Saturday, July 22, 2017

BSG - BAB.IV - HSSG - Bababk-11

BALADA SWANDARU GENI
Bab IV: Hilangnya Seorang Swandaru Geni
Babak – 11



Kiai Garda tidak menghentikan geraknya, sambil terus bertarung  pandangannya berputar menyusuri seluruh arena mulut hutan yang menjadi ajang pertarungan. Dengan memusatkan nalar budinya, ia segera mengirimkan pesan kepada Sekar Mirah dan Pandan Wangi melalui aji pameling, sehingga hanya kedua orang itulah yang mendengarnya.


“Nyai berdua, jangan menghabiskan tenaga sia-sia. Cobalah pusatkan nalar budi, dan lihatlah apakah kelelawar ini benar-benar binatang ataukah hanya bentuk-bentuk semu yang hanya mengelabuhi indra penglihatan kita?”


Sekar Mirah dan Pandan Wangi terkejut mendengar suara yang seolah berbisik dekat sekali di telinga. Mereka segera sadar bahwa pesan aji pameling ini dikirim oleh Kiai Garda yang hanya berjarak beberapa langkah darinya, tetapi agaknya ia tidak ingin ada orang lain yang mendengarnya. Karena itu sambil terus bergerak keduanya segera melaksanakan saran Kiai Garda.


Bagi Sekar Mirah dan Pandan Wangi, memusatkan nalar budi untuk mempertinggi daya panggraita sebenarnya bukanlah hal yang sulit, mereka sudah sering melatihnya. Akan tetapi kini mereka harus melakukannya sambil bergerak dan bahkan bertarung melawan ratusan kelelawar yang terus menyambarnya sehingga keduanya memerlukan waktu lebih lamban dari biasanya.


Sesaat kemudian tiba-tiba Pandan Wangi menggeram keras, terdengar gemeretak gigi-nya seolah ia sedang menahan kemarahan yang memuncak hingga ke ubun-ubun. Meskipun agak terlambat akan tetapi mata hatinya segera menyadari bahwa ratusan kelelawar yang menyerang dan mengerumuninya itu sebenarnya tidak ada, bahkan darah yang memuncrat dan terpercik ke segala arah serta suara ribut itu ternyata adalah sekedar bentuk semu yang telah mengelabuhi indra ketiganya. Selama ini ternyata mereka telah membuang tenaga dengan sia-sia.


Betapapun kemarahan begitu menggelegak dan darah sudah naik ke kepala, akan tetapi Pandan Wangi berusaha memperhatikan keadaan di sekitarnya dengan lebih teliti. Dengan memusatkan kejernihan mata batinnya, ia kemudian meyakini bahwa sebenarnya memang ada kelelawar yang sesungguhnya dan bukan sekedar bentuk semu. Akan tetapi kelelawar yang asli ini tidak ikut menyerang, melainkan hanya berputar-putar mengelilingi lapangan pertarungan sambil terus berkaok-kaok dengan ribut.

Jumlahnya ada lima, dan dari lima kelelawar asli inilah agaknya tercipta tiruan yang berupa bentuk semu dan berjumlah ratusan bahkan ribuan. Kelima kelelawar asli ini terus terbang berputar dari kiri ke kanan mengelilingi arena sambil mengeluarkan suara yang memekakkan telinga seolah ia memberi abab-aba atau perintah bagi tiruannya.


Hal itu juga sudah diketahui Kiai Garda dan bahkan Sekar Mirah pun menyadarinya meskipun memerlukan waktu lebih lama.


Tiba-tiba Pandan Wangi menghentikan geraknya dengan sangat mendadak, dengan keyakinan tinggi ia bahkan tidak menghiraukan sama sekali puluhan kelelawar semu yang menyergapnya. Dengan satu tarikan nafas pendek, tubuh Pandan Wangi bergetar meskipun tidak terlalu keras. Wajahnya sedikit mengeras, tangan kirinya yang memegang pedang bersilang di depan dadanya, sementara tangan kanannya terangkat tinggi seolah hendak menggapai langit dengan pedang tipisnya.


Sekar Mirah sudah pernah melihat sikap Pandan Wangi dalam beberapa latihan sebelumnya, karena itu ia segera menyadari bahwa saat ini Pandan Wangi sudah berada pada puncak pemusatan nalar budinya dalam menyalurkan ajian Asta Sewu.


Semua kejadian itu berlangsung dalam waktu yang sangat cepat, bahkan lebih cepat dari kejaban mata ataupun pikiran seseorang yang sedang melihatnya.


Yang terjadi kemudian benar-benar menggetarkan perasaan dan mata Kiai Garda maupun Sekar Mirah. Dengan memekik keras dan bahkan tanpa ancang-ancang, tubuh Pandan Wangi melesat secepat tatit di udara dan melakukan gerak bagaikan terbang. Tubuhnya berputar dari kanan ke kiri sambil pedangnya berkelebat menyilang berulang kali. Dalam sekejab Pandan Wangi telah melintasi hampir separo luas arena pertarungan dan itu dilakukannya sambil melayang diudara dengan gerakan pedang yang berkelebat menyilang ke atas dan bawah, serta kesamping kanan dan kesamping kiri berulang kali tiada henti. Ia seolah sedang mencabik-cabik sesuatu untuk menyalurkan segala rasa amarah dan kecewa yang selama ini mengendap dalam dirinya.


Ketika kaki Pandan Wangi kembali menyentuh tanah, dari lintasan di udara yang baru di laluinya itu terlihat serpihan daging kecil yang terkoyak penuh darah dan dipenuhi bulu-bulu halus  jatuh berserakan ke tanah secara berturut-turut.


Dalam satu gerak ajian Asta Sewu yang luar biasa cepat, Pandan Wangi telah menewaskan lima ekor kelelawar yang sebenarnya yang kini terkoyak bahkan tercabik-cabik tanpa bentuk lagi.


Kiai Garda berseru lirih sambil mengeleng-gelengkan kepalanya penuh kekaguman.


“Bahkan kaki Nyi Pandan Wangi telah menyentuh tanah terlebih dahulu sebelum serpihan daging yang terkoyak itu berjatuhan menyentuh tanah. Gerakan itu benar-benar luar biasa cepat bahkan lebih cepat dari apa yang disebut cepat itu sendiri”, - Kiai Garda berdesis dalam hati dan bahkan sedikit bingung untuk menilai kecepatan yang diluar dugaannya itu.


Sekar Mirah juga tidak mampu menyembunyikan kekagumannya melihat gerak kakak iparnya itu -,”Pandan Wangi telah bergerak ke arah yang berlawanan dan memapaki arah putaran kelelawar itu sehingga ia bisa langsung menghabisi lima binatang itu dalam waktu yang hampir bersamaan. Aku kira kakang Agung Sedayu akan terkejut dan berbangga melihat gerak dan keputusan yang sangat cerdas dari Pandan Wangi tadi”


“Selepas dari persoalan ini, aku akan minta kakang Agung Sedayu untuk juga mengajariku ajian Asta Sewu ini. Tongkatku ini tentu tidak kalah dibanding kedua pedang tipis Pandan Wangi itu”, - tiba-tiba terlintas pikiran di benak Sekar Mirah.


Sementara itu Pandan Wangi berdiri tegak diatas kakinya dengan kedua pedang yang menunduk hampir menyentuh tanah. Betapapun ia berusaha mengatur nafasnya, tetapi dadanya terlihat naik turun dengan nafas yang agak terngah-engah. Sesungguhnya ia sendiri tidak menyangka berhasil melakukan sebuah gerakan yang sedemikian cepat dan dahsyat, meskipun itu lebih banyak dipicu oleh  kemarahan dan semua gumpalan perasaan yang ada didalam dadanya selama ini.


Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam mencoba menenangkan diri sambil mengamati keadaan di sekelilingnya. Tidak nampak lagi ribuan kelelawar yang tadi menyerang mereka bertiga. Selain serpihan daging kecil yang dipenuhi bulu halus dari lima ekor kelelawar itu,  juga tidak nampak satupun bangkai kelelawar yang mereka bantai sebelumnya ataupun ceceran darah yang tadi nampak menutupi tanah arena pertarungan.


Suasana di mulut hutan itu berubah menjadi sepi seolah tidak ada makhluk hidup di sekitarnya.


Akan tetapi Kiai Garda, Pandan Wangi dan Sekar Mirah yang sudah pada puncak kesiagaan itu merasakan ada sesuatu yang masih mengintai mereka. Sesuatu yang membuat mereka harus lebih berhati-hati sehingga tidak akan dikelabuhi lagi dengan bentuk-bentuk semu yang hanya akan menguras tenaga seperti yang baru mereka alami.


Malam masih belum masuk terlalu dalam, akan tetapi keadaan di pinggiran hutan itu terasa sangat mencekam. Kia Garda memutuskan untuk kembali maju beberapa langkah sambil berbisik pelan kepada Sekar Mirah dan Pandan Wangi.


“Berhati-hatilah Nyi, aku akan berusaha memaksanya untuk keluar. Tolong lindungi aku dari serangan yang mungkin tidak aku sadari”, - desis Kiai Garda lirih sekali.


Sekar Mirah dan Pandan Wangi tidak menjawab melainkan bergeser ikut maju dan agak merapat sambil meningkatkan kewaspadaan.  

Kiai Garda kembali berdiri tegak dan mengambil sisa butiran garam yang tadi ia simpan di ikat pinggangnya. Kembali mulutnya berkomat-kamit mengucapkan sebuah mantra atau doa dan bahkan kali ini sambil menahan nafas serta menutup kedua matanya. Agaknya Kiai Garda benar-benar sedang mengerahkan segenap nalar budinya untuk melambari butiran garam itu dengan tenaga cadangan dalam dirinya. Dalam keadaan ini Kiai Garda seolah tidak perduli dengan keadaan sekitarnya.


Saat itulah dari atas sebuah pohon yang cukup rindang dan terletak di samping kiri mulut hutan itu, meluncur dua buah benda berkilat yang semuanya menuju dan mengancam dada dan perut bagian bawah Kiai Garda. Benda berkilau itu meluncur dengan sangat cepat dan bahkan tanpa mengeluarkan bunyi sama sekali, menandakan betapa si pelempar benda berkilau itu mempunyai ilmu membidik yang cukup tinggi.


Kiai Garda ternyata tidak merubah posisinya yang tengah memusatkan perhatian pada garam yang berada di tangannya. Ia memang menyerahkan nasibnya pada perlindungan kedua perempuan teman seperjalannya kali ini, yang pada saat yang tepat keduanya bergerak maju sambil mengayunkan senjata mereka masing-masing. Terdengar suara gemerincing dua kali di udara tanda terbenturnya benda keras, disusul jatuhnya dua buah pisau kecil ke tanah.


Pada saat yang sama Kiai Garda sudah selesai dengan pemusatan nalar budinya lalu membuka matanya. Dengan keyakinan penuh, tubuhnya kemudiaan berkelebat ke depan dan melemparkan beberapa butir garam yang tersisa yang ada dalam genggamannya. Arah lemparan Kiai Garda adalah pohon rimbun dimana asal dari lemparan pisau kecil yang tadi mengancamnya. Pandan Wangi dan Sekar Mirah terpaksa ikut melompat kedepan karena tidak ingin terpisah dari Kiai Garda terlalu jauh.


Berbeda dengan lemparan garam sebelumnya yang melesat ke udara dan menimbulkan ledakan-ledakan kecil saat berada di puncak, lemparan garam kali ini meskipun jumlahnya jauh lebih sedikit akan tetapi suara ledakan yang di timbulkan berlipat puluhan kali lebih dahsyat. Terlebih kali ini lemparan Kiai Garda sudah mempunyai sasaran, sehingga Sekar Mirah dan Pandan Wangi bahkan bisa melihat hasilnya.


Sebelum butiran garam kasar itu meledak keras dan bahkan menimbulkan seleret sinar terang, mata mereka bertiga sempat melihat sesosok bayangan hitam yang dengan tergesa-gesa melenting turun ketanah. Bayangan itu berpakaian hijau gelap dan terlihat mempunyai gerakan yang sangat gesit sehingga terhindar dari ledakan dahsyat dari butiran garam yang dilempar Kiai Garda.


Meskipun tidak berjanji, akan tetapi Kiai Garda, Sekar Mirah dan Pandan Wangi seolah di gerakkan oleh satu perintah yang sama. Begitu kaki bayangan hitam itu menyentuh tanah, ternyata ketiganya sudah berdiri mengelilingi-nya dengan senjata yang teracu ke depan. Tidak ada lubang ataupun kesempatan sama sekali bagi bayangan berpakaian hijau gelap itu untuk lolos.



Bayangan berpakaian hijau gelap itu agaknya sadar akan bahaya yang mengancamnya, akan tetapi ia tidak menjadi gugup. Dengan tenang ia memutar tubuhnya sambil memandang tiga orang yang mengepungnya, dari mulutnya tiba-tiba keluar suara tertawa terbahak-bahak hingga tubuhnya berguncang-guncang tiada henti.


Saat itulah Kiai Garda dan yang lainnya merasa betapa tepat di gendang telinga mereka ada ledakan-ledakan kecil akan tetapi sangat nyaring. Ledakan kecil itu terjadi terus menerus seiring suara tertawa yang di gemakan oleh bayangan berpakaian hijau itu dan secara cepat akan memecahkan gendang telinga ketiganya tanpa ampun.


“Dahsyat sekali! Akan tetapi ini sama sekali bukan Gelap Ngampar”, - geram Sekar Mirah.



Salam,

Ries

No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...