Sunday, June 11, 2017

JEJAK YANG TERPILIH - Day-12

#NulisRandom2017
JEJAK YANG TERPILIH
Sebuah Tanggung-Jawab
Day-12


Raut wajah Lukita terlihat kusam, hatinya dipenuhi rasa kuatir yang mendalam sehingga dadanya ikut berdebar-debar. Cerita Bian tentang apa yang baru saja di alaminya sama sekali tidak membuatnya bangga justru hanya menambah rasa was-was dan bahkan ketakutan.
“Luk, aku cerita terus terang kepadamu ini karena aku yakin bahwa sebagai seorang adik, kau mempunyai jiwa yang kuat dan justru akan mendukungku. Bukankah salah satu doa kita adalah berharap agar kita terpilih sebagai umat pilihan? Nah, tenangkan hatimu. Tidak akan banyak perubahan dalam keseharian kita kecuali itu ke arah yang lebih baik”, - Bian mencoba menenangkan hati adiknya.
Bian sengaja bercerita terus terang atas kejadian yang di-alaminya siang hingga malam hari kemarin. Ia tidak ingin memendam rahasia kepada adik semata wayangnya itu yang nanti justru akan menimbulkan banyak pertanyaan di belakang hari. Ia juga menunjukkan tiga botol minyak wangi dan juga cincin Kiai Pangupa Jiwa kepada Lukita.
Seperti dugaannya, tanggapan Lukita lebih banyak di dominasi rasa kuatir dan was-was.
“Apa sih, yang mas Bian cari? Bukankah mas Bian sudah jago berkelahi? Masih kepingin menjadi orang yang lebih sakti? Bukankah dengan bekerja yang baik itu juga beribadah? Masih kurang ta?”, - suara Lukita terdengar tersendat-sendat seolah menahan perasaan.
Bian terdiam dan tidak langsung menjawab pertanyaan adiknya itu. Ia tahu hati Lukita saat itu dipenuhi rasa kuatir yang berlebihan atas kemungkinan-kemungkinan yang buruk yang akan di hadapinya nanti. Ia bergeser mendekat dan memegang lembut tangan Lukita.
“Luk, bukankah kau cukup mengenal aku? Selama ini aku berlatih bela-diri dan parkour adalah semata karena hobby, untuk bisa selalu sehat serta agar bisa melindungimu dan keluarga. Kata ‘sakti’ itu jauh dari pikiranku. Aku juga tidak menyangka akan mengalami kejadian kemarin, tetapi bukankah jika Allah menghendaki maka kita harus menjalaninya dengan ikhlas?”
Lukita tidak menjawab perkataan kakaknya itu. Ia sadar ada banyak kebenaran yang di katakan Bian, akan tetapi hatinya belum bisa menerima itu sepenuhnya.
Ia bahkan bangkit dan melangkah menuju kamarnya.
“Aku akan telpon papa”, - serunya pendek.
“Aku sudah bicara sama papa Luk”, - jawab Bian cepat.
“Aku mau bicara sendiri!”, - sahut Lukita tidak kalah cepat sambil menutup pintu kamarnya.
Bian menarik nafas dalam-dalam, ia tidak bisa melarang ataupun menyalahkan adiknya itu. Sejak kecil Lukita sudah harus ditinggal mamanya yang berpulang menghadap-Nya, sehingga ia tumbuh dalam lindungan seorang kakak dan papa yang terlalu mengasihi dan memanjakannya.
Tetapi Bian yakin, papanya justru akan mampu memberi wawasan yang lebih luas di benak dan cakrawala pandang adiknya itu.
Bian segera mengambil handuk dan masuk kamar mandi untuk membersihkan diri. Ia berusaha bersikap seperti biasanya dan bahkan sambil bersenandung ketika mandi, ia ingin memberi kesan ke adiknya itu bahwa tidak ada yang perlu di kuatirkan.
Setelah sekian lama dan ketika keluar dari kamar mandi, dilihatnya adiknya itu sedang sibuk di dapur merebus Indo-mie. Beberapa hari ini Lukita memang tidak berpuasa dan ia mempersiapkan sarapan untuk dirinya sendiri. Gerakannya gesit seolah rasa gelisah yang tadi mendekapnya sudah hilang sama sekali.
“Lhah, sudah telpon papa Luk?”, - tanya Bian.
“Sudah!”
“So?”
“Papa sama mas Bian sudah sekongkol duluan ya? Omongannya gak banyak beda!”
Bian tidak dapat menahan tertawanya, sambil menjemur handuk ia berkata agak keras.
“Ko’on iku aneh-aneh ae Luk! Itu karena papa sama aku satu pemikiran sebagai orang dewasa yang mandiri. Bukan sebagai cewek manja yang…”
Bian terpaksa memutus kalimatnya ketika dilihatnya mata adiknya itu mendelik ke arahnya dan dipenuhi rasa dongkol.
“Mas, kalau gak bisa ngomong yang baik, mending diam. Batal tuh puasanya!”
Bian tertawa perlahan dan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya ia melangkah menuju kamarnya. Pagi ini mereka berdua ada janji untuk melihat lokasi tanah milik Andy Ho yang hendak di jadikan studio musik.
Ketika hendak berangkat meninggalkan rumah, sambil memanasi mesin mobil Lukita sempat berkata kepada Bian.
“Mas, kata papa mas Bian boleh saja sibuk dengan apa yang nanti menjadi beban dan tugas mas Bian sebagai laki-laki pilihan. Tetapi mas Bian harus tetap memperhatikan aku karena aku adalah tanggung-jawab mas Bian selagi papa belum pulang!”
Hampir saja tertawa Bian meledak keras sebelum kemudian di tahannya kuat-kuat ketika tangan adiknya itu terjulur dan memberi cubitan keras di lengannya.
Salam,

No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...