Friday, July 28, 2017

BSG - BAB.IV - HSSG - Babak-13

BALADA SWANDARU GENI
Bab IV: Hilangnya Seorang Swandaru Geni
Babak – 13



Ujung kaki Pandan Wangi sudah hampir menotol tanah untuk melesat ke depan saat didengarnya suara Kiai Garda berbisik pendek.


“Tahan Nyi, lihatlah!”, - sambil berdesis pelan Kiai Garda maju beberapa langkah.


Ketika itu, keadaan Sekar Mirah terlihat sangat terpojok dan hampir tidak ada ruang untuk menghindar. Dalam satu gerak berikutnya maka pertarungan itu agaknya akan berakhir dan sudah dapat dibayangkan bagaimana keadaan Sekar Mirah.


Hanya saja ada yang luput dari pengamatan Kiai Garda maupun Pandan Wangi, yaitu bahwa Sekar Mirah mempunyai keyakinan yang teramat tinggi atas tindakannya. Seperti juga Swandaru yang sering mengambil keputusan dengan cepat dan berani mengambil resiko, ternyata sifat itu juga menempel pada diri Sekar Mirah.


Ia sadar akan sulit untuk melayani lawannya yang kini berjumlah menjadi tiga orang serta mempunyai ilmu meringankan tubuh yang mumpuni. Padahal ia meyakini sepenuhnya bahwa lawan yang sesungguhnya tetaplah hanya satu orang, sebagaimana Agung Sedayu sendiri mengakui bahwa meskipun mempunyai sifat yang lebih pekat dan lebih sulit dipecahkan, tetapi pada dasarnya ajian  Kakang Kawah Adi Ari-Ari tidak ubahnya adalah mempertajam bentuk-bentuk semu yang tercipta sehingga sulit di kenali lawan.


Karena itu Sekar Mirah mengambil sebuah tindakan yang teramat berani. Gerak putaran tongkatnya memang agak mengendor ketika ia memusatkan nalar budi-nya lebih tajam, akan tetapi ia memperhitungkan bahwa dalam jeda waktu itu ia akan sudah berhasil mengenali satu dari tiga orang lawan yang sesungguhnya. Keyakinan yang tinggi itulah yang telah menyelamatkan Sekar Mirah, sehingga pada saat yang tepat ia bisa mengenali wujud asli dari lawannya.


Ketika serangan tiga laki-laki berpakaian gelap itu datang membadai karena melihat celah atau peluang akibat melambatnya putaran tongkat Sekar Mirah, saat itulah mata batin Sekar Mirah meyakini dan mengenali seorang lawan yang sesungguhnya. Ia sama sekali tidak ragu-ragu, tubuhnya secara tiba-tiba berputar ke kiri dan sepenuhnya menghadap ke lawan sesungguhnya, Sekar Mirah sama sekali tidak menghiraukan dua orang laki-laki berpakaian gelap lainnya yang juga menyerangnya dari arah berbeda karena ia yakin itu hanyalah ujud semu. Keadaan inilah yang tertangkap oleh mata Kiai Garda yang jeli dan tajam saat ia berdesis lirih memperingatkan Pandan Wangi.

Saat itu Sekar tidak mempunyai waktu banyak karena serangan dari lawannya sudah sedemikian dekat. Dengan sedikit memiringkan tubuhnya, tangan kanannya yang memegang tongkat terayun sekuat tenaga membentur tombak pendek bermata tiga yang menusuk lurus mengancam dadanya. Ia benar-benar tidak menghiraukan serangan dua lawan yang lain yang ternyata memang sama sekali tidak mampu menyentuh apalagi menyakiti kulit tubuhnya.


Semua kejadian itu terjadi dalam sekejab mata dan memang sudah tidak ada waktu lagi untuk menghindar. Terjadilah sebuah benturan yang keras dan menimbulkan suara gemerincing nyaring. Tenaga Sekar Mirah yang sudah berada di puncaknya itu benar-benar tidak terlawan, laki-laki berpakaian gelap itu tanpa sadar berteriak keras ketika tangannya tidak mampu mempertahankan senjatanya. Tombak pendek bermata tiga itu terlontar ke samping dan melambung di udara.


Akan tetapi, peristiwa yang terjadi berikutnya kembali membuat Kiai Garda dan Pandan Wangi terpekik kagum ketika melihat sebuah gerakan yang sangat gesit dari lawan Sekar Mirah itu.


Ketika melihat senjata lawan sudah terlepas dari tangan, Sekar Mirah segera menyusulinya dengan tendangan kaki kiri mendatar yang mengancam dada atau perut lawan. Sementara dalam keterkejutan karena lepasnya senjata, tidak dinyana orang berpakaian gelap itu telah mengambil keputusan yang sangat tidak biasa. Tendangan kaki kiri Sekar Mirah yang mengancam dadanya itu tidak di hindarinya, melainkan justru di sambutnya dengan pukulan tangan kanan yang tepat mengenai telapak kaki Sekar Mirah.


Kembali terjadi benturan yang keras dan kali ini adalah antara telapak kaki kiri Sekar Mirah dengan pukulan tangan kanan lawannya. Benturan itu sama sekali tidak menimbulkan bunyi keras ataupun teriak kesakitan, keduanya seolah hanya merasakan sentuhan wadag yang sewajarnya. Akan tetapi inilah yang menjadi kelebihan dari lawan Sekar Mirah, ternyata sentuhan atau benturan itu dijadikannya sebagai pijakan atau daya lontar yang membuat tubuhnya melesat ke udara dan melayang cepat justru ke arah tombak pendek bermata tiga yang tengah melayang di udara. Dengan kecerdikan dan kegesitan yang luar biasa, laki-laki berpakaian gelap itu telah meminjam tenaga tolakan akibat benturan itu untuk mengejar senjatanya. Ketika kedua kakinya menyentuh tanah, ternyata di tangan kanannya juga sudah tergenggam tombak pendek bermata tiga itu.


Sekar Mirah tidak dapat menyembunyikan kekagumannya melihat ketangkasan lawannya itu. Apalagi, hampir tidak berselang waktu, kedua bentuk semu lawannya itu kemudian melompat saling menyilang sehingga ia harus menajamkan mata hatinya untuk mengenali lawan yang sesungguhnya. Hanya saja Sekar Mirah sama sekali tidak gentar, pengalaman yang baru saja di alaminya itu membuat ia lebih yakin untuk mengenali lawan yang sesungguhnya dengan lebih cepat dan kemudian mengatur serangan dengan lebih baik.


Demikianlah, pertarungan itu kembali berlangsung dengan sengitnya. Keduanya terlihat lebih berhati-hati, meskipun Sekar Mirah mampu mengenali lawan yang sesungguhnya dengan lebih cepat, akan tetapi ketiga bayangan itu terkadang bahkan tidak menyerangnya melainkan hanya melompat saling silang diantara mereka sendiri sehingga itu kembali mengaburkan mata batin Sekar Mirah. Sementara putaran tongkat Sekar Mirah yang rapat itu juga tidak mampu ditembus oleh lawannya.


Malam terus merangkak, gelap semakin pekat dan waktu sudah mendekati wayah sepi uwong.


Saat itulah tanpa diketahui dari mana asalnya tiba-tiba terdengar suara yang sangat dikenal oleh Sekar Mirah dan mereka yang sedang berdiri di luar arena pertarungan itu.


“Sudahlah Mirah, aku minta lepaskan lawanmu”


Bersamaan dengan habisnya kalimat itu, tiba-tiba telah berdiri tiga sosok manusia di sebelah Pandan Wangi dan Kiai Garda. Betapa terkejutnya perasaan Kiai Garda dan Pandan Wangi dengan kehadiran tiga sosok disamping mereka yang sama sekali tidak menimbulkan suara ataupun tanda-tanda lain. Keberadaannya begitu tiba-tiba seolah mereka muncul dari dalam tanah.


Akan tetapi begitu melihat siapa yang berdiri di samping mereka, hati Pandan Wangi khususnya bagaikan disiram air dingin dan sejuk. Segera ia bergeser beberapa langkah sambil memeluk salah seorang diantaranya.


“Kau tidak apa-apa Gilang?”, - suara Pandan Wangi terdengar lirih seolah berbisik.


Gilang yang merasakan nada suara PandanWangi tidak seperti biasanya itu sempat agak terheran-heran, akan tetapi ia menduga bahwa pertarungan yang terjadi di depannya itu cukup menyita hati dan perhatian ibundanya.


“Aku baik-baik saja ibunda”, - jawab Gilang cepat.


Sesungguhnya yang datang adalah Gilang, Ki Widura dan juga Agung Sedayu yang saat itu langsung melangkah maju mendekati pertarungan antara Sekar Mirah melawan laki-laki berpakaian gelap itu. Dengan wajah yang berkerut, Agung Sedayu mengamati wajah dan perawakan lawan Sekar Mirah yang terus bergerak sambil memainkan tombak bermata tiga. Gerak dan ilmu meringankan tubuhnya itu sesungguhnya sangat menarik perhatian Agung Sedayu.


Wajah Agung Sedayu terlihat bersungguh-sungguh, ia berhenti sekitar dua tombak dari lingkaran pertarungan itu sambil mengulangi kalimatnya agar Sekar Mirah melepaskan lawannya. Akan tetapi Sekar Mirah yang sudah tahu akan kehadiran suaminya itu seolah tidak mendengar permintaannya. Justru putaran tongkat baja putihnya semakin cepat dan membuat kabut putih bergulung-gulung yang lebih dahsyat untuk melindungi tubuhnya.


Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam, sebagai seorang suami yang sudah hidup bertahun-tahun dengan istrinya, ia sangat mengenali watak Sekar Mirah. Agaknya harga dirinya yang terlalu tinggi mencegahnya untuk menuruti permintaan suaminya agar melepas lawannya. Apalagi ia masih punya keyakinan akan mampu memenangkan pertarungan ini.


“Mirah, dengarkan aku, apakah kau tidak menyadari bahwa kalian sengaja ditahan disini selama mungkin agar tidak segera sampai di Kali Belehan tepat waktu. Saat ini keselamatan adi Swandaru adalah yang terpenting, aku minta sekali lagi lepaskan lawanmu”, - terdengar kembali suara Agung Sedayu kali ini dengan penuh tekanan.


Semua yang mendengar perkataan Agung Sedayu menjadi terperanjat tak terkecuali Sekar Mirah. Ia jarang sekali mendengar suaminya itu berkata kepadanya dengan penuh tekanan seperti kali ini. Karena itu, ketika dilihatnya sebuah celah, tubuhnya segera melesat menjauh dari lawannya dan berdiri di samping Agung Sedayu.


Sementara Agung Sedayu tidak mau membuang-buang waktu, sambil berdiri tegak memusatkan nalar budinya, ia berkali-kali mengusap pergelangan tangan kirinya menggunakan tangan kanannya. Malam gelap gulita itu tiba-tiba saja dipenuhi oleh kabut tipis yang keluar dari dalam tanah atau bahkan sebagian turun dari langit memenuhi arena pertarungan itu. Semakin lama kabut itu semakin tebal sehingga membentuk perisai yang menghalangi pandangan mereka yang ada disitu.


Kiai Garda mengerutkan keningnya dalam-dalam, ia benar-benar tidak habis pikir atas kemampuan yang dimiliki murid tertua Kiai Gringsing. Saat menyusun rencana di padepokan beberapa hari yang lalu, ia sebenarnya mempunyai banyak pertanyaan di benaknya, akan tetapi demi menjadi etika dan kepantasan ia tidak langsung menanyakan kepada Agung Sedayu. Kini ternyata terbukti bahwa Agung Sedayu mampu menyusulnya dengan cepat meskipun tanpa kuda, sementara ia menghabiskan tiga hari perjalanan terus-menerus diatas punggung kuda. Terlebih ia juga menyaksikan sendiri kedatangan Agung Sedayu yang seolah-olah muncul dari dalam tanah serta mampu menghadirkan kabut yang membuat dinding di arena pertarungan ini.


Belum selesai Kiai Garda dengan angan-angannya, tiba-tiba hidung semua yang ada di arena pertarungan itu menangkap adanya bau yang sangat harum dan tajam. Bau itu hanya melintas sesaat saja di indra penciuman dan perasaan mereka sebelum kemudian berhembus dan berlalu begitu saja.


Tetapi tidak demikian bagi laki-laki berpakaian gelap yang menjadi sasaran utama dari munculnya bau harum yang tajam itu. Ketika masih terheran-heran dengan munculnya kabut putih yang kini menjadi tebal itu, tiba-tiba bau harum itu langsung menyergapnya dengan menusuk langsung ke indra penciumannya dan menembus hingga ke syaraf otak. Seketika ia seperti orang yang hilang semua kesadarannya dan setelah berdiri kebingungan beberapa saat, tubuhnya tiba-tiba saja roboh ke tanah. Pingsan!

Agung Sedayu yang tahu pasti bahwa laki-laki berpakaian gelap itu kini sudah jatuh pingsan segera melepas semua ajian yang tadi dipergunakan untuk menyerangnya. Dengan cepat kabut itu tersibak, sehingga yang terlihat adalah gelap malam sebagaimana biasanya. Sementara bau harum yang tajam itu juga sudah tidak berbekas sama sekali seolah bau itu memang tidak pernah melintas.


Dari jarak beberapa tombak, semua mata melihat betapa laki-laki berpakaian gelap itu kini terbaring diam. Dengan tergesa-gesa Agung Sedayu segera melangkah dan sambil berjongkok ia memeriksa pergelangan tangan orang itu dimana ia masih merasakan denyut nadi meskipun lemah.


Agung Sedayu segera membalikkan badannya dan menghadap ke arah Kiai Garda yang lainnya yang ternyata juga sudah melangkah mendekat. Kembali dengan suara yang bersungguh-sungguh ia berkata.


“Maaf Kiai, dan juga yang lainnya, agaknya persoalan yang kita hadapi benar-benar rumit dan bahkan sangat membahayakan kita semuanya. Terlebih lagi, kita dibatasi oleh waktu. Menurut pemahamanku, bulan purnama sudah lewat dua pekan lalu dan besok adalah puncak dari hari kegelapan. Itu adalah batas akhir bagi kita untuk bisa menyelamatkan adi Swandaru, karena kalau lewat dari hari itu agaknya kita akan mengalami lebih banyak kesulitan”


Agung Sedayu terlihat berhenti sejenak, untuk menata kalimatnya.


“Karena itu, kita harus sudah tiba di tepi Kali Belehan itu paling lambat besok pagi. Aku mohon Kiai beserta Pandan Wangi dan Sekar Mirah segera melanjutkan perjalanan sekarang. Tidak perlu ditunda –tunda lagi, tinggalkan kami disini”, - Agung Sedayu melanjutkan kalimatnya.


Kiai Garda, Pandan Wangi dan Sekar Mirah menunjukkan wajah tegang. Ada banyak pertanyaan yang hendak di ajukan, akan tetapi mereka sadar bahwa ini bukan saat yang tepat, apalagi mereka diburu waktu untuk segera sampai ke tujuan. Segera mereka bertiga mengambil kuda-kuda mereka dan bersiap untuk melanjutkan perjalanan.


“Bagaimana dengan orang itu kakang?”, - tanya Sekar Mirah sambil matanya melirik ke arah laki-laki berpakaian gelap yang kini terbaring di tanah.


“Jangan hiraukan dia, aku akan mengurusnya”, - jawab Agung Sedayu pendek.


“Aku titip kedua kemenakanku itu Kiai”, - terdengar suara Ki Widura yang ditujukan kepada Kiai Garda.


“Ah, ternyata mereka adalah perempuan luar biasa yang mampu melindungi diri sendiri bahkan orang lain Ki”, - jawab Kiai Garda sambil tersenyum.


Demkianlah, tanpa sempat bercakap-cakap lebih lama sebagaimana kebiasaannya, ternyata mereka harus segera berpisah dan melanjutkan perjalanannya. Menembus hutan yang meskipun tidak terlalu rapat akan tetapi tentu saja sangat gelap.


Sepeninggal mereka, Agung Sedayu segera berjongkok dan kembali memeriksa keadaan tubuh laki-laki berpakaian gelap itu dengan lebih seksama. Beberapa kali di urut-nya syarat di belakang telinga laki-laki itu, akan tetapi orang itu tidak bereaksi sama sama sekali.


Akhirnya, Agung Sedayu menoleh sambil berkata - ,”Marilah paman, juga kau Gilang, kita akan mencoba apa yang sudah kita rencanakan kepada laki-laki ini. Semoga dugaanku tidak meleset”


Mata Gilang terlihat berkedip-kedip.



Salam,
Ries


No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...