Monday, July 10, 2017

BSG - BAB.IV - HSSG - Babak-04

BALADA SWANDARU GENI
Bab IV: Hilangnya Seorang Swandaru Geni
Babak – 04



Mendengar pertanyaan Kiai Garda, Agung Sedayu terkejut dan terlihat ada rasa penyesalan yang menggelayuti perasaannya. Agaknya sikapnya yang tergesa-gesa dalam menyambut kedatangan Kiai Garda tadi telah menimbulkan salah tafsir.


“Kiai, aku tentu belum tahu keadaan adi Swandaru yang telah mengembara lebih dari satu bulan ini. Kalau tadi aku mengenal dan seolah mengetahui kedatangan Kiai hari ini, itu karena aku memang mendapat pemberitahuan terlebih dahulu dari seseorang”, - jawab Agung Sedayu dengan hati-hati.


Kiai Garda mengerutkan keningnya - ,”Darimanakah Ki Agung Sedayu mengetahui kedatanganku?”


Agung Sedayu menata letak duduknya sebelum kemudian menjawab pertanyaan Kiai Garda.


“Kiai, sesungguhnya kemarin malam aku sempat singgah di petilasan guru Kiai Gringsing seorang diri. Letaknya memang tidak terlalu jauh dari sini, meskipun juga tidak terlalu dekat. Malam itu aku memang gelisah dan memikirkan keberadaan adi Swandaru Geni yang sedang mengembara dan karenanya aku juga merindukan nasehat-nasehat dari guru Kiai Gringsing seandainya beliau masih ada”


Agung Sedayu berhenti sejenak sambil memandangi wajah Pandan Wangi yang duduk di samping istrinya Sekar Mirah.


“Sudah tentu aku tidak dapat menemui guru”, - lanjut Agung Sedayu kemudian - ,”Akan tetapi ketika aku duduk merenung seorang diri di batu petilasan dimana guru biasa duduk, tiba-tiba telah berdiri seseorang di depanku dengan begitu saja sambil mengucap salam. Beliau seolah-olah muncul dari dalam tanah, karena aku tidak mendengar suara atau langkah-langkahnya sama sekali. Dari beliau aku mendapat banyak nasehat dan keterangan tentang kedatangan Kiai pagi ini”


Kiai Garda menarik nafas dalam-dalam, agaknya ia sudah bisa menduga siapa yang datang dan menemui Agung Sedayu itu.


Melihat sikap Kiai Garda itu, Agung Sedayu terlihat tersenyum kecil – ,”Bukankah Kiai sudah bisa menduga siapa yang menemui aku malam itu?”



Disaat Kiai Garda mengangguk-anggukan kepalanya, semua yang hadir disitu justru sibuk menduga-duga. Bahkan karena tidak bisa menahan rasa penasarannya, terdengar suara Sekar Mirah yang seolah terloncat dari bibirnya begitu saja.


”Siapa kakang?”


Agung Sedayu tersenyum - ,”Beliau adalah guru Kiai Garda, Kanjeng Sunan Muria”


Semua yang mendengar jawaban Agung Sedayu tiba-tiba terdiam. Nama itu memang menggetarkan perasaan dan siapapun rasanya pernah berharap agar bisa bertemu dan memperoleh nasehatnya. Tidak dinyana Agung Sedayu justru telah di datangi Kanjeng Sunan dan telah pula memperoleh nasehat dan petunjuknya.


Keheningan itu berlangsung beberapa saat sebelum kemudian di pecahkan oleh suara Pandan Wangi.


“Kiai belum menjawab pertanyaanku”


“O”,- Kiai Garda seolah tergagap sambil memandangi Pandan Wangi - ,”Maafkan aku Nyi, sesungguhnya kedatanganku ini memang berhubungan dengan berita tentang Ki Swandaru”


Kiai Garda berhenti sejenak sambil memandangi semua yang hadir dan duduk di pendapa itu. Agaknya ia agak segan untuk bercerita di depan begitu banyak orang karena yang akan disampaikan adalah berita yang kurang baik. Akan tetapi Agung Sedayu yang memahami perasaan Kiai Garda itu segera menyela.


“Tidak apa-apa Kiai, semua yang hadir disini adalah keluarga dan berhak tahu keadaan adi Swandaru”


Kiai Garda mengangguk-angguk lalu terdengar suaranya agak pelan.


“Baiklah, aku minta maaf karena yang aku bawa memang bukan berita yang menggembirakan. Sesungguhnya aku baru mengenal Ki Swandaru sekitar dua pekan yang lalu sebagai seorang pengembara dengan nama Ki Gupala”


Suasana ruangan di pendapa itu mendadak menjadi tegang. Hampir semua yang hadir tanpa sadar telah bergeser mendekat Kiai Garda sambil memasang telinganya, tak terkecuali Pandan Wangi yang sangat berkepentingan atas berita tentang suaminya itu.

Demikianlah, dengan hati-hati Kiai Garda menceritakan hanya tentang pokok-pokok kejadian mulai terlibatnya Swandaru dalam sebuah pertarungan sengit dengan Watu Gempal hingga terluka parah. Saat-saat dimana keadaan terluka itu ternyata justru membuka mata hatinya untuk secepatnya pulang ke Sangkal Putung dan membatalkan niatnya untuk mengembara. Sepekan kemudian Kiai garda berpisah di halaman Kademangan sementara Swandaru pulang menuju Sangkal Putung.


Akan tetapi semuanya menjadi tanda tanya besar ketika pada malam harinya justru kuda yang bernama Turangga Kliwon yang di naiki Swandaru itu kembali ke Kademangan dengan tanpa penunggang tetapi masih membawa buntalan kain milik Swandaru.


Kiai Garda kemudian minta ijin dan berjalan menuju kudanya yang sedang makan rumput yang disediakan oleh para cantrik. Ia kemudian melangkah ke pendapa sambil membawa buntalan kain dan menyerahkannya kepada Pandan Wangi.


“Inilah buntalan kain yang dibawa Ki Swandaru Nyi, aku minta maaf karena telah membukanya untuk meyakinkan keadaan saat itu”


Pandan Wangi tidak menjawab, melainkan langsung menerima buntalan kain yang cukup besar itu lalu membukanya. Selain beberapa lembar pakaian, Pandan Wangi menemukan pedang berukuran besar milik Swandaru yang gagangnya terbuat dari gading. Ia memang mengenalnya bahwa itu semua milik suaminya.


Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam, dicobanya untuk menenangkan hatinya meskipun sebenarnya ia sangat kuatir atas keadaaan suaminya itu. Tetapi umur Pandan Wangi yang terus merambat naik itu juga membuat sikap dan tanggapannya terlihat lebih tenang atas kejadian yang menimpa suaminya itu.


“Adakah Kiai sempat menyusuri jejak atas hilangnya kakang Swandaru itu?”, - tanya Pandan Wangi penuh harap.


Kiai Garda mengangukkan kepalanya sambil pandangannya menoleh kepada Agung Sedayu. Ia kemudian menceritakan usahanya menyelusuri jejak Swandaru hingga sampai ke sebuah pertemuan sungai yang cukup besar dengan aliran air yang sangat tenang. Diceritakannya dengan cukup detil tentang keberadaan dua buah pohon beringin tua di dua sisi sungai yang memotong sungai utama serta tidak lupa pula keberadaan sebuah rumpun bambu kuning tepat di seberang pertemuan sungai itu. Seolah rumpun bambu kuning itu bisa dikatakan sebagai sasaran alias ‘tusuk-sate’ atas mengalirnya air sungai diseberang.


“Sejujurnya, aku sempat duduk berdiam diri atau bersemedi untuk memahami keadaan disana, akan tetapi aku merasakan tekanan yang sangat besar pada daya pikir dan perasaanku. Seolah ada kekuatan besar yang sengaja menghalangi pandanganku dan disaat yang sama bahkan menyerang jiwaku. Sesungguhnya keadaan sungai yang oleh orang setempat di sebut Kali Belehan itu sangat mencengkam hati dan perasaanku. Kedatanganku kesini adalah untuk melaporkan hal ini serta minta bantuan khususnya kepada Ki Agung Sedayu yang aku yakin akan mampu mengatasi hal ini”, - suara Kiai Garda terdengar pelan seiring ia mengakhiri ceritanya.


“Ah”, - terdengar suara Agung Sedayu mendesah.


Kembali ruangan itu menjadi hening, angin pagi berhembus pelan dan cukup terasa mengusap kulit tubuh mereka yang duduk di pendapa itu. Tetapi kesejukan angin pagi itu tidak mampu membuat hati tenang dan bahkan kini sibuk dengan angan-angan masing-masing. Semua seolah merasakan bahwa kali ini keadaan Swandaru benar-benar sangat mengkhawatirkan.


“Bagaimana menurutmu kakang Agung Sedayu?”, - suara Pandan Wangi memecah kesunyian itu.


Agung Sedayu yang mendengar pertanyaan Pandan Wangi itu menoleh dan tidak langsung menjawab. Wajahnya yang biasanya tenang terlihat bersungguh-sungguh, ia tidak ingin asal menjawab  sekedar untuk menenangkan Pandan Wangi sementara sebenarnya hatinya sendiri juga gelisah.


“Wangi, marilah kita memohon ke hadapan Yang Maha Agung agar diberi petunjuk dan pertolongan atas keadaan adi Swandaru”, - jawabnya pelan, lalu menoleh kepada Kiai Garda - ,”Seberapa jauhkah sungai Belehan itu dari sini Kiai?”


“Sebenarnya Kali Belehan belum terlalu jauh dari Kademangan Krikilan, akan tetapi jika dari sini kita mungkin memerlukan waktu sekitar tiga-empat hari dengan berkuda”, - jawab Kiai Garda - ,”Jika Ki Agung Sedayu berkenan, aku berharap kita dapat berangkat siang ini juga. Aku mencemaskan keadaan Ki Swandaru, sesungguhnya saat bermeditasi di pinggir sungai itu aku merasakan adanya getar kehadiran Ki Swandaru di daerah tersebut, akan tetapi aku tidak mampu menjangkaunya lebih dalam”


Agung Sedayu mengangguk-anggukan kepalanya, agaknya keadaan benar-benar sangat mengkhawatirkan sehingga mau tidak mau ia harus bertindak cepat dan menindas semua keraguan yang biasanya selalu membayangi setiap keputusannya selama ini. Tetapi ia masih sempat mempersilahkan Kiai Garda untuk menghirup wedang sere yang tadi disajikan para cantrik dan nampaknya sudah mulai dingin.


“Kiai, mengingat waktu yang sedemikian mendesak marilah kita lakukan apa yang mungkin bisa kita lakukan saat ini. Jika berkenan, aku memohon dan mengundang Kiai Garda untuk memasuki sanggar terlebih dahulu. Semoga kita akan mampu menyatukan getar tubuh dan jiwa kita sehingga bisa mengetahui apa yang terjadi dengan adi Swandaru, dengan demikian kita bisa membuat sebuah perencanaan dengan baik”, - sambil mengakhiri kalimatnya Agung Sedayu segera berdiri.


Ki Widura segera mempersilahkan Kiai Garda untuk melangkah menuju sanggar yang letaknya di bagian belakang padepokan meskipun bukan di ujung. Sementara yang lain seolah tidak ada yang mau ketinggalan dan semuanya mengikuti masuk ke ruangan sanggar.


Tetapi sanggar itu memang cukup luas dan diperuntukkan untuk banyak orang sehingga kehadiran mereka bertujuh sama sekali tidak membuat sanggar itu terasa sempit.


Ki Widura, Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Glagah Putih serta Rara Wulan duduk agak menjauh dari Agung Sedayu dan Kiai Garda yang berada di tengah ruangan sambil duduk berhadapan. Meskipun  mereka kurang mengetahui tentang apa yang akan dilakukan oleh keduanya, tetapi mereka yakin bahwa kali ini Agung Sedayu akan mempergunakan sebuah cara yang tidak biasa.


Agung Sedayu dan Kiai Garda terlibat dalam pembicaraan yang sangat bersungguh-sungguh dengan suara seolah berbisik. Tidak ada yang mampu mendengar pembicaraan itu selain mereka berdua. Beberapa kali Kiai Garda mengerutkan keningnya lalu kemudian mengangguk-angguk ketika Agung Sedayu menjelaskan dengan kalimat agak panjang.


Sejenak kemudian Agung Sedayu justru bergeser dan kemudian duduk bersila justru di belakang Kiai Garda. Ia kemudian memberi isyarat dan minta agar Ki Widura dan Glagah Putih agar duduk mendekat.


“Paman Widura dan Glagah Putih, aku minta agar bisa menjaga kedua tubuh kami. Mungkin saja karena kelelahan kami berdua bisa ambruk, tetapi mungkin pula tidak terjadi apa-apa”, - katanya dengan nada rendah - ,”Mirah dan semuanya, tolong jaga pintu sanggar agar tidak ada satupun yang boleh masuk apalagi mengganggu kami. Marilah kita berdoa semoga apa yang akan kita lakukan ini memperoleh hasil dan petunjuk dari Yang Maha Kuasa”


Semua yang mendengar perkataan Agung Sedayu itu segera menggeser diri dan mencari posisi yang lebih sesuai. Sementara agaknya Ki Widura tidak dapat menahan hatinya, sehingga terloncatlah pertanyaan yang mewakili semua yang hadir disitu.


”Apakah yang akan kau lakukan Sedayu?”


Kembali Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam, dengan hati-hati ia kemudian menjawab - ,”Paman, aku akan mencoba menyelaraskan getar tubuh, pikiran dan perasaanku dengan Kiai Garda, lalu mudah-mudahan aku berhasil menerapkan ajian Rogoh-Sukma yang pernah aku pelajari meskipun belum pernah aku coba pergunakan. Dengan begitu mudah-mudahan kita bisa tahu dan dapat melihat lebih jelas keadaan di sekitar Kali Belehan itu dan apakah benar adi Swandaru memang disana”


Kiai Garda terlihat mengerutkan keningnya, demikian pula yang lain. Sudah tentu mereka semua pernah mendengar ajian yang disebut Rogoh Sukma itu, akan tetapi mereka sama sekali tidak menyangka bahwa Agung Sedayu ternyata menguasai ajian itu. Bahwa Agung Sedayu mampu membelah dirinya menjadi tiga orang, mereka semua bahkan pernah melihatnya, tetapi menguasai ajian Rogoh Sukma itu jauh dari pikiran mereka. Terlebih lagi sebagian masyarakat menganggap bahwa ajian Rogoh Sukma termasuk ilmu yang dekat dengan dunia kegelapan.


Sekar Mirah sendiri yang sehari-harinya tidak pernah terpisah dari Agung Sedayu hanya bisa menduga-duga, darimana suaminya itu menguasai ajian Rogoh Sukma itu - ,”Mungkin dari Kitab Ki Waskita yang sudah dihapal semua isinya oleh kakang Agung Sedayu”


“Sudahlah, aku akan mulai. Marilah kita semua memohon agar diberi petunjuk oleh Yang Maha Agung”, - kata Agung Sedayu sambil memperbaiki tempat duduk.


Demikianlah, akhirnya Agung Sedayu duduk dengan punggung tegak tepat di belakang Kiai Garda bahkan hampir berhimpitan. Untuk beberapa saat mereka mengatur diri dan duduk dalam kediaman dengan nafas yang sangat halus.

“Maaf Kiai”, - desis Agung Sedayu dengan suara pelan sebagai sopan-santun sambil menempatkan kedua tangannya diatas pundak Kiai Garda. Ini sekaligus sebagai aba-aba agar Kiai Garda bisa mulai memusatkan seluruh daya nalar, angan dan perasaannya menuntun menuju Kali Belehan.

Matahari belum mencapai puncaknya tetapi sinarnya memang sudah mulai terasa panas menyengat kulit. Sebagian atap bangunan sanggar itu sebenarnya masih ternaungi oleh mahkota pohon mangga yang tumbuh cukup lebat, akan tetapi ternyata keteduhannya sama sekali tidak mampu menurunkan hawa panas yang ada di dalam sanggar.


Angan dan perasaan Kiai Garda seolah sedang dipacu dengan gambaran-gambaran selain yang di inginkannya, yaitu jalan dan situasi menuju Kali Belehan. Berbagai pikiran dan peristiwa lain justru muncul mengganggunya sehingga ia justru menjauh dari Kali Belehan. Ini memang berbeda dengan apa yang sudah di lakukannya saat ia ada tepat di tepi Kali Belehan, tingkat kesulitannya ternyata berlipat puluhan kali.


Wajah Kiai Garda nampak mulai berkeringat, tanpa henti ia berusaha memusatkan seluruh perhatiannya pada titik yang ia kehendaki meskipun ternyata itu sulit. Adalah sebuah keniscayaan bahwa apa yang ingin kita fokuskan ternyata justru sulit tergapai dan justru tertutupi oleh bayangan-bayangan yang sama sekali tidak terpikirkan oleh kita.
Ketika kesulitan itu tidak juga teratasi, tiba-tiba Kiai Garda merasakan sebuah hawa sejuk yang mengalir memenuhi dadanya. Hawa sejuk itu berasal dari kedua tangan Agung Sedayu yang memegang pundaknya lalu kemudian mengalir memenuhi seluruh tubuh hingga ke kepalanya.


Saat itu Kiai Garda merasa hawa sejuk itu mengandung dorongan tenaga yang sangat besar yang mengalir dalam tubuh psikisnya dan menyibak tabir yang selama ini mengganggunya. Dengan cepat angan dan perasaannya mampu menjangkau Kali Belehan lalu menggapai titik sasaran yang di inginkannya, yaitu tepat di depan rumpun bambu kuning. Angan dan perasaan Kiai Garda itu kini ada tepat di tepi Kali Belehan dengan posisi yang memungkinkan untuk ‘ditusuk sate’.


Ketika Kiai Garda meyakini telah sampai pada titik tujuan, ia mengeraskan tubuhnya sesaat lalu segera dengan kesadaran penuh ia kemudian menutup sembilan lubang yang ada dalam tubuhnya. Ternyata tindakan Kiai Garda itu di ikuti oleh Agung Sedayu pada saat yang hampir bersamaan seolah tiada selisih waktu. Kini tubuh kedua orang yang duduk hampir berdempetan itu menjadi kaku seperti patung batu yang sama sekali tidak bergerak.


Bahkan Ki Widura dan Glagah Putih yang duduk dekat dengan keduanya sama sekali tidak mendengar degup jantung ataupun desah nafas dari keduanya.


“Agaknya inilah saatnya kakang Agung Sedayu melakukan ajian Rogoh Sukma. Tubuhnya sama sekali tidak bergerak sehingga jika ada orang yang bermaksud jahat, tentu kakang Agung Sedayu tidak dapat melindungi dirinya sendiri”, - desis Glagah Putih dalam hati, ia baru memahami mengapa Agung Sedayu berpesan agar tidak ada seorangpun yang boleh mengganggunya.


Matahari sudah naik hingga puncaknya dan perlahan-lahan mulai bergulir ke arah barat. Panas dalam ruangan sanggar itu sama sekali tidak berkurang dan bahkan ketegangan yang melanda mereka yang ada di dalam ruang itu semakin meningkat tajam.


Meskipun sama sekali tidak bergerak, akan tetapi dari kedua tubuh itu ternyata mengeluarkan keringat yang membasahi hampir seluruh wajahnya. Semakin lama keringat itu mengalir semakin deras sehingga selain wajah, kini bahkan baju yang dikenakan keduanya menjadi basah kuyup seperti habis direndam dalam air.


Sekar Mirah yang sudah terlalu sering melihat suaminya dalam kesulitan dan bahkan terluka parah itu masih juga menggigit bibirnya. Ia sadar bahwa keadaan yang sedang dilakukan oleh suaminya dan Kiai Garda saat ini juga mengandung sebuah bahaya yang cukup besar, akan tetapi ia sendiri tidak tahu bagaimana bisa membantu.


Ketegangan di ruangan itu terus meningkat tajam seolah tidak mempunyai titik puncaknya. Tidak ada yang bisa mereka lakukan untuk membantu selain hanya menunggu dan menjaga agar tidak ada seorangpun yang mengganggu.


Beberapa saat kemudian mereka melihat Agung Sedayu melepas nafas dengan cara yang sangat lembut dari mulutnya, yang kemudian di ikuti Kiai Garda. Keduanya kemudian secara bersamaan kembali menarik nafas dari hidung dan dikeluarkan melalui mulut dengan sangat perlahan dan hati-hati, seolah mereka khawatir desahan nafas mereka akan menyalakan bara yang ada dalam tubuh mereka menjadi api yang menyala-nyala.


Sesungguhnya, tubuh Kiai Garda dan Agung Sedayu terasa sangat lemah akibat memaksakan diri dalam memampatkan udara lalu menyibaknya untuk mencapai tujuan yang ada dalam angan dan perasaan mereka. Dengan cara ini keduanya seolah baru saja melipat jarak dan waktu dalam seketika. Akan tetapi hal itu telah menguras tenaga keduanya sehingga seolah-olah tidak tersisa.


Ketika Agung Sedayu kemudian menarik kedua tangannya yang tadi melekat di pundak Kiai Garda, tangan itu seolah jatuh tanpa tertahankan.


Sambil memperbaiki kondisi badannya Agung Sedayu bergeser sehingga bisa melihat wajah Kiai Garda yang nampak pucat dan masih duduk dengan lemahnya. Dengan mata nanar, mereka bertatapan mata dengan wajah kuatir.


“Onggo-Inggi”,- desah keduanya hampir bersamaan.



Salam,


No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...