingat sekali gurunya pernah menunjukkan apa yang disebut sebagai ‘tongkat petir’ itu sepulang dari perjalanannya dari bang wetan.


“Kiai benar”, - kata Swandaru kemudian - ,”Guru juga pernah menunjukkan senjata itu kepadaku dan juga kakak seperguruanku. Hanya saja saat itu kami tidak diberitahu lebih jauh tentang bagaimana cara menggunakannya serta cara menghadapinya”


Kiai Garda terlihat mengangguk-angguk, sambil memperbaiki letak duduknya ia kemudian berkata.


“Menurut guru Kiai Gringsing dan Kanjeng Sunan, saat senjata itu meledak, ia akan meluncurkan sebuah besi panas dengan kecepatan yang tidak terlawan. Akan sulit untuk menangkap besi panas yang meluncur cepat itu dan agaknya tidak cukup pula dengan hanya mengandalkan ilmu kebal, karena besi panas itu bisa meluncur dengan sangat cepat dan susul menyusul. Salah satu cara yang paling mungkin adalah dengan mempertebal dan memancarkan daya perlindungan dalam tubuh kita sehingga semua senjata yang mengarah ke tubuh kita akan selalu melenceng, entah satu satu jengkal, satu kilan atau bahkan satu jari”


Dada Swandaru menjadi berdebar-debar, banyak hal yang ternyata belum diketahuinya dan agaknya Kiai Garda mempunyai bekal yang cukup, khususnya dalam menghadapi senjata tongkat petir itu. Sebenarnya ia ingin memperoleh keterangan lebih jauh, hanya saja ia enggan untuk mendesak Kiai Garda.


Mereka berdua menoleh ketika pintu bilik itu berderit. Anak Ki Demang yang tertua diiringi istrinya yang tidak lain adalah Nyi Sulastri melangkah masuk ke dalam bilik dengan wajah kuatir.


“Bagaimana keadaan Ki Gupala?”, - tanya anak tertua Ki Demang.


Swandaru berusaha tersenyum -,”Aku baik-baik saja Ki, hanya saja aku memang lapar”


“O”, - Nyi Sulastri dan suaminya langsung berjingkat -,”Maaf Ki Gupala, istriku akan menyiapkannya segera  dan sementara Ki Gupala belum bisa bangkit biarlah ia juga yang nanti menyuapi”


“Ah, itu tidak perlu”, - jawab Swandaru dengan tergesa-gesa -,”Sebenarnyalah aku masih ingin berbicara panjang dengan Kiai Garda. Jika Kiai Garda tidak keberatan, aku berharap Kiai dapat menemaniku dibilik ini sambil aku menyelesaikan makan malam”


Kiai Garda tersenyum, agaknya sedikit banyak ia bisa menduga keinginan Swandaru yang tidak ingin di layani oleh Nyi Sulastri.


“Tentu aku tidak keberatan Ki”, - jawab Kiai Garda sambil tersenyum.


Demikianlah, malam itu Kiai Garda membatalkan niatnya untuk berjalan-jalan melihat keadaan sekitar Kademangan. Akan tetapi ia telah memerintahkan ketiga muridnya untuk mengawasi keadaan dan melaporkan kepadanya jika ada sesuatu yang mencurigakan.


Sementara kesempatan itu dipergunakan Swandaru untuk berbicara lebih dalam tentang berbagai hal yang ada kaitannya dengan dirinya dan perguruannya.


Setelah menghabiskan semangkuk bubur hangat, tubuh Swandaru semakin segar. Jantungnya  berdetak normal sementara aliran darahnya juga mengalir sewajarnya. Wajahnya sudah tidak terlalu pucat.


“Kiai”, - tiba-tiba Swandaru memberanikan diri bertanya - ,”Kalau boleh bertanya, apakah Kanjeng Sunan ataupun guru Kiai Gringsing pernah mengajarkan bagaimana cara mempertebal dan memancarkan daya perlindungan dalam tubuh kita agar terhindar dari bidikan tongkat petir itu?”


Kiai Garda nampak agak ragu-ragu untuk menjawab, akan tetapi mengingat bahwa yang ada di depannya adalah murid utama dari orang yang dihormatinya, akhirnya ia berkata pelan.


“Sesungguhnya guru Kiai Gringsing dan khususnya Kanjeng Sunan pernah memberi petunjuk tentang laku itu Ki, hanya aku memang belum berkesempatan untuk mencoba hasilnya”


Swandaru mengerutkan keningnya, dalam pikirannya, kalimat itu mempunyai arti bahwa Kiai Garda sudah menguasai ilmu itu hanya belum pernah di coba untuk menerima bidikan tongkat petir yang dimiliki bangsa asing berambut jagung. Ia berpendapat betapa kaya dan lengkap sekali bekal yang dibawa oleh Kiai Garda.


“Apakah Ki Swandaru tertarik untuk mempelajari hal itu?”, - tiba-tiba saja Kiai Garda mengajukan sebuah pertanyaan yang membuat Swandaru tergagap.

Untuk sesaat Swandaru justru terdiam tidak mampu menjawab. Hatinya sibuk berpikir dan menilai posisi Kiai Garda yang baru dikenalnya, akan tetapi ternyata mempunyai hubungan yang cukup erat dengan gurunya.


“Jika aku berminat, apakah Kiai berkenan mengajarkannya?”, - tiba-tiba Swandaru ganti bertanya.


Kiai Garda menarik nafas dalam-dalam, sesungguhnya hal itu sudah sempat terpikirkan olehnya walau hanya sekilas.


“Ki Swandaru”, - katanya kemudian - ,”Rasanya tidak ada keraguan padaku bahwa Ki Swandaru adalah murid dari guru Kiai Gringsing. Karena itu jika Ki Swandaru berminat, aku tentu tidak keberatan untuk memberitahu langkah-langkah untuk menguasai ajian yang disebut dengan Aji Sisip Baya. Hanya saja ini memang membutuhkan waktu agak panjang dan kesempatan yang khusus. Apakah Ki Swandaru bisa meninggalkan keluarga di Sangkal Putung untuk jangka waktu yang lama atau sebenarnya hendak kemanakah tujuan Ki Swandaru kali ini?”


Pertanyaan Kiai Garda yang sebenarnya cukup wajar itu justru membuat Swandaru tercenung. Sejak awal tekadnya adalah untuk melakukan sebuah pengembaraan dan napak tilas jejak gurunya guna memperoleh pengalaman dan memperdalam ilmu kanuragan. Hal itupun sebenarnya dipicu oleh perasaannya yang tidak nyaman akibat selisih kemampuan kanuragannya yang sedemikian jauh dibandingkan kakak seperguruannya Agung Sedayu. Memang itu sama sekali bukan salah gurunya maupun kakaknya Agung Sedayu, akan tetapi kenyataan itu membuatnya selalu berpikir untuk meningkatkan kemampuan dengan caranya sendiri.


Kini, sebelum memasuki bang timur sebagai tujuan utamanya, bahkan sebenarnya belum terlalu jauh pula dari Sangkal Putung, ia bertemu dengan seseorang yang sanggup untuk mengajarinya sebuah ilmu yang sangat menarik. Bahkan ternyata orang tersebut masih mempunyai hubungan dengan gurunya Kiai Gringsing –  dan karena usianya yang lebih tua - boleh juga disebut sebagai kakak seperguruan meskipun dari Kiai Gringsing ia hanya menimba ilmu pengobatan semata.


“Siapakah yang lebih unggul antara Kiai Garda ini dengan kakang Agung Sedayu?”, - muncul pertanyaan yang mengganggu benaknya - ,”Kiai Garda agaknya masih mempunyai banyak simpanan di dalam dirinya dan belum sepenuhnya dikeluarkan sewaktu menghadapi Hantu Laut. Akan tetapi kakang Agung Sedayu juga mempunyai kemampuan yang seolah-olah tidak terjajagi, agaknya masih sulit bagi Kiai Garda untuk dapat menyamai kemampuan kakang Agung Sedayu”


Hati Swandaru meragu.


“Lalu buat apa aku belajar dari Kiai Garda kalau ternyata kemampuannya masih dibawah kakang Agung Sedayu? Aku akan tetap berada di bawah bayang-bayang kemampuan kakang Agung Sedayu”, - hatinya tiba-tiba saja merintih.


Melihat Swandaru yang terdiam dan tidak menanggapi kesanggupannya untuk mengajarkan ajian Sisip Waja, Kiai Garda jadi bertanya-tanya dalam hati. Tetapi ia memilih diam dan tidak mendesak lebih jauh.


“Agaknya ada sebuah persoalan pelik yang ditanggung Ki Swandaru”, - desisnya dalam hati.


Ruangan itu kembali sepi dan keduanya tenggelam dalam angan-angan. Swandaru bergulat dengan perasaannya yang sejauh ini masih sering goyah. Ia sebenarnya sangat mengenal sifat dan sikap kakak seperguruannya Agung Sedayu yang justru selalu mengulurkan tangan untuk membantunya.


“Aku bahkan telah mengesampingkan tawaran kakang Agung Sedayu untuk menguasai Ajian Asta Sewu yang hingga kini belum aku kuasai. Lalu mengapa aku harus menerima tawaran Kiai Garda ini, apakah dengan demikian kemampuanku akan melejit menyamai atau bahkan melebihi kakang Agung Sedayu? Apa salahnya jika kakang Agung Sedayu mempunyai kemampuan jauh diatasku, bukankah hal itu justru menguntungkan bagi kita semua? Apakah aku hanya di dorong oleh perasaan iri, dengki dan hasut?”, - dada Swandaru berdebar lebih kencang.


“Ah”, - tanpa sadar Swandaru mendesah.


“Apakah ada yang mengganggu perasaan Ki Swandaru?”, - tanya Kiai Garda dengan suara sareh.


Swandaru tidak langsung menjawab pertanyaan Kiai Garda, pandangannya tertuju pada kedua kakinya yang membujur karena ia sedang posisi berbaring. Akan tetapi suara Kiai Garda yang sareh itu sesungguhnya telah menggoncangkan perasaannya. Ia seolah-olah sedang berhadapan dengan seseorang yang siap memberinya pertolongan dan terlebih lagi jiwanya memang baru saja diselamatkan oleh Kiai Garda.


Swandaru mendadak menoleh dan menatap tajam ke arah Kiai Garda.


“Kiai”, - katanya dengan suara bergetar - ,”Apakah aku boleh berterus terang tentang keadaanku? Akan tetapi sebelumnya aku mohon Kiai menjawab pertanyaanku juga dengan jujur”


Kiai Garda kini mengerinyitkan alisnya, akan tetapi ia segera menjawab - ,”Tentu Ki Swandaru, aku akan berusaha untuk jujur”

Swandaru menarik nafas dalam-dalam sambil menata hatinya. Sikap lunak dan kata-kata Kiai Garda seolah memberinya keyakinan bahwa ia bisa mempercayai orang yang baru di kenalnya itu.


“Kiai, apakah Kiai Garda mengenal kakang Agung Sedayu”, - tanya Swandaru pelan.


“Secara pribadi aku tidak mengenalnya Ki, tetapi hampir semua orang Mataram mengenalnya sebagai sesorang dengan kemampuan yang tidak terbatas. Bukankan Ki Agung Sedayu adalah kakak seperguruan Ki Swandaru dan yang pernah memenangkan perang tanding atas Tumenggung Prabadaru yang luar biasa itu?”, - Kiai Garda mencoba menjawab dengan hati-hati.


“Menurut Kiai, siapakah yang lebih unggul dalam olah kanuragan antara aku dengan kakang Agung Sedayu?”,- tanya Swandaru tiba-tiba.


Hati Kiai Garda tercekat dan dadanya mulai berdebar-debar. Ia sama sekali tidak memahami arah pertanyaan Swandaru itu, akan tetapi ia berusaha bersikap sewajarnya.


“Tentu aku tidak bisa menilai Ki, aku belum pernah bertemu dengan Ki Agung Sedayu dan melihat kemampuannya dalam olah kanuragan. Sedang kemampuan Ki Swandaru sendiri, aku hanya melihatnya sekilas karena harus sibuk melayani Hantu Laut”


Swandaru menganggukan kepalanya, tetapi ia terus mengejar dengan pertanyaan.


“Apakah menurut Kiai, seorang kakak seperguruan selalu memiliki keunggulan dibanding adiknya. Sebaliknya adiknya selalu dalam bayang-bayang kemampuan kakak seperguruannya?”, - suara Swandaru tiba-tiba terdengar sangat dalam.


Leher Kiai Garda bagaikan tercekik, tenggorokannya mendadak kering dan sulit untuk mengeluarkan kata-kata untuk menjawab pertanyaan itu. Sebagai seorang yang mempunyai pandangan cukup luas, ia mulai bisa meraba arah pertanyaan Swandaru.


“Maaf Ki Swandaru, apakah kita sedang berbicara khusus tentang olah kanuragan ataukah tentang makna dan pandangan hidup dalam bebrayan agung?”, - Kiai Garda mencoba lepas dari jeratan pertanyaan yang menurutnya kurang menguntungkan.


“Apakah ada bedanya Kiai?”, - Swandaru balik bertanya.




Salam,

No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...