BALADA
SWANDARU GENI
Bab IV:
Hilangnya Seorang Swandaru Geni
Babak – 09
Kebingungan
itu menjalar ke para cantrik lain yang kemudian berkumpul serta membicarakan
lenyap-nya Agung Sedayu dan Gilang dari dalam sanggar. Semuanya mengaku tidak
melihat mereka keluar dari padepokan sehingga di yakini bahwa keduanya pasti
masih berada di dalam sanggar.
“Begini
saja”, - akhirnya cantrik yang tertua itu berkata - ,”Dua diantara kalian
keluarlah dan berjalan mengelilingi
sekitar padepokan. Sedapat mungkin carilah alasan agar bisa mampir di gardu
perondan prajurit Jati Anom yang berada di
ujung sebelum bulak dan tanyakan apakah prajurit-prajurit itu sempat melihat Ki
Agung Sedayu dan Gilang hari ini. Tetapi berbuatlah seolah tidak terjadi
apa-apa agar tidak justru menimbulkan pertanyaan. Yang lain berjaga-jaga di
padepokan, sementara aku sendiri akan berjaga di depan pintu sanggar ini hingga
guru Widura kembali besok siang”
Demikianlah,
malam itu semua cantrik tidak ada yang memejamkan matanya. Mereka di cekam oleh
perasaan tegang mengingat tidak ada satupun pemimpin padepokan ini yang hadir,
sementara justru Agung Sedayu yang merupakan murid utama dari pendiri padepokan
malah lenyap bagaikan asap.
“Apakah
mungkin Ki Agung Sedayu pergi menggunakan aji Panglimunan sehingga kita semua
tidak melihatnya?”, - tanya salah seorang diantara cantrik itu.
“Apakah Ki
Agung Sedayu menguasai Aji Panglimunan?”, - temannya justru balik bertanya.
Cantrik yang
semula bertanya itu tidak menjawab lagi, ia hanya mengangkat pundaknya menandakan
ketidaktahuannya.
Sementara
itu, tidak jauh dari padepokan Jati Anom yang arahnya justru berlawanan dari
goa kecil di dimana Ki Widura berada, Agung Sedayu dan Gilang sedang duduk
bersila dengan kepala tunduk. Mereka sedang berada di sebuah bukit kecil di
balik sebuah hutan dimana tempat ini merupakan petilasan guru Kiai Gringsing. Tubuh
dan baju Agung Sedayu terlihat basah oleh keringat meskipun angin malam
berhembus cukup sejuk. Agaknya Agung Sedayu baru saja mengerahkan tenaga dan hawa murninya sehingga keringat terus
membanjir seolah tiada henti. Sedangkan Gilang menunjukkan wajah yang penuh
tanda tanya karena ia kurang memahami apa yang sedang di rasakan dan di alami
oleh pamannya itu.
“Sudahlah
Agung Sedayu, aku kira apa yang kau capai malam ini sudah baik bahkan teramat
baik. Tidak salah cerita gurumu bahwa kau mempunyai otak dan ingatan yang
cemerlang, sehingga bisa menguasai apa yang aku ajarkan ini hanya dalam waktu
yang terhitung sangat pendek,“ - berkata seseorang yang berdiri di hadapan
mereka.
Orang itu
yang mengenakan jubah panjang dan ikat sorban dikepalanya yang semuanya
berwarna putih. Wajahnya terlihat bersih seolah memancarkan wibawa yang tidak
terlawan oleh siapapun yang berada di dekatnya.
“Ajian
Lempit Bumi ini berbeda dengan Aji Rogoh Sukma yang telah kau kuasai
sebelumnya. Jika dengan Rogoh Sukma kau mampu melihat sesuatu ke tempat yang
bahkan belum pernah kau kunjungi tanpa harus wadagmu berada disana, maka tidaklah
demikian dengan ajian Lempit Bumi ini. Sebagaimana umumnya kau hanya melihat
apa yang ada di depan matamu. Akan tetapi dengan ajian ini kau telah melipat
jarak dan waktu menjadi separo atau bahkan lebih padat lagi, sehingga
perjalanan yang harusnya kau tempuh seharian bisa kau persingkat dalam sekejab.
Jika wadagmu sudah berada di tempat yang kau tuju, maka kau akan dapat berbuat
lebih banyak sesuai bekal yang ada padamu. Dengan ajian Lempit Bumi ini kau tidak
perlu mengerahkan pemusatan nalar-budi yang berlebihan sebagaimana saat kau
mengetrapkan Aji Rogoh Sukma. Sebaliknya jika kau menggunakan ajian Rogoh
Sukma, sementara jiwa dan rasamu mengembara ke tempat yang belum pernah kau
kunjungi, maka wadagmu akan sangat lemah dan berada dalam kungkungan yang cukup berbahaya.
Karena itu dua ajian ini akan saling melengkapi perbendaharaan ilmu dalam
dirimu Agung Sedayu”, - ia berhenti sejenak sebelum kemudian melanjutkan
kalimatnya - ,” Kau sekarang sudah mampu melakukannya tanpa bimbinganku lagi
dan mudah-mudahan ini akan menambah kesempatanmu untuk bisa membantu sesama,
bukan hanya untuk kepentingan menyelamatkan Swandaru saja. Dengan Ajian Lempit
Bumi ini, kau bisa mengajak orang lain untuk ikut bersamamu asalkan kau bisa
menyelaraskan getaran dalam tubuhnya agar tidak tumpang-suh dengan getaran di
tubuhmu”
Laki-laki
berjubah dan bersorban serba putih itu lalu menoleh kepada Gilang.
”Gilang, kau
mempunyai tulang yang sangat baik dan bakat yang tinggi dalam olah kanuragan.
Pesanku, kau harus selalu ingat bahwa tidak ada manusia pinunjul di muka bumi
ini selain karena kehendak dan pertolongan dari Yang Maha Agung. Karena itu kau
harus selalu bersyukur atas segala nikmat yang telah diberikanNya kepadamu.
Dengarkan apa yang menjadi nasehat dari pamanmu Agung Sedayu”
“Terima
kasih atas nasehat dan petunjuk Kanjeng Sunan”, - jawab Agung Sedayu dan Gilang
hampir bersamaan.
“Nah,
sekarang ijinkan aku kembali ke lereng Muria”, - orang yang ternyata adalah
Kanjeng Sunan Muria itu bergeser surut.
Ketika Agung
Sedayu dan Gilang mengangkat kepalanya, ternyata bayangan Kanjeng Sunan sudah
tidak nampak sama sekali. Gilang bahkan sempat mengejar ke arah hilangnya
bayangan Kanjeng Sunan Muria, tetapi ia memang tidak menemukan jejak apapun.
“Kanjeng
Sunan benar-benar manusia ajaib yang bisa datang dan pergi tanpa kita ketahui
sama sekali. Pantaslah paman Agung
Sedayu begitu menghormatinya dan menganggap beliau sebagai gurunya”, - desis
Gilang dalam hati.
Ketika
Gilang kembali ke tempatnya, dilihatnya Agung Sedayu mencari tempat untuk duduk
yang lebih nyaman di atas sebuah batu yang cukup besar dengan permukaan agak
datar.
“Apakah kau
lelah Gilang”, - tanya Agung Sedayu.
“Tidak
paman, aku bahkan rasanya bersemangat sekali”, - jawab Gilang dengan
menggebu-gebu.
“Baiklah,
tetapi aku perlu sedikit waktu untuk memulihkan tenagaku. Sementara itu, kau
bisa mengumpulkan beberapa ranting dan melatih lemparanmu yang seharusnya bisa
lebih baik dari kemarin”
Tanpa
menunggu jawaban Gilang, Agung Sedayu segera menata letak duduknya yang bersila
sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Sejenak kemudian nafasnya
terdengar sangat lembut dan Agung Sedayu sudah tenggelam dalam pemusatan nalar
dan budinya ke alam bawah sadarnya yang teramat dalam.
Gilang yang
sudah beberapa hari tidak terpisah dari Agung Sedayu itu juga tidak banyak
bertanya. Ia sadar bahwa saat ini semua orang sedang menempa diri dengan
bersungguh-sungguh dan menjalankan tugasnya sebaik mungkin untuk menolong
Ayahnya yang belum diketahui keberadaannya. Segera mencari beberapa ranting di
pohon disekitarnya dan sejenak kemudian ia juga tenggelam dalam latihan yang
tidak mengenal lelah.
Malam merayap terus
tanpa ada yang bisa menghalangi, hingga kemudian beberapa ayam memperdengarkan
suara kokoknya yang membangunkan para petani untuk mempersiapkan diri dengan
kegiatan pagi harinya.
Sementara itu, ketika
matahari sudah naik lebih dari sepengalah, seorang cantrik dengan tergesa-gesa
dan bahkan setengah berlari menemui cantrik tertua di padepokan Jati Anom yang
masih menunggui pintu sanggar sejak tadi malam.
“Kakang”, - katanya
dengan suara sedikit gugup - ,”Barusan aku justru di panggil Ki Agung Sedayu
yang ternyata sekarang sedang duduk di pendapa. Kakang diminta untuk menemui Ki
Agung Sedayu sekarang”
“He!”, - cantrik
tertua itu terkejut bukan main - ,”Apakah kau tidak salah lihat?”
“Tidak kakang,
marilah. Ki Agung Sedayu sudah menunggumu, sementara Gilang sekarang sedang
tidur di biliknya”
Cantrik tertua itu
justru termangu-mangu, sejenak kemudian ia membalikkan tubuhnya dan melangkah justru
menuju pintu sanggar. Dengan penuh rasa penasaran ia kemudian mendorong pintu
sanggar itu yang kemudian memunculkan suara berderit.
“Pintu ini sudah terbuka!”
Cantrik itu menjadi
semakin bingung, semalaman ia tidak memicingkan mata sama sekali untuk
menunggui pintu sanggar yang malam itu diyakini tidak bisa dibuka karena di
selarak dari dalam. Kini tiba-tiba pintu sanggar itu sudah terbuka dan ternyata
Ki Agung Sedayu sudah berada di pendapa sementara ia tidak melihat ada seorang
yang keluar melalui pintu sanggar itu.
Ia terlihat
merenung dan mencoba mengingat kejadian tadi malam, ia yakin tidak melihat
pintu itu terbuka maupun ada yang keluar dari dalam sanggar. Tetapi sebuah
kenyataan bahwa kini tiba-tiba saja ia justru di panggil Agung Sedayu yang
ternyata telah duduk di pendapa.
“Ah sudahlah,
marilah kita temui Ki Agung Sedayu itu”, - akhirnya ia memutuskan untuk tidak
memikirkannya lagi.
Dengan tergesa-gesa
keduanya segera menuju ke pendapa dan dari kejauhan mereka memang melihat Agung
Sedayu sedang duduk menunggu mereka. Wajah Agung Sedayu terlihat segar, sama
sekali tidak nampak keletihan layaknya seseorang yang baru selesai berlatih dan
keluar dari sanggar.
Ternyata tidak ada
hal yang penting, Agung Sedayu hanya menanyakan kapan kira-kira Ki Widura akan
kembali dan beberapa hal terkait lain kegiatan di padepokan. Sebelum melangkah
meninggalkan Agung Sedayu, cantrik tertua itu memberanikan diri untuk bertanya
meskipun dengan kalimat yang halus.
“Maaf Ki, tadi
malam semua cantrik gelisah. Kemarin sore sewaktu adi Wita akan memasang lampu
minyak di sanggar, ternyata pintu sanggar tertutup rapat sementara kami ketahui
Ki Agung Sedayu dan Gilang ternyata tidak ada di dalam. Semalaman aku berada di
depan pintu sanggar agar kalau Ki Agung Sedayu ada keperluan aku bisa membantu”,
- katanya dengan hati-hati.
Agung Sedayu
mengerutkan keningnya seolah ia baru menyadari sesuatu hal yang terlewatkan.
Mata cantrik itu terlihat memerah, agaknya ia memang tidak tidur sama sekali.
“Ah, kau betul”, -
katanya dengan tersenyum - ,”Aku minta maaf, aku lupa memintamu untuk tidak
usah menyalakan penerangan di sanggar ataupun menungguiku. Sudahlah, jangan kau
pikirkan lagi. Sebaiknya kau beristirahat sebentar, sementara kita menunggu
paman Widura yang sebentar lagi juga akan pulang”
Cantrik yang tertua
itu termangu-mangu, baginya kalimat Agung Sedayu itu sama sekali tidak memberi
penjelasan atas kejadian tadi malam. Tetapi ia tidak berani mendesak untuk
minta keterangan lebih lanjut. Dengan masih di penuhi tanda tanya di kepalanya,
ia segera melangkah dan bergeser menuju halaman belakang.
Sementara itu, jauh
di arah matahari terbit, tiga ekor kuda melaju kencang tiada henti. Kiai Garda,
Pandan Wangi dan Sekar Mirah benar-benar memanfaatkan waktu yang ada agar bisa
segera sampai tujuan. Panas matahari yang menyengat tubuh mereka sama sekali
tidak menghalangi niat untuk terus berpacu. Mereka hanya berhenti beberapa saat
untuk memberi kesempatan pada ketiga tunggangannya itu beristirahat serta minum
dan makan rerumputan yang ada di sepanjang jalan.
Ini adalah hari
ketiga mereka dalam perjalanan sejak meninggalkan padepokan Jati Anom. Perjalanan
yang di selingi sedikit beristirahat itu bisa mempercepat waktu, sehingga Kiai
Garda memperkirakan bahwa besok mereka akan sudah sampai di kawasan kali Belehan.
Menjelang senja,
mereka sampai di tepi sebuah hutan yang meskipun tidak terlalu lebat akan
tetapi cukup panjang. Kiai Garda yang sudah mengenal dan bahkan sudah melintasi
hutan itu kemudian berkata.
“Di balik hutan
yang panjang ini, kita hanya akan melintasi sebuah bulak yang pendek, lalu
sebuah padukuhan terpencil sebelum kita sampai pada bulak panjang yang menjadi
kawasan Kali Belehan. Apakah sebaiknya kita beristirahat dulu di sini Nyi?”, -
tanya Kiai Garda.
Pandan Wangi dan
Sekar Mirah saling berpandangan, tetapi Sekar Mirah kemudian mengajukan
pertanyaan kepada Kiai Garda - ,”Seberapa panjangkah hutan ini Kiai? Apakah
kita bisa melintasi hutan ini dengan membawa kuda-kuda kita?”
Kiai Garda yang
memahami arah pertanyaan itu segera menyahut -,”Sebenarnya hutan ini tidak
terlalu lebat akan tetapi cukup panjang.
Hanya saja kita memang tidak bisa melintasi hutan ini diatas punggung kuda,
melainkan harus menuntunnya. Kita bisa saja melintasi pinggiran hutan, akan
tetapi selain jalannya juga kurang baik, mungkin waktu yang diperlukan justru
lebih lama”
“Jadi bagaimana
sebaiknya menurut Kiai”, - tanya Pandan Wangi.
Kiai Garda
memandang dua perempuan yang ada di sampingnya itu sekilas. Ia sadar keduanya
bukan perempuan biasa dan bahkan mempunyai kemampuan yang tidak kalah dengan
laki-laki yang terkuat sekalipun. Terlebih mereka memang berniat mengatasi
segala rintangan agar bisa sampai di tujuan dengan lebih cepat.
“Jika Nyai berdua
setuju, sebaiknya kita terus melintasi hutan ini meskipun harus turun dari
kuda. Hutan itu juga sudah tidak terlalu banyak menyimpan binatang buas
sehingga kita bisa melintasinya meskipun di malam hari. Aku kira sebelum pagi
kita sudah ada di ujung sisi hutan seberang”, - akhirnya Kiai Garda mengambil
keputusan.
“Baik”, - Pandan
Wangi dan Sekar Mirah menjawab bersamaan dan tanpa keraguan.
Demikianlah,
ketiganya kemudian turun dari kudanya dan perlahan-lahan mencari jalan setapak
yang akan mereka pergunakan untuk masuk dan melintasi hutan itu.
Akan tetapi Kiai
Garda yang berada di paling depan tiba-tiba saja berhenti secara mendadak. Kepalanya
terlihat di miringkan ke kiri seolah ia sedang memusatkan indra pendengarannya.
Sementara kuda yang bernama Turangga Kliwon itu juga terlihat ikut gelisah dan
memperdengarkan dengusan-dengusan yang semakin lama justru semakin keras.
Hal itu ternyata
kemudian juga di ikuti oleh dua kuda yang lain, sehingga Pandan Wangi dan Sekar
Mirah berusaha menenangkan kuda itu dengan berkali-kali membelai leher dan surai
kuda masing-masing. Mereka berdua sadar agaknya ada sesuatu yang sangat
menggelisahkan ketiga kuda itu dan ini bisa berarti halangan bagi perjalanan
mereka.
Tiba-tiba saja Kiai
Garda justru melangkah mundur sambil berkata kepada Pandan Wangi dan Sekar
Mirah.
“Kita terpaksa menunda
melintasi hutan ini Nyi. Marilah kita ikat kuda-kuda ini terlebih dahulu dan kita
hadapi halangan yang ternyata memang sudah di hadapan kita”, - berkata Kiai
Garda dengan nada dalam.
Wajah Pandan Wangi
dan Sekar Mirah terlihat menegang.
Salam,
Ries
No comments:
Post a Comment