Saturday, July 29, 2017

BSG - BAB.IV - HSSG - Babak-15

BALADA SWANDARU GENI
Bab IV: Hilangnya Seorang Swandaru Geni
Babak – 15



Suara Kiai Garda selanjutnya terdengar begitu bersungguh-sungguh - ,”Itulah awal dugaanku Nyi, hanya saja waktu itu semua masih berupa dugaan berdasar panggraita yang bisa kutangkap. Akan tetapi kedatangan Ki Agung Sedayu dengan seluruh tindakannya tadi membuat keyakinanku semakin tebal. Kita sedang berhadapan dengan sebuah kekuatan yang sangat kuat dan ber-aura gelap. Mudah-mudahan Ki Swandaru dan kita semua senantiasa dalam perlindungan Yang Maha Agung”


Pandan Wangi dan Sekar Mirah yang mendengar perkataan Kiai Garda tidak menjawab meskipun dalam hati mereka memanjatkan doa yang sama. Saat ditengah hutan dan diselimuti kegelapan yang pekat seperti sekarang ini, terasa betapa lemahnya diri mereka sebagai manusia. Ada kekuatan lain yang senantiasa menggerakkan kehidupan ini, dan kekuatan itu adalah yang membuat hidup sekaligus yang mematikan hidup umat manusia beserta alam semesta.


Meskipun melangkah dengan sangat lamban, tetapi akhirnya mereka bertiga berhasil keluar dari dalam hutan itu sesaat sebelum matahari terbit. Lebih dari setengah malam mereka melintasi hutan ini dengan hati yang sangat tegang serta diburu-buru waktu. Tubuh mereka sebenarnya terasa sangat letih dan ingin beristirahat, akan tetapi Kiai Garda justru mengajak ketiganya untuk terus berpacu.


“Akan lebih baik kita melanjutkan perjalanan yang tinggal sejengkal ini Nyi. Kita tinggal melewati sebuah bulak pendek dan sebuah padukuhan pertama setelah melintasi hutan ini. Tetapi itu adalah padukuhan yang kecil sehingga kita tidak perlu mampir, terutama untuk menghindari pertanyaan yang tidak perlu dari para penghuninya. Setelah padukuhan kecil itulah kita akan berpacu dan akan melintasi sebuah bulak panjang. Sebelum masuk ke bulak panjang itulah ada sebuah pohon preh yang sangat rimbun di sebelah kiri jalan dan itu adalah tujuan kita”, - Kiai Garda mencoba menguraikan keadaan yang akan mereka lintasi.


Ternyata Sekar Mirah dan Pandan Wangi sama sekali tidak keberatan, keduanya langsung melompat ke atas pelana kuda masing-masing dan meminta Kiai Garda agar berjalan didepan sebagai penunjuk jalan. Tubuh keduanya yang sudah terlatih disertai beban persoalan yang sedang membelit mereka membuat rasa lelah dan letih itu dengan mudah terabaikan.


Demikianlah, ketiganya berpacu dengan cepat melintasi bulak di tepi hutan yang ternyata memang hanya pendek saja. Menjelang memasuki padukuhan yang masih terlelap tidur itu mereka memperlambat derap kaki kuda supaya tidak menimbulkan pertanyaan ataupun kecurigaan dari para penghuninya. Matahari sebentar lagi akan memunculkan sinar merahnya dan mereka berharap dapat melintasi padukuhan itu tanpa halangan.

Akan tetapi di mulut padukuhan itu mereka bertiga terpaksa menarik kekang kudanya agar berjalan lebih lambat. Ada sebuah bangunan gardu perondan yang terletak di sisi kiri jalan dengan penerangan berupa lampu minyak yang masih menyala meskipun redup. Kiai Garda dan yang lain merasa aneh karena pada saat seperti ini biasanya gardu sudah sepi dan para peronda itu sudah pulang ke rumah masing-masing. Apalagi lampu minyak yang masih menyala itu sebenarnya lebih menimbulkan rasa curiga mereka bertiga.


“Rasanya ada yang aneh dengan panjaga gardu itu Kiai?”, - desis Pandan Wangi pelan.


Kiai Garda tidak menjawab melainkan hanya menganggukkan kepalanya. Dengan meningkatkan kewaspadaan, kuda ketiganya melangkah maju setapak demi setapak mendekati gardu itu yang kini jaraknya tinggal kira-kira delapan tombak. Saat itulah mata Kiai Garda menangkap sesuatu yang aneh, sehingga ia mengerutkan keningnya sambil berdesis perlahan, akan tetapi ternyata terdengar oleh dua perempuan yang menjadi teman seperjalanannya.


“Mengapa para peronda itu tidur bergelimpangan? Atau jangan-jangan mereka sudah tidak bernafas lagi?”, - suara Kiai Garda terdengar penuh tanda tanya.


Sekar Mirah dan Pandan Wangi tidak menjawab dan dalam jarak yang sudah pendek itu mereka memang melihat ada dua orang yang berbaring diatas gardu perondan dengan saling-silang. Kaki peronda yang nampaknya lebih muda terangkat dan menindih wajah temannya yang lebih tua. Sementara wajah peronda yang lebih muda itu justru tergantung di bibir lantai gardu tanpa ia menyadari bahwa bisa saja sebentar lagi ia akan terjatuh ketanah. Yang mengejutkan adalah bahwa di beberapa bagian tubuh keduanya terdapat beberapa bekas goresan yang meninggalkan jejak darah di tubuh dan baju mereka.


Selain itu, ada tiga orang lain yang terbaring di tanah didepan gardu perondan itu. Semuanya masih muda dan hanya satu orang yang umurnya agak lebih tua. Tidak berbeda dari dua peronda yang ada di gardu, tubuh ketiganya juga terlihat goresan di dada, pundak dan bahkan pelipisnya.


Kiai Garda, Pandan Wangi dan Sekar Mirah masih duduk di atas punggung kudanya sambil berpandangan. Mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan karena rasanya adalah tidak pantas kalau mereka harus meninggalkan orang-orang yang entah sudah meninggal atau mungkin masih ada yang hanya pingsan.


“Tetaplah berada di punggung kuda Nyi, aku akan melihat mereka”


Kiai Garda kemudian terlihat meloncat turun dari kudanya, ia melangkah hati-hati mendekati gardu perondan tempat lima orang padukuhan yang berbaring tidak beraturan itu. Kakinya melangkah maju satu persatu dengan penuh kewaspadaan, ketika jaraknya tinggal sekitar dua tombak tiba-tiba Kiai Garda berhenti dengan mendadak lalu terdiam.


Sebenarnyalah Pandan Wangi dan Sekar Mirah terkejut melihat Kiai Garda yang menghentikan langkahnya secara mendadak. Dilihatnya orang berusia setengah baya itu berdiri diam seolah sedang memusatkan nalar budi-nya, sebelum kemudian tubuhnya tiba-tiba saja melesat kedepan dan tangan kanannya langsung menghantam dada salah seorang diantara mereka yang sedang berbaring di tanah itu penuh luka. Orang yang menjadi sasaran Kiai Garda itu adalah yang berumur paling tua diantara kelima orang yang terbaring itu.


Hantaman Kiai Garda itu dilakukan dengan sangat cepat dan dilambari tenaga yang cukup besar. Terlihat tubuh yang menjadi sasaran itu menggeliat seolah hendak menghindar, akan tetapi ia sudah tidak mempunyai waktu lagi karena serangan itu langsung menghantam dadanya dengan telak. Tubuhnya merintih perlahan menahan sakit yang sangat sebelum kemudian kembali terdiam.


Sementara itu ternyata Kiai Garda tidak lagi ingin melihat ataupun menyerang tubuh lain yang sedang terbaring. Dari tempatnya berdiri, tubuh Kiai Garda langsung melesat dan melejit tinggi sebelum kemudian langsung hinggap di punggung Turangga Kliwon.


Tanpa menunda lagi ia segera melecut dan memacu kudanya dengan cepat sambil berteriak kepada Pandan Wangi dan Sekar Mirah.


“Cepat Nyi, kita tinggalkan tempat ini segera!”


Betapa terkejutnya Pandan Wangi dan Sekar Mirah melihat apa yang sudah dilakukan Kiai Garda. Tanpa sadar mereka langsung ikut melecut kudanya dan memacu mengejar Kiai Garda yang sudah berderap agak jauh di depan.


Demikianlah, pagi itu padukuhan kecil itu diguncang oleh derap tiga ekor kuda yang sedang saling berkejaran. Beberapa penghuninya yang sudah bersiap akan pergi kesawah atau beberapa perempuan yang sedang menyapu halaman terpaksa mengangkat wajahnya dengan hati yang bertanya-tanya. Akan tetapi mereka tidak sempat melihat siapakah yang berada di atas punggung kuda-kuda yang melintas dengan cepat itu. Yang tersisa hanyalah kepulan debu yang naik membumbung tinggi ke udara.


“Dasar tidak tahu kesopanan, pagi-pagi sudah membuat keributan saja”, - geram seorang perempuan yang sedang menggendong anaknya sambil menyapu halaman menggunakan sapu lidi.




Ketika akhirnya mereka sudah keluar dari padukuhan kecil itu, akhirnya Kiai Garda mengurangi kecepatan lari kudanya dan menunggu Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Kedua perempuan yang hatinya dipenuhi tanda tanya itu segera menyusulnya dan kini bisa berpacu bersebelahan.


“Apa yang terjadi Kiai, mengapa Kiai justru memukul orang yang pingsan dan sedang terluka itu?”, - Sekar Mirah tidak tahan untuk mengajukan pertanyaan yang mengganjal dalam hatinya.


Wajah Kiai Garda terlihat bersungguh-sungguh, ia kemudian menjawab dengan suara berat - ,”Kita  benar-benar sedang berhadapan dengan lawan yang mempunyai kemampuan sangat tinggi Nyi. Hampir saja kita akan tertipu untuk kesekian kalinya. Apakah Nyai berdua sempat memperhatikan, siapakah atau apakah yang sedang kita lihat ketika berada di gardu perondan itu?”


Pandan Wangi dan Sekar Mirah menampakkan wajah terheran-heran. Dari kalimat Kiai Garda itu mereka bisa menduga bahwa ternyata apa yang mereka lihat atas lima orang yang terluka dan sedang terbaring tadi bukanlah seperti apa yang nampak di mata mereka.


Dengan ragu-ragu Pandan Wangi kemudian berkata - ,”Apakah ternyata mereka juga bentuk semu Kiai?”


“Ya, aku yakin”, - jawab Kiai Garda - ,”Ketika jarakku tinggal sekitar dua tombak itu aku bagaikan tersadarkan bahwa ada sesuatu yang aneh menyentuh panggraitaku. Karena itu aku kemudian mempertajam nalar budi dan meyakini bahwa mereka adalah bentuk-bentuk semu yang jauh lebih sulit dikenali dibandingkan kelelawar maupun orang berpakaian gelap itu. Semuanya adalah bentuk semu, kecuali satu orang yang kemudian aku serang dengan mendadak, agaknya justru dia-lah yang melepaskan bentuk-bentuk semu itu”


Sambil menata nafas, Kiai Garda melanjutkan - ,”Aku tidak mempunyai pilihan, selain secepatnya menyerang dan melumpuhkan laki-laki yang sedang terbaring itu. Jika tidak, kita pasti akan tertahan lebih lama dipadukuhan kecil itu, apalagi jika para penghuni padukuhan keluar rumah semuanya. Bentuk semu yang tercipta itu benar-benar hampir saja mengelabuhi kita semua. Agaknya kemampuan orang tadi lebih tinggi dibanding laki-laki berpakaian gelap yang menjadi lawan Nyi Sekar Mirah tadi malam”


Dada Pandan Wangi dan Sekar Mirah menjadi semakin berdebar-debar. Mereka merasa bersyukur bahwa Kiai Garda ternyata adalah seorang teman perjalanan yang sangat bisa diandalkan.


“Sesungguhnya aku merasa bahwa di padukuhan kecil ini menyimpan banyak hal-hal gelap yang membuat kita harus selalu bersiaga. Karena itu mulai sekarang kita harus meningkatkan kewaspadaan serta memusatkan nalar-budi ke tingkat tertinggi”, - Kiai Garda seolah memberi peringatan kepada dirinya sendiri.


Kiai Garda tidak lagi berkata apa-apa melainkan memacu kudanya dengan lebih cepat. Matahari sudah naik hampir sepengalah dan udara pagi serta angin lembut mengusap kulit tubuh mereka yang sebenarnya sangat letih. Bagaimanapun juga, berpacu diatas kuda selama tiga hari tanpa berhenti membuat kondisi fisik mereka keletihan.


Sejenak kemudian mereka sudah berada di ujung bulak yang panjang. Dari kejauhan mereka sudah bisa melihat ada sebuah pohon preh raksasa yang sangat rimbun berdiri disisi kiri jalan. Udara pagi yang sejuk itu membuat ketiganya ingin segera sampai dan duduk bersandar batang pohon yang di naungi daun yang rindang itu.


“Tentu akan menyenangkan sekali jika kita sempat beristirahat dibawah pohon itu”, - desis Pandan Wangi sambil memacu kudanya lebih cepat lagi sehingga ia kini berada paling depan.


Akan tetapi mendadak dada Pandan Wangi dan lainnya berdebar kencang ketika mata mereka menangkap adanya beberapa orang yang ternyata sudah berada dibawah pohon preh itu. Jarak itu memang masih agak jauh, akan tetapi berkaca dari pengalaman sebelumnya, mereka tidak mau lengah. Meskipun tidak berjanji, sambil masih diatas punggung kuda ketiganya segera memusatkan nalar budi-nya untuk mempertajam aji Sapta Pandulu dan mengenali siapa yang sedang mereka hadapi di depan.


Mereka tidak ingin dikelabuhi untuk ke sekian kalinya dengan bentuk-bentuk semu yang hanya mengganggu.


Salam,

Ries

No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...