Sunday, July 2, 2017

BSG - Bab III - GP - Babak-23

BALADA SWANDARU GENI
Bab 3 : Gilang Pamungkas
Babak – 23



Kiai Garda mengerutkan keningnya sehingga wajahnya terlihat tegang, ia merasakan betapa jantung Ki Gupala yang berdetak kencang itu sangat berpengaruh terhadap kondisi tubuh yang kini suhunya meningkat tajam.


Segera disingkapnya baju Ki Gupala untuk memeriksa luka bekas pertarungannya dengan Watu Gempal. Dengan hati-hati ia meraba, menelisik dan memijit bagian-bagian tubuh tertentu dimana semuanya menunjukkan bahwa obatnya sudah bekerja dengan baik. Hanya saja gejolak jantung yang berdetak berlebihan itu bisa membalikkan aliran darah dalam tubuh dan bisa mengakibatkan luka itu kambuh lagi.


Sebagai seorang yang berpengalaman dan cukup umur, segera Kiai Garda memilah kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja mempengaruhi Ki Gupala saat ini. Dengan suara pelan ia kemudian berbisik kepada Nyi Sulastri.


“Tinggalkan kami berdua, aku akan memeriksa keadaan Ki Gupala dengan lebih teliti”


Nyi Sulastri terlihat termangu-mangu, ada keinginannya untuk tetap tinggal di ruangan itu sambil menunggui Ki Gupala. Akan tetapi, sebagai seorang perempuan dewasa ia segera menyadari bahwa ada hal-hal yang membatasinya dan tidak sepatutnya ia hadir di ruangan itu. Segera ia menarik tangannya yang sedari tadi mengusap keringat di kening Swandaru dan beranjak dari amben pembaringan. Dengan langkah-langkah kecil ia berjalan keluar dari bilik yang kini dirasakan Swandaru menjadi sangat panas. Lenggak-lenggok langkah Nyi Sulastri seolah memompa darah Swandaru mengalir dengan sangat deras.


Sepeninggal menantu Ki Demang, ternyata Kiai Garda tidak melakukan apa-apa. Ia hanya duduk di bangku kayu disisi pembaringan Swandaru sambil memandangi wajah tamu Ki Demang itu. Kiai Garda bisa merasakan perlahan-lahan denyut jantung itu kembali berdetak sewajarnya.


“Tenanglah Ki Gupala, adalah penting untuk mengatur perasaan agar keadaan tubuh Ki Gupala tidak terganggu dengan aliran darah yang saling bertubrukan”, - berkata Kiai Garda, lalu disusulinya dengan pertanyaan yang seolah berbisik - ,”Adakah yang mengganggu perasaan Ki Gupala?”


Swandaru yang mendengar perkataan dan pertanyaan Kiai Garda itu tidak langsung menjawab. Ketidakhadiran Nyi Sulastri membuatnya lebih tenang sehingga ia berusaha mengatur pernafasan dan detak jantungnya agar bekerja sewajarnya.

“Aku tidak boleh larut dalam perasaan nista ini!”, - geramnya dalam hati.


Dilihatnya wajah Kiai Garda yang meskipun sudah mulai ada kerutan di dahinya akan tetapi masih terlihat segar. Wajah itu bahkan memancarkan sesuatu yang agak sulit dikatakan akan tetapi juga ditemukan di wajah kakak seperguruannya, Agung Sedayu. Mungkin itu semacam perhatian dan perasaan kuatir atas kondisinya yang kini tergolek di pembaringan.


“Maaf Kiai, agaknya aku terlalu merepotkan”, - kata Swandaru dengan suara pelan -,”Aku tidak apa-apa, hanya saja tubuhku terasa panas dan perasaanku memang sedikit kacau”


Swandaru mencoba menjawab kalimat Kiai Garda sebisanya.


Kiai Garda mengangguk-anggukan kepalanya.


“Syukurlah kalau begitu, cobalah Ki Gupala mengesampingkan masalah-masalah yang bisa membebani pikiran terlalu berat. Agaknya pikiran itulah yang membuat jantung Ki Gupala berdetak sangat cepat sehingga mengganggu aliran darah”


Swandaru tidak menjawab dan suasana dalam bilik itu sejenak dicekam keheningan. Kiai Garda mencoba memecah kekakuan suasana itu dengan sedikit bergeser dan memijit telapak kaki Swandaru. Dengan perlahan tangannya menyusuri syaraf telapak kaki yang terhubung dengan syaraf di kepala sehingga menimbulkan sedikit ketenangan pada diri Swandaru.


“Maaf Ki Gupala, melihat permainan cambuk Ki Gupala yang begitu dahsyat dan mampu mengalahkan seorang Watu Gempal, terus terang aku jadi teringat seseorang yang agaknya mempunyai kemiripan unsur gerak dengan Ki Gupala”, - Kiai Garda berkata dengan hati-hati.


Swandaru yang sudah mulai tenang mencoba bersikap biasa, ia menyadari bahwa gurunya adalah seorang pengelana yang sudah menjelajahi tanah ini hampir dari ujung ke ujung. Tidak heran jika ia mempunyai banyak kenalan di sembarang tempat.


“Siapakah yang Kiai maksud?”, - tanya Swandaru untuk lebih meyakinkan diri.


Kiai Garda terlihat menyunggingkan senyum di bibirnya.


“Ah, kalau menyebut orang bercambuk, rasanya hampir semua orang Mataram telah mengenal atau paling tidak mendengar kiprahnya. Akan tetapi aku juga mengenalnya sebagai seorang yang sangat menguasai ilmu pengobatan dan pernah tinggal di Dukuh Pakuwon. Sesungguhnya, sedikit ilmu pengobatan yang aku kuasai ini juga karena kebaikan hatinya”,- suara Kiai Garda terdengar pelan dan dalam - ,”Ki Gupala, bukankah beliau sering menggunakan sehelai kain dengan corak gringsing?”


Swandaru merasa tidak bisa bersembunyi lagi. Agaknya meski sudah ribuan tombak jauhnya dari Sangkal Putung, akan tetapi senjatanya yang berupa cambuk itu merupakan sebuah ciri dan tanda yang dengan mudah di kenali orang.


Meskipun demikian Swandaru masih bertanya lebih jauh.


“Siapakah nama orang itu Kiai?”


Sambil bergeser kembali ke bangku kayu di sebelah pembarungan Swandaru, Kiai Garda menjawab.


“Konon beliau mempunyai beberapa nama Ki, tetapi yang aku kenal adalah namanya sebagai seorang tabib atau dukun obat yaitu, Ki Tanu Metir. Disaat terakhir, aku dengar beliau lebih banyak mondar-mandir ke Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh karena dua orang muridnya yang perkasa memang tinggal disana”

“Ah..”

“Apakah ada yang salah Ki?”, - tanya Kiai Garda samba tersenyum.

Swandaru terpaksa menggelengkan kepalanya sambil berusaha tersenyum.


“Agaknya aku memang tidak bisa bersembunyi dari pengamatan Kiai. Ki Tanu Metir adalah guruku dan aku adalah muridnya yang termuda Kiai. Namaku yang sesungguhnya adalah Swandaru dari Kademangan Sangkal Putung”


Kiai Garda sama sekali tidak menampakkan rasa terkejut. Raut wajahnya tidak banyak berubah dan ini menimbulkan tanda tanya yang cukup besar di hati Swandaru.


“Maaf Kiai, agaknya Kiai cukup mengenal guruku. Tetapi siapakah sebenarnya Kiai dan hubungan semacam apakah yang terjalin dengan guruku?”


Terdengar helaan nafas yang cukup panjang dari Kiai Garda. Ia seolah hendak menata hati dan perasaannya dan itu ditunjukkannya dengan memperbaiki posisi duduknya hingga menghadap lurus ke arah Swandaru.


“Beruntunglah Ki Swandaru menjadi salah seorang murid dari tokoh pinunjul seperti Ki Tanu Metir atau yang kadang juga disebut sebagai Kiai Gringsing itu,” – Kiai Garda berhenti sejenak, wajahnya terlihat menunduk - ,”Sesungguhnya beliau adalah seorang tokoh yang telah mengesampingkan kepentingan dirinya sendiri demi untuk melihat orang disekitarnya bahagia dan berkembang. Meskipun aku hanya sempat mendapatkan setetes ilmu tentang pengobatan dari beliau, akan tetapi sikap hidup dan ajarannya wajib kita junjung setinggi-tingginya sebagai penghormatan atas diri beliau”


Ruangan itu kembali sepi, sementara Kiai Garda tidak menyadari bahwa kalimatnya yang terakhir itu seolah merupakan tamparan keras di hati Swandaru Geni.


“Apakah yang sudah aku lakukan untuk menjunjung tinggi ajaran Guru? Selama ini aku bahkan telah mengecewakannya dengan melanggar sebuah wewaler perguruan karena berhubungan dengan perempuan yang bukan istriku. Seandainya Guru masih ada, betapa kecewa hatinya melihat tingkah polahku”

Tanpa sadar hati Swandaru merintih, disaat tubuhnya terkulai dan tergolek di pembaringan, disaat itu pula kesadarannya tumbuh dan melihat jejak langkahnya. Tiba-tiba saja ia ingin bangkit dan berlari menjauh. Menjauh dari semua kenangan yang membuat perasaannya seperti senantiasa dikejar rasa bersalah.


“Semua memang salahku, aku berhubungan dengan Wiyati justru dengan penuh kesadaran. Bukan semata-mata salah Wiyati yang memang mencoba merayuku, hatikulah yang lemah. Sekarang, aku bahkan menjauh dari Pandan Wangi dengan alasan untuk memperbaiki ilmu kanuragan dan napak tilas perjalanan Guru. Apakah langkah yang ku ambil saat ini sudah benar?”


Hati dan perasaan Swandaru bergulat saling tindih. Hanya saja pergulatan batin ini tidak mempengaruhi detak jantungnya sebagaimana tadi ketika hadir Nyi Sulastri menantu Ki Demang Krikilan. Kegundahannya kali ini sama sekali tidak di landasi nafsu birahi yang mampu memompa dan membalikkan aliran darah dengan seketika. Bahkan kini aliran darahnya terasa hampir berhenti seiring isak tangis dalam hati Swandaru, tetapi sama sekali tidak membahayakan kesehatannya.


Dengan mata yang nanar, Swandaru menatap sosok wajah yang duduk di hadapannya. Wajah itu bagaikan aliran air yang tenang dan membawa kesejukan, beberapa kerutan di wajah itu semakin menunjukkan pengalaman yang tertimbun di dalam dirinya.


Tiba-tiba Swandaru merasa penasaran dengan jati diri Kiai Garda.


“Maaf Kiai, apakah aku boleh mengenal siapakah Kiai sebenarnya dan bagaimana bisa berhubungan dengan mendiang Guru?”, - suara Swandaru terdengar pelan dan datar.


“Mendiang? Apakah beliau sudah berpulang ke hadapan Gusti?”


Suara Kiai Garda terdengar kaget dan tangannya bahkan memegang lengan Swandaru menunjukkan rasa terkejutnya yang besar. Wajahnya menegang dan menunggu kejelasan dari Swandaru.


Swandaru bisa melihat sorot mata penuh kekagetan dan ada rasa kehilangan yang terpancar karenanya. Ia menduga bahwa Kiai Garda ini punya hubungan yang cukup erat dengan Gurunya di masa lalu.


“Benar Kiai, sesungguhnya usia Guru memang sudah cukup sepuh. Di saat terakhir beliau lebih banyak tinggal di padepokan kecil di daerah Jati Anom dan membantu pengobatan kepada warga yang datang berbondong-bondong. Hanya saja tanggapan warga yang terlalu berlebihan membuat beliau mengasingkan diri hingga akhir hayatnya”


“Tanggapan yang berlebihan seperti apakah?”, - suara Kiai Garda terdengar bergetar.


Serba sedikit Swandaru lalu menceritakan bahwa ketika kebanyakan penyakit mampu disembuhkan oleh gurunya, maka warga bahkan menganggapnya sebagai dewa tabib. Puncaknya adalah ketika ada warga yang membawa anaknya yang sebenarnya sudah meninggal, tetapi ia tetap meminta agar gurunya berkenan menghidupkan anak itu.


Suasana di bilik itu terasa hening dan Kiai Garda terlihat menundukkan wajahnya.


“Kiai belum menjawab pertanyaanku”, - suara Swandaru yang penasaran dengan jati diri Kiai Garda tiba-tiba memecah kesunyian.


Kiai Garda menarik nafas dalam-dalam, ia kemudian berdiri dan tangan kanannya meraih sesuatu di balik pinggangnya yang tertutup oleh jubah panjang.


“Ki Gupala, sesungguhnya aku juga mempunyai ini”, - kata Kiai Garda pelan.


Di tangan kanan Kiai Garda itu kini tergenggam sebuah benda yang sama sekali tidak asing dimata Swandaru. Bahkan benda itu seolah nyawanya.

“Cambuk!”


Salam,


No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...