BALADA
SWANDARU GENI
Bab 3 : Gilang
Pamungkas
Babak – 26
Meskipun
belum lama mengenal Swandaru, akan tetapi Kiai Garda bisa merasakan ada nada
keangkuhan dalam kalimat-kalimat murid termuda Kiai Gringsing ini. Karena itu
ia mencoba menjawabnya dengan hati-hati.
“Tentu ada
bedanya Ki”, - jawab Kiai Garda dengan nada tenang - ,”Dalam bebrayan agung,
adalah wajib bagi yang yang muda untuk menghormati yang lebih tua, sementara
yang tua juga harus menghargai yang lebih muda. Ada hubungan timbal balik yang
melekat disana. Karena itu kita mengenal adanya sebutan kakangmas dan adimas,
salah satunya adalah untuk menggenapi etika saling menghormati dalam masyarakat
kita. Kita menempatkan orang yang lebih tua sebagai symbol penghormatan
terutama karena pengalaman dan kebijaksanaannya meski seandainya ia tidak mampu
dalam olah kanuragan sama sekali. Aku sendiri sangat menghormati Kakang Demang
Krikilan yang kebetulan adalah kakak kandungku meskipun ia sama sekali tidak
mempunyai bekal yang cukup dalam olah kanuragan. Akan tetapi, menurutku kakang
Demang cukup piawai dalam membangun masyarakat Kademangan disini”
Swandaru
mendengarkan uraian Kiai Garda itu dengan seksama dan mencoba mencernanya.
“Apakah Kiai
bermaksud mengatakan bahwa setiap orang mempunyai kelebihan masing-masing?”,-
tanya Swandaru agak ragu.
“Bahwa
setiap orang selalu mempunyai kelebihan dan kelemahan masing-masing itu benar
Ki. Tetapi dalam hal ini maksudku adalah sekedar menempatkan hubungan saudara
muda dengan saudara tua dalam bingkai penghormatan yang wajar sesuai etika
dalam masyarakat kita”, - Kiai Garda menjadi berdebar-debar mendengar tanggapan
Swandaru yang agak bergeser itu.
“Bagaimana
pendapat Kiai seandainya saudara tua kita adalah seorang yang mempunyai bekal
olah kanuragan yang sangat tinggi, akan tetapi selalu lambat dan ragu-ragu
dalam bersikap?”, - dengan mengeraskan hati akhirnya Swandaru mengeluarkan
pertanyaan yang mengejutkan Kiai Garda.
Mendengar
pertanyaan Swandaru yang langsung tanpa tedeng aling-aling itu, Kiai Garda
menjadi terdiam untuk beberapa saat. Ia bisa menduga agaknya ada semacam
persoalan dan rasa tidak puas pada diri murid Kiai Gringsing termuda ini dengan
kakak seperguruannya.
Suasana di
dalam bilik itu kembali hening sebelum kemudian di pecahkan oleh suara Kiai
Garda.
“Maaf Ki
Swandaru, apakah lambat dan ragu-ragu dalam bersikap itu telah terbukti
mengakibatkan sebuah kerugian atau bahkan bencana?”
“Apa maksud
Kiai?”, - tanya Swandaru sedikit heran.
Kembali Kiai
Garda memperbaiki letak duduknya, sambil mencoba menata kalimat jawaban.
“Menurutku,
seseorang kadang selalu bertindak dengan hati-hati dan penuh pertimbangan.
Mungkin keputusannya terkesan kurang cepat, akan tetapi mungkin pula hasil yang
diperoleh justru yang terbaik. Nah, seandainya hasil yang didapat ternyata
malah buruk, maka sesungguhnya ia bukan seorang pemimpin yang cakap. Akan
tetapi wajib hukumnya bagi kita untuk tetap menghormatinya meskipun mungkin
akhirnya kita akan lebih banyak membuat keputusan kita sendiri”
Swandaru
mengangguk-angguk seolah menyetujui kalimat Kiai Garda itu.
“Apakah Ki
Agung Sedayu telah banyak membuat keputusan yang salah Ki?”, - tiba-tiba saja
Kiai Garda mengajukan sebuah pertanyaan mendadak yang membuat Swandaru terkejut
bukan main.
“O, tidak”,
- jawab Swandaru dengan tergesa-gesa seolah kalimat jawaban itu meloncat begitu
saja dari mulutnya -,”Sama sekali tidak Kiai. Sesungguhnya kakang Agung Sedayu
adalah seorang kakak yang sangat teliti dalam mengambil setiap keputusan.
Setiap keputusannya justru selalu membawa hasil gemilang yang bahkan tidak
terpikirkan oleh orang lain. Ia juga selalu ada dan menghargai serta memberi
bantuan tanpa diminta. Ia seorang kakak yang teramat baik bagiku”
Hal yang
sama sekali tidak disadari Swandaru adalah kenyataan bahwa sebenarnya Kiai
Garda adalah seseorang yang mampu menyelami pikiran lawan bicaranya. Dari
pembicaraan yang terkesan melompat-lompat itu, sebenarnya Kiai Garda sudah bisa
menangkap adanya nada ketidak-puasan dalam diri murid terhadap saudara tuanya.
Karena itu, ia mengajukan pertanyaan yang mendadak yang membuat Swandaru tidak
lagi bisa berkelit.
“Apakah Ki
Swandaru kecewa dengan Ki Agung Sedayu? Atau apakah sebenarnya Ki Swandaru
justru kecewa dengan diri Ki Swandaru sendiri?”
Pertanyaan
Kiai Garda itu disampaikan dengan nada pelan tanpa tekanan. Akan tetapi makna
pertanyaan itu seolah sedang menelanjangi diri Swandaru yang kini terbaring
sambil menunduk menahan rasa pepat dalam dadanya. Terbayang banyaknya kesalahan
yang telah dilakukannya, sementara Agung Sedayu justru selalu melindunginya.
Bahkan terakhir, Agung Sedayu telah pula menyelamatkan keutuhan keluarganya
dengan menyimpan rahasia hubungannya dengan Wiyati dan tidak memberitahukan
kepada Pandan Wangi istrinya.
Wajah
Swandaru terlihat murung dan bahkan terkesan memelas.
“Agaknya aku
memang kecewa dengan diriku sendiri Kiai”, - kalimat itu meluncur pelan dari
mulut Swandaru -,” Sesungguhnya aku justru telah berbuat banyak kesalahan
kepada kakang Agung Sedayu maupun keluargaku Kiai, akan tetapi kebesaran jiwa
kakang Agung Sedayu telah menyelamatkan semuanya. Hal itu justru membuat aku
semakin kecil dihadapannya. Kakang Agung Sedayu sungguh sangat sempurna dalam
sikap maupun kemampuan olah kanuragan”
Kiai Garda
mengangguk-anggukan kepalanya, ia mulai bisa menyelami perasaan murid termuda Kiai
Gringsing itu. Meskipun baru mengenalnya, tetapi ia bisa membaca bahwa Swandaru
adalah sosok yang terbuka meskipun jiwanya sering melonjak-lonjak seolah ia
merasa bahwa dunia yang berputar hanyalah yang ada disekitarnya.
“Agaknya,
guru Kiai Gringsing belum berhasil membentuk watak Ki Swandaru sesuai yang di
inginkannya”, - desis Kiai Garda dalam hati.
Tetapi Kiai
Garda memilih untuk berdiam diri seandainya tidak diminta pendapatnya. Ia
mengenal sifat yang melekat pada Swandaru biasanya juga diikuti perasaan mudah
tersinggung karena ia sedang mengangkat harga dirinya setinggi mungkin untuk
menutupi kelemahannya.
Sebenarnya
saat itu Swandaru justru sedang merasa menemukan sebuah saluran untuk mengungkapkan
kepepatan hatinya. Ketika jauh dari rumah dan dari orang-orang yang setiap hari
bersama, kini kepepatan hatinya itu menemukan sebuah saluran untuk di tumpahkan.
Kiai Garda yang duduk di bangku kayu sebelah Swandaru itu semakin
berdebar-debar ketika Swandaru bercerita tentang keadaan dirinya meskipun
dengan suara yang terputus-putus.
Murid utama Kiai
Gringsing yang termuda dan bertubuh besar cenderung gemuk itu seolah kehilangan
rasa kepercayaan dirinya yang selama ini justru menjadi ciri khas-nya. Sama
sekali tidak nampak sifat ingin dihormati atau mau menang sendiri. Ia ibarat
bunga atau tumbuhan putri malu, yang ketika tersentuh tangan seseorang, semua
daun-daunnya langsung berkerut seolah layu.
Cerita yang
mengalir dengan suara tersendat-sendat itu sedikit demi sedikit mengangkat
beban perasaan yang memberati perasaannya selama ini. Swandaru benar-benar
sedang menelanjangi dirinya di hadapan Kiai Garda, orang yang baru dikenalnya sehari
yang lalu.
“Demikianlah
Kiai”, - kata Swandaru dengan suara lirih - ,”Sifat tinggi hatiku telah
membutakan mataku betapa sesungguhnya kakang Agung Sedayu sudah jauh
melampauiku dengan kemampuannya yang menjulang tidak tertandingi. Sama sekali
bukan salah guru, melainkan akulah yang terlalu cepat berbangga dan berpuas
diri dengan capaian kecil yang aku peroleh. Aku bahkan terlalu berani dan gelap
mata menginginkan Sangkal Putung sebagai sebuah Tanah Perdikan serta terpisah
dari Mataram. Akibatnya sebuah perang lumayan besar terjadi akibat kebodohanku”
Kiai Garda
mendengarkan cerita Swandaru sambil menundukkan kepala dan sekali-kali mulutnya
terdengar berdesah tak tertahankan. Ia menilai bahwa sebenarnya Swandaru bukanlah
orang jahat, akan tetapi nafsunya yang meledak-ledak itu telah ditangkap oleh
beberapa orang dan di manfaatkan untuk kepentingan mereka yang lebih besar.
Sayangnya kepentingan itu mengabaikan tatanan yang berlaku di masyarakat dan
bahkan di bumi Mataram.
Suasana
ruangan bilik itu hening untuk beberapa saat sebelum kemudian di pecahkan suara
Kiai Garda.
“Maaf Ki Swandaru”,
- berkata Kiai Garda - ,”Apakah aku boleh memberikan saran?”
“Tentu Kiai,
aku memang berharap saran dari Kiai Garda”
“Aku
memahami beban perasaan Ki Swandaru saat ini. Akan tetapi, niat Ki Swandaru
untuk meninggalkan Sangkal Putung dan pergi berpetualang saat ini aku kira
sangat tidak tepat. Apalagi jika alasannya hanya untuk napak tilas jejak guru
Kiai Gringsing, atau untuk memperoleh pengalaman maupun ajian yang lebih tinggi
dan meningkatkan kemampuan olah kanuragan”
Kiai Garda
berhenti sejenak, ia memang sengaja menunggu reaksi Swandaru. Akan tetapi
dilihatnya pria bertubuh besar itu berdiam diri sambil matanya menatap nanar menunggu
penjelasan lebih lanjut.
“Ki
Swandaru, dalam kehidupan ini kita mengenal apa yang kita namakan sebagai hak
dan kewajiban. Sejak kecil kita selalu diajarkan untuk mendahulukan kewajiban
kita terlebih dahulu sebagai bakti dan cinta kita atas orang dan lingkungan di
sekitar kita. Setelah itu, barulah kita boleh berbicara atau menuntut hak kita.
Kepergian Ki Swandaru meninggalkan Sangkal Putung, meninggalkan anak dan istri
ini mungkin bisa saja disebut hak. Akan tetapi sudahkah Ki Swandaru memenuhi kewajiban
sebagai seorang ayah atau suami atau sebagai pejabat di lingkungan kademangan?”
“Apakah
ketika pulang dari berpetualang dan napak tilas jejak guru, lalu berhasil
menguasai kanuragan tingkat tinggi maka hal itu akan memberi manfaat langsung
bagi keluarga dan lingkungan kita? Cobalah Ki Swandaru pikirkan dengan hati
jernih dan jujur, apakah itu bukan semata-mata untuk kepentingan dan nafsu
pribadi kita?”
Kiai Garda sengaja
menghentikan perkataannya dan memberi kesempatan Swandaru agar bisa mengurai
makna kalimatnya. Dengan pengalaman dan ketajaman panggraita-nya, Kiai Garda
mampu menilai betapa Swandaru saat ini sedang ada di persimpangan jalan. Tetapi
Kiai Garda juga sangat memahami bahwa inilah saat yang tepat untuk memberi nasehat
atau pandangan yang benar sehingga Swandaru tidak lebih tergelincir ke arah yang
lebih salah.
Swandaru
sendiri saat itu hanya diliputi rasa penyesalan yang sangat dalam. Pertemuannya
dengan Kiai Garda sedikit banyak meringankan perasaannya. Ibarat seorang
perantau yang berjalan di padang tandus dan kehausan, kini tiba-tiba
dihadapannya terbentang sebuah dana bening dengan airnya yang melimpah. Ia bisa
saja berlari menceburkan diri di air untuk mandi dan berenang, atau mungkin ia
hanya minum beberapa teguk sebelum kemudian melanjutkan langkah perantauannya.
“Apakah
saran Kiai Garda untukku?”, - tanya Swandar dengan suara dalam.
“Pulanglah
Ki!”
Salam,
No comments:
Post a Comment