BALADA
SWANDARU GENI
Bab 3 : Gilang
Pamungkas
Babak – 25
Kepercayaan
Swandaru atas kebenaran cerita Kiai Garda semakin tebal. Apa yang diceritakan
sama sekali tidak geseh dan bahkan melengkapi dengan apa yang diketahuinya
selama ini. Ia ingat sekali gurunya pernah menunjukkan apa yang disebut sebagai
‘tongkat petir’ itu sepulang dari perjalanannya dari bang wetan.
“Kiai benar”,
- kata Swandaru kemudian - ,”Guru juga pernah menunjukkan senjata itu kepadaku
dan juga kakak seperguruanku. Hanya saja saat itu kami tidak diberitahu lebih
jauh tentang bagaimana cara menggunakannya serta cara menghadapinya”
Kiai Garda
terlihat mengangguk-angguk, sambil memperbaiki letak duduknya ia kemudian
berkata.
“Menurut
guru Kiai Gringsing dan Kanjeng Sunan, saat senjata itu meledak, ia akan
meluncurkan sebuah besi panas dengan kecepatan yang tidak terlawan. Akan sulit
untuk menangkap besi panas yang meluncur cepat itu dan agaknya tidak cukup pula
dengan hanya mengandalkan ilmu kebal, karena besi panas itu bisa meluncur
dengan sangat cepat dan susul menyusul. Salah satu cara yang paling mungkin adalah
dengan mempertebal dan memancarkan daya perlindungan dalam tubuh kita sehingga
semua senjata yang mengarah ke tubuh kita akan selalu melenceng, entah satu satu
jengkal, satu kilan atau bahkan satu jari”
Dada
Swandaru menjadi berdebar-debar, banyak hal yang ternyata belum diketahuinya
dan agaknya Kiai Garda mempunyai bekal yang cukup, khususnya dalam menghadapi
senjata tongkat petir itu. Sebenarnya ia ingin memperoleh keterangan lebih
jauh, hanya saja ia enggan untuk mendesak Kiai Garda.
Mereka
berdua menoleh ketika pintu bilik itu berderit. Anak Ki Demang yang tertua
diiringi istrinya yang tidak lain adalah Nyi Sulastri melangkah masuk ke dalam
bilik dengan wajah kuatir.
“Bagaimana
keadaan Ki Gupala?”, - tanya anak tertua Ki Demang.
Swandaru
berusaha tersenyum -,”Aku baik-baik saja Ki, hanya saja aku memang lapar”
“O”, - Nyi
Sulastri dan suaminya langsung berjingkat -,”Maaf Ki Gupala, istriku akan menyiapkannya
segera dan sementara Ki Gupala belum
bisa bangkit biarlah ia juga yang nanti menyuapi”
“Ah, itu
tidak perlu”, - jawab Swandaru dengan tergesa-gesa -,”Sebenarnyalah aku masih
ingin berbicara panjang dengan Kiai Garda. Jika Kiai Garda tidak keberatan, aku
berharap Kiai dapat menemaniku dibilik ini sambil aku menyelesaikan makan malam”
Kiai Garda
tersenyum, agaknya sedikit banyak ia bisa menduga keinginan Swandaru yang tidak
ingin di layani oleh Nyi Sulastri.
“Tentu aku
tidak keberatan Ki”, - jawab Kiai Garda sambil tersenyum.
Demikianlah,
malam itu Kiai Garda membatalkan niatnya untuk berjalan-jalan melihat keadaan
sekitar Kademangan. Akan tetapi ia telah memerintahkan ketiga muridnya untuk
mengawasi keadaan dan melaporkan kepadanya jika ada sesuatu yang mencurigakan.
Sementara kesempatan
itu dipergunakan Swandaru untuk berbicara lebih dalam tentang berbagai hal yang
ada kaitannya dengan dirinya dan perguruannya.
Setelah
menghabiskan semangkuk bubur hangat, tubuh Swandaru semakin segar. Jantungnya berdetak normal sementara aliran darahnya juga
mengalir sewajarnya. Wajahnya sudah tidak terlalu pucat.
“Kiai”, - tiba-tiba
Swandaru memberanikan diri bertanya - ,”Kalau boleh bertanya, apakah Kanjeng
Sunan ataupun guru Kiai Gringsing pernah mengajarkan bagaimana cara mempertebal
dan memancarkan daya perlindungan dalam tubuh kita agar terhindar dari bidikan
tongkat petir itu?”
Kiai Garda
nampak agak ragu-ragu untuk menjawab, akan tetapi mengingat bahwa yang ada di
depannya adalah murid utama dari orang yang dihormatinya, akhirnya ia berkata
pelan.
“Sesungguhnya
guru Kiai Gringsing dan khususnya Kanjeng Sunan pernah memberi petunjuk tentang
laku itu Ki, hanya aku memang belum berkesempatan untuk mencoba hasilnya”
Swandaru
mengerutkan keningnya, dalam pikirannya, kalimat itu mempunyai arti bahwa Kiai
Garda sudah menguasai ilmu itu hanya belum pernah di coba untuk menerima
bidikan tongkat petir yang dimiliki bangsa asing berambut jagung. Ia berpendapat
betapa kaya dan lengkap sekali bekal yang dibawa oleh Kiai Garda.
“Apakah Ki
Swandaru tertarik untuk mempelajari hal itu?”, - tiba-tiba saja Kiai Garda
mengajukan sebuah pertanyaan yang membuat Swandaru tergagap.
Untuk sesaat
Swandaru justru terdiam tidak mampu menjawab. Hatinya sibuk berpikir dan menilai
posisi Kiai Garda yang baru dikenalnya, akan tetapi ternyata mempunyai hubungan
yang cukup erat dengan gurunya.
“Jika aku
berminat, apakah Kiai berkenan mengajarkannya?”, - tiba-tiba Swandaru ganti
bertanya.
Kiai Garda
menarik nafas dalam-dalam, sesungguhnya hal itu sudah sempat terpikirkan
olehnya walau hanya sekilas.
“Ki Swandaru”,
- katanya kemudian - ,”Rasanya tidak ada keraguan padaku bahwa Ki Swandaru
adalah murid dari guru Kiai Gringsing. Karena itu jika Ki Swandaru berminat,
aku tentu tidak keberatan untuk memberitahu langkah-langkah untuk menguasai
ajian yang disebut dengan Aji Sisip Baya. Hanya saja ini memang membutuhkan
waktu agak panjang dan kesempatan yang khusus. Apakah Ki Swandaru bisa
meninggalkan keluarga di Sangkal Putung untuk jangka waktu yang lama atau sebenarnya
hendak kemanakah tujuan Ki Swandaru kali ini?”
Pertanyaan
Kiai Garda yang sebenarnya cukup wajar itu justru membuat Swandaru tercenung.
Sejak awal tekadnya adalah untuk melakukan sebuah pengembaraan dan napak tilas
jejak gurunya guna memperoleh pengalaman dan memperdalam ilmu kanuragan. Hal
itupun sebenarnya dipicu oleh perasaannya yang tidak nyaman akibat selisih kemampuan
kanuragannya yang sedemikian jauh dibandingkan kakak seperguruannya Agung
Sedayu. Memang itu sama sekali bukan salah gurunya maupun kakaknya Agung
Sedayu, akan tetapi kenyataan itu membuatnya selalu berpikir untuk meningkatkan
kemampuan dengan caranya sendiri.
Kini, sebelum
memasuki bang timur sebagai tujuan utamanya, bahkan sebenarnya belum terlalu
jauh pula dari Sangkal Putung, ia bertemu dengan seseorang yang sanggup untuk
mengajarinya sebuah ilmu yang sangat menarik. Bahkan ternyata orang tersebut
masih mempunyai hubungan dengan gurunya Kiai Gringsing – dan karena usianya yang lebih tua - boleh juga
disebut sebagai kakak seperguruan meskipun dari Kiai Gringsing ia hanya menimba
ilmu pengobatan semata.
“Siapakah
yang lebih unggul antara Kiai Garda ini dengan kakang Agung Sedayu?”, - muncul
pertanyaan yang mengganggu benaknya - ,”Kiai Garda agaknya masih mempunyai
banyak simpanan di dalam dirinya dan belum sepenuhnya dikeluarkan sewaktu
menghadapi Hantu Laut. Akan tetapi kakang Agung Sedayu juga mempunyai kemampuan
yang seolah-olah tidak terjajagi, agaknya masih sulit bagi Kiai Garda untuk
dapat menyamai kemampuan kakang Agung Sedayu”
Hati
Swandaru meragu.
“Lalu buat
apa aku belajar dari Kiai Garda kalau ternyata kemampuannya masih dibawah kakang
Agung Sedayu? Aku akan tetap berada di bawah bayang-bayang kemampuan kakang
Agung Sedayu”, - hatinya tiba-tiba saja merintih.
Melihat
Swandaru yang terdiam dan tidak menanggapi kesanggupannya untuk mengajarkan
ajian Sisip Waja, Kiai Garda jadi bertanya-tanya dalam hati. Tetapi ia memilih
diam dan tidak mendesak lebih jauh.
“Agaknya ada
sebuah persoalan pelik yang ditanggung Ki Swandaru”, - desisnya dalam hati.
Ruangan itu
kembali sepi dan keduanya tenggelam dalam angan-angan. Swandaru bergulat dengan
perasaannya yang sejauh ini masih sering goyah. Ia sebenarnya sangat mengenal sifat
dan sikap kakak seperguruannya Agung Sedayu yang justru selalu mengulurkan
tangan untuk membantunya.
“Aku bahkan
telah mengesampingkan tawaran kakang Agung Sedayu untuk menguasai Ajian Asta
Sewu yang hingga kini belum aku kuasai. Lalu mengapa aku harus menerima tawaran
Kiai Garda ini, apakah dengan demikian kemampuanku akan melejit menyamai atau
bahkan melebihi kakang Agung Sedayu? Apa salahnya jika kakang Agung Sedayu
mempunyai kemampuan jauh diatasku, bukankah hal itu justru menguntungkan bagi kita
semua? Apakah aku hanya di dorong oleh perasaan iri, dengki dan hasut?”, - dada
Swandaru berdebar lebih kencang.
“Ah”, -
tanpa sadar Swandaru mendesah.
“Apakah ada
yang mengganggu perasaan Ki Swandaru?”, - tanya Kiai Garda dengan suara sareh.
Swandaru tidak
langsung menjawab pertanyaan Kiai Garda, pandangannya tertuju pada kedua
kakinya yang membujur karena ia sedang posisi berbaring. Akan tetapi suara Kiai
Garda yang sareh itu sesungguhnya telah menggoncangkan perasaannya. Ia seolah-olah
sedang berhadapan dengan seseorang yang siap memberinya pertolongan dan terlebih
lagi jiwanya memang baru saja diselamatkan oleh Kiai Garda.
Swandaru
mendadak menoleh dan menatap tajam ke arah Kiai Garda.
“Kiai”, -
katanya dengan suara bergetar - ,”Apakah aku boleh berterus terang tentang
keadaanku? Akan tetapi sebelumnya aku mohon Kiai menjawab pertanyaanku juga dengan
jujur”
Kiai Garda
kini mengerinyitkan alisnya, akan tetapi ia segera menjawab - ,”Tentu Ki
Swandaru, aku akan berusaha untuk jujur”
Swandaru
menarik nafas dalam-dalam sambil menata hatinya. Sikap lunak dan kata-kata Kiai
Garda seolah memberinya keyakinan bahwa ia bisa mempercayai orang yang baru di
kenalnya itu.
“Kiai,
apakah Kiai Garda mengenal kakang Agung Sedayu”, - tanya Swandaru pelan.
“Secara
pribadi aku tidak mengenalnya Ki, tetapi hampir semua orang Mataram mengenalnya
sebagai sesorang dengan kemampuan yang tidak terbatas. Bukankan Ki Agung Sedayu
adalah kakak seperguruan Ki Swandaru dan yang pernah memenangkan perang tanding
atas Tumenggung Prabadaru yang luar biasa itu?”, - Kiai Garda mencoba menjawab
dengan hati-hati.
“Menurut
Kiai, siapakah yang lebih unggul dalam olah kanuragan antara aku dengan kakang
Agung Sedayu?”,- tanya Swandaru tiba-tiba.
Hati Kiai
Garda tercekat dan dadanya mulai berdebar-debar. Ia sama sekali tidak memahami
arah pertanyaan Swandaru itu, akan tetapi ia berusaha bersikap sewajarnya.
“Tentu aku
tidak bisa menilai Ki, aku belum pernah bertemu dengan Ki Agung Sedayu dan
melihat kemampuannya dalam olah kanuragan. Sedang kemampuan Ki Swandaru sendiri,
aku hanya melihatnya sekilas karena harus sibuk melayani Hantu Laut”
Swandaru
menganggukan kepalanya, tetapi ia terus mengejar dengan pertanyaan.
“Apakah
menurut Kiai, seorang kakak seperguruan selalu memiliki keunggulan dibanding
adiknya. Sebaliknya adiknya selalu dalam bayang-bayang kemampuan kakak
seperguruannya?”, - suara Swandaru tiba-tiba terdengar sangat dalam.
Leher Kiai
Garda bagaikan tercekik, tenggorokannya mendadak kering dan sulit untuk
mengeluarkan kata-kata untuk menjawab pertanyaan itu. Sebagai seorang yang
mempunyai pandangan cukup luas, ia mulai bisa meraba arah pertanyaan Swandaru.
“Maaf Ki
Swandaru, apakah kita sedang berbicara khusus tentang olah kanuragan ataukah
tentang makna dan pandangan hidup dalam bebrayan agung?”, - Kiai Garda mencoba
lepas dari jeratan pertanyaan yang menurutnya kurang menguntungkan.
“Apakah ada
bedanya Kiai?”, - Swandaru balik bertanya.
Salam,
No comments:
Post a Comment