BALADA
SWANDARU GENI
Bab IV:
Hilangnya Seorang Swandaru Geni
Babak – 13
Ujung kaki
Pandan Wangi sudah hampir menotol tanah untuk melesat ke depan saat didengarnya
suara Kiai Garda berbisik pendek.
“Tahan Nyi,
lihatlah!”, - sambil berdesis pelan Kiai Garda maju beberapa langkah.
Ketika itu,
keadaan Sekar Mirah terlihat sangat terpojok dan hampir tidak ada ruang untuk
menghindar. Dalam satu gerak berikutnya maka pertarungan itu agaknya akan
berakhir dan sudah dapat dibayangkan bagaimana keadaan Sekar Mirah.
Hanya saja ada
yang luput dari pengamatan Kiai Garda maupun Pandan Wangi, yaitu bahwa Sekar
Mirah mempunyai keyakinan yang teramat tinggi atas tindakannya. Seperti juga
Swandaru yang sering mengambil keputusan dengan cepat dan berani mengambil
resiko, ternyata sifat itu juga menempel pada diri Sekar Mirah.
Ia sadar
akan sulit untuk melayani lawannya yang kini berjumlah menjadi tiga orang serta
mempunyai ilmu meringankan tubuh yang mumpuni. Padahal ia meyakini sepenuhnya bahwa
lawan yang sesungguhnya tetaplah hanya satu orang, sebagaimana Agung Sedayu
sendiri mengakui bahwa meskipun mempunyai sifat yang lebih pekat dan lebih sulit
dipecahkan, tetapi pada dasarnya ajian Kakang Kawah Adi Ari-Ari tidak ubahnya adalah
mempertajam bentuk-bentuk semu yang tercipta sehingga sulit di kenali lawan.
Karena itu
Sekar Mirah mengambil sebuah tindakan yang teramat berani. Gerak putaran
tongkatnya memang agak mengendor ketika ia memusatkan nalar budi-nya lebih
tajam, akan tetapi ia memperhitungkan bahwa dalam jeda waktu itu ia akan sudah
berhasil mengenali satu dari tiga orang lawan yang sesungguhnya. Keyakinan yang
tinggi itulah yang telah menyelamatkan Sekar Mirah, sehingga pada saat yang
tepat ia bisa mengenali wujud asli dari lawannya.
Ketika
serangan tiga laki-laki berpakaian gelap itu datang membadai karena melihat
celah atau peluang akibat melambatnya putaran tongkat Sekar Mirah, saat itulah
mata batin Sekar Mirah meyakini dan mengenali seorang lawan yang sesungguhnya. Ia
sama sekali tidak ragu-ragu, tubuhnya secara tiba-tiba berputar ke kiri dan
sepenuhnya menghadap ke lawan sesungguhnya, Sekar Mirah sama sekali tidak
menghiraukan dua orang laki-laki berpakaian gelap lainnya yang juga
menyerangnya dari arah berbeda karena ia yakin itu hanyalah ujud semu. Keadaan
inilah yang tertangkap oleh mata Kiai Garda yang jeli dan tajam saat ia
berdesis lirih memperingatkan Pandan Wangi.
Saat itu Sekar
tidak mempunyai waktu banyak karena serangan dari lawannya sudah sedemikian
dekat. Dengan sedikit memiringkan tubuhnya, tangan kanannya yang memegang
tongkat terayun sekuat tenaga membentur tombak pendek bermata tiga yang menusuk
lurus mengancam dadanya. Ia benar-benar tidak menghiraukan serangan dua lawan
yang lain yang ternyata memang sama sekali tidak mampu menyentuh apalagi
menyakiti kulit tubuhnya.
Semua kejadian
itu terjadi dalam sekejab mata dan memang sudah tidak ada waktu lagi untuk
menghindar. Terjadilah sebuah benturan yang keras dan menimbulkan suara
gemerincing nyaring. Tenaga Sekar Mirah yang sudah berada di puncaknya itu
benar-benar tidak terlawan, laki-laki berpakaian gelap itu tanpa sadar berteriak
keras ketika tangannya tidak mampu mempertahankan senjatanya. Tombak pendek
bermata tiga itu terlontar ke samping dan melambung di udara.
Akan tetapi,
peristiwa yang terjadi berikutnya kembali membuat Kiai Garda dan Pandan Wangi terpekik
kagum ketika melihat sebuah gerakan yang sangat gesit dari lawan Sekar Mirah
itu.
Ketika
melihat senjata lawan sudah terlepas dari tangan, Sekar Mirah segera menyusulinya
dengan tendangan kaki kiri mendatar yang mengancam dada atau perut lawan. Sementara
dalam keterkejutan karena lepasnya senjata, tidak dinyana orang berpakaian
gelap itu telah mengambil keputusan yang sangat tidak biasa. Tendangan kaki
kiri Sekar Mirah yang mengancam dadanya itu tidak di hindarinya, melainkan
justru di sambutnya dengan pukulan tangan kanan yang tepat mengenai telapak
kaki Sekar Mirah.
Kembali
terjadi benturan yang keras dan kali ini adalah antara telapak kaki kiri Sekar
Mirah dengan pukulan tangan kanan lawannya. Benturan itu sama sekali tidak
menimbulkan bunyi keras ataupun teriak kesakitan, keduanya seolah hanya
merasakan sentuhan wadag yang sewajarnya. Akan tetapi inilah yang menjadi
kelebihan dari lawan Sekar Mirah, ternyata sentuhan atau benturan itu
dijadikannya sebagai pijakan atau daya lontar yang membuat tubuhnya melesat ke
udara dan melayang cepat justru ke arah tombak pendek bermata tiga yang tengah melayang
di udara. Dengan kecerdikan dan kegesitan yang luar biasa, laki-laki berpakaian
gelap itu telah meminjam tenaga tolakan akibat benturan itu untuk mengejar
senjatanya. Ketika kedua kakinya menyentuh tanah, ternyata di tangan kanannya
juga sudah tergenggam tombak pendek bermata tiga itu.
Sekar Mirah
tidak dapat menyembunyikan kekagumannya melihat ketangkasan lawannya itu.
Apalagi, hampir tidak berselang waktu, kedua bentuk semu lawannya itu kemudian
melompat saling menyilang sehingga ia harus menajamkan mata hatinya untuk
mengenali lawan yang sesungguhnya. Hanya saja Sekar Mirah sama sekali tidak
gentar, pengalaman yang baru saja di alaminya itu membuat ia lebih yakin untuk
mengenali lawan yang sesungguhnya dengan lebih cepat dan kemudian mengatur
serangan dengan lebih baik.
Demikianlah,
pertarungan itu kembali berlangsung dengan sengitnya. Keduanya terlihat lebih
berhati-hati, meskipun Sekar Mirah mampu mengenali lawan yang sesungguhnya
dengan lebih cepat, akan tetapi ketiga bayangan itu terkadang bahkan tidak menyerangnya
melainkan hanya melompat saling silang diantara mereka sendiri sehingga itu kembali
mengaburkan mata batin Sekar Mirah. Sementara putaran tongkat Sekar Mirah yang
rapat itu juga tidak mampu ditembus oleh lawannya.
Malam terus
merangkak, gelap semakin pekat dan waktu sudah mendekati wayah sepi uwong.
Saat itulah
tanpa diketahui dari mana asalnya tiba-tiba terdengar suara yang sangat dikenal
oleh Sekar Mirah dan mereka yang sedang berdiri di luar arena pertarungan itu.
“Sudahlah
Mirah, aku minta lepaskan lawanmu”
Bersamaan
dengan habisnya kalimat itu, tiba-tiba telah berdiri tiga sosok manusia di
sebelah Pandan Wangi dan Kiai Garda. Betapa terkejutnya perasaan Kiai Garda dan
Pandan Wangi dengan kehadiran tiga sosok disamping mereka yang sama sekali
tidak menimbulkan suara ataupun tanda-tanda lain. Keberadaannya begitu
tiba-tiba seolah mereka muncul dari dalam tanah.
Akan tetapi
begitu melihat siapa yang berdiri di samping mereka, hati Pandan Wangi
khususnya bagaikan disiram air dingin dan sejuk. Segera ia bergeser beberapa
langkah sambil memeluk salah seorang diantaranya.
“Kau tidak
apa-apa Gilang?”, - suara Pandan Wangi terdengar lirih seolah berbisik.
Gilang yang
merasakan nada suara PandanWangi tidak seperti biasanya itu sempat agak
terheran-heran, akan tetapi ia menduga bahwa pertarungan yang terjadi di
depannya itu cukup menyita hati dan perhatian ibundanya.
“Aku
baik-baik saja ibunda”, - jawab Gilang cepat.
Sesungguhnya
yang datang adalah Gilang, Ki Widura dan juga Agung Sedayu yang saat itu
langsung melangkah maju mendekati pertarungan antara Sekar Mirah melawan
laki-laki berpakaian gelap itu. Dengan wajah yang berkerut, Agung Sedayu
mengamati wajah dan perawakan lawan Sekar Mirah yang terus bergerak sambil
memainkan tombak bermata tiga. Gerak dan ilmu meringankan tubuhnya itu
sesungguhnya sangat menarik perhatian Agung Sedayu.
Wajah Agung
Sedayu terlihat bersungguh-sungguh, ia berhenti sekitar dua tombak dari
lingkaran pertarungan itu sambil mengulangi kalimatnya agar Sekar Mirah
melepaskan lawannya. Akan tetapi Sekar Mirah yang sudah tahu akan kehadiran
suaminya itu seolah tidak mendengar permintaannya. Justru putaran tongkat baja
putihnya semakin cepat dan membuat kabut putih bergulung-gulung yang lebih
dahsyat untuk melindungi tubuhnya.
Agung Sedayu
menarik nafas dalam-dalam, sebagai seorang suami yang sudah hidup
bertahun-tahun dengan istrinya, ia sangat mengenali watak Sekar Mirah. Agaknya
harga dirinya yang terlalu tinggi mencegahnya untuk menuruti permintaan
suaminya agar melepas lawannya. Apalagi ia masih punya keyakinan akan mampu
memenangkan pertarungan ini.
“Mirah,
dengarkan aku, apakah kau tidak menyadari bahwa kalian sengaja ditahan disini
selama mungkin agar tidak segera sampai di Kali Belehan tepat waktu. Saat ini
keselamatan adi Swandaru adalah yang terpenting, aku minta sekali lagi lepaskan
lawanmu”, - terdengar kembali suara Agung Sedayu kali ini dengan penuh tekanan.
Semua yang
mendengar perkataan Agung Sedayu menjadi terperanjat tak terkecuali Sekar
Mirah. Ia jarang sekali mendengar suaminya itu berkata kepadanya dengan penuh
tekanan seperti kali ini. Karena itu, ketika dilihatnya sebuah celah, tubuhnya
segera melesat menjauh dari lawannya dan berdiri di samping Agung Sedayu.
Sementara
Agung Sedayu tidak mau membuang-buang waktu, sambil berdiri tegak memusatkan
nalar budinya, ia berkali-kali mengusap pergelangan tangan kirinya menggunakan
tangan kanannya. Malam gelap gulita itu tiba-tiba saja dipenuhi oleh kabut
tipis yang keluar dari dalam tanah atau bahkan sebagian turun dari langit
memenuhi arena pertarungan itu. Semakin lama kabut itu semakin tebal sehingga
membentuk perisai yang menghalangi pandangan mereka yang ada disitu.
Kiai Garda
mengerutkan keningnya dalam-dalam, ia benar-benar tidak habis pikir atas
kemampuan yang dimiliki murid tertua Kiai Gringsing. Saat menyusun rencana di
padepokan beberapa hari yang lalu, ia sebenarnya mempunyai banyak pertanyaan di
benaknya, akan tetapi demi menjadi etika dan kepantasan ia tidak langsung
menanyakan kepada Agung Sedayu. Kini ternyata terbukti bahwa Agung Sedayu mampu
menyusulnya dengan cepat meskipun tanpa kuda, sementara ia menghabiskan tiga
hari perjalanan terus-menerus diatas punggung kuda. Terlebih ia juga menyaksikan
sendiri kedatangan Agung Sedayu yang seolah-olah muncul dari dalam tanah serta
mampu menghadirkan kabut yang membuat dinding di arena pertarungan ini.
Belum
selesai Kiai Garda dengan angan-angannya, tiba-tiba hidung semua yang ada di
arena pertarungan itu menangkap adanya bau yang sangat harum dan tajam. Bau itu
hanya melintas sesaat saja di indra penciuman dan perasaan mereka sebelum
kemudian berhembus dan berlalu begitu saja.
Tetapi tidak
demikian bagi laki-laki berpakaian gelap yang menjadi sasaran utama dari
munculnya bau harum yang tajam itu. Ketika masih terheran-heran dengan
munculnya kabut putih yang kini menjadi tebal itu, tiba-tiba bau harum itu
langsung menyergapnya dengan menusuk langsung ke indra penciumannya dan menembus
hingga ke syaraf otak. Seketika ia seperti orang yang hilang semua kesadarannya
dan setelah berdiri kebingungan beberapa saat, tubuhnya tiba-tiba saja roboh ke
tanah. Pingsan!
Agung Sedayu
yang tahu pasti bahwa laki-laki berpakaian gelap itu kini sudah jatuh pingsan
segera melepas semua ajian yang tadi dipergunakan untuk menyerangnya. Dengan
cepat kabut itu tersibak, sehingga yang terlihat adalah gelap malam sebagaimana
biasanya. Sementara bau harum yang tajam itu juga sudah tidak berbekas sama
sekali seolah bau itu memang tidak pernah melintas.
Dari jarak
beberapa tombak, semua mata melihat betapa laki-laki berpakaian gelap itu kini
terbaring diam. Dengan tergesa-gesa Agung Sedayu segera melangkah dan sambil berjongkok
ia memeriksa pergelangan tangan orang itu dimana ia masih merasakan denyut nadi
meskipun lemah.
Agung Sedayu
segera membalikkan badannya dan menghadap ke arah Kiai Garda yang lainnya yang
ternyata juga sudah melangkah mendekat. Kembali dengan suara yang
bersungguh-sungguh ia berkata.
“Maaf Kiai,
dan juga yang lainnya, agaknya persoalan yang kita hadapi benar-benar rumit dan
bahkan sangat membahayakan kita semuanya. Terlebih lagi, kita dibatasi oleh
waktu. Menurut pemahamanku, bulan purnama sudah lewat dua pekan lalu dan besok
adalah puncak dari hari kegelapan. Itu adalah batas akhir bagi kita untuk bisa
menyelamatkan adi Swandaru, karena kalau lewat dari hari itu agaknya kita akan
mengalami lebih banyak kesulitan”
Agung Sedayu
terlihat berhenti sejenak, untuk menata kalimatnya.
“Karena itu,
kita harus sudah tiba di tepi Kali Belehan itu paling lambat besok pagi. Aku
mohon Kiai beserta Pandan Wangi dan Sekar Mirah segera melanjutkan perjalanan
sekarang. Tidak perlu ditunda –tunda lagi, tinggalkan kami disini”, - Agung
Sedayu melanjutkan kalimatnya.
Kiai Garda,
Pandan Wangi dan Sekar Mirah menunjukkan wajah tegang. Ada banyak pertanyaan
yang hendak di ajukan, akan tetapi mereka sadar bahwa ini bukan saat yang tepat,
apalagi mereka diburu waktu untuk segera sampai ke tujuan. Segera mereka bertiga
mengambil kuda-kuda mereka dan bersiap untuk melanjutkan perjalanan.
“Bagaimana
dengan orang itu kakang?”, - tanya Sekar Mirah sambil matanya melirik ke arah laki-laki
berpakaian gelap yang kini terbaring di tanah.
“Jangan
hiraukan dia, aku akan mengurusnya”, - jawab Agung Sedayu pendek.
“Aku titip
kedua kemenakanku itu Kiai”, - terdengar suara Ki Widura yang ditujukan kepada
Kiai Garda.
“Ah, ternyata
mereka adalah perempuan luar biasa yang mampu melindungi diri sendiri bahkan
orang lain Ki”, - jawab Kiai Garda sambil tersenyum.
Demkianlah,
tanpa sempat bercakap-cakap lebih lama sebagaimana kebiasaannya, ternyata
mereka harus segera berpisah dan melanjutkan perjalanannya. Menembus hutan yang
meskipun tidak terlalu rapat akan tetapi tentu saja sangat gelap.
Sepeninggal
mereka, Agung Sedayu segera berjongkok dan kembali memeriksa keadaan tubuh
laki-laki berpakaian gelap itu dengan lebih seksama. Beberapa kali di urut-nya
syarat di belakang telinga laki-laki itu, akan tetapi orang itu tidak bereaksi
sama sama sekali.
Akhirnya,
Agung Sedayu menoleh sambil berkata - ,”Marilah paman, juga kau Gilang, kita akan
mencoba apa yang sudah kita rencanakan kepada laki-laki ini. Semoga dugaanku
tidak meleset”
Mata Gilang
terlihat berkedip-kedip.
Salam,
Ries
No comments:
Post a Comment