BALADA SWANDARU GENI
Bab 3 : Gilang Pamungkas
Babak – 24
Bab 3 : Gilang Pamungkas
Babak – 24
Wajah Swandaru terlihat sedikit menegang, diraihnya cambuk itu dan di timangnya dengan kedua tangannya. Ukuran cambuk itu memang jauh lebih kecil dibandingkan yang ia miliki, akan tetapi ia bisa melihat kemiripan yang ada dan bahkan akhirnya meyakini bahwa cambuk berjuntai panjang ini adalah sejenis dan pastilah di buat oleh gurunya dengan bahan janget kinatelon.
Sambil menoleh kepada Kiai Garda, ia kemudian mengajukan sebuah pertanyaan.
”Apakah itu artinya Kiai adalah termasuk keluarga atau anak murid dari guru, Kiai Gringsing?”, - suara Swandaru terdengar sungguh-sungguh.
“Ah,” – terdengar Kiai Garda mendesah - ,”Aku tidak seberuntung Ki Swandaru yang bahkan sudah menjadi murid utama Kiai Gringsing. Meskipun demikian sesungguhnya hatiku telah menganggap beliau adalah guruku khususnya dalam hal pengobatan”
Kiai Garda tidak meneruskan kalimatnya, sementara Swandaru tidak ingin menyela dan memberi kesempatan Kiai Garda untuk menyusun kalimatnya.
“Sesungguhnya, dalam sebuah peristiwa aku dan keluargaku pernah mendapat pertolongan tangan dari guru Kiai Gringsing”, - Kiai Garda mulai bercerita, suaranya terdengar sedikit parau - ,”Ketika itu usiaku sekitar tujuh atau delapan tahun, sebuah musibah menimpa keluarga kami. Ayahku adalah keturunan Demang, tetapi pada saat yang sama ia banyak melakukan perjalanan sebagai seorang saudagar khususnya yang berkaitan dengan batu mulia dan wesi aji. Ketika melakukan perjalanan, Ayah biasa menghabiskan waktu sekitar satu hingga tiga bulan. Saat itulah datang gerombolan dari Nusakambangan dan menculik aku serta ibuku tanpa perlawanan. Kami disekat di sebuah tempat yang menjadi sarang sementara mereka yaitu di Bukit Nambangan”
“Pemimpin gerombolan itu memang mempunyai sejarah permusuhan yang panjang dengan keluarga kami atau khususnya dengan eyang Pandan Alas sebagai eyang guru kami. Mereka menuntut diadakan pertukaran antara kami dengan beberapa barang berharga dari Ayah khususnya pusaka Kiai Sigar Penjalin. Hingga berhari-hari perundingan belum bisa dilakukan karena mencari keberadaan Ayah dan kenyataan bahwa sebenarnya pusaka Kiai Sigar Penjalin tidak di tangan Ayah”, - suara Kiai Garda terdengar semakin dalam - ,”Dalam masa penyekapan itu, ibuku bahkan sudah pernah mencoba bunuh diri karena takut diperlakuan tidak senonoh oleh gerombolan itu. Saat itulah guru Kiai Gringsing muncul dan menyelamatkan kami berdua. Mengingat jumlah gerombolan yang begitu banyak dan mempunyai kemampuan yang cukup tinggi, guru Kiai Gringsing sengaja mengajak kami melarikan diri di malam hari. Belakangan aku baru tahu bahwa sesungguhnya saat itu guru Kiai Gringsing sedang mesu diri dan mencari atau meramu obat untuk penyembuhan sebuah penyakit yang melanda sebuah padukuhan. Beliau sudah sangat mengenal keadaan bukit Nambangan dengan baik, dan kami berdua dilemparkan begitu saja ke dalam sebuah jurang yang cukup dalam, sementara beliau seolah terbang turun mendampingi tubuh kami yang melayang jatuh”
“Ternyata kami berdua jatuh di permukaan yang sangat lunak, yaitu diatas ranting-ranting kecil yang ditutupi dengan dedaunan yang sangat tebal. Agaknya guru Kiai Gringsing sudah merencanakan penyelamatan itu dengan seksama sehingga kami tidak mengalami luka yang berarti”
Swandaru yang mendengar cerita Kiai Garda sengaja tidak memotongnya dengan pertanyaan. Ia sadar bahwa kenangan itu cukup membekas di hati Kiai Garda yang kini menceritakannya dengan perasaan kurang mapan.
“Kami berdiam diri di sebuah goa yang ditemukan oleh guru Kiai Gringsing selama kurang lebih dua bulan. Selama itu guru sering pergi keluar untuk memeriksa keadaan para gerombolan yang terus mencari kami, sementara beliau juga mencari keterangan tentang keberadaan Ayah kami yang ternyata belum juga ada berita”, - Kiai Garda melanjutkan ceritanya - ,”Di sela-sela waktu itulah, di kesempatan luang aku banyak mendapatkan petuah dan petunjuknya. Aku bahkan berkesempatan mendampingi guru dalam meramu dedaunan yang kemudian menjadi borehan atau harus diminum yang semua kami cobakan ke beberapa ekor kelinci sebagai bahan penelitian. Beliau mengenalkan tentang jenis-jenis tanaman yang mempunyai khasiat sebagai obat dan juga beberapa jenis jamur yang justru beracun dan bagaimana cara meramunya. Di suatu pagi yang cerah, guru Kiai Grinsing bahkan membuatkan aku cambuk kecil ini dengan pesan agar jika menemui kesulitan ia dapat mencari orang yang dikenal sebagai orang bercambuk”
Mata Kiai Garda menerawang jauh seolah ia sedang berada di masa ketika itu.
“Aku sebenarnya sangat ingin menggunakan dan mencoba cambuk itu, bagaimana ia meledak dan dapat menghalau beberapa binatang kecil yang kadang nyelonong masuk ke goa. Akan tetapi guru Kiai Gringsing selalu melarangku, karena saat itu kami masih dalam kepungan gerombolan Nusakambangan. Mereka berkeyakinan bahwa kami masih belum lari jauh karena sesungguhnya mereka telah mengepung dan mengawasi daerah bukit ini dengan ketat. Ibaratnya, bahkan lalatpun tidak akan lepas dari pengamatan mereka. Suara cambuk tentu akan mengundang mereka untuk turun ke bawah mencari kami bagaimanapun sulitnya”
“Hingga pada suatu malam, sayup-sayup kami mendengar suara ledakan-ledakan dahsyat diatas bukit Nambangan itu. Saat itu aku hanya berdua dengan ibuku karena guru Kiai Gringsing telah pergi sejak pagi untuk memeriksa keadaan diatas bukit. Hati kami dipenuhi rasa kuatir dan was-was. Meskipun selama ini kami belum pernah melihat, tetapi kami meyakini bahwa suara cambuk itu pastilah milik guru Kiai Gringsing yang sedang bertarung dengan gerombolan Nusakambangan itu. Di dalam goa yang gelap dan dingin itu kami berdua hanya mampu melantunkan doa. Ibuku yang meskipun kondisi fisiknya sudah membaik dan bahkan bisa di bilang sangat sehat, akan tetapi hatinya dipenuhi oleh rasa kuatir dan bahkan ketakutan akan jatuh lagi di tangan gerombolan itu”
“Pertarungan di atas bukit itu nampaknya sangat sengit, ledakan-ledakan itu susul menyusul tiada henti hingga menjelang pagi hari. Ketika fajar menyingsing, kami dikejutkan oleh kehadiran guru Kiai Gringsing yang menggendong seseorang di kedua tangannya. Orang dalam gendongan itu terlihat sangat lemah bahkan ternyata telah pingsan. Sementara ditubuh guru Kiai Gringsingpun terlihat bererapa goresan berdarah dan kondisinya juga lemah. Ketika kami dekati, ibuku langsung menjerit dan menubruk orang dalam gendongan guru yang ternyata adalah Ayahku”
Kiai Garda menghentikan ceritanya sejenak sambil menelan ludah, ia seolah dibebani rasa bersalah.
“Sesungguhnya telah terjadi kesalah-pahaman yang tajam antara Ayah dengan guru Kiai Gringsing. Ayah memang mempunyai sifat yang teramat keras dan mudah tersinggung. Setelah membantu Ayah menghadapi dan membasmi gerombolan Nusakambangan, ternyata guru Kiai Gringsing harus menjalani perang tanding melawan Ayah hanya karena salah paham. Padahal selama di tolong, guru selalu memperlakukan kami berdua dengan sangat baik dan aku tahu persis bahwa guru Kiai Gringsing tidak pernah bersikap kurang ajar khususnya terhadap ibuku”
“Ah, sesungguhnya sikap cemburu Ayah yang membabi buta itu telah menyakiti hati guru Kiai Gringsing”, - mata Kiai Garda menjadi redup - ,”Bagaimanapun juga Ayah tidak mampu mengalahkan guru Kiai Gringsing, meski dengan terpaksa guru harus membuat sekujur tubuh Ayah terluka bahkan akhirnya pingsan. Aku ingat sekali betapa wajah guru begitu sedih ketika memberitahu kejadian diatas bukit. Beliau lalu memberi petunjuk kepadaku bagaimana harus merawat Ayah, bahkan beliau juga meninggalkan beberapa catatan tentang ramuan yang harus ku buat untuk Ayah. Entah mengapa, saat itu aku merasa kehilangan kesempatan untuk menjadi orang yang dekat beliau, atau dengan kata yang lebih tegas, aku kehilangan kesempatan untuk menjadi muridnya. Akhirnya aku dan ibuku hanya bisa melihat punggungnya yang melangkah menjauh meninggalkan kami bertiga di dasar jurang itu”
Suasana bilik itu menjadi hening untuk beberapa lama. Tanpa dapat dicegah nafas Kiai Garda terasa agak memburu karena mengingat peristiwa yang sudah di alaminya puluhan tahun silam.
Swandaru yang cukup maklum dengan keadaan Kiai Garda berusaha berkata dengan suara pelan.
“Kiai, menurut pengenalanku selama ini, guru bukanlah seorang pendemdam. Aku yakin beliau maklum dengan peristiwa saat itu dan tidak mengingatnya sebagai suatu hal yang menyakitkan hati”
Mendengar perkataan Swandaru itu, Kiai Garda bagaikan seorang yang sedang di ingatkan.
“Tentu Ki, aku juga sangat yakin akan kebesaran jiwa guru Kiai Gringsing. Hanya saja kami sebagai keluarga yang pernah berbuat kesalahan, hal itu terasa sangat membebani khususnya Ibu dan Ayah yang di kemudian hari baru tersadarkan. Sayangnya, Ayah dan Ibu sama sekali tidak sempat untuk meminta maaf hingga akhir hayat mereka berdua”
Mata Kiai Garda tiba-tiba terasa panas - ,”Sesungguhnya ibu sangat kecewa dan marah dengan sikap Ayah sehingga hal itu sering menimbulkan pertengkaran hebat di antara keduanya. Puncaknya ibu memilih pulang ke rumah kakek dan hidup menyendiri hingga meninggal”
“Ah..”, - Swandaru ikut mendesah.
Mereka berdua terdiam dengan lamunan masing-masing.
“Tidak selamanya niat dan perbuatan baik itu menghasilkan balasan sesuai harapan kita. Guru Kiai Gringsing adalah pribadi yang bersih dan selalu memikirkan kepentingan orang lain. Bahkan hingga beliau tutup usia kini, beliau mengabaikan kepentingannya sendiri dan tidak pernah menikah. Guru Kiai Gringsing adalah contoh bagi kita akan sempurnanya beliau dalam menahan hawa nafsu”,- desis Kiai Garda dengan suara lirih.
Namun suara yang lirih itu terasa bagai pukulan keras yang kembali menghantam dada Swandaru. Tabiat dan perangai gurunya yang bersih dan lurus itu seolah menjadi pengingat yang menelanjangi tingkah lakunya selama ini.
Dengan menekan perasaan, Swandaru berusaha menyusulinya dengan pertanyaan lanjutan.
”Apakah sejak saat itu Kiai tidak pernah bertemu guru sama sekali?”
Wajah Kiai Garda nampak sedikit ragu-ragu, namun ia kemudian berkata dengan suara pelan.
“Sesungguhnya beberapa tahun yang lalu aku bertemu dengan guru ketika beliau berkunjung ke Kanjeng Sunan di lereng gunung Muria. Aku pernah nyantrik di Kanjeng Sunan belasan tahun dan saat berkunjung kesana ternyata itu bersamaan dengan kunjungan guru Kiai Gringsing. Itulah pertemuan kami yang kedua dan ternyata juga yang terakhir”
“Pertemuan itu sangat berarti dan penting bagi-ku Ki Swandaru dan seperti keyakinan kita akan kebesaran hati guru Kiai Gringsing, ternyata beliau sama sekali tidak menyimpan sakit hati apalagi dendam. Beliau masih mengingat aku dan minta agar menyimpan cambuk ini dengan baik”
Kembali Swandaru mengangguk-anggukan kepalanya, diam-diam ia menilai dalam hati -,”Pantaslah Kiai Garda mempunyai kemampuan yang begitu tinggi. Disamping keturunan dari perguruan Ki Ageng Pandan Alas dari Gunung Kidul, ia juga merupakan santri dari Kanjeng Sunan Muria. Tanpa banyak kesulitan ia mampu merobohkan Hantu Laut dan ditubuhnya hampir tidak ada luka sama sekali”
Akan tetapi yang muncul dari mulut Swandaru adalah justru pertanyaan yang lain.
“Kapankah pertemuan terakhir Kiai dengan guru Kiai Gringsing itu?”
Kiai Garda terlihat mengerinyitkan alisnya sebelum kemudian menjawab.
“Aku ingat sekali, saat itu adalah awal bulan Suro, dimana Kanjeng Sunan memang mempunyai sebuah gawe yang diadakan setiap setahun sekali. Ada banyak tamu yang datang, akan tetapi guru Kiai Gringsing bukanlah tamu sebagaimana yang lainnya yang datang melalui pintu depan. Beliau tiba-tiba saja muncul di ruang dalam Kanjeng Sunan dan bahkan ketika meninggalkan lereng Muria tidak seorangpun yang mengetahuinya. Adalah sebuah keberuntungan bagiku ketika Kanjeng Sunan memanggilku dan mempertemukan aku dengan guru Kiai Gringsing yang sekian lama membebani hati kami sekeluarga”
“Kapankah tepatnya pertemuan itu Kiai?”
“Ki Swandaru”, - Kiai Garda menjawab sambil menajamkan ingatannya -,”Saat itu mendung di Madiun sangat tebal dalam hubungannya dengan Mataram. Guru Kiai Gringsing ternyata telah melakukan perjalanan jauh ke bang wetan untuk menemui Panembahan Madiun dalam rangka mencegah perang antara Mataram dengan Madiun”
“Ah, ternyata saat itu!”, - seru Swandaru yang juga teringat akan saat gurunya melakukan perjalanan meninggalkan padepokan Jati Anom seorang diri, padahal usianya sungguh sudah lanjut.
“Betul Ki”, - sahut Kiai Garda - ,”Adalah sebuah keberuntungan bagiku diperkenankan ikut mendengar pembicaraan Kanjeng Sunan dengan guru Kiai Gringsing. Bahkan guru Kiai Gringsing sempat menunjukkan sebuah senjata asing dan berunding dengan Kanjeng Sunan cara menghadapi senjata itu”
Swandaru terlihat mengerutkan keningnya.
“Senjata asing? Apa maksudnya Kiai?”
“Senjata yang memang terlihat aneh bagi kita Ki”
“Apakah itu Kiai?”
“Tongkat Petir!”
“Ah..”
Salam,
No comments:
Post a Comment