Friday, June 30, 2017

JEJAK YANG TERPILIH - Day-30

#NulisRandom2017
JEJAK YANG TERPILIH
Meditasi Puncak Fokus
Day-30


Mulai siang hingga menjelang sore hari, Bian dan Lukita menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berlatih membidik sesuai arahan Abi. Mula-mula mereka diminta untuk membidik sebuah batang pohon pepaya yang berdiri di halaman belakang area green-house dari jarak sekitar 25 meter. Agaknya ini adalah semacam tes dari Abi untuk menjajagi seberapa jauh bekal yang sudah dikantongi kedua anak muda ini. Tanpa mengalami kesulitan Bian berhasil membidik dengan tepat, sementara Lukita memerlukan beberapa kali percobaan.
Setelah Abi memberi arahan dan latihan untuk bisa fokus pada sasaran, Lukita-pun mampu melakukannya dengan tepat.
“Akan tetapi pohon pepaya adalah sasaran yang tidak bergerak ngger. Sekarang cobalah ini”
Abi meminta Bian untuk melemparkan batu sebesar telur ayam ke udara. Ketika batu ditangan Bian itu melesat kedepan, maka tangan Abi serentak bergerak dan meluncurlah batu yang seolah-olah mempunyai mata. Batu dari tangan Abi itu melesat cepat menyusul dan bahkan kemudian membentur batu yang di lemparkan Bian sehingga rontok jatuh ke tanah.
Mulut Lukita ternganga tanpa sempat bersuara.
Demikianlah, secara bergantian mereka berdua mencoba berlatih membidik benda bergerak. Semula Lukita yang melemparkan batu dengan arah bebas, sedangkan Bian mencoba membidiknya. Akan tetapi hingga belasan kali Bian tidak bisa mengenainya sama sekali, demikian pula ketika Lukita yang membidik.
Tetapi mereka berdua tidak mudah menyerah dan terus mencobanya.
Abi yang melihat semangat kedua kakak beradik itu tersenyum senang. Tidak lama kemudian ia segera mengajak mereka berdua kembali ke gazebo dan duduk sambil berbincang.
“Bian dan Lukita, sesungguhnya kemampuan bidik tiap-tiap orang itu berbeda. Akan tetapi dengan latihan yang sungguh-sungguh kalian pasti bisa melakukannya dengan lebih baik. Nah, sekarang marilah kita berlatih agar bisa lebih fokus atau konsentrasi. Ini adalah kunci keberhasilan dalam semua tindakan kita”
Sore itu Abi mengajarkan kepada keduanya tentang meditasi hening. Betapa dalam keheningan itu sesungguhnya banyak sekali keriuhan yang terpapar warna-warni seolah menempati segala sudut-sudut hati dan syaraf kita. Sebaliknya, keheningan juga mampu menawarkan sebuah godaan yang menyeret kita ke lembah kenistaan saat hati tidak mampu mengelola syaraf dan keheningan itu dengan baik.
“Maka pampatkanlah udara dalam tubuh kita ngger, tariklah nafas secara lembut lalu kelola-lah oksigen yang terhirup masuk agar mampu mengusap dan menyusuri seluruh syaraf tubuh kita hingga ke bagian-bagian yang terkecil. Jangan tergesa-gesa, rasakanlah dan ucapkan salam pada bagian-bagian tubuh kita sehingga kita bisa mengenalinya dengan baik”
Bian dan Lukita yang duduk bersila dengan punggung tegak itu berusaha mengikuti semua petunjuk Abi. Sesungguhnya mereka sudah mengenal meditasi, tetapi hanya sebatas pengaturan nafas untuk mencapai relaksasi dalam tubuh. Mata mereka terpejam dengan wajah yang dipenuhi kepasrahan.
“Bian dan Lukita, sekarang pusatkanlah energi dan oksigen dalam tubuhmu ke syaraf mata dan kedua tanganmu yang juga sebagai syaraf bidik. Rasakanlah kelembutannya, tetapi rasakan pula getarannya. Kenalilah rasa itu sebagai sebuah keadaan dimana pusat konsentrasi dalam membidik mencapai puncaknya dan rasakan pula getar di dadamu”
“Sekarang, ketika getaran fokus dan konsentrasi itu sedang ada di puncaknya tahanlah nafas kita perlahan-lahan. Jaga, jangan sampai ada oksigen yang keluar ataupun bocor. Kuncilah keadaan puncak fokus ini dengan menutup sembilan lubang dalam tubuh kita dan biarlah semua getaran itu menjalar ke seluruh tubuh. Sesungguhnya inilah kondisi puncak fokus yang harus kita munculkan disaat kita memerlukannya”
Tubuh Bian dan Lukita kini terlihat bergetar, wajah mereka terlihat sedikit memerah akan tetapi mereka tetap diam tidak bergerak. Tanpa mereka sadari muncul keringat yang cukup deras membasahi wajah dan punggung mereka. Agaknya kondisi hening ini membuat tenaga mereka terkuras.
Setelah sekian lama, perlahan-lahan dan dengan suara halus Abi membimbing mereka untuk keluar dari keheningan meditasi. Mereka mengendorkan seluruh syaraf tubuh yang menegang dan mulai melepas oksigen dalam tubuhnya melalui mulut dengan sangat perlahan. Ketika keduanya membuka matanya, kegelapan mulai turun dan hari menjelang saat maghrib waktunya berbuka puasa.
Perasaan keduanya terasa segar meski tubuh letih dan keringat membasahi sekujur badan.
“Marilah ngger, kita singgah di rumahku untuk berbuka puasa bersama”, - Abi bangkit dan menuruni tangga gazebo yang terbuat dari kayu glugu itu.
Salam,

No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...