Saturday, July 29, 2017

BSG - BAB.IV - HSSG - Babak-14

BALADA SWANDARU GENI
Bab IV: Hilangnya Seorang Swandaru Geni
Babak – 14



Sementara itu, Kiai Garda, Pandan Wangi dan Sekar Mirah mulai berjalan menembus kegelapan hutan yang ternyata semakin pekat. Sambil memegang kendali kuda masing-masing mereka maju selangkah demi selangkah sehingga perjalanan itu terasa sangat lamban.  Kiai Garda yang berada paling depan benar-benar mencoba menajamkan indra penglihatannya agar bisa memilih jalan yang tidak hanya bisa mereka lintasi, akan tetapi juga dapat di lintasi kuda-kuda mereka. Untunglah beberapa saat setelah berada di dalam hutan, mata mereka semakin terbiasa sehingga bisa memilih jalan yang terbaik untuk terus melangkah maju. Mereka berjalan berurutan bagaikan urut kacang.



Sambil terus melangkah maju, angan-angan ketiganya masih terpancang pada kejadian yang baru saja mereka alami. Kehadiran laki-laki berpakaian gelap itu masih memunculkan banyak tanda tanya yang belum terjawab. Sementara kehadiran Agung Sedayu yang tiba-tiba saja mampu menyusul ketiganya yang sudah berkuda hampir tiga hari tanpa berhenti juga sama sekali diluar nalar mereka. Apalagi disertai pula oleh Ki Widura dan Gilang.


“Siapakah kira-kira laki-laki berpakaian gelap itu Kiai?”, - tiba-tiba Sekar Mirah tidak bisa menahan hatinya untuk bertanya kepada Kiai Garda.


Kiai Garda yang mendengar pertanyaan Sekar Mirah itu tidak langsung menjawab, kakinya terus melangkah maju untuk mencari pijakan terbaik bagi kaki-kaki mereka maupun kudanya.


“Aku juga tidak tahu Nyi, tetapi sesungguhnya aku menangkap kesan yang aneh pada wajahnya. Entahlah, apakah Nyi Pandan Wangi juga sempat memperhatikan”, - jawab Kiai Garda justru melempar pertanyaan kepada Pandan Wangi.


Pandan Wangi yang berjalan paling belakang dan mendengar kalimat Kiai Garda itu mencoba mengingat wajah laki-laki berpakaian gelap itu. Dengan sedikit ragu-ragu ia kemudian menjawab - ,”Kiai, seingatku wajah laki-laki itu terlihat bersih akan tetapi tatapan matanya sering terlihat kosong. Ia seolah tidak menyadari sepenuhnya atas tindakan yang dilakukannya, akan tetapi ia segera menunjukkan keterkejutan dan bereaksi dengan cepat setiap kali datang serangan dari Sekar Mirah. Entah, apakah pandanganku ini benar”


Kiai Garda menarik nafas dalam-dalam - ,”Sungguh mengagumkan, Nyi Pandan Wangi mempunyai pandangan yang teramat tajam. Sejujurnya aku kagum atas kejelian Nyi Pandan Wangi”


“Ah, Kiai terlalu memuji”, - sahut Pandan Wangi cepat.


Kiai Garda tidak lagi menjawab, melainkan berkata kepada Sekar Mirah - ,”Sebenarnya itulah yang menjadi teka-teki bagiku Nyi, mungkin Nyi Sekar Mirah tidak menyadarinya karena harus langsung berhadapan dengan laki-laki itu. Sementara kami yang berdiri diluar arena tentu saja mempunyai kesempatan yang lebih luas untuk bisa melihat dan menilai kesan dan sikap pada laki-laki berpakaian gelap itu”


Sekar Mirah semakin mengerutkan keningnya - ,”Bagaimanakah kesan dan penilaian Kiai atas laki-laki itu?”


Kembali Kiai Garda tidak langsung menjawab, baginya melangkah terus maju adalah lebih penting sehingga mereka akan sampai di tepian Kali Belehan dengan lebih cepat. Setelah menemukan jalan yang agak longgar dengan sedikit rintangan, ia kemudian berkata.


“Aku tidak tahu apakah pengamatanku ini benar, akan tetapi sesungguhnya aku merasakan adanya sebuah kekuataan yang sangat kuat mempengaruhi tindakan laki-laki berpakaian gelap itu. Ia bertindak karena adanya pengaruh dari luar, bukan atas kehendaknya sendiri karena jiwanya lebih sering kosong. Hanya saja, dasar kemampuan olah kanuragannya yang tinggi setiap kali mampu menyentuh syaraf kesadarannya meskipun hanya sepintas, terutama jika datang serangan membadai  dari Nyi Sekar Mirah”


Sekar Mirah dan Pandan Wangi kembali mengerutkan keningnya, tiba-tiba saja mereka seolah tersadarkan dan kembali membayangkan gerakan-gerakan mendadak yang sering di lakukan laki-laki berpakaian hitam itu. Pandan Wangi harus mengakui bahwa apa yang diurakan Kiai Garda itu tidak jauh dari apa yang ia lihat, ia kembali membayangkan raut wajah laki-laki berpakaian gelap itu.


“Wajah itu sama sekali tidak menunjukkan kebengisan Kiai, bagaimana mungkin ia memelihara lima kelelawar yang haus darah itu?”, - desis Pandan Wangi dengan tiba-tiba.


Kiai Garda menggelengkan kepalanya - ,”Tentu aku juga tidak tahu Nyi, akan tetapi aku menduga bahwa ada orang yang mengendalikan dia dan mempunyai pengaruh yang tidak terlawan. Laki-laki berpakaian gelap itu nampaknya sering tidak sadar atau bahkan kehilangan kepribadiannya. Dalam hal ini, agaknya Ki Agung Sedayu pasti mempunyai penilaian yang lebih banyak dan lebih tajam sehingga ia memutuskan untuk muncul dan menangani sendiri laki-laki berpakaian gelap itu. Sementara kita diminta untuk terus berjalan agar tidak terlambat hingga ke tujuan”


Disebutnya nama Agung Sedayu membuat hati Pandan Wangi berdebar-debar. Entah mengapa ia selalu mempunyai harapan yang besar akan terlepas dari segala masalah yang membelit hati dan perasaannya setiap kali nama Agung Sedayu disebut. Kali inipun Agung Sedayu hadir dalam usahanya untuk membebaskan Swandaru yang tidak lain adalah suaminya.


Pandan Wangi menggigit bibirnya untuk mengusir bayangan-bayangan yang tidak semestinya itu. Sementara perhatiannya kembali dipusatkan kepada jalan di depannya yang kadang cukup sulit untuk dilalui khususnya oleh kuda mereka.


Sementara Sekar Mirah merasakan kebanggaan didadanya seolah mekar dengan sendirinya. Agung Sedayu yang dulu dikenalnya sebagai pemuda yang penuh dengan sikap ragu-ragu, kini ternyata telah berkembang pesat dan bahkan menjelma menjadi laki-laki yang banyak disebut-sebut untuk menyelesaikan berbagai kesulitan. Bahkan sumbangsih-nya atas berdirinya kerajaan Mataram diakui oleh Ki Patih Mandaraka dan Panembahan Senapati hingga Raja yang memerintah sekarang.


Sambil terus melangkah, hati Pandan Wangi tiba-tiba tercekat, tanpa bisa menahan diri lagi ia kemudian bertanya kepada Kiai Garda.


“Kiai, apakah Kiai Garda melihat ada hubungan antara laki-laki berpakaian gelap itu dengan persoalan kita di Kali Belehan nanti Kiai?”, - suara Pandan Wangi bergetar.


Terdengar suara Kiai Garda berdeham, sementara Sekar Mirah yang berjalan di tengah-tengah juga memperdengarkan suara terpekik meskipun lirih. Sekar Miirah sama sekali tidak berpikir jauh serta mengurai keadaan yang baru saja mereka hadapi.


Sambil menata kalimatnya, Kiai Garda kemudian menjawab dengan hati-hati – ,” Nyi Pandan Wangi, sejak awal kemunculan laki-laki berpakaian gelap itu aku memang berusaha untuk menguras seluruh ingatan dalam diriku. Dari kemampuan dan unsur gerak meringankan tubuh laki-laki berpakaian gelap  itu, rasanya aku pernah melihat atau paling tidak mendengar seseorang bercerita tentang sebuah perguruan di lereng Gunung Lawu wetan”


“Apakah nama perguruan itu Kiai?”, - tanya Sekar Mirah.


“Mereka mendirikan sebuah Padepokan dan orang menyebutnya dengan nama Padepokan Belalang Hijau, dan aku kira mereka pantas menyandang nama itu. Hal itu tidak lepas dari kemampuan penghuninya yang rata-rata menguasai ilmu meringankan tubuh dengan sangat baik. Konon dalam sekali lompatan mereka bisa terlontar hampir belasan kali panjang tubuhnya dan itu semua dilakukan tanpa ancang-ancang. Aku lihat lawan Nyi Sekar Mirah mampu melakukannya dengan sangat baik meskipun terkadang ia seperti hilang ingatan”


Dada Sekar Mirah dan Pandan Wangi menjadi semakin berdebar-debar.


“Apakah Kiai menduga bahwa laki-laki berpakaian gelap itu adalah guru dari Padepokan Belalang Hijau? Lalu mengapa ia justru memelihara kelelawar dan bukan belalang?”, - Sekar Mirah mengejar dengan pertanyaan lanjutan.


Udara malam terasa semakin menusuk kulit tubuh, untunglah di dalam hutan ini meskipun gelap akan tetapi tidak terlalu banyak angin yang menerpa tubuh mereka karena sudah tertahan oleh rapatnya batang dan dedaunan disekitarnya. Agaknya tengah malam sudah mereka lalui beberapa saat yang lalu.


Setelah menggeleng-gelengkan kepalanya, Kiai Garda yang terdiam untuk beberapa lama itu kemudian menjawab pertanyaan Sekar Mirah sambil mempertajam ingatannya.


“Sepengetahuanku, padepokan itu sudah lama hancur atau tidak terdengar keberadaannya sejak belasan tahun silam. Menurut kabar, pendiri padepokan yang saat itu sudah berusia lanjut berniat untuk mengundurkan diri dan mengasing di puncak Gunung Lawu. Saat itulah terjadi perebutan pimpinan antara dua putranya sehingga terjadi pertarungan sengit di puncak Lawu yang disaksikan oleh guru sekaligus orangtua mereka. Hanya saja bagaimana hasilnya tidak banyak orang yang tahu dan saat itu pula keberadaan padepokan itu justru mulai dilupakan orang. Tetapi aku menduga bahwa laki-laki berpakaian gelap yang kita temui di mulut hutan tadi adalah salah satu dari putra pemimpin Padepokan Belalang Hijau itu. Hal ini juga berdasar dari pakaian yang dikenakan-nya yang juga berwarna hijau meskipun gelap. Sedang mengapa ia justru memelihara kelelawar dan bukan belalang, hal itu sama sekali tidak aku ketahui alasannya”


Pandan Wangi dan Sekar Mirah mendengarkan penjelasan Kiai Garda sambil merenung, agaknya yang namanya perebutan kekuasaan memang terjadi dimana-mana. Tidak hanya di tingkat atas yang melibatkan perang antar kerajaan sebagaimana yang terjadi antara Pajang dan Jipang, atau yang terakhir antara Mataram melawan Madiun, akan tetapi juga terjadi dalam tingkat padepokan bahkan dalm sebuah keluarga.


“Semua itu menggambarkan betapa pengumbaran nafsu dan sifat tamak manusia akan berakibat kehancuran bagi manusia yang lain maupun manusia itu sendiri”, - desis Pandan Wangi dalam hati.


Akan tetapi yang terucap dari bibir Pandan Wangi ternyata lain - ,”Kiai Garda belum menjawab pertanyaanku, apakah Kiai melihat ada hubungan antara laki-laki berpakaian gelap itu dengan persoalan kita di Kali Belehan?”


Kini Kiai Garda terlihat mengangguk angguk-kan kepalanya - ,”Tadinya aku juga sama sekali tidak yakin Nyi, semuanya masih berupa teka-teki. Akan tetapi kemunculan Ki Agung Sedayu yang tiba-tiba dan langsung bertindak keras kepada laki-laki berpakaian gelap itu membenarkan dugaanku bahwa laki-laki itu ada dalam pengaruh kekuatan lain di luar dirinya. Laki-laki itu tidak sadar apa yang sedang dilakukannya, apalagi Ki Agung Sedayu langsung meminta kita untuk berangkat ke Kali Belehan tanpa menunda waktu, dugaanku rasanya semakin kuat”


“Seperti apakah dugaan Kiai itu?”, - tanya Sekar Mirah dengan hati tercekat.


Kiai Garda menarik nafas dalam-dalam, ia sebenarnya enggan untuk berbicara terus terang Akan tetapi ia sadar bahwa kedua perempuan yang saat ini berjalan bersamanya ini adalah bukan perempuan biasa dan bahwa memang keduanya sangat berkepentingan dengan persoalan yang sedang mereka hadapi.  Adalah lebih baik untuk mengetahui keadaan atau dugaan yang sesungguhnya sehingga bisa mempersiapkan diri dengan lebih baik ketika nanti menghadapi masalah di Kali Belehan.


“Dugaanku adalah bahwa kekuatan yang mempengaruhi dan tidak terlawan oleh laki-laki berpakaian gelap itu berasal dari penguasa Kali Belehan. Aku ingat perkataan Ki Agung Sedayu sesaat setelah mengetrapkan ajian Rogoh Sukma di sanggar beberapa hari yang lalu, saat itu Ki Agung Sedayu mengatakan bahwa dibalik makhluk Onggo-Inggi yang menyeramkan itu, ada sebuah kekuatan yang memancarkan aura gelap yang justru jauh lebih berbahaya dari Onggo-Inggi itu sendiri. Kekuatan inilah yang agaknya telah mempengaruhi dan mengendalikan perilaku laki-laki berpakaian gelap itu”, - suara Kiai Garda tiba-tiba bernada kekuatiran yang sangat dalam.


Pandan Wangi dan Sekar Mirah yang mendengar uraian Kiai Garda itu mencoba mencerna dengan lebih dalam. Pada dasarnya keduanya adalah perempuan yang dikarunia nalar yang cerdas sehingga bisa menilai sebuah keadaan atau keterangan yang sampai kepada mereka. Kalimat terakhir yang diungkapkan dengan nada penuh kekuatiran itu seolah membimbing dugaan mereka untuk menghasilkan kesimpulan yang membuat hati keduanya tercekat.


Butir-butir keringat tiba-tiba saja muncul memenuhi wajah serta punggung Pandan Wangi, bahkan ia tidak bisa menahan diri lagi untuk meminta penegasan atas kesimpulan dugaannya itu kepada Kiai Garda.


“Kiai”, - suara Pandan Wangi terdengar tersendat - ,”Apakah kita mempunyai dugaan yang sama, bahwa kekuatan yang menguasai dan mengendalikan laki-laki berpakaian gelap itu adalah kekuatan yang sama yang saat ini menguasai kakang Swandaru?”


Butir keringat dingin kini juga membayang di wajah Kiai Garda.



Salam,

Ries

No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...