BALADA
SWANDARU GENI
Bab IV:
Hilangnya Seorang Swandaru Geni
Babak – 11
Kiai Garda tidak
menghentikan geraknya, sambil terus bertarung pandangannya berputar menyusuri seluruh arena mulut
hutan yang menjadi ajang pertarungan. Dengan memusatkan nalar budinya, ia
segera mengirimkan pesan kepada Sekar Mirah dan Pandan Wangi melalui aji
pameling, sehingga hanya kedua orang itulah yang mendengarnya.
“Nyai
berdua, jangan menghabiskan tenaga sia-sia. Cobalah pusatkan nalar budi, dan
lihatlah apakah kelelawar ini benar-benar binatang ataukah hanya bentuk-bentuk
semu yang hanya mengelabuhi indra penglihatan kita?”
Sekar Mirah
dan Pandan Wangi terkejut mendengar suara yang seolah berbisik dekat sekali di
telinga. Mereka segera sadar bahwa pesan aji pameling ini dikirim oleh Kiai
Garda yang hanya berjarak beberapa langkah darinya, tetapi agaknya ia tidak
ingin ada orang lain yang mendengarnya. Karena itu sambil terus bergerak keduanya
segera melaksanakan saran Kiai Garda.
Bagi Sekar
Mirah dan Pandan Wangi, memusatkan nalar budi untuk mempertinggi daya
panggraita sebenarnya bukanlah hal yang sulit, mereka sudah sering melatihnya. Akan
tetapi kini mereka harus melakukannya sambil bergerak dan bahkan bertarung
melawan ratusan kelelawar yang terus menyambarnya sehingga keduanya memerlukan
waktu lebih lamban dari biasanya.
Sesaat
kemudian tiba-tiba Pandan Wangi menggeram keras, terdengar gemeretak gigi-nya
seolah ia sedang menahan kemarahan yang memuncak hingga ke ubun-ubun. Meskipun
agak terlambat akan tetapi mata hatinya segera menyadari bahwa ratusan
kelelawar yang menyerang dan mengerumuninya itu sebenarnya tidak ada, bahkan
darah yang memuncrat dan terpercik ke segala arah serta suara ribut itu ternyata
adalah sekedar bentuk semu yang telah mengelabuhi indra ketiganya. Selama ini
ternyata mereka telah membuang tenaga dengan sia-sia.
Betapapun
kemarahan begitu menggelegak dan darah sudah naik ke kepala, akan tetapi Pandan
Wangi berusaha memperhatikan keadaan di sekitarnya dengan lebih teliti. Dengan
memusatkan kejernihan mata batinnya, ia kemudian meyakini bahwa sebenarnya
memang ada kelelawar yang sesungguhnya dan bukan sekedar bentuk semu. Akan
tetapi kelelawar yang asli ini tidak ikut menyerang, melainkan hanya
berputar-putar mengelilingi lapangan pertarungan sambil terus berkaok-kaok
dengan ribut.
Jumlahnya
ada lima, dan dari lima kelelawar asli inilah agaknya tercipta tiruan yang
berupa bentuk semu dan berjumlah ratusan bahkan ribuan. Kelima kelelawar asli ini
terus terbang berputar dari kiri ke kanan mengelilingi arena sambil
mengeluarkan suara yang memekakkan telinga seolah ia memberi abab-aba atau
perintah bagi tiruannya.
Hal itu juga
sudah diketahui Kiai Garda dan bahkan Sekar Mirah pun menyadarinya meskipun
memerlukan waktu lebih lama.
Tiba-tiba Pandan
Wangi menghentikan geraknya dengan sangat mendadak, dengan keyakinan tinggi ia bahkan
tidak menghiraukan sama sekali puluhan kelelawar semu yang menyergapnya. Dengan
satu tarikan nafas pendek, tubuh Pandan Wangi bergetar meskipun tidak terlalu
keras. Wajahnya sedikit mengeras, tangan kirinya yang memegang pedang bersilang
di depan dadanya, sementara tangan kanannya terangkat tinggi seolah hendak
menggapai langit dengan pedang tipisnya.
Sekar Mirah sudah
pernah melihat sikap Pandan Wangi dalam beberapa latihan sebelumnya, karena itu
ia segera menyadari bahwa saat ini Pandan Wangi sudah berada pada puncak
pemusatan nalar budinya dalam menyalurkan ajian Asta Sewu.
Semua
kejadian itu berlangsung dalam waktu yang sangat cepat, bahkan lebih cepat dari
kejaban mata ataupun pikiran seseorang yang sedang melihatnya.
Yang terjadi
kemudian benar-benar menggetarkan perasaan dan mata Kiai Garda maupun Sekar
Mirah. Dengan memekik keras dan bahkan tanpa ancang-ancang, tubuh Pandan Wangi
melesat secepat tatit di udara dan melakukan gerak bagaikan terbang. Tubuhnya
berputar dari kanan ke kiri sambil pedangnya berkelebat menyilang berulang
kali. Dalam sekejab Pandan Wangi telah melintasi hampir separo luas arena
pertarungan dan itu dilakukannya sambil melayang diudara dengan gerakan pedang
yang berkelebat menyilang ke atas dan bawah, serta kesamping kanan dan
kesamping kiri berulang kali tiada henti. Ia seolah sedang mencabik-cabik
sesuatu untuk menyalurkan segala rasa amarah dan kecewa yang selama ini
mengendap dalam dirinya.
Ketika kaki Pandan
Wangi kembali menyentuh tanah, dari lintasan di udara yang baru di laluinya itu
terlihat serpihan daging kecil yang terkoyak penuh darah dan dipenuhi bulu-bulu
halus jatuh berserakan ke tanah secara
berturut-turut.
Dalam satu
gerak ajian Asta Sewu yang luar biasa cepat, Pandan Wangi telah menewaskan lima
ekor kelelawar yang sebenarnya yang kini terkoyak bahkan tercabik-cabik tanpa
bentuk lagi.
Kiai Garda berseru
lirih sambil mengeleng-gelengkan kepalanya penuh kekaguman.
“Bahkan kaki
Nyi Pandan Wangi telah menyentuh tanah terlebih dahulu sebelum serpihan daging
yang terkoyak itu berjatuhan menyentuh tanah. Gerakan itu benar-benar luar
biasa cepat bahkan lebih cepat dari apa yang disebut cepat itu sendiri”, - Kiai
Garda berdesis dalam hati dan bahkan sedikit bingung untuk menilai kecepatan
yang diluar dugaannya itu.
Sekar Mirah
juga tidak mampu menyembunyikan kekagumannya melihat gerak kakak iparnya itu -,”Pandan
Wangi telah bergerak ke arah yang berlawanan dan memapaki arah putaran
kelelawar itu sehingga ia bisa langsung menghabisi lima binatang itu dalam
waktu yang hampir bersamaan. Aku kira kakang Agung Sedayu akan terkejut dan
berbangga melihat gerak dan keputusan yang sangat cerdas dari Pandan Wangi tadi”
“Selepas
dari persoalan ini, aku akan minta kakang Agung Sedayu untuk juga mengajariku
ajian Asta Sewu ini. Tongkatku ini tentu tidak kalah dibanding kedua pedang
tipis Pandan Wangi itu”, - tiba-tiba terlintas pikiran di benak Sekar Mirah.
Sementara
itu Pandan Wangi berdiri tegak diatas kakinya dengan kedua pedang yang menunduk
hampir menyentuh tanah. Betapapun ia berusaha mengatur nafasnya, tetapi dadanya
terlihat naik turun dengan nafas yang agak terngah-engah. Sesungguhnya ia
sendiri tidak menyangka berhasil melakukan sebuah gerakan yang sedemikian cepat
dan dahsyat, meskipun itu lebih banyak dipicu oleh kemarahan dan semua gumpalan perasaan yang ada
didalam dadanya selama ini.
Pandan Wangi
menarik nafas dalam-dalam mencoba menenangkan diri sambil mengamati keadaan di
sekelilingnya. Tidak nampak lagi ribuan kelelawar yang tadi menyerang mereka
bertiga. Selain serpihan daging kecil yang dipenuhi bulu halus dari lima ekor
kelelawar itu, juga tidak nampak satupun
bangkai kelelawar yang mereka bantai sebelumnya ataupun ceceran darah yang tadi
nampak menutupi tanah arena pertarungan.
Suasana di
mulut hutan itu berubah menjadi sepi seolah tidak ada makhluk hidup di
sekitarnya.
Akan tetapi
Kiai Garda, Pandan Wangi dan Sekar Mirah yang sudah pada puncak kesiagaan itu
merasakan ada sesuatu yang masih mengintai mereka. Sesuatu yang membuat mereka
harus lebih berhati-hati sehingga tidak akan dikelabuhi lagi dengan
bentuk-bentuk semu yang hanya akan menguras tenaga seperti yang baru mereka
alami.
Malam masih
belum masuk terlalu dalam, akan tetapi keadaan di pinggiran hutan itu terasa
sangat mencekam. Kia Garda memutuskan untuk kembali maju beberapa langkah
sambil berbisik pelan kepada Sekar Mirah dan Pandan Wangi.
“Berhati-hatilah
Nyi, aku akan berusaha memaksanya untuk keluar. Tolong lindungi aku dari
serangan yang mungkin tidak aku sadari”, - desis Kiai Garda lirih sekali.
Sekar Mirah
dan Pandan Wangi tidak menjawab melainkan bergeser ikut maju dan agak merapat
sambil meningkatkan kewaspadaan.
Kiai Garda
kembali berdiri tegak dan mengambil sisa butiran garam yang tadi ia simpan di
ikat pinggangnya. Kembali mulutnya berkomat-kamit mengucapkan sebuah mantra
atau doa dan bahkan kali ini sambil menahan nafas serta menutup kedua matanya.
Agaknya Kiai Garda benar-benar sedang mengerahkan segenap nalar budinya untuk
melambari butiran garam itu dengan tenaga cadangan dalam dirinya. Dalam keadaan
ini Kiai Garda seolah tidak perduli dengan keadaan sekitarnya.
Saat itulah
dari atas sebuah pohon yang cukup rindang dan terletak di samping kiri mulut
hutan itu, meluncur dua buah benda berkilat yang semuanya menuju dan mengancam dada
dan perut bagian bawah Kiai Garda. Benda berkilau itu meluncur dengan sangat
cepat dan bahkan tanpa mengeluarkan bunyi sama sekali, menandakan betapa si
pelempar benda berkilau itu mempunyai ilmu membidik yang cukup tinggi.
Kiai Garda
ternyata tidak merubah posisinya yang tengah memusatkan perhatian pada garam
yang berada di tangannya. Ia memang menyerahkan nasibnya pada perlindungan
kedua perempuan teman seperjalannya kali ini, yang pada saat yang tepat keduanya
bergerak maju sambil mengayunkan senjata mereka masing-masing. Terdengar suara
gemerincing dua kali di udara tanda terbenturnya benda keras, disusul jatuhnya
dua buah pisau kecil ke tanah.
Pada saat
yang sama Kiai Garda sudah selesai dengan pemusatan nalar budinya lalu membuka
matanya. Dengan keyakinan penuh, tubuhnya kemudiaan berkelebat ke depan dan
melemparkan beberapa butir garam yang tersisa yang ada dalam genggamannya. Arah
lemparan Kiai Garda adalah pohon rimbun dimana asal dari lemparan pisau kecil
yang tadi mengancamnya. Pandan Wangi dan Sekar Mirah terpaksa ikut melompat
kedepan karena tidak ingin terpisah dari Kiai Garda terlalu jauh.
Berbeda
dengan lemparan garam sebelumnya yang melesat ke udara dan menimbulkan
ledakan-ledakan kecil saat berada di puncak, lemparan garam kali ini meskipun
jumlahnya jauh lebih sedikit akan tetapi suara ledakan yang di timbulkan
berlipat puluhan kali lebih dahsyat. Terlebih kali ini lemparan Kiai Garda
sudah mempunyai sasaran, sehingga Sekar Mirah dan Pandan Wangi bahkan bisa
melihat hasilnya.
Sebelum
butiran garam kasar itu meledak keras dan bahkan menimbulkan seleret sinar
terang, mata mereka bertiga sempat melihat sesosok bayangan hitam yang dengan
tergesa-gesa melenting turun ketanah. Bayangan itu berpakaian hijau gelap dan
terlihat mempunyai gerakan yang sangat gesit sehingga terhindar dari ledakan
dahsyat dari butiran garam yang dilempar Kiai Garda.
Meskipun
tidak berjanji, akan tetapi Kiai Garda, Sekar Mirah dan Pandan Wangi seolah di
gerakkan oleh satu perintah yang sama. Begitu kaki bayangan hitam itu menyentuh
tanah, ternyata ketiganya sudah berdiri mengelilingi-nya dengan senjata yang
teracu ke depan. Tidak ada lubang ataupun kesempatan sama sekali bagi bayangan
berpakaian hijau gelap itu untuk lolos.
Bayangan
berpakaian hijau gelap itu agaknya sadar akan bahaya yang mengancamnya, akan
tetapi ia tidak menjadi gugup. Dengan tenang ia memutar tubuhnya sambil memandang
tiga orang yang mengepungnya, dari mulutnya tiba-tiba keluar suara tertawa
terbahak-bahak hingga tubuhnya berguncang-guncang tiada henti.
Saat itulah
Kiai Garda dan yang lainnya merasa betapa tepat di gendang telinga mereka ada
ledakan-ledakan kecil akan tetapi sangat nyaring. Ledakan kecil itu terjadi terus
menerus seiring suara tertawa yang di gemakan oleh bayangan berpakaian hijau
itu dan secara cepat akan memecahkan gendang telinga ketiganya tanpa ampun.
“Dahsyat
sekali! Akan tetapi ini sama sekali bukan Gelap Ngampar”, - geram Sekar Mirah.
Salam,
Ries
No comments:
Post a Comment