Sunday, July 30, 2017

BSG - BAB.IV - HSSG - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI
Bab IV: Hilangnya Seorang Swandaru Geni
Babak – 16



Matahari pagi memang sudah bersinar dengan terang sehingga meskipun mahkota pohon yang rimbun itu membuat bayangan atau naungan dibawahnya, akan tetapi mata Pandan Wangi dan yang lainnya dapat dengan jelas melihat siapa yang ada dibawah pohon preh besar itu. Hati mereka bertiga terasa sejuk bahkan Sekar Mirah tiba-tiba saja hendak berpacu ke depan supaya segera sampai di bawah pohon itu.


“Tunggu Mirah!”


Tangan Pandan Wangi memberi isyarat agar Sekar Mirah menahan diri, sementara sambil menajamkan tatapan matanya ia sempat berdesis kepada Kiai Garda - ,”Kiai,  bukankah saat ini pandangan kita tidak sedang menangkap sosok-sosok semu itu lagi?”


Kiai Garda tersenyum melihat kehati-hatian Pandan Wangi. Dengan suara yang rendah ia kemudian menjawab -,”Agaknya memang tidak Nyi, ternyata sekali lagi Ki Agung Sedayu sudah mendahului kita yang semalam suntuk berjalan melintasi hutan itu”


Pandan Wangi dan Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam seolah hendak membuang segala ketegangan yang selama ini bergelayut dalam dada dan perasaan mereka. Gilang yang melihat kedatangan mereka segera berlari mendekat sambil ditangannya memegang cambuk kecil yang merupakan pemberian dari Kiai Garda.


“Mengapa ibunda lama sekali?”, - tanya bocah kecil itu dengan polos.


Pandan Wangi terlihat mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan anak lelaki satu-satunya itu.  Sementara Kiai Garda dan Sekar Mirah justru tersenyum lebar, sambil melompat turun dari kudanya Kiai Garda bahkan tidak tahan untuk menjawab pertanyaan Gilang.


“Angger Gilang, cobalah bertanya kepada paman Agung Sedayu, apakah kita yang terlalu lamban ataukah perjalananmu yang terlalu cepat”


Sementara itu Agung Sedayu dan Ki Widura tampak berdiri dan menyambut kedatangan mereka bertiga - ,”Marilah, agaknya kita masih sempat beristirahat sejenak disini, sementara biarlah kuda-kuda itu minum air dari belik kecil disudut itu dan makan rumput sepuasnya”

Mereka segera mencari tempat terbaik untuk sekedar duduk dan melepas lelah. Ki Widura bahkan kemudian membuka bekalnya yang tersimpan dalam buntalan kain dan mengeluarkan beberapa potong ubi talas untuk sekedar mengganjal perut mereka yang hampir semalaman tidak terisi makanan sama sekali.


Akan tetapi sebelum mereka mulai menggigit dan menyuapi mulut dengan ubi talas yang sudah dingin itu, tiba-tiba Agung Sedayu justru bangkit berdiri sambil memberi isyarat agar semuanya diam dan  tetap duduk ditempatnya. Wajah Agung Sedayu terlihat sedikit menegang dan sambil melangkah maju ia berdiri dan mengamati keadaan sekelilingnya.


Cuaca begitu cerah dan angin pagi berhembus tidak terlalu kencang sehingga duduk dibawah pohon rindang ini terasa cukup nyaman. Akan tetapi bagi mereka yang sekarang duduk dibawah pohon itu, udara terasa panas dan bahkan penuh ketegangan.


Kiai Garda yang tanggap akan keadaan yang dirasakan Agung Sedayu itu segera ikut mengerahkan dan menajamkan seluruh panca indra serta panggraitanya hingga ke puncak. Sambil tetap duduk ditempatnya, Kiai Garda memang merasakan adanya sesuatu yang aneh dan cukup mencekam. Hanya saja ia tidak tahu apakah gerangan yang aneh dan mencekam itu, penglihatan batinnya terasa tertutupi oleh tabir tipis sehingga semuanya nampak remang-remang.


Agung Sedayu tiba-tiba saja melangkah kembali dan kemudian duduk di sebelah Gilang  yang sedang bersandar di batang pohon preh itu sambil membelai cambuknya. Bagi Gilang, cambuk itu kini menjadi sebuah benda yang sangat menarik dan tidak akan terpisah dari tubuhnya meskipun saat ini pikiran dan perhatiannya ikut tegang karena keadaan disekitarnya.


Sambil memperbaiki letak duduknya, tangan kanan Agung Sedayu kemudian meraih sesuatu dari balik kain panjangnya dan sesaat kemudian ia telah menggenggam sebuah benda kecil yang terbuat dari bambu. Agung Sedayu itu kemudian meletakkan ujung benda kecil itu di mulutnya dan meniupnya. Sesaat kemudian terdengarlah alunan nada yang mengalir lembut, mengalun mendayu-dayu seolah sedang membelai perasaan siapapun yang mendengarnya.


Bukan main terguncangnya perasaan Pandan Wangi, wajahnya tiba-tiba terasa panas sehingga tanpa sadar ia menundukkan kepalanya dalam-dalam. Suara seruling itu tiba-tiba saja melemparkan ingatannya melayang jauh ke belasan tahun silam. Ketika pertama kali ia mengenal seorang  penggembala muda yang bernama Gupita, yang secara bersama-sama telah berhasil melukai seorang gegedug tangguh yang bernama Ki Peda Sura. Masih terasa sentuhan tangan Gupita yang menarik lengan-nya dan mengajaknya untuk berlari-lari melompati pematang sawah agar terlepas dari kejaran pasukan dan anak buah Ki Peda Sura.


Cara dan suara seruling itulah yang juga digunakan Gupita untuk mengundangnya agar ia bisa keluar dari pasukannya dan menemui gembala yang biasanya selalu membawa berita untuk kepentingan pasukan Tanah Perdikan Menoreh saat itu.


Tiba-tiba alunan seruling itu nadanya berubah meninggi dan meliuk-liuk tajam luar biasa. Hal ini membangunkan Pandan Wangi yang kemudian berusaha sekuat tenaga untuk menguasai dirinya dan lepas dari kenangan yang selalu membelit ingatannya itu. Apalagi ia sadar bahwa saat sekarang ini mereka semua ada dalam keadaan yang cukup berbahaya serta mengkuatirkan keadaan suaminya yang belum diketahui keberadaannya.


Ketika yang lain sedang terpukau oleh alunan suara seruling itu, Kiai Garda justru berusaha memahami apa yang muncul akibat suara seruling yang ditiup Agung Sedayu. Mata batinnya bisa menangkap bahwa seruling itu kini tidak hanya sekedar mengeluarkan suara, melainkan mengandung sebuah energi batin yang mampu memampatkan udara. Energi itu bergulung-gulung semakin membesar seiring dengan nada suara seruling yang kadang naik tinggi sekali lalu tiba-tiba menukik tajam seolah sedang menangkap dan menghantam sasaran yang dituju. Kiai Garda seolah sedang melihat seekor burung rajawali yang terbang cepat ke angkasa untuk mengawasi mangsanya di bawah. Ketika mangsa itu sudah tertangkap oleh mata tajamnya, maka dengan kepak sayapnya rajawali itu bisa menukik tajam secepat tatit dan menyambar-nya dengan kuku-kukunya yang tajam.


Saat itulah bersamaan dengan nada yang menukik tinggi tajam, Agung Sedayu tiba-tiba saja menghentikan tiupan serulingnya secara mendadak. Pada saat yang sama terdengar suara gemeresak keras dan tiba-tiba saja telah jatuh berhamburan beberapa buah benda hitam tidak jauh dari tempat mereka duduk.


Suasana dibawah pohon preh itu terasa hening untuk sesaat, sebelum kemudian Gilang meloncat mendekati benda hitam yang jatuh dari ranting mahkota pohon itu sambil berteriak pelan.


“Burung gagak hitam paman”, - seru Gilang sambil mengamati dengan cermat - ,”Semuanya ada empat ekor dan semuanya mempunyai jambul yang indah. Mengapa ia tiba-tiba saja jatuh dan mati?”


“Kau salah Gilang, semuanya ada lima”, - Kiai Garda tiba-tiba menyela.


Gilang melengak, ia mencoba mengamati dan menghitung jumlah burung yang kini terbaring kaku ditanah, tetapi jumlahnya memang hanya ada empat. Dengan wajah bertanya-tanya, Gilang menoleh kepada Kiai Garda.


“Hanya ada empat paman”


“Lihatlah!”


Sambil berkata, jari Kiai Garda menunjuk ke arah jalanan bulak dan berjarak sekitar empat-lima tombak dari tempat mereka duduk. Agaknya ada satu ekor burung yang merupakan pemimpin dari burung-burung itu yang mempunyai daya tahan lebih tinggi dibanding empat ekor yang lain. Burung ini berusaha terbang menjauh ketika burung lainnya sudah rontok berjatuhan akibat serangan udara pampat yang keluar dari suara seruling Agung Sedayu. Akan tetapi belum sempat ia terbang menjauh, suara seruling Agung Sedayu terdengar mendengking tajam dan langsung menyambar serta mencekik pernafasan burung ini. Tak ayal, burung ke lima inipun jatuh dan tewas seketika bahkan sebelum tubuhnya menyentuh tanah.


Tanpa menunggu lebih lama, Gilang langsung melompat dan mengambil bangkai burung yang sudah kaku itu serta mengumpulkannya dengan yang lain. Meskipun ia tidak mengetahui urutan kejadiannya, tetapi Gilang meyakini bahwa terbunuhnya lima burung gagak ini ada hubungannya dengan tiupan seruling Agung Sedayu, pamannya.


“Apakah yang sebenarnya terjadi kakang?”, - tanya Sekar Mirah sambil berbisik.


Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam sebelum menjawab pertanyaan istrinya - ,”Marilah, sambil aku bercerita kita harus pula mengisi perut agar tubuh kita segar. Aku tahu dalam beberapa hari ini kita semua kurang beristirahat dan bahkan selalu dicengkam ketegangan serta mara bahaya. Sekarang kita bisa benar-benar beristirahat meskipun hanya sebentar. Aku kira tidak ada lagi yang mencuri dengar pembicaraan kita ataupun mengawasi kehadiran kita saat ini”


Semua yang hadir mengerutkan keningnya dan pandangan mereka semua beralih kepada lima bangkai burung yang tergeletak di tanah itu. Mereka memahami keterangan Agung Sedayu bahwa agaknya burung-burung gagak hitam inilah yang mengawasi kehadiran mereka disini.


Sambil mulai menikmati ubi rebus bekal yang dibawa Ki Widura, mereka mengajukan beberapa pertanyaan kepada Agung Sedayu.


“Semuanya begitu mencengkam dan aneh kakang, rintangan demi rintangan muncul susul menyusul tiada henti. Sebenarnya siapakah laki-laki berpakaian gelap itu dan apakah benar ia ada hubungannya dengan persoalan kita di Kali Belehan ini? Apakah kakang juga mengetahui adanya lima orang yang mati di gardu perondan itu?”, - Sekar Mirah mengajukan beberapa pertanyaan sekaligus.


Sebelum Agung Sedayu menjawab, tiba-tiba terdengar suara Gilang yang menyela - ,”Aku tahu bibi Mirah, orang yang di pukul paman Garda itulah musuh yang sesungguhnya. Sedangkan yang lain adalah bentuk semu ciptaan orang jahat itu”


Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Kiai Garda nampak terkejut.


“Darimana kau mengetahui itu Gilang”, - tanya Pandan Wangi penasaran.


“Aku bersama paman Agung Sedayu dan kakek Widura ada dibelakang ibunda dan melihat semuanya. Bahkan aku juga melihat sewaktu ibunda marah dan membantai lima ekor kelelawar di mulut hutan tadi malam. Kapan ibunda mengajari aku ilmu meringankan tubuh itu?”, - kata Gilang dengan polos.


“Ah”, - Kiai Garda, Pandan Wangi dan Sekar Mirah berdesis perlahan.


Mereka bertiga baru sadar bahwa ternyata perjalanan selama ini selalu dibayangi oleh Agung Sedayu yang mungkin mengkuatirkan keselamatan ketiganya. Diam-diam kekaguman mereka atas kemampuan Agung Sedayu semakin dalam. Sekar Mirah sendiri sesungguhnya sangat heran dan tidak dapat memahami cara belajar suaminya yang dalam waktu pendek kemampuannya bisa meningkat sangat tinggi, menjulang tak terkejar.


“Sudahlah”, - Agung Sedayu berkata dengan suara pelan - ,”Mudah-mudahan kita akan tetap terhindar dari bahaya berikutnya yang masih mengancam. Sesungguhnya, orang berpakaian hijau gelap itu bukanlah orang yang berwatak jahat”


“Siapakah dia kakang? Apakah benar ia sedang dipengaruhi oleh sebuah kekuatan lain dan kakang bisa menyadarkannya?”, - Sekar Mirah memburu dengan pertanyaan lanjutan.


“Memang benar”, - jawab Agung Sedayu yang kemudian melanjutkan penjelasannya - ,”Ketika melihat tatapan matanya yang kosong dan sikap keterkejutannya setiap kali mendapatkan serangan, aku menduga dan bahkan yakin ada kekuatan yang mengendalikannya. Karena itu aku sengaja ambil alih agar kau tidak melukainya Mirah, keterangan dari orang seperti dia sangat kita butuhkan. Laki-laki berpakaian gelap itu bernama Sindupati dan berasal dari lereng Gunung Lawu sebelah timur. Pertikaiannya dengan kakak kandungnya yang bernama Wirapati telah menghancurkan cita-cita orangtuanya untuk mengembangkan sebuah padepokan yang selama ini mereka bangun. Dalam sebuah perang tanding ia ternyata harus mengakui kelebihan Wirapati kakak kandungnya yang selama ini ia anggap memiliki kemampuan dibawahnya. Ambisinya untuk mengungguli kakak kandungnya itu telah membawanya mengembara untuk mencari ilmu kesaktian yang lebih tinggi lagi”


Agung Sedayu tiba-tiba menghentikan kalimatnya dan suaranya menjadi sedikit serak, sesungguhnya ia mengalami sedikit kesulitan untuk melanjutkan ceritanya. Akan tetapi ia memaksakan diri untuk menceritakan hal yang sebenarnya agar bisa memberi gambaran menyeluruh atas apa yang mereka alami saat ini.


Hal itu sangat disadari oleh Sekar Mirah maupun Pandan Wangi yang kemudian menundukkan kepalanya dalam-dalam. Mereka berdua seolah sedang mendengar sebuah cerita yang sebenarnya di alami oleh Agung Sedayu itu sendiri bersama adik seperguruannya Swandaru. Tanpa terasa dada kedua perempuan itu menjadi sesak karenanya.


Demikian juga dengan Kiai Garda, ia sedikit banyak sudah mengetahui persoalan dalam diri murid termuda Kiai Gringsing itu. Dalam hati, ia memuji sikap Agung Sedayu yang berkenan menceritakan persoalan dari orang berpakaian gelap yang ternyata bernama Sindupati itu, meskipun sebenarnya hal itu membangkitkan kenangan pahit dalam diri keluarga perguruan orang bercambuk. Tetapi agaknya dugaannya benar tentang orang berpakaian gelap itu adalah keluarga dari Padepokan Belalang Hijau di lereng timur Gunung Lawu.


Hanya Gilang yang tidak terlalu berpengaruh dengan cerita itu, ia memilih asyik menundukkan kepalanya sambil memilin dan mengelus-elus cambuk kecilnya.


“Sayang, keinginan yang berlebihan untuk menguasai ilmu yang lebih tinggi itu telah mengantarnya ke jalan yang salah meskipun ia sendiri tidak sepenuhnya menyadari,” – Agung Sedayu melanjutkan uraiannya - ,”Berawal dari kelebihan yang sebenarnya juga dimiliki oleh semua anggota keluarga mereka, yaitu kemampuan dalam berhubungan dan mengendalikan beberapa jenis binatang, khususnya belalang, ia bertemu dengan seorang yang menyebut dirinya sebagai Resi Bening Aji. Ia terpikat dengan pangeram-eram yang ditunjukkan oleh Resi Bening Aji yang berjanji akan menurunkan ilmunya dengan syarat Sindupati membantu dia untuk menakhlukkan dan menguasai apa yang ia sebut dengan Panca-Lawa. Ketika akhirnya Sindupati berhasil menguasai Panca-Lawa atau lima ekor kelelawar yang aslinya bersarang di pantai laut kidul dan dianggap mempunyai kekuatan khusus itu, ternyata saat itu pula ia sudah sepenuhnya dalam pengaruh atau kekuasaan Resi Bening Aji itu”


Semua yang mendengar cerita Agung Sedayu itu wajahnya terlihat berkerut serta menunjukkan keprihatinan.


“Apakah Resi itu adalah penguasa Kali Belehan ini kakang? Juga pangeram-eram seperti apakah yang membuat Ki Sindupati itu tertarik untuk berguru kepada Resi itu?”, - kembali Sekar Mirah mengajukan pertanyaan yang sebenarnya juga ada dalam dada semua yang hadir disitu.


Agung Sedayu memandang wajah istrinya dengan mata redup, sebelum kemudian menjawab - ,”Ya, menurut Ki Sindupati, Resi Bening Aji ternyata adalah penguasa Kali Belehan ini. Ia sengaja menunjukkan beberapa aji kesaktiannya yang mampu memecahkan batu sebesar kerbau menjadi debu yang lembut, akan tetapi yang menggoda Ki Sindupati adalah kemampuan Resi Bening Aji itu untuk merubah bentuk dirinya. Resi itu mampu merubah dirinya menjadi seorang pemuda berwajah sangat tampan yang dengan mudah mampu menakhlukkan hati banyak perempuan yang diminatinya. Akan tetapi ia juga bisa merubah dirinya menjadi laki-laki tua yang lemah tanpa daya untuk mengelabuhi orang lain”

Kiai Garda terlihat mendongakkan kepalanya - ,”Apakah itu aji Panca Rupa Ki?”.


Terlihat Agung Sedayu menggelengkan kepalanya - ,”Aku tidak tahu pasti Kiai, akan tetapi agaknya dugaan Kiai bisa mendekati kebenaran. Orang itu selalu menggenapi semua yang ada pada dirinya dengan angka lima, mulai jumlah kelelawar, jumlah burung gagak hitam dan menurut Ki Sindupari orang itu juga mampu merubah dirinya menjadi lima wajah yang berbeda”


“Yang membuatku jiwa Ki Sindupati berguncang adalah kenyataan bahwa ternyata penguasaan terhadap Panca-Lawa itu atau kelelawar yang berjumlah lima itu adalah tipu muslihat Resi itu untuk membunuh orang-tua dan saudara tua-nya yang bernama Wirapati. Ki Sindupati sama sekali tidak mengetahui permusuhan yang terjalin antara orangtuanya dengan Resi itu dimasa lalu. Ia juga tidak menyadari bahwa penguasaan atas Panca-Lima itu artinya adalah bahwa kemungkinan penakhlukan atas ilmu belalang yang selama ini dikuasai keluarganya. Akhirnya, dengan kesadaran yang semakin lama semakin kabur, ia justru membantu Resi itu untuk membunuh orangtua dan kakak kandungnya”


Wajah Pandan Wangi dan Sekar Mirah terlihat memerah dan menahan kemarahan yang tiba-tiba saja menggelegak di dalam dada. Entah mengapa, tiba-tiba saja timbul kekuatiran yang sangat besar atas kemungkinan yang sedang dihadapi oleh Swandaru. Semakin lama Swandaru berada dalam sekapan mereka maka kesadarannya juga akan semakin terpuruk.


“Apa yang harus kita lakukan kakang? Bukankah kalau kita menunda tindakan kita, maka keadaaan dan kesadaran kakang Swandaru akan semakin buruk?”, - tanya Pandan Wangi dengan wajah tegang.


“Aku mengerti Wangi”, - jawab Agung Sedayu - ,”Sesungguhnya aku juga sedang berhitung akan kekuatan kita. Aku menduga penguasa Kali Belehan itu mempunyai pembantu berjumlah lima orang pula. Kini sudah berkurang dua orang, yaitu Ki Sindupati dan seorang lagi yang ditewaskan oleh Kiai Garda di mulut padukuhan kecil itu. Maka, paling sedikit kita akan menghadapi tiga orang pembantunya, Resi Kali Belehan itu sendiri dan satu lagi yang tidak boleh di lupakan adalah makhluk yang bernama Onggo-Inggi itu”


Hati Sekar Mirah menjadi semakin panas dan tidak sabar mengingat keselamatan Swandaru Geni. Dengan hati membara ia menggenggam tongkat baja putihnya dengan erat dan hendak bangkit untuk mengajak mereka semua segera bergerak.


Akan tetapi Sekar Mirah terpaksa menghentikan geraknya ketika Agung Sedayu memberi isyarat dengan tangannya agar ia tetap di duduk ditempatnya. Wajah Agung Sedayu terlihat menegang sambil wajahnya menoleh ke jalanan bulak panjang yang baru saja mereka lalui.


“Berhati-hatilah, aku belum tahu siapa yang datang ini!”

Kembali dada Pandan Wangi dan Sekar Mirah dan bahkan Kiai Garda terasa berdentangan. Mereka duduk belum terlalu lama, akan tetapi kini akan muncul lagi persoalan atau hambatan yang belum mereka ketahui asalnya darimana.

Keringat dingin mengalir di dahi dan pipi Pandan Wangi yang halus.


Salam,

Ries

No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...