Monday, July 10, 2017

BSG - BAB.IV - HSSG - Babak-05

BALADA SWANDARU GENI
Bab IV: Hilangnya Seorang Swandaru Geni
Babak – 05


------- 
Mohon ijin kangmas, mbokayu…

Ternyata sulit untuk bisa bertahan dengan menulis hanya terbatas pada kosa kata yang dipakai Ki SHM saat beliau menulis ADBM. Jikapun ada padanan kata-nya, akan tetapi ternyata kurang tepat dan kurang memberikan efek ‘AHA’ pada para pembaca.

Karena itu, mohon maaf, jika pada tulisan ini dan mungkin berikutnya para sanak-kadang akan menemukan kata-kata yang tidak pernah di pakai oleh Ki SHM, misalnya : Aura, Energi, Fokus, positif,  mengkristal, dll… tetapi mudah-mudahan tidak banyak.

Tetapi jika memungkinkan, saya tetap berusaha menghindari kata2 tsb…sebagaimana saya tetap akan  menuliskan kata ‘memusatkan nalar budi’ untuk kata meditasi atau semedi, atau ‘menjalankan kewajiban setelah sebelumnya bersuci’ – untuk berwudhu dan sholat..

Sembahnuwun,
Ries

-------- 



Semua yang mendengar perkataan Kiai Garda dan Agung Sedayu yang diucapkan secara bersamaan itu menjadi terperanjat dan bertanya-tanya. Hampir semuanya pernah mendengar tentang hantu Onggo-Inggi yang merupakan makhluk halus penunggu tempuran sungai atau kedung, akan tetapi tidak ada seorangpun yang benar-benar pernah melihatnya. Bahkan seiring bertambahnya usia, mereka menganggap bahwa Onggo-Inggi hanyalah sekedar makhluk rekaan para orang-tua untuk menakut-nakuti anaknya agar tidak terlalu sering main atau mandi di sungai.


Tetapi kini, ketika semuanya dalam keadaan yang sangat menegangkan dan penuh kekhawatiran atas nasib Swandaru, ternyata Kiai Garda dan Agung Sedayu telah mengucapkannya nama makhluk itu dengan jelas.


“Tidak mungkin kakang Agung Sedayu sempat bergurau dalam situasi ini. Apakah makhluk Onggo-Inggi itu benar-benar ada”, - Glagah Putih yang duduk dekat dengan Agung Sedayu sibuk menerka-nerka.


“Glagah Putih, tolong suruh seorang cantrik untuk mengambil dua buah kelapa muda. Aku kira kami sangat memerlukannya untuk memulihkan tubuh yang lemah dan hampir kehabisan cairan dalam tubuh ini”

Suara Agung Sedayu yang lemah itu ternyata telah mengejutkan Glagah Putih yang dengan cepat segera berjingkat dan setengah berlari menuju pintu keluar sanggar. Ada puluhan pohon kelapa yang tumbuh mengelilingi batas belakang padepokan ini sehingga ia akan dapat memperolehnya dengan mudah.


Sementara itu Kiai Garda dan Agung Sedayu kembali duduk bersila sambil berusaha mengatur pernafasan. Tetapi yang mereka lakukan kali ini adalah justru kebalikan dari sebelumnya, yaitu untuk memulihkan tenaga yang baru saja membanjir keluar. Dalam waktu yang tidak lama mereka berdua sudah menemukan keseimbangan dan keselarasan dalam tubuh dengan udara disekitarnya. Kesegaran kini mulai merayapi tubuh keduanya dan menghapus wajah yang tadinya pucat memutih. Apalagi setelah meneguk air kelapa muda yang merembes ke dalam aliran darah dan urat-urat tubuh yang tadi begitu tegang setelah dipaksa untuk menembus pampatnya udara serta melipat jarak dan waktu.


Hati Pandan Wangi dan Sekar Mirah menjadi semakin gelisah. Matahari sudah melewati puncaknya, akan tetapi hingga kini mereka masih belum tahu apa yang terjadi atas diri Swandaru dan apa yang kemudian harus mereka lakukan. Jika menuruti kata hati, mereka berdua ingin segera berpacu menuju Kali Belehan itu dan mengobrak-abrik apapun yang ada disana untuk menemukan Swandaru.


Akan tetapi keduanya sadar bahwa pilihan terbaik saat ini adalah menunggu Agung Sedayu dan juga Kiai Garda.


“Bagaimana kakang, apakah memang kakang Swandaru ada disana? Lalu apakah kakang dan Kiai Garda melihat dan bertemu dengan yang namanya Onggo-Inggi itu?”, - Sekar Mirah tidak dapat menahan hatinya untuk bertanya.


Agung Sedayu yang merasakan badannya sudah segar itu memandang ke arah Kiai Garda yang langsung mengangguk sambil menjawab - ,”Silahkan Ki Agung Sedayu yang menjelaskan keadaanya, agaknya yang aku lihat tidak sebanyak yang di lihat Ki Agung Sedayu”


“Ah, tentu bukan begitu”, - desah Agung Sedayu -,”Tetapi baiklah biarlah aku yang berbicara”


Tanpa sadar mereka semua menggeser duduknya agar lebih dekat ke Agung Sedayu dan Kiai Garda. Sementara Agung Sedayu yang memahami rasa tegang dan kuatir dalam dada semua yang hadir itu juga segera mencoba memberi penjelasan atas apa yang ia lihat.


“Sejujurnya Kali Belehan mempunyai aura yang jauh lebih mencekam dari bayanganku. Aku ingat Guru dulu pernah bercerita bahwa tempuran atau sebuah tempat yang merupakan pertemuan dua sungai, biasanya akan membawa aura yang sangat kuat. Sayangnya, di tempuran Kali Belehan itu aku hanya merasakan aura kegelapan dan rasa pepat yang terus menggerus jiwa dan perasaan”


Agung Sedayu berhenti sejenak untuk mengatur kalimat berikutnya dengan hati-hati.


“ Keberadaan dua pohon beringin tua disisi kanan dan kiri sungai, yang mahkotanya memayungi separuh area tempuran itu seolah menebarkan racun yang menghalangi pandangan mata dan pikiran kita. Terlebih keadaan dibawah permukaan air itu sangat pepat dipenuhi kumpulan niat jahat yang telah tertimbun puluhan tahun lamanya. Ini bukan berupa benda padat yang bisa di jamah, melainkan lebih pada mengkristalnya aura jahat yang kemudian membentuk tirai bagi siapapun untuk bisa  berpikir jernih. Ternyata di balik tirai itulah adi Swandaru sekarang berada”, - nada suara Agung Sedayu terdengar turun dan melemah.


Pandan Wangi dan Sekar Mirah merasa betapa hati mereka tercekat. Sama sekali tidak terpikir di hati mereka bahwa pengembaraan Swandaru akan mengalami hal yang sedemikian buruk. Sebagai seorang yang menggeluti dunia olah kanuragan, mereka sadar bahwa mati atau terbunuh adalah satu kemungkinan yang dapat terjadi kapan saja dan dimana saja. Akan tetapi mereka sama sekali tidak pernah membayangkan akan berubah dalam hal kepribadian, atau dalam hal ini berubah menjadi pribadi yang jahat apapun alasannya. Kini ternyata Swandaru ada di jalan itu yang memungkinkan ia mati atau hidup tetapi dengan kepribadian yang berubah.


Meskipun hati Pandan Wangi dan Sekar Mirah dan bahkan semua yang ada disitu terasa gegap gempita, akan tetapi mulut mereka kini seolah terkunci. Mereka diam menunduk sambil menunggu penjelasan Agung Sedayu selanjutnya.


Agung Sedayu yang melihat dan merasakan suasana itu segera berkata.


“Akan tetapi sebagaimana di dunia ini ada baik dan buruk, ada siang dan malam, ternyata Yang Maha Agung juga senantiasa memberi petunjuk dan pertolongan bagi kita yang memohon. Sebagaimana di ceritakan oleh Kiai Garda, diseberang tempuran itu terdapat serumpun pohon bambu kuning yang tumbuh dengan suburnya. Bambu kuning ini mempunyai sifat dan energi positif yang sangat besar yang sayangnya tidak semua orang menyadari. Di balik rumpun bambu inilah aku berhasil menempatkan diriku sehingga agak terbebas dari semua pengaruh yang menghalangi, sehingga aku berhasil menyibak apa yang ada di balik tirai pepat itu”


Sebenarnya tidak seorangpun yang ingin memotong cerita Agung Sedayu, tetapi Agung Sedayu sendiri sengaja berhenti bercerita agar tidak lebih menimbulkan rasa kuatir yang berlebihan. Hal itu membuat Pandan Wangi dan Sekar Mirah justru sangat penasaran, sehingga mereka mengejar dengan pertanyaan beruntun.


“Jadi, dimanakah sebenarnya kakang Swandaru itu dan apakah dia masih hidup kakang?”, - suara Pandan Wangi itu seolah tercekat di kerongkongannya.


Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam - ,”Adi Swandaru masih hidup, hanya saja ia dalam penguasaan seseorang dan kondisinya cukup mengkhawatirkan”


“Onggo-Inggi itu?”, - kini Sekar Mirah yang mengejar.


Tidak disangka Agung Sedayu justru menggelengkan kepalanya, lalu ia menjawab dengan suara yang ditekan.

“Onggo-Inggi itu hanyalah makhluk yang ditugaskan untuk menjaga adi Swandaru, Mirah. Aku kira Kiai Garda maupun aku tidak terlalu kuatir jika menghadapi makhluk ini. Akan tetapi di balik semua peristiwa ini ada seseorang yang justru sangat menakutkan, ia menguasai semua yang ada di tempuran Kali Belehan itu. Inilah yang harus kita cari dan hadapi agar bisa membebaskan adi Swandaru”


Betapa terperanjatnya semua yang mendengar perkataan Agung Sedayu itu.

Ki Widura, Glagah Putih dan Rara Wulan merasakan betapa keadaan yang mereka hadapi nantinya menjadi sangat tidak terduga. Demikian pula yang dirasakan Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Saat mereka mendengar makhluk yang disebut Onggo-Inggi, mereka sudah membayangkan betapa menakutkan dan mengerikan keadaan yang dialami Swandaru. Kini ternyata Agung Sedayu malah mengatakan bahwa di balik Onggo-Inggi itu justru ada orang atau makhluk lain yang lebih menakutkan dan sangat merisaukan Agung Sedayu.


“Lalu apa yang harus kita lakukan kakang?”, - suara Pandan Wangi hampir tidak terdengar.


Agung Sedayu tidak langsung menjawab melainkan menoleh kepada Kiai Garda. Akan tetapi sebelum ia mengajukan pertanyaan Kiai Garda langsung berucap.


“Ki Agung Sedayu, aku menyerahkan semua rencana kepada Ki Agung Sedayu. Aku akan siap untuk mendukung apapun yang harus kita lakukan agar bisa membebaskan kembali Ki Swandaru?”, - ucap Kiai Garda cepat.


Sesungguhnya, meskipun baru bertemu, akan tetapi Kiai Garda merasakan betapa ternyata Agung Sedayu mempunyai sikap, kemampuan dan penglihatan yang sangat tajam dan jauh ke depan. Diam-diam muncul rasa kagum yang sedemikian besar atas diri murid tertua dari Kiai Gringsing itu.


“Aku sendiri hanya mampu melihat Onggo-Inggi itu, akan tetapi Ki Agung Sedayu mampu melihat apa yang ada dibaliknya. Tidak heran Kanjeng Sunan Muria berkenan menemui Ki Agung Sedayu secara langsung. Agaknya kemampuan Ki Agung Sedayu itu sudah mendekati kemampuan guru Kiai Gringsing. Sangat jauh dengan kemampuan Ki Swandaru”, - tanpa sadar Kiai Garda mereka-reka dalam hati.

Dalam ketidakpastian atas apa yang akan mereka lakukan itu, Agung Sedayu yang tadinya menunduk sambil berpikir keras itu tiba-tiba saja mengangkat wajahnya dan memandang Pandan Wangi.


“Wangi, aku mempunyai sebuah pemikiran atau rencana. Akan tetapi apakah kau mengijinkan apabila dalam hal ini nanti akan melibatkan Gilang?”, - tanya Agung Sedayu pelan.


“Apa maksudmu kakang?”, - Pandan Wangi tidak menjawab justru balik bertanya.


“Wangi, meskipun Gilang masih anak-anak, akan tetapi ia adalah anak pemberani dan mempunyai kemampuan yang cukup khususnya dalam melindungi diri. Sudah tentu akan ada resiko dan bahaya yang mengancamnya jika ia kau ijinkan ikut dalam rencana ini, dan itu tugas kita semua untuk melindunginya. Akan tetapi aku merasa bahwa dalam hal ini Gilang akan mempunyai peran yang sangat besar untuk membebaskan adi Swandaru”, - tiba-tiba wajah Agung Sedayu menjadi cerah seolah ia menemukan sebuah cara yang diyakininya bisa berhasil.


“Aku sungguh tidak memahami maksudmu kakang? Lalu akan kita suruh apakah Gilang yang masih bocah itu”, - suara Pandan Wangi justru penuh kekhawatiran.


“Lihatlah, ini aku ambil dari Kali Belehan!”, - kata Agung Sedayu pendek.


Selesai berkata, tiba-tiba tangan Agung Sedayu meraih sesuatu di balik bajunya dan ketika tangan itu dikeluarkan maka nampak ada beberapa carang bambu kuning yang berukuran kecil dan pendek ditangannya.


Bukan main terkejutnya Kiai Garda, agaknya carang bambu kuning itu memang di ambil Agung Sedayu sewaktu melakukan ajian Rogoh Sukma di tepi Kali Belehan. Ini adalah sebuah bukti bahwa dengan ilmunya itu Agung Sedayu tidak saja melipat jarak dan waktu dengan jiwa dan angannya, melainkan ia bisa membawa fisiknya dalam laku tersebut. Dada Kiai Garda menjadi lebih berdebar-debar, ia merasa kecil di hadapan murid tertua Kiai Gringsing itu.


“Nah, marilah, aku akan mencoba menguraikan rencana kita”, - lanjut Agung Sedayu seolah tidak menghiraukan apa yang ada dalam benak Kiai Garda.


Sebenarnyalah matahari semakin condong ke barat, para cantrik mulai menggiring beberapa ekor kambing dan ayam yang menjadi peliharaan mereka sehari-hari menuju kandangnya. Sinar matahari yang berwarna merah muda masih bisa masuk menembus dinding kandang yang terbuat dari anyaman bambu yang membuat beberapa ekor kambing itu ingin berontak keluar. Akan tetapi dengan sigap cantrik itu mencegahnya dan kembali menggiring masuk kandang.

Hingga gelap turun, mereka baru keluar dari sanggar dan Agung Sedayu mempersilahkan Kiai Garda dan yang lain beristirahat. Sementara Agung Sedayu justru mencari dan menemui Gilang yang sedang turun dari pohon bambu air, lalu mengajaknya keluar menuju sungai di belakang padepokan.


“Marilah Gilang, malam ini kita tidak mempunyai banyak waktu. Kau harus mampu mempertajam kemampuan bidikmu atas satu titik yang tersembunyi sekalipun”, - suara Agung Sedayu itu seolah penyemangat bagi Gilang untuk berlatih lebih sungguh-sungguh.



Salam,



No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...