Wednesday, July 5, 2017

BSG - BAB-III - GP - Babak-26

BALADA SWANDARU GENI
Bab 3 : Gilang Pamungkas
Babak – 26



Meskipun belum lama mengenal Swandaru, akan tetapi Kiai Garda bisa merasakan ada nada keangkuhan dalam kalimat-kalimat murid termuda Kiai Gringsing ini. Karena itu ia mencoba menjawabnya dengan hati-hati.


“Tentu ada bedanya Ki”, - jawab Kiai Garda dengan nada tenang - ,”Dalam bebrayan agung, adalah wajib bagi yang yang muda untuk menghormati yang lebih tua, sementara yang tua juga harus menghargai yang lebih muda. Ada hubungan timbal balik yang melekat disana. Karena itu kita mengenal adanya sebutan kakangmas dan adimas, salah satunya adalah untuk menggenapi etika saling menghormati dalam masyarakat kita. Kita menempatkan orang yang lebih tua sebagai symbol penghormatan terutama karena pengalaman dan kebijaksanaannya meski seandainya ia tidak mampu dalam olah kanuragan sama sekali. Aku sendiri sangat menghormati Kakang Demang Krikilan yang kebetulan adalah kakak kandungku meskipun ia sama sekali tidak mempunyai bekal yang cukup dalam olah kanuragan. Akan tetapi, menurutku kakang Demang cukup piawai dalam membangun masyarakat Kademangan disini”


Swandaru mendengarkan uraian Kiai Garda itu dengan seksama dan mencoba mencernanya.


“Apakah Kiai bermaksud mengatakan bahwa setiap orang mempunyai kelebihan masing-masing?”,- tanya Swandaru agak ragu.


“Bahwa setiap orang selalu mempunyai kelebihan dan kelemahan masing-masing itu benar Ki. Tetapi dalam hal ini maksudku adalah sekedar menempatkan hubungan saudara muda dengan saudara tua dalam bingkai penghormatan yang wajar sesuai etika dalam masyarakat kita”, - Kiai Garda menjadi berdebar-debar mendengar tanggapan Swandaru yang agak bergeser itu.


“Bagaimana pendapat Kiai seandainya saudara tua kita adalah seorang yang mempunyai bekal olah kanuragan yang sangat tinggi, akan tetapi selalu lambat dan ragu-ragu dalam bersikap?”, - dengan mengeraskan hati akhirnya Swandaru mengeluarkan pertanyaan yang mengejutkan Kiai Garda.


Mendengar pertanyaan Swandaru yang langsung tanpa tedeng aling-aling itu, Kiai Garda menjadi terdiam untuk beberapa saat. Ia bisa menduga agaknya ada semacam persoalan dan rasa tidak puas pada diri murid Kiai Gringsing termuda ini dengan kakak seperguruannya.


Suasana di dalam bilik itu kembali hening sebelum kemudian di pecahkan oleh suara Kiai Garda.

“Maaf Ki Swandaru, apakah lambat dan ragu-ragu dalam bersikap itu telah terbukti mengakibatkan sebuah kerugian atau bahkan bencana?”


“Apa maksud Kiai?”, - tanya Swandaru sedikit heran.


Kembali Kiai Garda memperbaiki letak duduknya, sambil mencoba menata kalimat jawaban.


“Menurutku, seseorang kadang selalu bertindak dengan hati-hati dan penuh pertimbangan. Mungkin keputusannya terkesan kurang cepat, akan tetapi mungkin pula hasil yang diperoleh justru yang terbaik. Nah, seandainya hasil yang didapat ternyata malah buruk, maka sesungguhnya ia bukan seorang pemimpin yang cakap. Akan tetapi wajib hukumnya bagi kita untuk tetap menghormatinya meskipun mungkin akhirnya kita akan lebih banyak membuat keputusan kita sendiri”


Swandaru mengangguk-angguk seolah menyetujui kalimat Kiai Garda itu.


“Apakah Ki Agung Sedayu telah banyak membuat keputusan yang salah Ki?”, - tiba-tiba saja Kiai Garda mengajukan sebuah pertanyaan mendadak yang membuat Swandaru terkejut bukan main.


“O, tidak”, - jawab Swandaru dengan tergesa-gesa seolah kalimat jawaban itu meloncat begitu saja dari mulutnya -,”Sama sekali tidak Kiai. Sesungguhnya kakang Agung Sedayu adalah seorang kakak yang sangat teliti dalam mengambil setiap keputusan. Setiap keputusannya justru selalu membawa hasil gemilang yang bahkan tidak terpikirkan oleh orang lain. Ia juga selalu ada dan menghargai serta memberi bantuan tanpa diminta. Ia seorang kakak yang teramat baik bagiku”


Hal yang sama sekali tidak disadari Swandaru adalah kenyataan bahwa sebenarnya Kiai Garda adalah seseorang yang mampu menyelami pikiran lawan bicaranya. Dari pembicaraan yang terkesan melompat-lompat itu, sebenarnya Kiai Garda sudah bisa menangkap adanya nada ketidak-puasan dalam diri murid terhadap saudara tuanya. Karena itu, ia mengajukan pertanyaan yang mendadak yang membuat Swandaru tidak lagi bisa berkelit.


“Apakah Ki Swandaru kecewa dengan Ki Agung Sedayu? Atau apakah sebenarnya Ki Swandaru justru kecewa dengan diri Ki Swandaru sendiri?”


Pertanyaan Kiai Garda itu disampaikan dengan nada pelan tanpa tekanan. Akan tetapi makna pertanyaan itu seolah sedang menelanjangi diri Swandaru yang kini terbaring sambil menunduk menahan rasa pepat dalam dadanya. Terbayang banyaknya kesalahan yang telah dilakukannya, sementara Agung Sedayu justru selalu melindunginya. Bahkan terakhir, Agung Sedayu telah pula menyelamatkan keutuhan keluarganya dengan menyimpan rahasia hubungannya dengan Wiyati dan tidak memberitahukan kepada Pandan Wangi istrinya.


Wajah Swandaru terlihat murung dan bahkan terkesan memelas.


“Agaknya aku memang kecewa dengan diriku sendiri Kiai”, - kalimat itu meluncur pelan dari mulut Swandaru -,” Sesungguhnya aku justru telah berbuat banyak kesalahan kepada kakang Agung Sedayu maupun keluargaku Kiai, akan tetapi kebesaran jiwa kakang Agung Sedayu telah menyelamatkan semuanya. Hal itu justru membuat aku semakin kecil dihadapannya. Kakang Agung Sedayu sungguh sangat sempurna dalam sikap maupun kemampuan olah kanuragan”


Kiai Garda mengangguk-anggukan kepalanya, ia mulai bisa menyelami perasaan murid termuda Kiai Gringsing itu. Meskipun baru mengenalnya, tetapi ia bisa membaca bahwa Swandaru adalah sosok yang terbuka meskipun jiwanya sering melonjak-lonjak seolah ia merasa bahwa dunia yang berputar hanyalah yang ada disekitarnya.


“Agaknya, guru Kiai Gringsing belum berhasil membentuk watak Ki Swandaru sesuai yang di inginkannya”, - desis Kiai Garda dalam hati.


Tetapi Kiai Garda memilih untuk berdiam diri seandainya tidak diminta pendapatnya. Ia mengenal sifat yang melekat pada Swandaru biasanya juga diikuti perasaan mudah tersinggung karena ia sedang mengangkat harga dirinya setinggi mungkin untuk menutupi kelemahannya.


Sebenarnya saat itu Swandaru justru sedang merasa menemukan sebuah saluran untuk mengungkapkan kepepatan hatinya. Ketika jauh dari rumah dan dari orang-orang yang setiap hari bersama, kini kepepatan hatinya itu menemukan sebuah saluran untuk di tumpahkan. Kiai Garda yang duduk di bangku kayu sebelah Swandaru itu semakin berdebar-debar ketika Swandaru bercerita tentang keadaan dirinya meskipun dengan suara yang terputus-putus.


Murid utama Kiai Gringsing yang termuda dan bertubuh besar cenderung gemuk itu seolah kehilangan rasa kepercayaan dirinya yang selama ini justru menjadi ciri khas-nya. Sama sekali tidak nampak sifat ingin dihormati atau mau menang sendiri. Ia ibarat bunga atau tumbuhan putri malu, yang ketika tersentuh tangan seseorang, semua daun-daunnya langsung berkerut seolah layu.


Cerita yang mengalir dengan suara tersendat-sendat itu sedikit demi sedikit mengangkat beban perasaan yang memberati perasaannya selama ini. Swandaru benar-benar sedang menelanjangi dirinya di hadapan Kiai Garda, orang yang baru dikenalnya sehari yang lalu.


“Demikianlah Kiai”, - kata Swandaru dengan suara lirih - ,”Sifat tinggi hatiku telah membutakan mataku betapa sesungguhnya kakang Agung Sedayu sudah jauh melampauiku dengan kemampuannya yang menjulang tidak tertandingi. Sama sekali bukan salah guru, melainkan akulah yang terlalu cepat berbangga dan berpuas diri dengan capaian kecil yang aku peroleh. Aku bahkan terlalu berani dan gelap mata menginginkan Sangkal Putung sebagai sebuah Tanah Perdikan serta terpisah dari Mataram. Akibatnya sebuah perang lumayan besar terjadi akibat kebodohanku”


Kiai Garda mendengarkan cerita Swandaru sambil menundukkan kepala dan sekali-kali mulutnya terdengar berdesah tak tertahankan. Ia menilai bahwa sebenarnya Swandaru bukanlah orang jahat, akan tetapi nafsunya yang meledak-ledak itu telah ditangkap oleh beberapa orang dan di manfaatkan untuk kepentingan mereka yang lebih besar. Sayangnya kepentingan itu mengabaikan tatanan yang berlaku di masyarakat dan bahkan di bumi Mataram.


Suasana ruangan bilik itu hening untuk beberapa saat sebelum kemudian di pecahkan suara Kiai Garda.


“Maaf Ki Swandaru”, - berkata Kiai Garda - ,”Apakah aku boleh memberikan saran?”


“Tentu Kiai, aku memang berharap saran dari Kiai Garda”


“Aku memahami beban perasaan Ki Swandaru saat ini. Akan tetapi, niat Ki Swandaru untuk meninggalkan Sangkal Putung dan pergi berpetualang saat ini aku kira sangat tidak tepat. Apalagi jika alasannya hanya untuk napak tilas jejak guru Kiai Gringsing, atau untuk memperoleh pengalaman maupun ajian yang lebih tinggi dan meningkatkan kemampuan olah kanuragan”


Kiai Garda berhenti sejenak, ia memang sengaja menunggu reaksi Swandaru. Akan tetapi dilihatnya pria bertubuh besar itu berdiam diri sambil matanya menatap nanar menunggu penjelasan lebih lanjut.


“Ki Swandaru, dalam kehidupan ini kita mengenal apa yang kita namakan sebagai hak dan kewajiban. Sejak kecil kita selalu diajarkan untuk mendahulukan kewajiban kita terlebih dahulu sebagai bakti dan cinta kita atas orang dan lingkungan di sekitar kita. Setelah itu, barulah kita boleh berbicara atau menuntut hak kita. Kepergian Ki Swandaru meninggalkan Sangkal Putung, meninggalkan anak dan istri ini mungkin bisa saja disebut hak. Akan tetapi sudahkah Ki Swandaru memenuhi kewajiban sebagai seorang ayah atau suami atau sebagai pejabat di lingkungan kademangan?”


“Apakah ketika pulang dari berpetualang dan napak tilas jejak guru, lalu berhasil menguasai kanuragan tingkat tinggi maka hal itu akan memberi manfaat langsung bagi keluarga dan lingkungan kita? Cobalah Ki Swandaru pikirkan dengan hati jernih dan jujur, apakah itu bukan semata-mata untuk kepentingan dan nafsu pribadi kita?”


Kiai Garda sengaja menghentikan perkataannya dan memberi kesempatan Swandaru agar bisa mengurai makna kalimatnya. Dengan pengalaman dan ketajaman panggraita-nya, Kiai Garda mampu menilai betapa Swandaru saat ini sedang ada di persimpangan jalan. Tetapi Kiai Garda juga sangat memahami bahwa inilah saat yang tepat untuk memberi nasehat atau pandangan yang benar sehingga Swandaru tidak lebih tergelincir ke arah yang lebih salah.


Swandaru sendiri saat itu hanya diliputi rasa penyesalan yang sangat dalam. Pertemuannya dengan Kiai Garda sedikit banyak meringankan perasaannya. Ibarat seorang perantau yang berjalan di padang tandus dan kehausan, kini tiba-tiba dihadapannya terbentang sebuah dana bening dengan airnya yang melimpah. Ia bisa saja berlari menceburkan diri di air untuk mandi dan berenang, atau mungkin ia hanya minum beberapa teguk sebelum kemudian melanjutkan langkah perantauannya.


“Apakah saran Kiai Garda untukku?”, - tanya Swandar dengan suara dalam.


“Pulanglah Ki!”




Salam,

No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...