BALADA
SWANDARU GENI
Bab IV:
Hilangnya Seorang Swandaru Geni
Babak – 14
Sementara
itu, Kiai Garda, Pandan Wangi dan Sekar Mirah mulai berjalan menembus kegelapan
hutan yang ternyata semakin pekat. Sambil memegang kendali kuda masing-masing
mereka maju selangkah demi selangkah sehingga perjalanan itu terasa sangat
lamban. Kiai Garda yang berada paling
depan benar-benar mencoba menajamkan indra penglihatannya agar bisa memilih
jalan yang tidak hanya bisa mereka lintasi, akan tetapi juga dapat di lintasi kuda-kuda
mereka. Untunglah beberapa saat setelah berada di dalam hutan, mata mereka
semakin terbiasa sehingga bisa memilih jalan yang terbaik untuk terus melangkah
maju. Mereka berjalan berurutan bagaikan urut kacang.
Sambil terus
melangkah maju, angan-angan ketiganya masih terpancang pada kejadian yang baru
saja mereka alami. Kehadiran laki-laki berpakaian gelap itu masih memunculkan
banyak tanda tanya yang belum terjawab. Sementara kehadiran Agung Sedayu yang
tiba-tiba saja mampu menyusul ketiganya yang sudah berkuda hampir tiga hari
tanpa berhenti juga sama sekali diluar nalar mereka. Apalagi disertai pula oleh
Ki Widura dan Gilang.
“Siapakah
kira-kira laki-laki berpakaian gelap itu Kiai?”, - tiba-tiba Sekar Mirah tidak
bisa menahan hatinya untuk bertanya kepada Kiai Garda.
Kiai Garda
yang mendengar pertanyaan Sekar Mirah itu tidak langsung menjawab, kakinya
terus melangkah maju untuk mencari pijakan terbaik bagi kaki-kaki mereka maupun
kudanya.
“Aku juga
tidak tahu Nyi, tetapi sesungguhnya aku menangkap kesan yang aneh pada
wajahnya. Entahlah, apakah Nyi Pandan Wangi juga sempat memperhatikan”, - jawab
Kiai Garda justru melempar pertanyaan kepada Pandan Wangi.
Pandan Wangi
yang berjalan paling belakang dan mendengar kalimat Kiai Garda itu mencoba
mengingat wajah laki-laki berpakaian gelap itu. Dengan sedikit ragu-ragu ia
kemudian menjawab - ,”Kiai, seingatku wajah laki-laki itu terlihat bersih akan tetapi
tatapan matanya sering terlihat kosong. Ia seolah tidak menyadari sepenuhnya
atas tindakan yang dilakukannya, akan tetapi ia segera menunjukkan keterkejutan
dan bereaksi dengan cepat setiap kali datang serangan dari Sekar Mirah. Entah,
apakah pandanganku ini benar”
Kiai Garda
menarik nafas dalam-dalam - ,”Sungguh mengagumkan, Nyi Pandan Wangi mempunyai
pandangan yang teramat tajam. Sejujurnya aku kagum atas kejelian Nyi Pandan
Wangi”
“Ah, Kiai
terlalu memuji”, - sahut Pandan Wangi cepat.
Kiai Garda
tidak lagi menjawab, melainkan berkata kepada Sekar Mirah - ,”Sebenarnya itulah
yang menjadi teka-teki bagiku Nyi, mungkin Nyi Sekar Mirah tidak menyadarinya
karena harus langsung berhadapan dengan laki-laki itu. Sementara kami yang
berdiri diluar arena tentu saja mempunyai kesempatan yang lebih luas untuk bisa
melihat dan menilai kesan dan sikap pada laki-laki berpakaian gelap itu”
Sekar Mirah
semakin mengerutkan keningnya - ,”Bagaimanakah kesan dan penilaian Kiai atas
laki-laki itu?”
Kembali Kiai
Garda tidak langsung menjawab, baginya melangkah terus maju adalah lebih
penting sehingga mereka akan sampai di tepian Kali Belehan dengan lebih cepat.
Setelah menemukan jalan yang agak longgar dengan sedikit rintangan, ia kemudian
berkata.
“Aku tidak
tahu apakah pengamatanku ini benar, akan tetapi sesungguhnya aku merasakan
adanya sebuah kekuataan yang sangat kuat mempengaruhi tindakan laki-laki
berpakaian gelap itu. Ia bertindak karena adanya pengaruh dari luar, bukan atas
kehendaknya sendiri karena jiwanya lebih sering kosong. Hanya saja, dasar
kemampuan olah kanuragannya yang tinggi setiap kali mampu menyentuh syaraf
kesadarannya meskipun hanya sepintas, terutama jika datang serangan
membadai dari Nyi Sekar Mirah”
Sekar Mirah
dan Pandan Wangi kembali mengerutkan keningnya, tiba-tiba saja mereka seolah
tersadarkan dan kembali membayangkan gerakan-gerakan mendadak yang sering di
lakukan laki-laki berpakaian hitam itu. Pandan Wangi harus mengakui bahwa apa
yang diurakan Kiai Garda itu tidak jauh dari apa yang ia lihat, ia kembali
membayangkan raut wajah laki-laki berpakaian gelap itu.
“Wajah itu sama
sekali tidak menunjukkan kebengisan Kiai, bagaimana mungkin ia memelihara lima
kelelawar yang haus darah itu?”, - desis Pandan Wangi dengan tiba-tiba.
Kiai Garda
menggelengkan kepalanya - ,”Tentu aku juga tidak tahu Nyi, akan tetapi aku
menduga bahwa ada orang yang mengendalikan dia dan mempunyai pengaruh yang
tidak terlawan. Laki-laki berpakaian gelap itu nampaknya sering tidak sadar
atau bahkan kehilangan kepribadiannya. Dalam hal ini, agaknya Ki Agung Sedayu
pasti mempunyai penilaian yang lebih banyak dan lebih tajam sehingga ia
memutuskan untuk muncul dan menangani sendiri laki-laki berpakaian gelap itu.
Sementara kita diminta untuk terus berjalan agar tidak terlambat hingga ke
tujuan”
Disebutnya
nama Agung Sedayu membuat hati Pandan Wangi berdebar-debar. Entah mengapa ia
selalu mempunyai harapan yang besar akan terlepas dari segala masalah yang
membelit hati dan perasaannya setiap kali nama Agung Sedayu disebut. Kali
inipun Agung Sedayu hadir dalam usahanya untuk membebaskan Swandaru yang tidak
lain adalah suaminya.
Pandan Wangi
menggigit bibirnya untuk mengusir bayangan-bayangan yang tidak semestinya itu.
Sementara perhatiannya kembali dipusatkan kepada jalan di depannya yang kadang
cukup sulit untuk dilalui khususnya oleh kuda mereka.
Sementara
Sekar Mirah merasakan kebanggaan didadanya seolah mekar dengan sendirinya.
Agung Sedayu yang dulu dikenalnya sebagai pemuda yang penuh dengan sikap
ragu-ragu, kini ternyata telah berkembang pesat dan bahkan menjelma menjadi
laki-laki yang banyak disebut-sebut untuk menyelesaikan berbagai kesulitan. Bahkan
sumbangsih-nya atas berdirinya kerajaan Mataram diakui oleh Ki Patih Mandaraka
dan Panembahan Senapati hingga Raja yang memerintah sekarang.
Sambil terus
melangkah, hati Pandan Wangi tiba-tiba tercekat, tanpa bisa menahan diri lagi
ia kemudian bertanya kepada Kiai Garda.
“Kiai,
apakah Kiai Garda melihat ada hubungan antara laki-laki berpakaian gelap itu
dengan persoalan kita di Kali Belehan nanti Kiai?”, - suara Pandan Wangi
bergetar.
Terdengar
suara Kiai Garda berdeham, sementara Sekar Mirah yang berjalan di tengah-tengah
juga memperdengarkan suara terpekik meskipun lirih. Sekar Miirah sama sekali
tidak berpikir jauh serta mengurai keadaan yang baru saja mereka hadapi.
Sambil
menata kalimatnya, Kiai Garda kemudian menjawab dengan hati-hati – ,” Nyi
Pandan Wangi, sejak awal kemunculan laki-laki berpakaian gelap itu aku memang
berusaha untuk menguras seluruh ingatan dalam diriku. Dari kemampuan dan unsur
gerak meringankan tubuh laki-laki berpakaian gelap itu, rasanya aku pernah melihat atau paling
tidak mendengar seseorang bercerita tentang sebuah perguruan di lereng Gunung
Lawu wetan”
“Apakah nama
perguruan itu Kiai?”, - tanya Sekar Mirah.
“Mereka
mendirikan sebuah Padepokan dan orang menyebutnya dengan nama Padepokan
Belalang Hijau, dan aku kira mereka pantas menyandang nama itu. Hal itu tidak
lepas dari kemampuan penghuninya yang rata-rata menguasai ilmu meringankan
tubuh dengan sangat baik. Konon dalam sekali lompatan mereka bisa terlontar
hampir belasan kali panjang tubuhnya dan itu semua dilakukan tanpa
ancang-ancang. Aku lihat lawan Nyi Sekar Mirah mampu melakukannya dengan sangat
baik meskipun terkadang ia seperti hilang ingatan”
Dada Sekar
Mirah dan Pandan Wangi menjadi semakin berdebar-debar.
“Apakah Kiai
menduga bahwa laki-laki berpakaian gelap itu adalah guru dari Padepokan
Belalang Hijau? Lalu mengapa ia justru memelihara kelelawar dan bukan
belalang?”, - Sekar Mirah mengejar dengan pertanyaan lanjutan.
Udara malam
terasa semakin menusuk kulit tubuh, untunglah di dalam hutan ini meskipun gelap
akan tetapi tidak terlalu banyak angin yang menerpa tubuh mereka karena sudah
tertahan oleh rapatnya batang dan dedaunan disekitarnya. Agaknya tengah malam
sudah mereka lalui beberapa saat yang lalu.
Setelah
menggeleng-gelengkan kepalanya, Kiai Garda yang terdiam untuk beberapa lama itu
kemudian menjawab pertanyaan Sekar Mirah sambil mempertajam ingatannya.
“Sepengetahuanku,
padepokan itu sudah lama hancur atau tidak terdengar keberadaannya sejak belasan
tahun silam. Menurut kabar, pendiri padepokan yang saat itu sudah berusia
lanjut berniat untuk mengundurkan diri dan mengasing di puncak Gunung Lawu.
Saat itulah terjadi perebutan pimpinan antara dua putranya sehingga terjadi pertarungan
sengit di puncak Lawu yang disaksikan oleh guru sekaligus orangtua mereka.
Hanya saja bagaimana hasilnya tidak banyak orang yang tahu dan saat itu pula
keberadaan padepokan itu justru mulai dilupakan orang. Tetapi aku menduga bahwa
laki-laki berpakaian gelap yang kita temui di mulut hutan tadi adalah salah
satu dari putra pemimpin Padepokan Belalang Hijau itu. Hal ini juga berdasar
dari pakaian yang dikenakan-nya yang juga berwarna hijau meskipun gelap. Sedang
mengapa ia justru memelihara kelelawar dan bukan belalang, hal itu sama sekali
tidak aku ketahui alasannya”
Pandan Wangi
dan Sekar Mirah mendengarkan penjelasan Kiai Garda sambil merenung, agaknya
yang namanya perebutan kekuasaan memang terjadi dimana-mana. Tidak hanya di tingkat
atas yang melibatkan perang antar kerajaan sebagaimana yang terjadi antara
Pajang dan Jipang, atau yang terakhir antara Mataram melawan Madiun, akan
tetapi juga terjadi dalam tingkat padepokan bahkan dalm sebuah keluarga.
“Semua itu
menggambarkan betapa pengumbaran nafsu dan sifat tamak manusia akan berakibat
kehancuran bagi manusia yang lain maupun manusia itu sendiri”, - desis Pandan
Wangi dalam hati.
Akan tetapi
yang terucap dari bibir Pandan Wangi ternyata lain - ,”Kiai Garda belum
menjawab pertanyaanku, apakah Kiai melihat ada hubungan antara laki-laki
berpakaian gelap itu dengan persoalan kita di Kali Belehan?”
Kini Kiai
Garda terlihat mengangguk angguk-kan kepalanya - ,”Tadinya aku juga sama sekali
tidak yakin Nyi, semuanya masih berupa teka-teki. Akan tetapi kemunculan Ki
Agung Sedayu yang tiba-tiba dan langsung bertindak keras kepada laki-laki
berpakaian gelap itu membenarkan dugaanku bahwa laki-laki itu ada dalam
pengaruh kekuatan lain di luar dirinya. Laki-laki itu tidak sadar apa yang sedang
dilakukannya, apalagi Ki Agung Sedayu langsung meminta kita untuk berangkat ke
Kali Belehan tanpa menunda waktu, dugaanku rasanya semakin kuat”
“Seperti
apakah dugaan Kiai itu?”, - tanya Sekar Mirah dengan hati tercekat.
Kiai Garda
menarik nafas dalam-dalam, ia sebenarnya enggan untuk berbicara terus terang
Akan tetapi ia sadar bahwa kedua perempuan yang saat ini berjalan bersamanya
ini adalah bukan perempuan biasa dan bahwa memang keduanya sangat
berkepentingan dengan persoalan yang sedang mereka hadapi. Adalah lebih baik untuk mengetahui keadaan
atau dugaan yang sesungguhnya sehingga bisa mempersiapkan diri dengan lebih
baik ketika nanti menghadapi masalah di Kali Belehan.
“Dugaanku
adalah bahwa kekuatan yang mempengaruhi dan tidak terlawan oleh laki-laki
berpakaian gelap itu berasal dari penguasa Kali Belehan. Aku ingat perkataan Ki
Agung Sedayu sesaat setelah mengetrapkan ajian Rogoh Sukma di sanggar beberapa
hari yang lalu, saat itu Ki Agung Sedayu mengatakan bahwa dibalik makhluk
Onggo-Inggi yang menyeramkan itu, ada sebuah kekuatan yang memancarkan aura
gelap yang justru jauh lebih berbahaya dari Onggo-Inggi itu sendiri. Kekuatan
inilah yang agaknya telah mempengaruhi dan mengendalikan perilaku laki-laki
berpakaian gelap itu”, - suara Kiai Garda tiba-tiba bernada kekuatiran yang
sangat dalam.
Pandan Wangi
dan Sekar Mirah yang mendengar uraian Kiai Garda itu mencoba mencerna dengan
lebih dalam. Pada dasarnya keduanya adalah perempuan yang dikarunia nalar yang
cerdas sehingga bisa menilai sebuah keadaan atau keterangan yang sampai kepada
mereka. Kalimat terakhir yang diungkapkan dengan nada penuh kekuatiran itu
seolah membimbing dugaan mereka untuk menghasilkan kesimpulan yang membuat hati
keduanya tercekat.
Butir-butir
keringat tiba-tiba saja muncul memenuhi wajah serta punggung Pandan Wangi,
bahkan ia tidak bisa menahan diri lagi untuk meminta penegasan atas kesimpulan
dugaannya itu kepada Kiai Garda.
“Kiai”, -
suara Pandan Wangi terdengar tersendat - ,”Apakah kita mempunyai dugaan yang
sama, bahwa kekuatan yang menguasai dan mengendalikan laki-laki berpakaian
gelap itu adalah kekuatan yang sama yang saat ini menguasai kakang Swandaru?”
Butir
keringat dingin kini juga membayang di wajah Kiai Garda.
Salam,
Ries
No comments:
Post a Comment