BALADA
SWANDARU GENI
Bab IV:
Hilangnya Seorang Swandaru Geni
Babak – 05
-------
Mohon ijin
kangmas, mbokayu…
Ternyata
sulit untuk bisa bertahan dengan menulis hanya terbatas pada kosa kata yang dipakai
Ki SHM saat beliau menulis ADBM. Jikapun ada padanan kata-nya, akan tetapi
ternyata kurang tepat dan kurang memberikan efek ‘AHA’ pada para pembaca.
Karena itu,
mohon maaf, jika pada tulisan ini dan mungkin berikutnya para sanak-kadang akan
menemukan kata-kata yang tidak pernah di pakai oleh Ki SHM, misalnya : Aura,
Energi, Fokus, positif, mengkristal, dll…
tetapi mudah-mudahan tidak banyak.
Tetapi jika
memungkinkan, saya tetap berusaha menghindari kata2 tsb…sebagaimana saya tetap
akan menuliskan kata ‘memusatkan nalar
budi’ untuk kata meditasi atau semedi, atau ‘menjalankan kewajiban setelah
sebelumnya bersuci’ – untuk berwudhu dan sholat..
Sembahnuwun,
Ries
--------
Semua yang
mendengar perkataan Kiai Garda dan Agung Sedayu yang diucapkan secara bersamaan
itu menjadi terperanjat dan bertanya-tanya. Hampir semuanya pernah mendengar
tentang hantu Onggo-Inggi yang merupakan makhluk halus penunggu tempuran sungai
atau kedung, akan tetapi tidak ada seorangpun yang benar-benar pernah
melihatnya. Bahkan seiring bertambahnya usia, mereka menganggap bahwa
Onggo-Inggi hanyalah sekedar makhluk rekaan para orang-tua untuk menakut-nakuti
anaknya agar tidak terlalu sering main atau mandi di sungai.
Tetapi kini,
ketika semuanya dalam keadaan yang sangat menegangkan dan penuh kekhawatiran
atas nasib Swandaru, ternyata Kiai Garda dan Agung Sedayu telah mengucapkannya
nama makhluk itu dengan jelas.
“Tidak
mungkin kakang Agung Sedayu sempat bergurau dalam situasi ini. Apakah makhluk
Onggo-Inggi itu benar-benar ada”, - Glagah Putih yang duduk dekat dengan Agung
Sedayu sibuk menerka-nerka.
“Glagah
Putih, tolong suruh seorang cantrik untuk mengambil dua buah kelapa muda. Aku
kira kami sangat memerlukannya untuk memulihkan tubuh yang lemah dan hampir
kehabisan cairan dalam tubuh ini”
Suara Agung
Sedayu yang lemah itu ternyata telah mengejutkan Glagah Putih yang dengan cepat
segera berjingkat dan setengah berlari menuju pintu keluar sanggar. Ada puluhan
pohon kelapa yang tumbuh mengelilingi batas belakang padepokan ini sehingga ia
akan dapat memperolehnya dengan mudah.
Sementara
itu Kiai Garda dan Agung Sedayu kembali duduk bersila sambil berusaha mengatur
pernafasan. Tetapi yang mereka lakukan kali ini adalah justru kebalikan dari
sebelumnya, yaitu untuk memulihkan tenaga yang baru saja membanjir keluar.
Dalam waktu yang tidak lama mereka berdua sudah menemukan keseimbangan dan keselarasan
dalam tubuh dengan udara disekitarnya. Kesegaran kini mulai merayapi tubuh
keduanya dan menghapus wajah yang tadinya pucat memutih. Apalagi setelah
meneguk air kelapa muda yang merembes ke dalam aliran darah dan urat-urat tubuh
yang tadi begitu tegang setelah dipaksa untuk menembus pampatnya udara serta melipat
jarak dan waktu.
Hati Pandan
Wangi dan Sekar Mirah menjadi semakin gelisah. Matahari sudah melewati
puncaknya, akan tetapi hingga kini mereka masih belum tahu apa yang terjadi
atas diri Swandaru dan apa yang kemudian harus mereka lakukan. Jika menuruti
kata hati, mereka berdua ingin segera berpacu menuju Kali Belehan itu dan
mengobrak-abrik apapun yang ada disana untuk menemukan Swandaru.
Akan tetapi
keduanya sadar bahwa pilihan terbaik saat ini adalah menunggu Agung Sedayu dan
juga Kiai Garda.
“Bagaimana
kakang, apakah memang kakang Swandaru ada disana? Lalu apakah kakang dan Kiai
Garda melihat dan bertemu dengan yang namanya Onggo-Inggi itu?”, - Sekar Mirah
tidak dapat menahan hatinya untuk bertanya.
Agung Sedayu
yang merasakan badannya sudah segar itu memandang ke arah Kiai Garda yang
langsung mengangguk sambil menjawab - ,”Silahkan Ki Agung Sedayu yang
menjelaskan keadaanya, agaknya yang aku lihat tidak sebanyak yang di lihat Ki
Agung Sedayu”
“Ah, tentu
bukan begitu”, - desah Agung Sedayu -,”Tetapi baiklah biarlah aku yang
berbicara”
Tanpa sadar
mereka semua menggeser duduknya agar lebih dekat ke Agung Sedayu dan Kiai
Garda. Sementara Agung Sedayu yang memahami rasa tegang dan kuatir dalam dada
semua yang hadir itu juga segera mencoba memberi penjelasan atas apa yang ia
lihat.
“Sejujurnya
Kali Belehan mempunyai aura yang jauh lebih mencekam dari bayanganku. Aku ingat
Guru dulu pernah bercerita bahwa tempuran atau sebuah tempat yang merupakan
pertemuan dua sungai, biasanya akan membawa aura yang sangat kuat. Sayangnya,
di tempuran Kali Belehan itu aku hanya merasakan aura kegelapan dan rasa pepat
yang terus menggerus jiwa dan perasaan”
Agung Sedayu
berhenti sejenak untuk mengatur kalimat berikutnya dengan hati-hati.
“ Keberadaan
dua pohon beringin tua disisi kanan dan kiri sungai, yang mahkotanya memayungi
separuh area tempuran itu seolah menebarkan racun yang menghalangi pandangan
mata dan pikiran kita. Terlebih keadaan dibawah permukaan air itu sangat pepat
dipenuhi kumpulan niat jahat yang telah tertimbun puluhan tahun lamanya. Ini bukan
berupa benda padat yang bisa di jamah, melainkan lebih pada mengkristalnya aura
jahat yang kemudian membentuk tirai bagi siapapun untuk bisa berpikir jernih. Ternyata di balik tirai itulah
adi Swandaru sekarang berada”, - nada suara Agung Sedayu terdengar turun dan
melemah.
Pandan Wangi
dan Sekar Mirah merasa betapa hati mereka tercekat. Sama sekali tidak terpikir
di hati mereka bahwa pengembaraan Swandaru akan mengalami hal yang sedemikian
buruk. Sebagai seorang yang menggeluti dunia olah kanuragan, mereka sadar bahwa
mati atau terbunuh adalah satu kemungkinan yang dapat terjadi kapan saja dan
dimana saja. Akan tetapi mereka sama sekali tidak pernah membayangkan akan
berubah dalam hal kepribadian, atau dalam hal ini berubah menjadi pribadi yang
jahat apapun alasannya. Kini ternyata Swandaru ada di jalan itu yang
memungkinkan ia mati atau hidup tetapi dengan kepribadian yang berubah.
Meskipun
hati Pandan Wangi dan Sekar Mirah dan bahkan semua yang ada disitu terasa gegap
gempita, akan tetapi mulut mereka kini seolah terkunci. Mereka diam menunduk
sambil menunggu penjelasan Agung Sedayu selanjutnya.
Agung Sedayu
yang melihat dan merasakan suasana itu segera berkata.
“Akan tetapi
sebagaimana di dunia ini ada baik dan buruk, ada siang dan malam, ternyata Yang
Maha Agung juga senantiasa memberi petunjuk dan pertolongan bagi kita yang
memohon. Sebagaimana di ceritakan oleh Kiai Garda, diseberang tempuran itu
terdapat serumpun pohon bambu kuning yang tumbuh dengan suburnya. Bambu kuning
ini mempunyai sifat dan energi positif yang sangat besar yang sayangnya tidak
semua orang menyadari. Di balik rumpun bambu inilah aku berhasil menempatkan
diriku sehingga agak terbebas dari semua pengaruh yang menghalangi, sehingga
aku berhasil menyibak apa yang ada di balik tirai pepat itu”
Sebenarnya tidak
seorangpun yang ingin memotong cerita Agung Sedayu, tetapi Agung Sedayu sendiri
sengaja berhenti bercerita agar tidak lebih menimbulkan rasa kuatir yang
berlebihan. Hal itu membuat Pandan Wangi dan Sekar Mirah justru sangat
penasaran, sehingga mereka mengejar dengan pertanyaan beruntun.
“Jadi,
dimanakah sebenarnya kakang Swandaru itu dan apakah dia masih hidup kakang?”, -
suara Pandan Wangi itu seolah tercekat di kerongkongannya.
Agung Sedayu
menarik nafas dalam-dalam - ,”Adi Swandaru masih hidup, hanya saja ia dalam
penguasaan seseorang dan kondisinya cukup mengkhawatirkan”
“Onggo-Inggi
itu?”, - kini Sekar Mirah yang mengejar.
Tidak
disangka Agung Sedayu justru menggelengkan kepalanya, lalu ia menjawab dengan
suara yang ditekan.
“Onggo-Inggi
itu hanyalah makhluk yang ditugaskan untuk menjaga adi Swandaru, Mirah. Aku
kira Kiai Garda maupun aku tidak terlalu kuatir jika menghadapi makhluk ini.
Akan tetapi di balik semua peristiwa ini ada seseorang yang justru sangat menakutkan,
ia menguasai semua yang ada di tempuran Kali Belehan itu. Inilah yang harus
kita cari dan hadapi agar bisa membebaskan adi Swandaru”
Betapa
terperanjatnya semua yang mendengar perkataan Agung Sedayu itu.
Ki Widura,
Glagah Putih dan Rara Wulan merasakan betapa keadaan yang mereka hadapi
nantinya menjadi sangat tidak terduga. Demikian pula yang dirasakan Pandan
Wangi dan Sekar Mirah. Saat mereka mendengar makhluk yang disebut Onggo-Inggi,
mereka sudah membayangkan betapa menakutkan dan mengerikan keadaan yang dialami
Swandaru. Kini ternyata Agung Sedayu malah mengatakan bahwa di balik
Onggo-Inggi itu justru ada orang atau makhluk lain yang lebih menakutkan dan
sangat merisaukan Agung Sedayu.
“Lalu apa
yang harus kita lakukan kakang?”, - suara Pandan Wangi hampir tidak terdengar.
Agung Sedayu
tidak langsung menjawab melainkan menoleh kepada Kiai Garda. Akan tetapi
sebelum ia mengajukan pertanyaan Kiai Garda langsung berucap.
“Ki Agung
Sedayu, aku menyerahkan semua rencana kepada Ki Agung Sedayu. Aku akan siap
untuk mendukung apapun yang harus kita lakukan agar bisa membebaskan kembali Ki
Swandaru?”, - ucap Kiai Garda cepat.
Sesungguhnya,
meskipun baru bertemu, akan tetapi Kiai Garda merasakan betapa ternyata Agung
Sedayu mempunyai sikap, kemampuan dan penglihatan yang sangat tajam dan jauh ke
depan. Diam-diam muncul rasa kagum yang sedemikian besar atas diri murid tertua
dari Kiai Gringsing itu.
“Aku sendiri
hanya mampu melihat Onggo-Inggi itu, akan tetapi Ki Agung Sedayu mampu melihat
apa yang ada dibaliknya. Tidak heran Kanjeng Sunan Muria berkenan menemui Ki
Agung Sedayu secara langsung. Agaknya kemampuan Ki Agung Sedayu itu sudah
mendekati kemampuan guru Kiai Gringsing. Sangat jauh dengan kemampuan Ki
Swandaru”, - tanpa sadar Kiai Garda mereka-reka dalam hati.
Dalam
ketidakpastian atas apa yang akan mereka lakukan itu, Agung Sedayu yang tadinya
menunduk sambil berpikir keras itu tiba-tiba saja mengangkat wajahnya dan memandang
Pandan Wangi.
“Wangi, aku
mempunyai sebuah pemikiran atau rencana. Akan tetapi apakah kau mengijinkan
apabila dalam hal ini nanti akan melibatkan Gilang?”, - tanya Agung Sedayu pelan.
“Apa
maksudmu kakang?”, - Pandan Wangi tidak menjawab justru balik bertanya.
“Wangi,
meskipun Gilang masih anak-anak, akan tetapi ia adalah anak pemberani dan
mempunyai kemampuan yang cukup khususnya dalam melindungi diri. Sudah tentu akan
ada resiko dan bahaya yang mengancamnya jika ia kau ijinkan ikut dalam rencana
ini, dan itu tugas kita semua untuk melindunginya. Akan tetapi aku merasa bahwa
dalam hal ini Gilang akan mempunyai peran yang sangat besar untuk membebaskan
adi Swandaru”, - tiba-tiba wajah Agung Sedayu menjadi cerah seolah ia menemukan
sebuah cara yang diyakininya bisa berhasil.
“Aku sungguh
tidak memahami maksudmu kakang? Lalu akan kita suruh apakah Gilang yang masih
bocah itu”, - suara Pandan Wangi justru penuh kekhawatiran.
“Lihatlah,
ini aku ambil dari Kali Belehan!”, - kata Agung Sedayu pendek.
Selesai
berkata, tiba-tiba tangan Agung Sedayu meraih sesuatu di balik bajunya dan
ketika tangan itu dikeluarkan maka nampak ada beberapa carang bambu kuning yang
berukuran kecil dan pendek ditangannya.
Bukan main
terkejutnya Kiai Garda, agaknya carang bambu kuning itu memang di ambil Agung
Sedayu sewaktu melakukan ajian Rogoh Sukma di tepi Kali Belehan. Ini adalah
sebuah bukti bahwa dengan ilmunya itu Agung Sedayu tidak saja melipat jarak dan
waktu dengan jiwa dan angannya, melainkan ia bisa membawa fisiknya dalam laku
tersebut. Dada Kiai Garda menjadi lebih berdebar-debar, ia merasa kecil di
hadapan murid tertua Kiai Gringsing itu.
“Nah,
marilah, aku akan mencoba menguraikan rencana kita”, - lanjut Agung Sedayu
seolah tidak menghiraukan apa yang ada dalam benak Kiai Garda.
Sebenarnyalah
matahari semakin condong ke barat, para cantrik mulai menggiring beberapa ekor kambing
dan ayam yang menjadi peliharaan mereka sehari-hari menuju kandangnya. Sinar
matahari yang berwarna merah muda masih bisa masuk menembus dinding kandang
yang terbuat dari anyaman bambu yang membuat beberapa ekor kambing itu ingin
berontak keluar. Akan tetapi dengan sigap cantrik itu mencegahnya dan kembali
menggiring masuk kandang.
Hingga gelap
turun, mereka baru keluar dari sanggar dan Agung Sedayu mempersilahkan Kiai
Garda dan yang lain beristirahat. Sementara Agung Sedayu justru mencari dan
menemui Gilang yang sedang turun dari pohon bambu air, lalu mengajaknya keluar
menuju sungai di belakang padepokan.
“Marilah
Gilang, malam ini kita tidak mempunyai banyak waktu. Kau harus mampu
mempertajam kemampuan bidikmu atas satu titik yang tersembunyi sekalipun”, -
suara Agung Sedayu itu seolah penyemangat bagi Gilang untuk berlatih lebih
sungguh-sungguh.
Salam,
No comments:
Post a Comment