BALADA
SWANDARU GENI
Bab 3 : Gilang
Pamungkas
Babak – 23
Kiai Garda
mengerutkan keningnya sehingga wajahnya terlihat tegang, ia merasakan betapa
jantung Ki Gupala yang berdetak kencang itu sangat berpengaruh terhadap kondisi
tubuh yang kini suhunya meningkat tajam.
Segera
disingkapnya baju Ki Gupala untuk memeriksa luka bekas pertarungannya dengan
Watu Gempal. Dengan hati-hati ia meraba, menelisik dan memijit bagian-bagian
tubuh tertentu dimana semuanya menunjukkan bahwa obatnya sudah bekerja dengan
baik. Hanya saja gejolak jantung yang berdetak berlebihan itu bisa membalikkan
aliran darah dalam tubuh dan bisa mengakibatkan luka itu kambuh lagi.
Sebagai seorang yang berpengalaman dan cukup umur, segera Kiai Garda memilah kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja mempengaruhi Ki Gupala saat ini. Dengan suara pelan ia kemudian berbisik kepada Nyi Sulastri.
“Tinggalkan
kami berdua, aku akan memeriksa keadaan Ki Gupala dengan lebih teliti”
Nyi Sulastri
terlihat termangu-mangu, ada keinginannya untuk tetap tinggal di ruangan itu
sambil menunggui Ki Gupala. Akan tetapi, sebagai seorang perempuan dewasa ia
segera menyadari bahwa ada hal-hal yang membatasinya dan tidak sepatutnya ia
hadir di ruangan itu. Segera ia menarik tangannya yang sedari tadi mengusap keringat
di kening Swandaru dan beranjak dari amben pembaringan. Dengan langkah-langkah
kecil ia berjalan keluar dari bilik yang kini dirasakan Swandaru menjadi sangat
panas. Lenggak-lenggok langkah Nyi Sulastri seolah memompa darah Swandaru
mengalir dengan sangat deras.
Sepeninggal
menantu Ki Demang, ternyata Kiai Garda tidak melakukan apa-apa. Ia hanya duduk
di bangku kayu disisi pembaringan Swandaru sambil memandangi wajah tamu Ki
Demang itu. Kiai Garda bisa merasakan perlahan-lahan denyut jantung itu kembali
berdetak sewajarnya.
“Tenanglah
Ki Gupala, adalah penting untuk mengatur perasaan agar keadaan tubuh Ki Gupala
tidak terganggu dengan aliran darah yang saling bertubrukan”, - berkata Kiai
Garda, lalu disusulinya dengan pertanyaan yang seolah berbisik - ,”Adakah yang
mengganggu perasaan Ki Gupala?”
Swandaru
yang mendengar perkataan dan pertanyaan Kiai Garda itu tidak langsung menjawab.
Ketidakhadiran Nyi Sulastri membuatnya lebih tenang sehingga ia berusaha
mengatur pernafasan dan detak jantungnya agar bekerja sewajarnya.
“Aku tidak
boleh larut dalam perasaan nista ini!”, - geramnya dalam hati.
Dilihatnya
wajah Kiai Garda yang meskipun sudah mulai ada kerutan di dahinya akan tetapi
masih terlihat segar. Wajah itu bahkan memancarkan sesuatu yang agak sulit
dikatakan akan tetapi juga ditemukan di wajah kakak seperguruannya, Agung
Sedayu. Mungkin itu semacam perhatian dan perasaan kuatir atas kondisinya yang
kini tergolek di pembaringan.
“Maaf Kiai,
agaknya aku terlalu merepotkan”, - kata Swandaru dengan suara pelan -,”Aku
tidak apa-apa, hanya saja tubuhku terasa panas dan perasaanku memang sedikit
kacau”
Swandaru
mencoba menjawab kalimat Kiai Garda sebisanya.
Kiai Garda
mengangguk-anggukan kepalanya.
“Syukurlah
kalau begitu, cobalah Ki Gupala mengesampingkan masalah-masalah yang bisa
membebani pikiran terlalu berat. Agaknya pikiran itulah yang membuat jantung Ki
Gupala berdetak sangat cepat sehingga mengganggu aliran darah”
Swandaru
tidak menjawab dan suasana dalam bilik itu sejenak dicekam keheningan. Kiai
Garda mencoba memecah kekakuan suasana itu dengan sedikit bergeser dan memijit
telapak kaki Swandaru. Dengan perlahan tangannya menyusuri syaraf telapak kaki
yang terhubung dengan syaraf di kepala sehingga menimbulkan sedikit ketenangan
pada diri Swandaru.
“Maaf Ki
Gupala, melihat permainan cambuk Ki Gupala yang begitu dahsyat dan mampu
mengalahkan seorang Watu Gempal, terus terang aku jadi teringat seseorang yang
agaknya mempunyai kemiripan unsur gerak dengan Ki Gupala”, - Kiai Garda berkata
dengan hati-hati.
Swandaru
yang sudah mulai tenang mencoba bersikap biasa, ia menyadari bahwa gurunya
adalah seorang pengelana yang sudah menjelajahi tanah ini hampir dari ujung ke
ujung. Tidak heran jika ia mempunyai banyak kenalan di sembarang tempat.
“Siapakah
yang Kiai maksud?”, - tanya Swandaru untuk lebih meyakinkan diri.
Kiai Garda
terlihat menyunggingkan senyum di bibirnya.
“Ah, kalau
menyebut orang bercambuk, rasanya hampir semua orang Mataram telah mengenal
atau paling tidak mendengar kiprahnya. Akan tetapi aku juga mengenalnya sebagai
seorang yang sangat menguasai ilmu pengobatan dan pernah tinggal di Dukuh
Pakuwon. Sesungguhnya, sedikit ilmu pengobatan yang aku kuasai ini juga karena
kebaikan hatinya”,- suara Kiai Garda terdengar pelan dan dalam - ,”Ki Gupala,
bukankah beliau sering menggunakan sehelai kain dengan corak gringsing?”
Swandaru
merasa tidak bisa bersembunyi lagi. Agaknya meski sudah ribuan tombak jauhnya
dari Sangkal Putung, akan tetapi senjatanya yang berupa cambuk itu merupakan
sebuah ciri dan tanda yang dengan mudah di kenali orang.
Meskipun
demikian Swandaru masih bertanya lebih jauh.
“Siapakah
nama orang itu Kiai?”
Sambil
bergeser kembali ke bangku kayu di sebelah pembarungan Swandaru, Kiai Garda
menjawab.
“Konon
beliau mempunyai beberapa nama Ki, tetapi yang aku kenal adalah namanya sebagai
seorang tabib atau dukun obat yaitu, Ki Tanu Metir. Disaat terakhir, aku dengar
beliau lebih banyak mondar-mandir ke Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh
karena dua orang muridnya yang perkasa memang tinggal disana”
“Ah..”
“Apakah ada
yang salah Ki?”, - tanya Kiai Garda samba tersenyum.
Swandaru
terpaksa menggelengkan kepalanya sambil berusaha tersenyum.
“Agaknya aku
memang tidak bisa bersembunyi dari pengamatan Kiai. Ki Tanu Metir adalah guruku
dan aku adalah muridnya yang termuda Kiai. Namaku yang sesungguhnya adalah
Swandaru dari Kademangan Sangkal Putung”
Kiai Garda
sama sekali tidak menampakkan rasa terkejut. Raut wajahnya tidak banyak berubah
dan ini menimbulkan tanda tanya yang cukup besar di hati Swandaru.
“Maaf Kiai,
agaknya Kiai cukup mengenal guruku. Tetapi siapakah sebenarnya Kiai dan
hubungan semacam apakah yang terjalin dengan guruku?”
Terdengar
helaan nafas yang cukup panjang dari Kiai Garda. Ia seolah hendak menata hati
dan perasaannya dan itu ditunjukkannya dengan memperbaiki posisi duduknya
hingga menghadap lurus ke arah Swandaru.
“Beruntunglah
Ki Swandaru menjadi salah seorang murid dari tokoh pinunjul seperti Ki Tanu
Metir atau yang kadang juga disebut sebagai Kiai Gringsing itu,” – Kiai Garda
berhenti sejenak, wajahnya terlihat menunduk - ,”Sesungguhnya beliau adalah
seorang tokoh yang telah mengesampingkan kepentingan dirinya sendiri demi untuk
melihat orang disekitarnya bahagia dan berkembang. Meskipun aku hanya sempat
mendapatkan setetes ilmu tentang pengobatan dari beliau, akan tetapi sikap
hidup dan ajarannya wajib kita junjung setinggi-tingginya sebagai penghormatan
atas diri beliau”
Ruangan itu
kembali sepi, sementara Kiai Garda tidak menyadari bahwa kalimatnya yang
terakhir itu seolah merupakan tamparan keras di hati Swandaru Geni.
“Apakah yang
sudah aku lakukan untuk menjunjung tinggi ajaran Guru? Selama ini aku bahkan
telah mengecewakannya dengan melanggar sebuah wewaler perguruan karena
berhubungan dengan perempuan yang bukan istriku. Seandainya Guru masih ada,
betapa kecewa hatinya melihat tingkah polahku”
Tanpa sadar
hati Swandaru merintih, disaat tubuhnya terkulai dan tergolek di pembaringan,
disaat itu pula kesadarannya tumbuh dan melihat jejak langkahnya. Tiba-tiba
saja ia ingin bangkit dan berlari menjauh. Menjauh dari semua kenangan yang
membuat perasaannya seperti senantiasa dikejar rasa bersalah.
“Semua
memang salahku, aku berhubungan dengan Wiyati justru dengan penuh kesadaran.
Bukan semata-mata salah Wiyati yang memang mencoba merayuku, hatikulah yang
lemah. Sekarang, aku bahkan menjauh dari Pandan Wangi dengan alasan untuk
memperbaiki ilmu kanuragan dan napak tilas perjalanan Guru. Apakah langkah yang
ku ambil saat ini sudah benar?”
Hati dan
perasaan Swandaru bergulat saling tindih. Hanya saja pergulatan batin ini tidak
mempengaruhi detak jantungnya sebagaimana tadi ketika hadir Nyi Sulastri
menantu Ki Demang Krikilan. Kegundahannya kali ini sama sekali tidak di landasi
nafsu birahi yang mampu memompa dan membalikkan aliran darah dengan seketika.
Bahkan kini aliran darahnya terasa hampir berhenti seiring isak tangis dalam
hati Swandaru, tetapi sama sekali tidak membahayakan kesehatannya.
Dengan mata
yang nanar, Swandaru menatap sosok wajah yang duduk di hadapannya. Wajah itu
bagaikan aliran air yang tenang dan membawa kesejukan, beberapa kerutan di
wajah itu semakin menunjukkan pengalaman yang tertimbun di dalam dirinya.
Tiba-tiba
Swandaru merasa penasaran dengan jati diri Kiai Garda.
“Maaf Kiai,
apakah aku boleh mengenal siapakah Kiai sebenarnya dan bagaimana bisa
berhubungan dengan mendiang Guru?”, - suara Swandaru terdengar pelan dan datar.
“Mendiang?
Apakah beliau sudah berpulang ke hadapan Gusti?”
Suara Kiai
Garda terdengar kaget dan tangannya bahkan memegang lengan Swandaru menunjukkan
rasa terkejutnya yang besar. Wajahnya menegang dan menunggu kejelasan dari
Swandaru.
Swandaru
bisa melihat sorot mata penuh kekagetan dan ada rasa kehilangan yang terpancar
karenanya. Ia menduga bahwa Kiai Garda ini punya hubungan yang cukup erat
dengan Gurunya di masa lalu.
“Benar Kiai,
sesungguhnya usia Guru memang sudah cukup sepuh. Di saat terakhir beliau lebih
banyak tinggal di padepokan kecil di daerah Jati Anom dan membantu pengobatan
kepada warga yang datang berbondong-bondong. Hanya saja tanggapan warga yang
terlalu berlebihan membuat beliau mengasingkan diri hingga akhir hayatnya”
“Tanggapan
yang berlebihan seperti apakah?”, - suara Kiai Garda terdengar bergetar.
Serba
sedikit Swandaru lalu menceritakan bahwa ketika kebanyakan penyakit mampu
disembuhkan oleh gurunya, maka warga bahkan menganggapnya sebagai dewa tabib.
Puncaknya adalah ketika ada warga yang membawa anaknya yang sebenarnya sudah
meninggal, tetapi ia tetap meminta agar gurunya berkenan menghidupkan anak itu.
Suasana di
bilik itu terasa hening dan Kiai Garda terlihat menundukkan wajahnya.
“Kiai belum
menjawab pertanyaanku”, - suara Swandaru yang penasaran dengan jati diri Kiai Garda
tiba-tiba memecah kesunyian.
Kiai Garda menarik
nafas dalam-dalam, ia kemudian berdiri dan tangan kanannya meraih sesuatu di
balik pinggangnya yang tertutup oleh jubah panjang.
“Ki Gupala,
sesungguhnya aku juga mempunyai ini”, - kata Kiai Garda pelan.
Di tangan
kanan Kiai Garda itu kini tergenggam sebuah benda yang sama sekali tidak asing
dimata Swandaru. Bahkan benda itu seolah nyawanya.
“Cambuk!”
Salam,
No comments:
Post a Comment