BALADA
SWANDARU GENI
Bab IV:
Hilangnya Seorang Swandaru Geni
Babak – 15
Suara Kiai
Garda selanjutnya terdengar begitu bersungguh-sungguh - ,”Itulah awal dugaanku Nyi,
hanya saja waktu itu semua masih berupa dugaan berdasar panggraita yang bisa
kutangkap. Akan tetapi kedatangan Ki Agung Sedayu dengan seluruh tindakannya
tadi membuat keyakinanku semakin tebal. Kita sedang berhadapan dengan sebuah
kekuatan yang sangat kuat dan ber-aura gelap. Mudah-mudahan Ki Swandaru dan kita
semua senantiasa dalam perlindungan Yang Maha Agung”
Pandan Wangi
dan Sekar Mirah yang mendengar perkataan Kiai Garda tidak menjawab meskipun
dalam hati mereka memanjatkan doa yang sama. Saat ditengah hutan dan diselimuti
kegelapan yang pekat seperti sekarang ini, terasa betapa lemahnya diri mereka
sebagai manusia. Ada kekuatan lain yang senantiasa menggerakkan kehidupan ini,
dan kekuatan itu adalah yang membuat hidup sekaligus yang mematikan hidup umat
manusia beserta alam semesta.
Meskipun
melangkah dengan sangat lamban, tetapi akhirnya mereka bertiga berhasil keluar
dari dalam hutan itu sesaat sebelum matahari terbit. Lebih dari setengah malam
mereka melintasi hutan ini dengan hati yang sangat tegang serta diburu-buru
waktu. Tubuh mereka sebenarnya terasa sangat letih dan ingin beristirahat, akan
tetapi Kiai Garda justru mengajak ketiganya untuk terus berpacu.
“Akan lebih
baik kita melanjutkan perjalanan yang tinggal sejengkal ini Nyi. Kita tinggal
melewati sebuah bulak pendek dan sebuah padukuhan pertama setelah melintasi
hutan ini. Tetapi itu adalah padukuhan yang kecil sehingga kita tidak perlu
mampir, terutama untuk menghindari pertanyaan yang tidak perlu dari para
penghuninya. Setelah padukuhan kecil itulah kita akan berpacu dan akan melintasi
sebuah bulak panjang. Sebelum masuk ke bulak panjang itulah ada sebuah pohon preh
yang sangat rimbun di sebelah kiri jalan dan itu adalah tujuan kita”, - Kiai
Garda mencoba menguraikan keadaan yang akan mereka lintasi.
Ternyata
Sekar Mirah dan Pandan Wangi sama sekali tidak keberatan, keduanya langsung
melompat ke atas pelana kuda masing-masing dan meminta Kiai Garda agar berjalan
didepan sebagai penunjuk jalan. Tubuh keduanya yang sudah terlatih disertai beban
persoalan yang sedang membelit mereka membuat rasa lelah dan letih itu dengan
mudah terabaikan.
Demikianlah,
ketiganya berpacu dengan cepat melintasi bulak di tepi hutan yang ternyata
memang hanya pendek saja. Menjelang memasuki padukuhan yang masih terlelap
tidur itu mereka memperlambat derap kaki kuda supaya tidak menimbulkan
pertanyaan ataupun kecurigaan dari para penghuninya. Matahari sebentar lagi
akan memunculkan sinar merahnya dan mereka berharap dapat melintasi padukuhan
itu tanpa halangan.
Akan tetapi di
mulut padukuhan itu mereka bertiga terpaksa menarik kekang kudanya agar
berjalan lebih lambat. Ada sebuah bangunan gardu perondan yang terletak di sisi
kiri jalan dengan penerangan berupa lampu minyak yang masih menyala meskipun
redup. Kiai Garda dan yang lain merasa aneh karena pada saat seperti ini
biasanya gardu sudah sepi dan para peronda itu sudah pulang ke rumah
masing-masing. Apalagi lampu minyak yang masih menyala itu sebenarnya lebih
menimbulkan rasa curiga mereka bertiga.
“Rasanya ada
yang aneh dengan panjaga gardu itu Kiai?”, - desis Pandan Wangi pelan.
Kiai Garda tidak
menjawab melainkan hanya menganggukkan kepalanya. Dengan meningkatkan
kewaspadaan, kuda ketiganya melangkah maju setapak demi setapak mendekati gardu
itu yang kini jaraknya tinggal kira-kira delapan tombak. Saat itulah mata Kiai
Garda menangkap sesuatu yang aneh, sehingga ia mengerutkan keningnya sambil
berdesis perlahan, akan tetapi ternyata terdengar oleh dua perempuan yang
menjadi teman seperjalanannya.
“Mengapa
para peronda itu tidur bergelimpangan? Atau jangan-jangan mereka sudah tidak
bernafas lagi?”, - suara Kiai Garda terdengar penuh tanda tanya.
Sekar Mirah
dan Pandan Wangi tidak menjawab dan dalam jarak yang sudah pendek itu mereka
memang melihat ada dua orang yang berbaring diatas gardu perondan dengan
saling-silang. Kaki peronda yang nampaknya lebih muda terangkat dan menindih
wajah temannya yang lebih tua. Sementara wajah peronda yang lebih muda itu
justru tergantung di bibir lantai gardu tanpa ia menyadari bahwa bisa saja
sebentar lagi ia akan terjatuh ketanah. Yang mengejutkan adalah bahwa di
beberapa bagian tubuh keduanya terdapat beberapa bekas goresan yang
meninggalkan jejak darah di tubuh dan baju mereka.
Selain itu,
ada tiga orang lain yang terbaring di tanah didepan gardu perondan itu.
Semuanya masih muda dan hanya satu orang yang umurnya agak lebih tua. Tidak
berbeda dari dua peronda yang ada di gardu, tubuh ketiganya juga terlihat
goresan di dada, pundak dan bahkan pelipisnya.
Kiai Garda,
Pandan Wangi dan Sekar Mirah masih duduk di atas punggung kudanya sambil
berpandangan. Mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan karena rasanya
adalah tidak pantas kalau mereka harus meninggalkan orang-orang yang entah
sudah meninggal atau mungkin masih ada yang hanya pingsan.
“Tetaplah
berada di punggung kuda Nyi, aku akan melihat mereka”
Kiai Garda
kemudian terlihat meloncat turun dari kudanya, ia melangkah hati-hati mendekati
gardu perondan tempat lima orang padukuhan yang berbaring tidak beraturan itu.
Kakinya melangkah maju satu persatu dengan penuh kewaspadaan, ketika jaraknya
tinggal sekitar dua tombak tiba-tiba Kiai Garda berhenti dengan mendadak lalu
terdiam.
Sebenarnyalah
Pandan Wangi dan Sekar Mirah terkejut melihat Kiai Garda yang menghentikan
langkahnya secara mendadak. Dilihatnya orang berusia setengah baya itu berdiri
diam seolah sedang memusatkan nalar budi-nya, sebelum kemudian tubuhnya
tiba-tiba saja melesat kedepan dan tangan kanannya langsung menghantam dada salah
seorang diantara mereka yang sedang berbaring di tanah itu penuh luka. Orang
yang menjadi sasaran Kiai Garda itu adalah yang berumur paling tua diantara
kelima orang yang terbaring itu.
Hantaman
Kiai Garda itu dilakukan dengan sangat cepat dan dilambari tenaga yang cukup
besar. Terlihat tubuh yang menjadi sasaran itu menggeliat seolah hendak
menghindar, akan tetapi ia sudah tidak mempunyai waktu lagi karena serangan itu
langsung menghantam dadanya dengan telak. Tubuhnya merintih perlahan menahan
sakit yang sangat sebelum kemudian kembali terdiam.
Sementara
itu ternyata Kiai Garda tidak lagi ingin melihat ataupun menyerang tubuh lain
yang sedang terbaring. Dari tempatnya berdiri, tubuh Kiai Garda langsung
melesat dan melejit tinggi sebelum kemudian langsung hinggap di punggung
Turangga Kliwon.
Tanpa
menunda lagi ia segera melecut dan memacu kudanya dengan cepat sambil berteriak
kepada Pandan Wangi dan Sekar Mirah.
“Cepat Nyi,
kita tinggalkan tempat ini segera!”
Betapa
terkejutnya Pandan Wangi dan Sekar Mirah melihat apa yang sudah dilakukan Kiai
Garda. Tanpa sadar mereka langsung ikut melecut kudanya dan memacu mengejar
Kiai Garda yang sudah berderap agak jauh di depan.
Demikianlah,
pagi itu padukuhan kecil itu diguncang oleh derap tiga ekor kuda yang sedang
saling berkejaran. Beberapa penghuninya yang sudah bersiap akan pergi kesawah
atau beberapa perempuan yang sedang menyapu halaman terpaksa mengangkat
wajahnya dengan hati yang bertanya-tanya. Akan tetapi mereka tidak sempat
melihat siapakah yang berada di atas punggung kuda-kuda yang melintas dengan
cepat itu. Yang tersisa hanyalah kepulan debu yang naik membumbung tinggi ke
udara.
“Dasar tidak
tahu kesopanan, pagi-pagi sudah membuat keributan saja”, - geram seorang
perempuan yang sedang menggendong anaknya sambil menyapu halaman menggunakan
sapu lidi.
Ketika
akhirnya mereka sudah keluar dari padukuhan kecil itu, akhirnya Kiai Garda
mengurangi kecepatan lari kudanya dan menunggu Pandan Wangi dan Sekar Mirah.
Kedua perempuan yang hatinya dipenuhi tanda tanya itu segera menyusulnya dan
kini bisa berpacu bersebelahan.
“Apa yang
terjadi Kiai, mengapa Kiai justru memukul orang yang pingsan dan sedang terluka
itu?”, - Sekar Mirah tidak tahan untuk mengajukan pertanyaan yang mengganjal
dalam hatinya.
Wajah Kiai
Garda terlihat bersungguh-sungguh, ia kemudian menjawab dengan suara berat - ,”Kita
benar-benar sedang berhadapan dengan
lawan yang mempunyai kemampuan sangat tinggi Nyi. Hampir saja kita akan tertipu
untuk kesekian kalinya. Apakah Nyai berdua sempat memperhatikan, siapakah atau
apakah yang sedang kita lihat ketika berada di gardu perondan itu?”
Pandan Wangi
dan Sekar Mirah menampakkan wajah terheran-heran. Dari kalimat Kiai Garda itu
mereka bisa menduga bahwa ternyata apa yang mereka lihat atas lima orang yang
terluka dan sedang terbaring tadi bukanlah seperti apa yang nampak di mata
mereka.
Dengan
ragu-ragu Pandan Wangi kemudian berkata - ,”Apakah ternyata mereka juga bentuk
semu Kiai?”
“Ya, aku yakin”,
- jawab Kiai Garda - ,”Ketika jarakku tinggal sekitar dua tombak itu aku
bagaikan tersadarkan bahwa ada sesuatu yang aneh menyentuh panggraitaku. Karena
itu aku kemudian mempertajam nalar budi dan meyakini bahwa mereka adalah bentuk-bentuk
semu yang jauh lebih sulit dikenali dibandingkan kelelawar maupun orang
berpakaian gelap itu. Semuanya adalah bentuk semu, kecuali satu orang yang
kemudian aku serang dengan mendadak, agaknya justru dia-lah yang melepaskan
bentuk-bentuk semu itu”
Sambil
menata nafas, Kiai Garda melanjutkan - ,”Aku tidak mempunyai pilihan, selain
secepatnya menyerang dan melumpuhkan laki-laki yang sedang terbaring itu. Jika
tidak, kita pasti akan tertahan lebih lama dipadukuhan kecil itu, apalagi jika
para penghuni padukuhan keluar rumah semuanya. Bentuk semu yang tercipta itu benar-benar
hampir saja mengelabuhi kita semua. Agaknya kemampuan orang tadi lebih tinggi
dibanding laki-laki berpakaian gelap yang menjadi lawan Nyi Sekar Mirah tadi
malam”
Dada Pandan
Wangi dan Sekar Mirah menjadi semakin berdebar-debar. Mereka merasa bersyukur
bahwa Kiai Garda ternyata adalah seorang teman perjalanan yang sangat bisa
diandalkan.
“Sesungguhnya
aku merasa bahwa di padukuhan kecil ini menyimpan banyak hal-hal gelap yang
membuat kita harus selalu bersiaga. Karena itu mulai sekarang kita harus meningkatkan
kewaspadaan serta memusatkan nalar-budi ke tingkat tertinggi”, - Kiai Garda
seolah memberi peringatan kepada dirinya sendiri.
Kiai Garda
tidak lagi berkata apa-apa melainkan memacu kudanya dengan lebih cepat.
Matahari sudah naik hampir sepengalah dan udara pagi serta angin lembut
mengusap kulit tubuh mereka yang sebenarnya sangat letih. Bagaimanapun juga,
berpacu diatas kuda selama tiga hari tanpa berhenti membuat kondisi fisik
mereka keletihan.
Sejenak
kemudian mereka sudah berada di ujung bulak yang panjang. Dari kejauhan mereka
sudah bisa melihat ada sebuah pohon preh raksasa yang sangat rimbun berdiri disisi
kiri jalan. Udara pagi yang sejuk itu membuat ketiganya ingin segera sampai dan
duduk bersandar batang pohon yang di naungi daun yang rindang itu.
“Tentu akan
menyenangkan sekali jika kita sempat beristirahat dibawah pohon itu”, - desis
Pandan Wangi sambil memacu kudanya lebih cepat lagi sehingga ia kini berada
paling depan.
Akan tetapi
mendadak dada Pandan Wangi dan lainnya berdebar kencang ketika mata mereka menangkap
adanya beberapa orang yang ternyata sudah berada dibawah pohon preh itu. Jarak
itu memang masih agak jauh, akan tetapi berkaca dari pengalaman sebelumnya,
mereka tidak mau lengah. Meskipun tidak berjanji, sambil masih diatas punggung
kuda ketiganya segera memusatkan nalar budi-nya untuk mempertajam aji Sapta
Pandulu dan mengenali siapa yang sedang mereka hadapi di depan.
Mereka tidak
ingin dikelabuhi untuk ke sekian kalinya dengan bentuk-bentuk semu yang hanya
mengganggu.
Salam,
Ries
No comments:
Post a Comment