Friday, June 16, 2017

JEJAK YANG TERPILIH - Day-15

#NulisRandom2017
JEJAK YANG TERPILIH
Abi
Day-15

Ketika semua ikan sudah terjun kembali ke permukaan air, suasana kembali tenang, tetapi Bian masih melihat ada riak-riak kecil yang kemudian membesar dan bahkan menjadi pusaran. Ia kini bisa menghitung ada sembilan pusaran yang membentuk garis lurus dengan jarak yang sama yang berputar semakin lama semakin cepat.
Pada puncak kecepatan pusaran, secara bersamaan meloncatlah semua ikan dari sembilan pusaran yang terbentuk itu. Ikan di pusaran ke satu, ke tiga dan semua yang berbilangan ganjil ganjil terlihat melompat ke atas dan meliukkan badannya ke kanan, sementara ikan dari pusaran ke dua, ke empat dan yang berbilangan genap, melontarkan tubuhnya ke atas lalu meliuk ke kiri.
Ikan-ikan itu nyata sekali sedang berbaris dan memperlihatkan kecakapan mereka dalam melompat serta menari sebagai salam perkenalan kepada Bian dan Kiai Syukur.
Ketika tubuh-tubuh ikan yang berkilau itu meluncur turun dan menyentuh ke air, terdengar suara kelopak air yang berbunyi berurutan dan menimbulkan nada-nada layaknya kaki serombongan tentara yang sedang melakukan baris berbaris.
Ikan-ikan itu kemudian menyelam, berenang menjauh dan tidak muncul lagi, suasana malam terasa sunyi.
Bian tidak berani mengeluarkan sepatah katapun, angan-angannya melayang dan melompat-lompat menanggapi peristiwa yang baru saja di lihatnya.
“Apakah ini artinya Kiai Syukur mampu berkomunikasi dengan ikan sebagaimana kemampuan yang dimiliki Nabi Sulaiman yang bisa berbicara dengan macam-macam jenis binatang?”, - Bian membatin dan bertanya-tanya dalam hati.
Bian tersadar ketika mendengar suara Kiai Syukur yang duduk di sebelahnya.
“Angger Bian, apakah yang kau rasakan atau mungkin angger ada pertanyaan?”
Justru ketika di persilahkan untuk bertanya, pikiran Bian justru tumpang-suh, ia tidak tahu apa yang harus ditanyakan terlebih dahulu.
Tetapi Bian segera menarik nafas dalam-dalam sambil berusaha menenangkan diri.
“Kiai, yang terjadi barusan sungguh sebuah peristiwa yang di luar nalar ananda. Bahwa Kiai sudi memperlihatkan kuasa Allah yang sedemikian aneh dan diluar nalar itu, ananda mengucapkan beribu terimakasih. Entah, apakah ada sesuatu yang bisa ananda tarik sebagai pelajaran, mohon Kiai berkenan menjelaskan”,- Bian berusaha memilih kalimatnya dengan hati-hati sekali.
Terdengar suara tertawa yang lunak dari Kiai Syukur, wajahnya terlihat berseri. Agaknya sikap Bian yang sopan itu membuat hatinya cukup senang.
“Bian anakku, jangan sungkan dan jangan kau panggil aku dengan sebutan Kiai terus menerus, hatiku jadi agak risih. Meskipun kita baru saja berkenalan tetapi menurut Eyang Pangupa Jiwa, sebenarnya kita ini ada pertalian darah. Karena itu sebut saja aku Abi”, - jawab Kiai Syukur dengan nada ringan - , ”Bersikaplah selayaknya seorang anak muda kepada orangtua dalam keluarga. Panggil aku Abi dan sebut dirimu sendiri sebagai ‘aku’ atau ‘saya’, tidak masalah ngger”
“Inggih Abi”, - jawab Bian tetapi dengan kepala menunduk.
Kiai Syukur tersenyum.
“Sudahlah, masih banyak waktu bagi kita untuk berbincang dan belajar bersama. Tetapi kita harus segera kembali ke masjid, agaknya sebentar lagi waktu sahur akan berakhir”
Tanpa berkata lebih lanjut Kiai Syukur berdiri tepat di hadapan Bian dan kemudian memegang kedua pundak kanan dan kiri Bian. Kejadian itupun terulang kembali, dalam sekejab Bian merasakan terbelahnya udara, ruang dan waktu. Ketika tersadar, mereka berdua ternyata sudah berada di dalam masjid semula.
Malam itu mereka berdua mendapatkan nasi bungkus sebagai menu sahur yang di bagikan oleh pengurus masjid. Betapapun banyak hal yang ingin ditanyakan oleh Bian kepada orang yang kemudian ia sebut sebagai Abi, tetapi Bian terpaksa menahannya apalagi di saat makan.
Bahkan ketika selesai menunaikan sholat Subuh berjamaan, Abi justru berpamitan kepada Bian.
“Bian, kau harus segera pulang dan lakukanlah semua kegiatanmu sebagaimana biasanya. Jaga adikmu dan jalinlah hubungan yang baik dengan orang-orang di sekitarmu. Masih banyak waktu bagi kita untuk bertemu dan belajar, tetapi dengan cara yang wajar”, - ucap Abi sebelum berpisah.
“Dengan cara yang wajar?”, - tanpa sadar Bian mengulangi kalimat terakhir Abi.
Mendengar itu Abi tersenyum, sambil berjalan keluar dari area masjid Abi kemudian mendekat dan membisiki Bian akan sebuah alamat.
“Bukankah itu tidak jauh Bian? Nah, aku menunggu kunjunganmu setiap saat, terutama di hari Kamis malam”
Bian mengangguk mantab, ia cukup mengenal alamat yang disebutkan Abi meskipun itu di luar kota Surabaya. Sebelum berpisah ia mencium tangan Abi lalu melangkahkan kakinya masuk ke area parkir sepeda motor. Kakinya baru saja melangkah tiga tindak sebelum tiba-tiba saja hatinya berdesir kencang penuh penasaran, dengan cepat ia membalikkan badan.
Bayangan Abi sudah tidak nampak, ia seolah lenyap bersamaan dengan hembusan angin pagi.
Salam,

No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...