Tuesday, July 18, 2017

BSG - BAB.IV - HSSG - Babak-09

BALADA SWANDARU GENI
Bab IV: Hilangnya Seorang Swandaru Geni
Babak – 09



Kebingungan itu menjalar ke para cantrik lain yang kemudian berkumpul serta membicarakan lenyap-nya Agung Sedayu dan Gilang dari dalam sanggar. Semuanya mengaku tidak melihat mereka keluar dari padepokan sehingga di yakini bahwa keduanya pasti masih berada di dalam sanggar.


“Begini saja”, - akhirnya cantrik yang tertua itu berkata - ,”Dua diantara kalian keluarlah  dan berjalan mengelilingi sekitar padepokan. Sedapat mungkin carilah alasan agar bisa mampir di gardu perondan  prajurit Jati Anom yang berada di ujung sebelum bulak dan tanyakan apakah prajurit-prajurit itu sempat melihat Ki Agung Sedayu dan Gilang hari ini. Tetapi berbuatlah seolah tidak terjadi apa-apa agar tidak justru menimbulkan pertanyaan. Yang lain berjaga-jaga di padepokan, sementara aku sendiri akan berjaga di depan pintu sanggar ini hingga guru Widura kembali besok siang”


Demikianlah, malam itu semua cantrik tidak ada yang memejamkan matanya. Mereka di cekam oleh perasaan tegang mengingat tidak ada satupun pemimpin padepokan ini yang hadir, sementara justru Agung Sedayu yang merupakan murid utama dari pendiri padepokan malah lenyap bagaikan asap.


“Apakah mungkin Ki Agung Sedayu pergi menggunakan aji Panglimunan sehingga kita semua tidak melihatnya?”, - tanya salah seorang diantara cantrik itu.


“Apakah Ki Agung Sedayu menguasai Aji Panglimunan?”, - temannya justru balik bertanya.


Cantrik yang semula bertanya itu tidak menjawab lagi, ia hanya mengangkat pundaknya menandakan ketidaktahuannya.


Sementara itu, tidak jauh dari padepokan Jati Anom yang arahnya justru berlawanan dari goa kecil di dimana Ki Widura berada, Agung Sedayu dan Gilang sedang duduk bersila dengan kepala tunduk. Mereka sedang berada di sebuah bukit kecil di balik sebuah hutan dimana tempat ini merupakan petilasan guru Kiai Gringsing. Tubuh dan baju Agung Sedayu terlihat basah oleh keringat meskipun angin malam berhembus cukup sejuk. Agaknya Agung Sedayu baru saja mengerahkan tenaga dan  hawa murninya sehingga keringat terus membanjir seolah tiada henti. Sedangkan Gilang menunjukkan wajah yang penuh tanda tanya karena ia kurang memahami apa yang sedang di rasakan dan di alami oleh pamannya itu.


“Sudahlah Agung Sedayu, aku kira apa yang kau capai malam ini sudah baik bahkan teramat baik. Tidak salah cerita gurumu bahwa kau mempunyai otak dan ingatan yang cemerlang, sehingga bisa menguasai apa yang aku ajarkan ini hanya dalam waktu yang terhitung sangat pendek,“ - berkata seseorang yang berdiri di hadapan mereka.


Orang itu yang mengenakan jubah panjang dan ikat sorban dikepalanya yang semuanya berwarna putih. Wajahnya terlihat bersih seolah memancarkan wibawa yang tidak terlawan oleh siapapun yang berada di dekatnya.


“Ajian Lempit Bumi ini berbeda dengan Aji Rogoh Sukma yang telah kau kuasai sebelumnya. Jika dengan Rogoh Sukma kau mampu melihat sesuatu ke tempat yang bahkan belum pernah kau kunjungi tanpa harus wadagmu berada disana, maka tidaklah demikian dengan ajian Lempit Bumi ini. Sebagaimana umumnya kau hanya melihat apa yang ada di depan matamu. Akan tetapi dengan ajian ini kau telah melipat jarak dan waktu menjadi separo atau bahkan lebih padat lagi, sehingga perjalanan yang harusnya kau tempuh seharian bisa kau persingkat dalam sekejab. Jika wadagmu sudah berada di tempat yang kau tuju, maka kau akan dapat berbuat lebih banyak sesuai bekal yang ada padamu. Dengan ajian Lempit Bumi ini kau tidak perlu mengerahkan pemusatan nalar-budi yang berlebihan sebagaimana saat kau mengetrapkan Aji Rogoh Sukma. Sebaliknya jika kau menggunakan ajian Rogoh Sukma, sementara jiwa dan rasamu mengembara ke tempat yang belum pernah kau kunjungi, maka wadagmu akan sangat lemah dan  berada dalam kungkungan yang cukup berbahaya. Karena itu dua ajian ini akan saling melengkapi perbendaharaan ilmu dalam dirimu Agung Sedayu”, - ia berhenti sejenak sebelum kemudian melanjutkan kalimatnya - ,” Kau sekarang sudah mampu melakukannya tanpa bimbinganku lagi dan mudah-mudahan ini akan menambah kesempatanmu untuk bisa membantu sesama, bukan hanya untuk kepentingan menyelamatkan Swandaru saja. Dengan Ajian Lempit Bumi ini, kau bisa mengajak orang lain untuk ikut bersamamu asalkan kau bisa menyelaraskan getaran dalam tubuhnya agar tidak tumpang-suh dengan getaran di tubuhmu”


Laki-laki berjubah dan bersorban serba putih itu lalu menoleh kepada Gilang.


”Gilang, kau mempunyai tulang yang sangat baik dan bakat yang tinggi dalam olah kanuragan. Pesanku, kau harus selalu ingat bahwa tidak ada manusia pinunjul di muka bumi ini selain karena kehendak dan pertolongan dari Yang Maha Agung. Karena itu kau harus selalu bersyukur atas segala nikmat yang telah diberikanNya kepadamu. Dengarkan apa yang menjadi nasehat dari pamanmu Agung Sedayu”


“Terima kasih atas nasehat dan petunjuk Kanjeng Sunan”, - jawab Agung Sedayu dan Gilang hampir bersamaan.


“Nah, sekarang ijinkan aku kembali ke lereng Muria”, - orang yang ternyata adalah Kanjeng Sunan Muria itu bergeser surut.


Ketika Agung Sedayu dan Gilang mengangkat kepalanya, ternyata bayangan Kanjeng Sunan sudah tidak nampak sama sekali. Gilang bahkan sempat mengejar ke arah hilangnya bayangan Kanjeng Sunan Muria, tetapi ia memang tidak menemukan jejak apapun.


“Kanjeng Sunan benar-benar manusia ajaib yang bisa datang dan pergi tanpa kita ketahui sama sekali.  Pantaslah paman Agung Sedayu begitu menghormatinya dan menganggap beliau sebagai gurunya”, - desis Gilang dalam hati.


Ketika Gilang kembali ke tempatnya, dilihatnya Agung Sedayu mencari tempat untuk duduk yang lebih nyaman di atas sebuah batu yang cukup besar dengan permukaan agak datar.


“Apakah kau lelah Gilang”, - tanya Agung Sedayu.


“Tidak paman, aku bahkan rasanya bersemangat sekali”, - jawab Gilang dengan menggebu-gebu.


“Baiklah, tetapi aku perlu sedikit waktu untuk memulihkan tenagaku. Sementara itu, kau bisa mengumpulkan beberapa ranting dan melatih lemparanmu yang seharusnya bisa lebih baik dari kemarin”


Tanpa menunggu jawaban Gilang, Agung Sedayu segera menata letak duduknya yang bersila sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Sejenak kemudian nafasnya terdengar sangat lembut dan Agung Sedayu sudah tenggelam dalam pemusatan nalar dan budinya ke alam bawah sadarnya yang teramat dalam.


Gilang yang sudah beberapa hari tidak terpisah dari Agung Sedayu itu juga tidak banyak bertanya. Ia sadar bahwa saat ini semua orang sedang menempa diri dengan bersungguh-sungguh dan menjalankan tugasnya sebaik mungkin untuk menolong Ayahnya yang belum diketahui keberadaannya. Segera mencari beberapa ranting di pohon disekitarnya dan sejenak kemudian ia juga tenggelam dalam latihan yang tidak mengenal lelah.


Malam merayap terus tanpa ada yang bisa menghalangi, hingga kemudian beberapa ayam memperdengarkan suara kokoknya yang membangunkan para petani untuk mempersiapkan diri dengan kegiatan pagi harinya.


Sementara itu, ketika matahari sudah naik lebih dari sepengalah, seorang cantrik dengan tergesa-gesa dan bahkan setengah berlari menemui cantrik tertua di padepokan Jati Anom yang masih menunggui pintu sanggar sejak tadi malam.

“Kakang”, - katanya dengan suara sedikit gugup - ,”Barusan aku justru di panggil Ki Agung Sedayu yang ternyata sekarang sedang duduk di pendapa. Kakang diminta untuk menemui Ki Agung Sedayu sekarang”


“He!”, - cantrik tertua itu terkejut bukan main - ,”Apakah kau tidak salah lihat?”


“Tidak kakang, marilah. Ki Agung Sedayu sudah menunggumu, sementara Gilang sekarang sedang tidur di biliknya”


Cantrik tertua itu justru termangu-mangu, sejenak kemudian ia membalikkan tubuhnya dan melangkah justru menuju pintu sanggar. Dengan penuh rasa penasaran ia kemudian mendorong pintu sanggar itu yang kemudian memunculkan suara berderit.


“Pintu ini sudah terbuka!”


Cantrik itu menjadi semakin bingung, semalaman ia tidak memicingkan mata sama sekali untuk menunggui pintu sanggar yang malam itu diyakini tidak bisa dibuka karena di selarak dari dalam. Kini tiba-tiba pintu sanggar itu sudah terbuka dan ternyata Ki Agung Sedayu sudah berada di pendapa sementara ia tidak melihat ada seorang yang keluar melalui pintu sanggar itu.


Ia terlihat merenung dan mencoba mengingat kejadian tadi malam, ia yakin tidak melihat pintu itu terbuka maupun ada yang keluar dari dalam sanggar. Tetapi sebuah kenyataan bahwa kini tiba-tiba saja ia justru di panggil Agung Sedayu yang ternyata telah duduk di pendapa.


“Ah sudahlah, marilah kita temui Ki Agung Sedayu itu”, - akhirnya ia memutuskan untuk tidak memikirkannya lagi.


Dengan tergesa-gesa keduanya segera menuju ke pendapa dan dari kejauhan mereka memang melihat Agung Sedayu sedang duduk menunggu mereka. Wajah Agung Sedayu terlihat segar, sama sekali tidak nampak keletihan layaknya seseorang yang baru selesai berlatih dan keluar dari sanggar.


Ternyata tidak ada hal yang penting, Agung Sedayu hanya menanyakan kapan kira-kira Ki Widura akan kembali dan beberapa hal terkait lain kegiatan di padepokan. Sebelum melangkah meninggalkan Agung Sedayu, cantrik tertua itu memberanikan diri untuk bertanya meskipun dengan kalimat yang halus.


“Maaf Ki, tadi malam semua cantrik gelisah. Kemarin sore sewaktu adi Wita akan memasang lampu minyak di sanggar, ternyata pintu sanggar tertutup rapat sementara kami ketahui Ki Agung Sedayu dan Gilang ternyata tidak ada di dalam. Semalaman aku berada di depan pintu sanggar agar kalau Ki Agung Sedayu ada keperluan aku bisa membantu”, - katanya dengan hati-hati.


Agung Sedayu mengerutkan keningnya seolah ia baru menyadari sesuatu hal yang terlewatkan. Mata cantrik itu terlihat memerah, agaknya ia memang tidak tidur sama sekali.


“Ah, kau betul”, - katanya dengan tersenyum - ,”Aku minta maaf, aku lupa memintamu untuk tidak usah menyalakan penerangan di sanggar ataupun menungguiku. Sudahlah, jangan kau pikirkan lagi. Sebaiknya kau beristirahat sebentar, sementara kita menunggu paman Widura yang sebentar lagi juga akan pulang”


Cantrik yang tertua itu termangu-mangu, baginya kalimat Agung Sedayu itu sama sekali tidak memberi penjelasan atas kejadian tadi malam. Tetapi ia tidak berani mendesak untuk minta keterangan lebih lanjut. Dengan masih di penuhi tanda tanya di kepalanya, ia segera melangkah dan bergeser menuju halaman belakang.


Sementara itu, jauh di arah matahari terbit, tiga ekor kuda melaju kencang tiada henti. Kiai Garda, Pandan Wangi dan Sekar Mirah benar-benar memanfaatkan waktu yang ada agar bisa segera sampai tujuan. Panas matahari yang menyengat tubuh mereka sama sekali tidak menghalangi niat untuk terus berpacu. Mereka hanya berhenti beberapa saat untuk memberi kesempatan pada ketiga tunggangannya itu beristirahat serta minum dan makan rerumputan yang ada di sepanjang jalan.


Ini adalah hari ketiga mereka dalam perjalanan sejak meninggalkan padepokan Jati Anom. Perjalanan yang di selingi sedikit beristirahat itu bisa mempercepat waktu, sehingga Kiai Garda memperkirakan bahwa besok mereka akan sudah sampai di kawasan kali Belehan.


Menjelang senja, mereka sampai di tepi sebuah hutan yang meskipun tidak terlalu lebat akan tetapi cukup panjang. Kiai Garda yang sudah mengenal dan bahkan sudah melintasi hutan itu kemudian berkata.


“Di balik hutan yang panjang ini, kita hanya akan melintasi sebuah bulak yang pendek, lalu sebuah padukuhan terpencil sebelum kita sampai pada bulak panjang yang menjadi kawasan Kali Belehan. Apakah sebaiknya kita beristirahat dulu di sini Nyi?”, - tanya Kiai Garda.


Pandan Wangi dan Sekar Mirah saling berpandangan, tetapi Sekar Mirah kemudian mengajukan pertanyaan kepada Kiai Garda - ,”Seberapa panjangkah hutan ini Kiai? Apakah kita bisa melintasi hutan ini dengan membawa kuda-kuda kita?”


Kiai Garda yang memahami arah pertanyaan itu segera menyahut -,”Sebenarnya hutan ini tidak terlalu  lebat akan tetapi cukup panjang. Hanya saja kita memang tidak bisa melintasi hutan ini diatas punggung kuda, melainkan harus menuntunnya. Kita bisa saja melintasi pinggiran hutan, akan tetapi selain jalannya juga kurang baik, mungkin waktu yang diperlukan justru lebih lama”


“Jadi bagaimana sebaiknya menurut Kiai”, - tanya Pandan Wangi.


Kiai Garda memandang dua perempuan yang ada di sampingnya itu sekilas. Ia sadar keduanya bukan perempuan biasa dan bahkan mempunyai kemampuan yang tidak kalah dengan laki-laki yang terkuat sekalipun. Terlebih mereka memang berniat mengatasi segala rintangan agar bisa sampai di tujuan dengan lebih cepat.


“Jika Nyai berdua setuju, sebaiknya kita terus melintasi hutan ini meskipun harus turun dari kuda. Hutan itu juga sudah tidak terlalu banyak menyimpan binatang buas sehingga kita bisa melintasinya meskipun di malam hari. Aku kira sebelum pagi kita sudah ada di ujung sisi hutan seberang”, - akhirnya Kiai Garda mengambil keputusan.


“Baik”, - Pandan Wangi dan Sekar Mirah menjawab bersamaan dan tanpa keraguan.


Demikianlah, ketiganya kemudian turun dari kudanya dan perlahan-lahan mencari jalan setapak yang akan mereka pergunakan untuk masuk dan melintasi hutan itu.


Akan tetapi Kiai Garda yang berada di paling depan tiba-tiba saja berhenti secara mendadak. Kepalanya terlihat di miringkan ke kiri seolah ia sedang memusatkan indra pendengarannya. Sementara kuda yang bernama Turangga Kliwon itu juga terlihat ikut gelisah dan memperdengarkan dengusan-dengusan yang semakin lama justru semakin keras.


Hal itu ternyata kemudian juga di ikuti oleh dua kuda yang lain, sehingga Pandan Wangi dan Sekar Mirah berusaha menenangkan kuda itu dengan berkali-kali membelai leher dan surai kuda masing-masing. Mereka berdua sadar agaknya ada sesuatu yang sangat menggelisahkan ketiga kuda itu dan ini bisa berarti halangan bagi perjalanan mereka.


Tiba-tiba saja Kiai Garda justru melangkah mundur sambil berkata kepada Pandan Wangi dan Sekar Mirah.


“Kita terpaksa menunda melintasi hutan ini Nyi. Marilah kita ikat kuda-kuda ini terlebih dahulu dan kita hadapi halangan yang ternyata memang sudah di hadapan kita”, - berkata Kiai Garda dengan nada dalam.

Wajah Pandan Wangi dan Sekar Mirah terlihat menegang.



Salam,

Ries

No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...