BALADA
SWANDARU GENI
Bab IV:
Hilangnya Seorang Swandaru Geni
Babak – 04
Mendengar
pertanyaan Kiai Garda, Agung Sedayu terkejut dan terlihat ada rasa penyesalan
yang menggelayuti perasaannya. Agaknya sikapnya yang tergesa-gesa dalam
menyambut kedatangan Kiai Garda tadi telah menimbulkan salah tafsir.
“Kiai, aku tentu belum tahu keadaan adi Swandaru yang telah mengembara lebih dari satu bulan ini. Kalau tadi aku mengenal dan seolah mengetahui kedatangan Kiai hari ini, itu karena aku memang mendapat pemberitahuan terlebih dahulu dari seseorang”, - jawab Agung Sedayu dengan hati-hati.
Kiai Garda
mengerutkan keningnya - ,”Darimanakah Ki Agung Sedayu mengetahui kedatanganku?”
Agung Sedayu
menata letak duduknya sebelum kemudian menjawab pertanyaan Kiai Garda.
“Kiai,
sesungguhnya kemarin malam aku sempat singgah di petilasan guru Kiai Gringsing
seorang diri. Letaknya memang tidak terlalu jauh dari sini, meskipun juga tidak
terlalu dekat. Malam itu aku memang gelisah dan memikirkan keberadaan adi
Swandaru Geni yang sedang mengembara dan karenanya aku juga merindukan nasehat-nasehat
dari guru Kiai Gringsing seandainya beliau masih ada”
Agung Sedayu
berhenti sejenak sambil memandangi wajah Pandan Wangi yang duduk di samping
istrinya Sekar Mirah.
“Sudah tentu
aku tidak dapat menemui guru”, - lanjut Agung Sedayu kemudian - ,”Akan tetapi
ketika aku duduk merenung seorang diri di batu petilasan dimana guru biasa
duduk, tiba-tiba telah berdiri seseorang di depanku dengan begitu saja sambil
mengucap salam. Beliau seolah-olah muncul dari dalam tanah, karena aku tidak
mendengar suara atau langkah-langkahnya sama sekali. Dari beliau aku mendapat
banyak nasehat dan keterangan tentang kedatangan Kiai pagi ini”
Kiai Garda
menarik nafas dalam-dalam, agaknya ia sudah bisa menduga siapa yang datang dan
menemui Agung Sedayu itu.
Melihat
sikap Kiai Garda itu, Agung Sedayu terlihat tersenyum kecil – ,”Bukankah Kiai
sudah bisa menduga siapa yang menemui aku malam itu?”
Disaat Kiai
Garda mengangguk-anggukan kepalanya, semua yang hadir disitu justru sibuk
menduga-duga. Bahkan karena tidak bisa menahan rasa penasarannya, terdengar
suara Sekar Mirah yang seolah terloncat dari bibirnya begitu saja.
”Siapa
kakang?”
Agung Sedayu
tersenyum - ,”Beliau adalah guru Kiai Garda, Kanjeng Sunan Muria”
Semua yang
mendengar jawaban Agung Sedayu tiba-tiba terdiam. Nama itu memang menggetarkan
perasaan dan siapapun rasanya pernah berharap agar bisa bertemu dan memperoleh
nasehatnya. Tidak dinyana Agung Sedayu justru telah di datangi Kanjeng Sunan
dan telah pula memperoleh nasehat dan petunjuknya.
Keheningan
itu berlangsung beberapa saat sebelum kemudian di pecahkan oleh suara Pandan
Wangi.
“Kiai belum
menjawab pertanyaanku”
“O”,- Kiai
Garda seolah tergagap sambil memandangi Pandan Wangi - ,”Maafkan aku Nyi,
sesungguhnya kedatanganku ini memang berhubungan dengan berita tentang Ki
Swandaru”
Kiai Garda
berhenti sejenak sambil memandangi semua yang hadir dan duduk di pendapa itu.
Agaknya ia agak segan untuk bercerita di depan begitu banyak orang karena yang
akan disampaikan adalah berita yang kurang baik. Akan tetapi Agung Sedayu yang
memahami perasaan Kiai Garda itu segera menyela.
“Tidak
apa-apa Kiai, semua yang hadir disini adalah keluarga dan berhak tahu keadaan
adi Swandaru”
Kiai Garda
mengangguk-angguk lalu terdengar suaranya agak pelan.
“Baiklah,
aku minta maaf karena yang aku bawa memang bukan berita yang menggembirakan.
Sesungguhnya aku baru mengenal Ki Swandaru sekitar dua pekan yang lalu sebagai
seorang pengembara dengan nama Ki Gupala”
Suasana
ruangan di pendapa itu mendadak menjadi tegang. Hampir semua yang hadir tanpa
sadar telah bergeser mendekat Kiai Garda sambil memasang telinganya, tak
terkecuali Pandan Wangi yang sangat berkepentingan atas berita tentang suaminya
itu.
Demikianlah,
dengan hati-hati Kiai Garda menceritakan hanya tentang pokok-pokok kejadian
mulai terlibatnya Swandaru dalam sebuah pertarungan sengit dengan Watu Gempal
hingga terluka parah. Saat-saat dimana keadaan terluka itu ternyata justru
membuka mata hatinya untuk secepatnya pulang ke Sangkal Putung dan membatalkan
niatnya untuk mengembara. Sepekan kemudian Kiai garda berpisah di halaman
Kademangan sementara Swandaru pulang menuju Sangkal Putung.
Akan tetapi semuanya
menjadi tanda tanya besar ketika pada malam harinya justru kuda yang bernama
Turangga Kliwon yang di naiki Swandaru itu kembali ke Kademangan dengan tanpa
penunggang tetapi masih membawa buntalan kain milik Swandaru.
Kiai Garda
kemudian minta ijin dan berjalan menuju kudanya yang sedang makan rumput yang
disediakan oleh para cantrik. Ia kemudian melangkah ke pendapa sambil membawa
buntalan kain dan menyerahkannya kepada Pandan Wangi.
“Inilah
buntalan kain yang dibawa Ki Swandaru Nyi, aku minta maaf karena telah
membukanya untuk meyakinkan keadaan saat itu”
Pandan Wangi
tidak menjawab, melainkan langsung menerima buntalan kain yang cukup besar itu
lalu membukanya. Selain beberapa lembar pakaian, Pandan Wangi menemukan pedang
berukuran besar milik Swandaru yang gagangnya terbuat dari gading. Ia memang
mengenalnya bahwa itu semua milik suaminya.
Pandan Wangi
menarik nafas dalam-dalam, dicobanya untuk menenangkan hatinya meskipun
sebenarnya ia sangat kuatir atas keadaaan suaminya itu. Tetapi umur Pandan
Wangi yang terus merambat naik itu juga membuat sikap dan tanggapannya terlihat
lebih tenang atas kejadian yang menimpa suaminya itu.
“Adakah Kiai
sempat menyusuri jejak atas hilangnya kakang Swandaru itu?”, - tanya Pandan
Wangi penuh harap.
Kiai Garda
mengangukkan kepalanya sambil pandangannya menoleh kepada Agung Sedayu. Ia
kemudian menceritakan usahanya menyelusuri jejak Swandaru hingga sampai ke
sebuah pertemuan sungai yang cukup besar dengan aliran air yang sangat tenang. Diceritakannya
dengan cukup detil tentang keberadaan dua buah pohon beringin tua di dua sisi
sungai yang memotong sungai utama serta tidak lupa pula keberadaan sebuah
rumpun bambu kuning tepat di seberang pertemuan sungai itu. Seolah rumpun bambu
kuning itu bisa dikatakan sebagai sasaran alias ‘tusuk-sate’ atas mengalirnya
air sungai diseberang.
“Sejujurnya,
aku sempat duduk berdiam diri atau bersemedi untuk memahami keadaan disana,
akan tetapi aku merasakan tekanan yang sangat besar pada daya pikir dan
perasaanku. Seolah ada kekuatan besar yang sengaja menghalangi pandanganku dan
disaat yang sama bahkan menyerang jiwaku. Sesungguhnya keadaan sungai yang oleh
orang setempat di sebut Kali Belehan itu sangat mencengkam hati dan perasaanku.
Kedatanganku kesini adalah untuk melaporkan hal ini serta minta bantuan
khususnya kepada Ki Agung Sedayu yang aku yakin akan mampu mengatasi hal ini”,
- suara Kiai Garda terdengar pelan seiring ia mengakhiri ceritanya.
“Ah”, -
terdengar suara Agung Sedayu mendesah.
Kembali
ruangan itu menjadi hening, angin pagi berhembus pelan dan cukup terasa
mengusap kulit tubuh mereka yang duduk di pendapa itu. Tetapi kesejukan angin
pagi itu tidak mampu membuat hati tenang dan bahkan kini sibuk dengan
angan-angan masing-masing. Semua seolah merasakan bahwa kali ini keadaan
Swandaru benar-benar sangat mengkhawatirkan.
“Bagaimana
menurutmu kakang Agung Sedayu?”, - suara Pandan Wangi memecah kesunyian itu.
Agung Sedayu
yang mendengar pertanyaan Pandan Wangi itu menoleh dan tidak langsung menjawab.
Wajahnya yang biasanya tenang terlihat bersungguh-sungguh, ia tidak ingin asal
menjawab sekedar untuk menenangkan Pandan
Wangi sementara sebenarnya hatinya sendiri juga gelisah.
“Wangi, marilah
kita memohon ke hadapan Yang Maha Agung agar diberi petunjuk dan pertolongan
atas keadaan adi Swandaru”, - jawabnya pelan, lalu menoleh kepada Kiai Garda -
,”Seberapa jauhkah sungai Belehan itu dari sini Kiai?”
“Sebenarnya
Kali Belehan belum terlalu jauh dari Kademangan Krikilan, akan tetapi jika dari
sini kita mungkin memerlukan waktu sekitar tiga-empat hari dengan berkuda”, -
jawab Kiai Garda - ,”Jika Ki Agung Sedayu berkenan, aku berharap kita dapat
berangkat siang ini juga. Aku mencemaskan keadaan Ki Swandaru, sesungguhnya saat
bermeditasi di pinggir sungai itu aku merasakan adanya getar kehadiran Ki
Swandaru di daerah tersebut, akan tetapi aku tidak mampu menjangkaunya lebih
dalam”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukan kepalanya, agaknya keadaan benar-benar sangat
mengkhawatirkan sehingga mau tidak mau ia harus bertindak cepat dan menindas
semua keraguan yang biasanya selalu membayangi setiap keputusannya selama ini.
Tetapi ia masih sempat mempersilahkan Kiai Garda untuk menghirup wedang sere
yang tadi disajikan para cantrik dan nampaknya sudah mulai dingin.
“Kiai,
mengingat waktu yang sedemikian mendesak marilah kita lakukan apa yang mungkin
bisa kita lakukan saat ini. Jika berkenan, aku memohon dan mengundang Kiai
Garda untuk memasuki sanggar terlebih dahulu. Semoga kita akan mampu menyatukan
getar tubuh dan jiwa kita sehingga bisa mengetahui apa yang terjadi dengan adi
Swandaru, dengan demikian kita bisa membuat sebuah perencanaan dengan baik”, - sambil
mengakhiri kalimatnya Agung Sedayu segera berdiri.
Ki Widura
segera mempersilahkan Kiai Garda untuk melangkah menuju sanggar yang letaknya
di bagian belakang padepokan meskipun bukan di ujung. Sementara yang lain seolah
tidak ada yang mau ketinggalan dan semuanya mengikuti masuk ke ruangan sanggar.
Tetapi
sanggar itu memang cukup luas dan diperuntukkan untuk banyak orang sehingga
kehadiran mereka bertujuh sama sekali tidak membuat sanggar itu terasa sempit.
Ki Widura,
Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Glagah Putih serta Rara Wulan duduk agak menjauh
dari Agung Sedayu dan Kiai Garda yang berada di tengah ruangan sambil duduk
berhadapan. Meskipun mereka kurang
mengetahui tentang apa yang akan dilakukan oleh keduanya, tetapi mereka yakin
bahwa kali ini Agung Sedayu akan mempergunakan sebuah cara yang tidak biasa.
Agung Sedayu
dan Kiai Garda terlibat dalam pembicaraan yang sangat bersungguh-sungguh dengan
suara seolah berbisik. Tidak ada yang mampu mendengar pembicaraan itu selain
mereka berdua. Beberapa kali Kiai Garda mengerutkan keningnya lalu kemudian
mengangguk-angguk ketika Agung Sedayu menjelaskan dengan kalimat agak panjang.
Sejenak
kemudian Agung Sedayu justru bergeser dan kemudian duduk bersila justru di
belakang Kiai Garda. Ia kemudian memberi isyarat dan minta agar Ki Widura dan
Glagah Putih agar duduk mendekat.
“Paman
Widura dan Glagah Putih, aku minta agar bisa menjaga kedua tubuh kami. Mungkin
saja karena kelelahan kami berdua bisa ambruk, tetapi mungkin pula tidak
terjadi apa-apa”, - katanya dengan nada rendah - ,”Mirah dan semuanya, tolong
jaga pintu sanggar agar tidak ada satupun yang boleh masuk apalagi mengganggu
kami. Marilah kita berdoa semoga apa yang akan kita lakukan ini memperoleh
hasil dan petunjuk dari Yang Maha Kuasa”
Semua yang
mendengar perkataan Agung Sedayu itu segera menggeser diri dan mencari posisi
yang lebih sesuai. Sementara agaknya Ki Widura tidak dapat menahan hatinya,
sehingga terloncatlah pertanyaan yang mewakili semua yang hadir disitu.
”Apakah yang
akan kau lakukan Sedayu?”
Kembali
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam, dengan hati-hati ia kemudian menjawab -
,”Paman, aku akan mencoba menyelaraskan getar tubuh, pikiran dan perasaanku
dengan Kiai Garda, lalu mudah-mudahan aku berhasil menerapkan ajian Rogoh-Sukma
yang pernah aku pelajari meskipun belum pernah aku coba pergunakan. Dengan
begitu mudah-mudahan kita bisa tahu dan dapat melihat lebih jelas keadaan di
sekitar Kali Belehan itu dan apakah benar adi Swandaru memang disana”
Kiai Garda
terlihat mengerutkan keningnya, demikian pula yang lain. Sudah tentu mereka
semua pernah mendengar ajian yang disebut Rogoh Sukma itu, akan tetapi mereka
sama sekali tidak menyangka bahwa Agung Sedayu ternyata menguasai ajian itu.
Bahwa Agung Sedayu mampu membelah dirinya menjadi tiga orang, mereka semua
bahkan pernah melihatnya, tetapi menguasai ajian Rogoh Sukma itu jauh dari
pikiran mereka. Terlebih lagi sebagian masyarakat menganggap bahwa ajian Rogoh
Sukma termasuk ilmu yang dekat dengan dunia kegelapan.
Sekar Mirah
sendiri yang sehari-harinya tidak pernah terpisah dari Agung Sedayu hanya bisa
menduga-duga, darimana suaminya itu menguasai ajian Rogoh Sukma itu - ,”Mungkin
dari Kitab Ki Waskita yang sudah dihapal semua isinya oleh kakang Agung Sedayu”
“Sudahlah,
aku akan mulai. Marilah kita semua memohon agar diberi petunjuk oleh Yang Maha
Agung”, - kata Agung Sedayu sambil memperbaiki tempat duduk.
Demikianlah,
akhirnya Agung Sedayu duduk dengan punggung tegak tepat di belakang Kiai Garda
bahkan hampir berhimpitan. Untuk beberapa saat mereka mengatur diri dan duduk
dalam kediaman dengan nafas yang sangat halus.
“Maaf Kiai”,
- desis Agung Sedayu dengan suara pelan sebagai sopan-santun sambil menempatkan
kedua tangannya diatas pundak Kiai Garda. Ini sekaligus sebagai aba-aba agar
Kiai Garda bisa mulai memusatkan seluruh daya nalar, angan dan perasaannya
menuntun menuju Kali Belehan.
Matahari
belum mencapai puncaknya tetapi sinarnya memang sudah mulai terasa panas
menyengat kulit. Sebagian atap bangunan sanggar itu sebenarnya masih ternaungi
oleh mahkota pohon mangga yang tumbuh cukup lebat, akan tetapi ternyata
keteduhannya sama sekali tidak mampu menurunkan hawa panas yang ada di dalam
sanggar.
Angan dan perasaan Kiai
Garda seolah sedang dipacu dengan gambaran-gambaran selain yang di inginkannya,
yaitu jalan dan situasi menuju Kali Belehan. Berbagai pikiran dan peristiwa
lain justru muncul mengganggunya sehingga ia justru menjauh dari Kali Belehan.
Ini memang berbeda dengan apa yang sudah di lakukannya saat ia ada tepat di
tepi Kali Belehan, tingkat kesulitannya ternyata berlipat puluhan kali.
Wajah Kiai Garda nampak
mulai berkeringat, tanpa henti ia berusaha memusatkan seluruh perhatiannya pada
titik yang ia kehendaki meskipun ternyata itu sulit. Adalah sebuah keniscayaan
bahwa apa yang ingin kita fokuskan ternyata justru sulit tergapai dan justru
tertutupi oleh bayangan-bayangan yang sama sekali tidak terpikirkan oleh kita.
Ketika kesulitan itu tidak
juga teratasi, tiba-tiba Kiai Garda merasakan sebuah hawa sejuk yang mengalir
memenuhi dadanya. Hawa sejuk itu berasal dari kedua tangan Agung Sedayu yang
memegang pundaknya lalu kemudian mengalir memenuhi seluruh tubuh hingga ke
kepalanya.
Saat itu Kiai Garda merasa hawa
sejuk itu mengandung dorongan tenaga yang sangat besar yang mengalir dalam
tubuh psikisnya dan menyibak tabir yang selama ini mengganggunya. Dengan cepat
angan dan perasaannya mampu menjangkau Kali Belehan lalu menggapai titik
sasaran yang di inginkannya, yaitu tepat di depan rumpun bambu kuning. Angan
dan perasaan Kiai Garda itu kini ada tepat di tepi Kali Belehan dengan posisi
yang memungkinkan untuk ‘ditusuk sate’.
Ketika Kiai Garda meyakini
telah sampai pada titik tujuan, ia mengeraskan tubuhnya sesaat lalu segera
dengan kesadaran penuh ia kemudian menutup sembilan lubang yang ada dalam
tubuhnya. Ternyata tindakan Kiai Garda itu di ikuti oleh Agung Sedayu pada saat
yang hampir bersamaan seolah tiada selisih waktu. Kini tubuh kedua orang yang duduk
hampir berdempetan itu menjadi kaku seperti patung batu yang sama sekali tidak
bergerak.
Bahkan Ki Widura dan Glagah
Putih yang duduk dekat dengan keduanya sama sekali tidak mendengar degup
jantung ataupun desah nafas dari keduanya.
“Agaknya inilah saatnya
kakang Agung Sedayu melakukan ajian Rogoh Sukma. Tubuhnya sama sekali tidak
bergerak sehingga jika ada orang yang bermaksud jahat, tentu kakang Agung
Sedayu tidak dapat melindungi dirinya sendiri”, - desis Glagah Putih dalam hati,
ia baru memahami mengapa Agung Sedayu berpesan agar tidak ada seorangpun yang boleh
mengganggunya.
Matahari sudah naik hingga puncaknya
dan perlahan-lahan mulai bergulir ke arah barat. Panas dalam ruangan sanggar
itu sama sekali tidak berkurang dan bahkan ketegangan yang melanda mereka yang
ada di dalam ruang itu semakin meningkat tajam.
Meskipun sama sekali tidak
bergerak, akan tetapi dari kedua tubuh itu ternyata mengeluarkan keringat yang membasahi
hampir seluruh wajahnya. Semakin lama keringat itu mengalir semakin deras
sehingga selain wajah, kini bahkan baju yang dikenakan keduanya menjadi basah
kuyup seperti habis direndam dalam air.
Sekar Mirah yang sudah
terlalu sering melihat suaminya dalam kesulitan dan bahkan terluka parah itu
masih juga menggigit bibirnya. Ia sadar bahwa keadaan yang sedang dilakukan oleh
suaminya dan Kiai Garda saat ini juga mengandung sebuah bahaya yang cukup
besar, akan tetapi ia sendiri tidak tahu bagaimana bisa membantu.
Ketegangan di ruangan itu terus
meningkat tajam seolah tidak mempunyai titik puncaknya. Tidak ada yang bisa
mereka lakukan untuk membantu selain hanya menunggu dan menjaga agar tidak ada
seorangpun yang mengganggu.
Beberapa saat kemudian
mereka melihat Agung Sedayu melepas nafas dengan cara yang sangat lembut dari mulutnya,
yang kemudian di ikuti Kiai Garda. Keduanya kemudian secara bersamaan kembali
menarik nafas dari hidung dan dikeluarkan melalui mulut dengan sangat perlahan
dan hati-hati, seolah mereka khawatir desahan nafas mereka akan menyalakan bara
yang ada dalam tubuh mereka menjadi api yang menyala-nyala.
Sesungguhnya, tubuh Kiai
Garda dan Agung Sedayu terasa sangat lemah akibat memaksakan diri dalam memampatkan
udara lalu menyibaknya untuk mencapai tujuan yang ada dalam angan dan perasaan mereka.
Dengan cara ini keduanya seolah baru saja melipat jarak dan waktu dalam
seketika. Akan tetapi hal itu telah menguras tenaga keduanya sehingga
seolah-olah tidak tersisa.
Ketika Agung Sedayu kemudian
menarik kedua tangannya yang tadi melekat di pundak Kiai Garda, tangan itu
seolah jatuh tanpa tertahankan.
Sambil memperbaiki kondisi
badannya Agung Sedayu bergeser sehingga bisa melihat wajah Kiai Garda yang nampak
pucat dan masih duduk dengan lemahnya. Dengan mata nanar, mereka bertatapan
mata dengan wajah kuatir.
“Onggo-Inggi”,- desah
keduanya hampir bersamaan.
Salam,
No comments:
Post a Comment