BALADA
SWANDARU GENI
Bab IV:
Hilangnya Seorang Swandaru Geni
Babak – 16
Matahari
pagi memang sudah bersinar dengan terang sehingga meskipun mahkota pohon yang
rimbun itu membuat bayangan atau naungan dibawahnya, akan tetapi mata Pandan
Wangi dan yang lainnya dapat dengan jelas melihat siapa yang ada dibawah pohon
preh besar itu. Hati mereka bertiga terasa sejuk bahkan Sekar Mirah tiba-tiba
saja hendak berpacu ke depan supaya segera sampai di bawah pohon itu.
“Tunggu
Mirah!”
Tangan
Pandan Wangi memberi isyarat agar Sekar Mirah menahan diri, sementara sambil
menajamkan tatapan matanya ia sempat berdesis kepada Kiai Garda - ,”Kiai, bukankah saat ini pandangan kita tidak sedang
menangkap sosok-sosok semu itu lagi?”
Kiai Garda
tersenyum melihat kehati-hatian Pandan Wangi. Dengan suara yang rendah ia
kemudian menjawab -,”Agaknya memang tidak Nyi, ternyata sekali lagi Ki Agung
Sedayu sudah mendahului kita yang semalam suntuk berjalan melintasi hutan itu”
Pandan Wangi
dan Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam seolah hendak membuang segala
ketegangan yang selama ini bergelayut dalam dada dan perasaan mereka. Gilang
yang melihat kedatangan mereka segera berlari mendekat sambil ditangannya
memegang cambuk kecil yang merupakan pemberian dari Kiai Garda.
“Mengapa
ibunda lama sekali?”, - tanya bocah kecil itu dengan polos.
Pandan Wangi
terlihat mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan anak lelaki satu-satunya
itu. Sementara Kiai Garda dan Sekar
Mirah justru tersenyum lebar, sambil melompat turun dari kudanya Kiai Garda
bahkan tidak tahan untuk menjawab pertanyaan Gilang.
“Angger
Gilang, cobalah bertanya kepada paman Agung Sedayu, apakah kita yang terlalu
lamban ataukah perjalananmu yang terlalu cepat”
Sementara
itu Agung Sedayu dan Ki Widura tampak berdiri dan menyambut kedatangan mereka
bertiga - ,”Marilah, agaknya kita masih sempat beristirahat sejenak disini,
sementara biarlah kuda-kuda itu minum air dari belik kecil disudut itu dan
makan rumput sepuasnya”
Mereka
segera mencari tempat terbaik untuk sekedar duduk dan melepas lelah. Ki Widura
bahkan kemudian membuka bekalnya yang tersimpan dalam buntalan kain dan
mengeluarkan beberapa potong ubi talas untuk sekedar mengganjal perut mereka
yang hampir semalaman tidak terisi makanan sama sekali.
Akan tetapi
sebelum mereka mulai menggigit dan menyuapi mulut dengan ubi talas yang sudah
dingin itu, tiba-tiba Agung Sedayu justru bangkit berdiri sambil memberi
isyarat agar semuanya diam dan tetap
duduk ditempatnya. Wajah Agung Sedayu terlihat sedikit menegang dan sambil
melangkah maju ia berdiri dan mengamati keadaan sekelilingnya.
Cuaca begitu
cerah dan angin pagi berhembus tidak terlalu kencang sehingga duduk dibawah
pohon rindang ini terasa cukup nyaman. Akan tetapi bagi mereka yang sekarang
duduk dibawah pohon itu, udara terasa panas dan bahkan penuh ketegangan.
Kiai Garda
yang tanggap akan keadaan yang dirasakan Agung Sedayu itu segera ikut
mengerahkan dan menajamkan seluruh panca indra serta panggraitanya hingga ke
puncak. Sambil tetap duduk ditempatnya, Kiai Garda memang merasakan adanya
sesuatu yang aneh dan cukup mencekam. Hanya saja ia tidak tahu apakah gerangan
yang aneh dan mencekam itu, penglihatan batinnya terasa tertutupi oleh tabir
tipis sehingga semuanya nampak remang-remang.
Agung Sedayu
tiba-tiba saja melangkah kembali dan kemudian duduk di sebelah Gilang yang sedang bersandar di batang pohon preh
itu sambil membelai cambuknya. Bagi Gilang, cambuk itu kini menjadi sebuah
benda yang sangat menarik dan tidak akan terpisah dari tubuhnya meskipun saat
ini pikiran dan perhatiannya ikut tegang karena keadaan disekitarnya.
Sambil
memperbaiki letak duduknya, tangan kanan Agung Sedayu kemudian meraih sesuatu
dari balik kain panjangnya dan sesaat kemudian ia telah menggenggam sebuah
benda kecil yang terbuat dari bambu. Agung Sedayu itu kemudian meletakkan ujung
benda kecil itu di mulutnya dan meniupnya. Sesaat kemudian terdengarlah alunan
nada yang mengalir lembut, mengalun mendayu-dayu seolah sedang membelai perasaan
siapapun yang mendengarnya.
Bukan main
terguncangnya perasaan Pandan Wangi, wajahnya tiba-tiba terasa panas sehingga
tanpa sadar ia menundukkan kepalanya dalam-dalam. Suara seruling itu tiba-tiba
saja melemparkan ingatannya melayang jauh ke belasan tahun silam. Ketika
pertama kali ia mengenal seorang penggembala
muda yang bernama Gupita, yang secara bersama-sama telah berhasil melukai
seorang gegedug tangguh yang bernama Ki Peda Sura. Masih terasa sentuhan tangan
Gupita yang menarik lengan-nya dan mengajaknya untuk berlari-lari melompati pematang
sawah agar terlepas dari kejaran pasukan dan anak buah Ki Peda Sura.
Cara dan
suara seruling itulah yang juga digunakan Gupita untuk mengundangnya agar ia
bisa keluar dari pasukannya dan menemui gembala yang biasanya selalu membawa
berita untuk kepentingan pasukan Tanah Perdikan Menoreh saat itu.
Tiba-tiba
alunan seruling itu nadanya berubah meninggi dan meliuk-liuk tajam luar biasa.
Hal ini membangunkan Pandan Wangi yang kemudian berusaha sekuat tenaga untuk
menguasai dirinya dan lepas dari kenangan yang selalu membelit ingatannya itu.
Apalagi ia sadar bahwa saat sekarang ini mereka semua ada dalam keadaan yang
cukup berbahaya serta mengkuatirkan keadaan suaminya yang belum diketahui
keberadaannya.
Ketika yang
lain sedang terpukau oleh alunan suara seruling itu, Kiai Garda justru berusaha
memahami apa yang muncul akibat suara seruling yang ditiup Agung Sedayu. Mata
batinnya bisa menangkap bahwa seruling itu kini tidak hanya sekedar
mengeluarkan suara, melainkan mengandung sebuah energi batin yang mampu
memampatkan udara. Energi itu bergulung-gulung semakin membesar seiring dengan nada
suara seruling yang kadang naik tinggi sekali lalu tiba-tiba menukik tajam
seolah sedang menangkap dan menghantam sasaran yang dituju. Kiai Garda seolah
sedang melihat seekor burung rajawali yang terbang cepat ke angkasa untuk
mengawasi mangsanya di bawah. Ketika mangsa itu sudah tertangkap oleh mata
tajamnya, maka dengan kepak sayapnya rajawali itu bisa menukik tajam secepat
tatit dan menyambar-nya dengan kuku-kukunya yang tajam.
Saat itulah
bersamaan dengan nada yang menukik tinggi tajam, Agung Sedayu tiba-tiba saja menghentikan
tiupan serulingnya secara mendadak. Pada saat yang sama terdengar suara
gemeresak keras dan tiba-tiba saja telah jatuh berhamburan beberapa buah benda
hitam tidak jauh dari tempat mereka duduk.
Suasana
dibawah pohon preh itu terasa hening untuk sesaat, sebelum kemudian Gilang meloncat
mendekati benda hitam yang jatuh dari ranting mahkota pohon itu sambil
berteriak pelan.
“Burung
gagak hitam paman”, - seru Gilang sambil mengamati dengan cermat - ,”Semuanya
ada empat ekor dan semuanya mempunyai jambul yang indah. Mengapa ia tiba-tiba
saja jatuh dan mati?”
“Kau salah
Gilang, semuanya ada lima”, - Kiai Garda tiba-tiba menyela.
Gilang melengak,
ia mencoba mengamati dan menghitung jumlah burung yang kini terbaring kaku
ditanah, tetapi jumlahnya memang hanya ada empat. Dengan wajah bertanya-tanya,
Gilang menoleh kepada Kiai Garda.
“Hanya ada
empat paman”
“Lihatlah!”
Sambil
berkata, jari Kiai Garda menunjuk ke arah jalanan bulak dan berjarak sekitar
empat-lima tombak dari tempat mereka duduk. Agaknya ada satu ekor burung yang
merupakan pemimpin dari burung-burung itu yang mempunyai daya tahan lebih
tinggi dibanding empat ekor yang lain. Burung ini berusaha terbang menjauh
ketika burung lainnya sudah rontok berjatuhan akibat serangan udara pampat yang
keluar dari suara seruling Agung Sedayu. Akan tetapi belum sempat ia terbang
menjauh, suara seruling Agung Sedayu terdengar mendengking tajam dan langsung menyambar
serta mencekik pernafasan burung ini. Tak ayal, burung ke lima inipun jatuh dan
tewas seketika bahkan sebelum tubuhnya menyentuh tanah.
Tanpa
menunggu lebih lama, Gilang langsung melompat dan mengambil bangkai burung yang
sudah kaku itu serta mengumpulkannya dengan yang lain. Meskipun ia tidak
mengetahui urutan kejadiannya, tetapi Gilang meyakini bahwa terbunuhnya lima
burung gagak ini ada hubungannya dengan tiupan seruling Agung Sedayu, pamannya.
“Apakah yang
sebenarnya terjadi kakang?”, - tanya Sekar Mirah sambil berbisik.
Agung Sedayu
menarik nafas dalam-dalam sebelum menjawab pertanyaan istrinya - ,”Marilah,
sambil aku bercerita kita harus pula mengisi perut agar tubuh kita segar. Aku
tahu dalam beberapa hari ini kita semua kurang beristirahat dan bahkan selalu
dicengkam ketegangan serta mara bahaya. Sekarang kita bisa benar-benar
beristirahat meskipun hanya sebentar. Aku kira tidak ada lagi yang mencuri
dengar pembicaraan kita ataupun mengawasi kehadiran kita saat ini”
Semua yang
hadir mengerutkan keningnya dan pandangan mereka semua beralih kepada lima
bangkai burung yang tergeletak di tanah itu. Mereka memahami keterangan Agung
Sedayu bahwa agaknya burung-burung gagak hitam inilah yang mengawasi kehadiran
mereka disini.
Sambil mulai
menikmati ubi rebus bekal yang dibawa Ki Widura, mereka mengajukan beberapa
pertanyaan kepada Agung Sedayu.
“Semuanya
begitu mencengkam dan aneh kakang, rintangan demi rintangan muncul susul
menyusul tiada henti. Sebenarnya siapakah laki-laki berpakaian gelap itu dan
apakah benar ia ada hubungannya dengan persoalan kita di Kali Belehan ini?
Apakah kakang juga mengetahui adanya lima orang yang mati di gardu perondan
itu?”, - Sekar Mirah mengajukan beberapa pertanyaan sekaligus.
Sebelum
Agung Sedayu menjawab, tiba-tiba terdengar suara Gilang yang menyela - ,”Aku
tahu bibi Mirah, orang yang di pukul paman Garda itulah musuh yang
sesungguhnya. Sedangkan yang lain adalah bentuk semu ciptaan orang jahat itu”
Pandan
Wangi, Sekar Mirah dan Kiai Garda nampak terkejut.
“Darimana
kau mengetahui itu Gilang”, - tanya Pandan Wangi penasaran.
“Aku bersama
paman Agung Sedayu dan kakek Widura ada dibelakang ibunda dan melihat semuanya.
Bahkan aku juga melihat sewaktu ibunda marah dan membantai lima ekor kelelawar
di mulut hutan tadi malam. Kapan ibunda mengajari aku ilmu meringankan tubuh
itu?”, - kata Gilang dengan polos.
“Ah”, - Kiai
Garda, Pandan Wangi dan Sekar Mirah berdesis perlahan.
Mereka
bertiga baru sadar bahwa ternyata perjalanan selama ini selalu dibayangi oleh
Agung Sedayu yang mungkin mengkuatirkan keselamatan ketiganya. Diam-diam
kekaguman mereka atas kemampuan Agung Sedayu semakin dalam. Sekar Mirah sendiri
sesungguhnya sangat heran dan tidak dapat memahami cara belajar suaminya yang
dalam waktu pendek kemampuannya bisa meningkat sangat tinggi, menjulang tak
terkejar.
“Sudahlah”,
- Agung Sedayu berkata dengan suara pelan - ,”Mudah-mudahan kita akan tetap
terhindar dari bahaya berikutnya yang masih mengancam. Sesungguhnya, orang
berpakaian hijau gelap itu bukanlah orang yang berwatak jahat”
“Siapakah
dia kakang? Apakah benar ia sedang dipengaruhi oleh sebuah kekuatan lain dan
kakang bisa menyadarkannya?”, - Sekar Mirah memburu dengan pertanyaan lanjutan.
“Memang
benar”, - jawab Agung Sedayu yang kemudian melanjutkan penjelasannya - ,”Ketika
melihat tatapan matanya yang kosong dan sikap keterkejutannya setiap kali mendapatkan
serangan, aku menduga dan bahkan yakin ada kekuatan yang mengendalikannya. Karena
itu aku sengaja ambil alih agar kau tidak melukainya Mirah, keterangan dari
orang seperti dia sangat kita butuhkan. Laki-laki berpakaian gelap itu bernama
Sindupati dan berasal dari lereng Gunung Lawu sebelah timur. Pertikaiannya
dengan kakak kandungnya yang bernama Wirapati telah menghancurkan cita-cita
orangtuanya untuk mengembangkan sebuah padepokan yang selama ini mereka bangun.
Dalam sebuah perang tanding ia ternyata harus mengakui kelebihan Wirapati kakak
kandungnya yang selama ini ia anggap memiliki kemampuan dibawahnya. Ambisinya
untuk mengungguli kakak kandungnya itu telah membawanya mengembara untuk
mencari ilmu kesaktian yang lebih tinggi lagi”
Agung Sedayu
tiba-tiba menghentikan kalimatnya dan suaranya menjadi sedikit serak, sesungguhnya
ia mengalami sedikit kesulitan untuk melanjutkan ceritanya. Akan tetapi ia
memaksakan diri untuk menceritakan hal yang sebenarnya agar bisa memberi
gambaran menyeluruh atas apa yang mereka alami saat ini.
Hal itu
sangat disadari oleh Sekar Mirah maupun Pandan Wangi yang kemudian menundukkan
kepalanya dalam-dalam. Mereka berdua seolah sedang mendengar sebuah cerita yang
sebenarnya di alami oleh Agung Sedayu itu sendiri bersama adik seperguruannya
Swandaru. Tanpa terasa dada kedua perempuan itu menjadi sesak karenanya.
Demikian
juga dengan Kiai Garda, ia sedikit banyak sudah mengetahui persoalan dalam diri
murid termuda Kiai Gringsing itu. Dalam hati, ia memuji sikap Agung Sedayu yang
berkenan menceritakan persoalan dari orang berpakaian gelap yang ternyata
bernama Sindupati itu, meskipun sebenarnya hal itu membangkitkan kenangan pahit
dalam diri keluarga perguruan orang bercambuk. Tetapi agaknya dugaannya benar tentang
orang berpakaian gelap itu adalah keluarga dari Padepokan Belalang Hijau di
lereng timur Gunung Lawu.
Hanya Gilang
yang tidak terlalu berpengaruh dengan cerita itu, ia memilih asyik menundukkan
kepalanya sambil memilin dan mengelus-elus cambuk kecilnya.
“Sayang, keinginan
yang berlebihan untuk menguasai ilmu yang lebih tinggi itu telah mengantarnya
ke jalan yang salah meskipun ia sendiri tidak sepenuhnya menyadari,” – Agung Sedayu
melanjutkan uraiannya - ,”Berawal dari kelebihan yang sebenarnya juga dimiliki
oleh semua anggota keluarga mereka, yaitu kemampuan dalam berhubungan dan
mengendalikan beberapa jenis binatang, khususnya belalang, ia bertemu dengan
seorang yang menyebut dirinya sebagai Resi Bening Aji. Ia terpikat dengan
pangeram-eram yang ditunjukkan oleh Resi Bening Aji yang berjanji akan
menurunkan ilmunya dengan syarat Sindupati membantu dia untuk menakhlukkan dan
menguasai apa yang ia sebut dengan Panca-Lawa. Ketika akhirnya Sindupati
berhasil menguasai Panca-Lawa atau lima ekor kelelawar yang aslinya bersarang
di pantai laut kidul dan dianggap mempunyai kekuatan khusus itu, ternyata saat
itu pula ia sudah sepenuhnya dalam pengaruh atau kekuasaan Resi Bening Aji itu”
Semua yang
mendengar cerita Agung Sedayu itu wajahnya terlihat berkerut serta menunjukkan keprihatinan.
“Apakah Resi
itu adalah penguasa Kali Belehan ini kakang? Juga pangeram-eram seperti apakah
yang membuat Ki Sindupati itu tertarik untuk berguru kepada Resi itu?”, -
kembali Sekar Mirah mengajukan pertanyaan yang sebenarnya juga ada dalam dada
semua yang hadir disitu.
Agung Sedayu
memandang wajah istrinya dengan mata redup, sebelum kemudian menjawab - ,”Ya,
menurut Ki Sindupati, Resi Bening Aji ternyata adalah penguasa Kali Belehan
ini. Ia sengaja menunjukkan beberapa aji kesaktiannya yang mampu memecahkan
batu sebesar kerbau menjadi debu yang lembut, akan tetapi yang menggoda Ki
Sindupati adalah kemampuan Resi Bening Aji itu untuk merubah bentuk dirinya.
Resi itu mampu merubah dirinya menjadi seorang pemuda berwajah sangat tampan
yang dengan mudah mampu menakhlukkan hati banyak perempuan yang diminatinya.
Akan tetapi ia juga bisa merubah dirinya menjadi laki-laki tua yang lemah tanpa
daya untuk mengelabuhi orang lain”
Kiai Garda
terlihat mendongakkan kepalanya - ,”Apakah itu aji Panca Rupa Ki?”.
Terlihat
Agung Sedayu menggelengkan kepalanya - ,”Aku tidak tahu pasti Kiai, akan tetapi
agaknya dugaan Kiai bisa mendekati kebenaran. Orang itu selalu menggenapi semua
yang ada pada dirinya dengan angka lima, mulai jumlah kelelawar, jumlah burung
gagak hitam dan menurut Ki Sindupari orang itu juga mampu merubah dirinya
menjadi lima wajah yang berbeda”
“Yang
membuatku jiwa Ki Sindupati berguncang adalah kenyataan bahwa ternyata
penguasaan terhadap Panca-Lawa itu atau kelelawar yang berjumlah lima itu adalah
tipu muslihat Resi itu untuk membunuh orang-tua dan saudara tua-nya yang
bernama Wirapati. Ki Sindupati sama sekali tidak mengetahui permusuhan yang
terjalin antara orangtuanya dengan Resi itu dimasa lalu. Ia juga tidak
menyadari bahwa penguasaan atas Panca-Lima itu artinya adalah bahwa kemungkinan
penakhlukan atas ilmu belalang yang selama ini dikuasai keluarganya. Akhirnya,
dengan kesadaran yang semakin lama semakin kabur, ia justru membantu Resi itu
untuk membunuh orangtua dan kakak kandungnya”
Wajah Pandan
Wangi dan Sekar Mirah terlihat memerah dan menahan kemarahan yang tiba-tiba
saja menggelegak di dalam dada. Entah mengapa, tiba-tiba saja timbul kekuatiran
yang sangat besar atas kemungkinan yang sedang dihadapi oleh Swandaru. Semakin
lama Swandaru berada dalam sekapan mereka maka kesadarannya juga akan semakin
terpuruk.
“Apa yang
harus kita lakukan kakang? Bukankah kalau kita menunda tindakan kita, maka
keadaaan dan kesadaran kakang Swandaru akan semakin buruk?”, - tanya Pandan
Wangi dengan wajah tegang.
“Aku
mengerti Wangi”, - jawab Agung Sedayu - ,”Sesungguhnya aku juga sedang
berhitung akan kekuatan kita. Aku menduga penguasa Kali Belehan itu mempunyai
pembantu berjumlah lima orang pula. Kini sudah berkurang dua orang, yaitu Ki
Sindupati dan seorang lagi yang ditewaskan oleh Kiai Garda di mulut padukuhan
kecil itu. Maka, paling sedikit kita akan menghadapi tiga orang pembantunya,
Resi Kali Belehan itu sendiri dan satu lagi yang tidak boleh di lupakan adalah
makhluk yang bernama Onggo-Inggi itu”
Hati Sekar
Mirah menjadi semakin panas dan tidak sabar mengingat keselamatan Swandaru
Geni. Dengan hati membara ia menggenggam tongkat baja putihnya dengan erat dan
hendak bangkit untuk mengajak mereka semua segera bergerak.
Akan tetapi
Sekar Mirah terpaksa menghentikan geraknya ketika Agung Sedayu memberi isyarat dengan
tangannya agar ia tetap di duduk ditempatnya. Wajah Agung Sedayu terlihat
menegang sambil wajahnya menoleh ke jalanan bulak panjang yang baru saja mereka
lalui.
“Berhati-hatilah,
aku belum tahu siapa yang datang ini!”
Kembali dada
Pandan Wangi dan Sekar Mirah dan bahkan Kiai Garda terasa berdentangan. Mereka
duduk belum terlalu lama, akan tetapi kini akan muncul lagi persoalan atau
hambatan yang belum mereka ketahui asalnya darimana.
Keringat
dingin mengalir di dahi dan pipi Pandan Wangi yang halus.
Salam,
Ries
No comments:
Post a Comment