Monday, June 5, 2017

SERIAL - JEJAK YANG TERPILIH - DAY-6

#NulisRandom2017
SERIAL - JEJAK YANG TERPILIH
Tamu Spesial
Day-6

“Masak harus satu bulan seh mas? Tiga minggu ae!”
Dalam perjalanan pulang Lukita mencoba membujuk Bian agar jadwal konsep design Studio Musik yang di pesan Andy bisa selesai lebih cepat.
“Gak bisa Luk, kamu tahu sendiri minggu ini aku harus menyelesaikan design gudang untuk Om Yudi dan itu sudah gak boleh tertunda lagi. Kalau terlambat nanti pembayaran termin terakhir bisa molor dan susah kita. Lagian kerja design gini dibutuhkan ‘feel’ yang terkadang bisa saja macet. Kita juga baru bisa survey lokasi tanah Andy beberapa hari ke-depan kan? Percaya aku Luk, waktu satu bulan bagi Andy juga su…”
Bian terpaksa menghentikan kalimatnya ketika diliriknya kepala adiknya itu sudah bersandar di ‘head-rest’ kursi mobil dan nafasnya terlihat naik turun teratur.
“Lhah…malah tidur!”
Malam itu Bian melaksanakan sahur seorang diri, ia sengaja tidak membangunkan adiknya yang besok dan beberapa hari ke depan tidak berpuasa karena kodratnya sebagai perempuan. Bian hanya tinggal memanaskan sayur Rawon yang tadi sengaja ia beli di jalan untuk menu sahur.
Bian makan sahur dalam kesunyian dan kesendirian.
Ia sama sekali tidak berniat menyalakan televisi atau memutar lagu-lagu lembut seperti yang sering ia lakukan ketika menikmati makan sahur bersama adiknya. Entah mengapa, malam ini hati Bian terasa mellow dan hambar.
“Semoga usaha Papa untuk bangkit dan memulai bisnis barunya bisa segera berhasil. Agaknya papa masih sulit melupakan perbuatan om Sandhy yang telah menipu dan membawa kabur dana patungan mereka. Hong Kong bukan kota yang ramah dan pasti papa sekarang sedang berjuang mati-matian disana. Ah,seandainya Mama masih ada tentu aku tidak terlalu kuatir dengan Lukita”, - tanpa sadar hati Bian mengeluh.
Minggu pagi itu Bian hendak membaringkan tubuhnya lagi karena matanya masih terasa agak berat akibat tadi malam kurang tidur. Tetapi ia terpaksa membatalkan niatnya itu ketika didengarnya Lukita yang sedang menyiram tanaman di halaman depan memanggil namanya dengan ribut.
“Apa seh Luk?”, - tanya Bian ogah-ogahan.
Lukita sudah berdiri di pintu kamar Bian dengan pakaian yang setengah basah akibat terkena siraman air. Wajahnya terlihat setengah bingung tetapi juga dihiasi senyuman lebar. Ia segera meraih tangan Bian dan dengan tergesa-gesa menyeret kakaknya itu menuju teras depan.
“Tuh mas, ada yang nyari. Pasti gak nyangka!”
Tanpa menjawab Bian yang sebenarnya masih setengah mengantuk itu mengikuti adiknya. Sebuah mobil Mitsubishi Outlander warna putih terpakir di depan pagar, sementara dua sosok perempuan berdiri disamping mobil itu sambil termangu-mangu.
Tiba-tiba tubuh Bian menjadi kaku, matanya sedikit terbelalak dan mulutnya seolah terkunci. Dadanya berdebar-debar susah di atur.
Salah seorang perempuan itu berumur setengah baya dengan wajah lembut dan dandanan yang sederhana, Bian merasa belum mengenalnya.
Tetapi yang membuat Bian begitu gugup adalah kehadiran perempuan kedua atau lebih tepatnya seorang gadis yang berdiri di samping perempuan setengah baya itu.
Gadis itu hanya mengenakan kaos putih lengan pendek bergambar symbol atau merk kaos terkenal di dada kirinya dipadu dengan celana jeans biru, terlihat sangat sporty. Rambutnya yang hitam kemerahan terurai panjang menutupi leher belakang dan sebagian punggungnya. Hidung khas Asia dengan bibir yang sedikit tipis itu terpadu dengan alis hitam yang menaungi mata yang sinarnya seolah senantiasa memberi harapan di hati Bian. Kulitnya yang putih bersih menjadi nilai tambah atas kemolekan tubuh gadis itu.
“Maasss…..koq diam seh! Gak kenal tah?”
Teguran Lukita yang di ikuti suara tertawa keras itu segera menyadarkan Bian.
“Eh…maaf”, - Bian terlihat gugup - ,”Mari, silahkan masuk Sinta dan juga Tante”
Gadis muda yang bernama Sinta itu tersenyum, wajahnya agak memerah tetapi sesungguhnya ia senang dan menikmati kegugupan Bian.
“Gak usah Mas Bian”, - suara Sinta terdengar begitu merdu di telinga Bian- ,”Aku cuman ngantar Tante-ku yang kepingin ketemu Mas Bian”
Wajah Bian terlihat bingung, tetapi dengan cepat ia menempatkan dirinya sebagai anak yang lebih muda. Tangannya segera terulur meraih dan melakukan salam kepada perempuan paroh baya itu.
Perempuan paroh-baya itu menyambut tangan Bian sambil tersenyum.
“Apakah kau ingat aku nak Bian?”, - tanya perempuan itu sambil tersenyum.
Bian terlongong-longong merasa bodoh, kehadiran Sinta di sebelah perempuan itu membuat ia tidak mampu mengingat atau berpikir jernih.
Perempuan paroh-baya yang ternyata adalah tante-nya Sinta itu tersenyum. Agaknya ia memahami kegugupan Bian atas kehadiran keponakannya yang tiba-tiba itu.
“Nak Bian, kita memang belum pernah bertemu, tetapi bukankah kemarin sore kau sudah menangkap dua orang jahat yang merampas dompet seorang perempuan. Nah, berkat jasamu itu dompetku sudah kembali”,- ujar tante-nya Sinta sambil tersenyum.
“Oh..”
Bian menarik nafas dalam-dalam, ia kini memahami alasan kedatangan Sinta dengan tantenya itu.
“Maaf, saya waktu itu langsung pergi tanpa sempat menemui Tante”
“Gak apa-apa nak Bian. Untung Sinta melihat bahwa yang menolong adalah nak Bian yang sudah dikenalnya, jadi aku langsung minta ketemu nak Bian pagi ini”, - kata perempuan paroh baya itu.
Bian mengerutkan keningnya, tanpa sadar ia menoleh ke arah wajah jelita yang hampir setiap hari membayanginya menjelang tidur malam.
“Mas Bian itu lho hampir saja menabrak mobilku”, - suara Sinta yang merdu itu kembali berkumandang di telinga Bian -,” Aku sampai tegang dan kuatir waktu melihat mas Bian mengejar pencopet itu. Hati-hati mas, jangan-jangan mereka mendendam”
Sinta dan Tante-nya tidak mau masuk rumah, tidak lama mereka segera pamit sambil meninggalkan bungkusan berisi makanan yang diterima Lukita dengan wajah berbinar.
Sambil pamit, Sinta dan Tante-nya mengundang Bian dan Lukita untuk ikut berbuka puasa nanti malam di rumah mereka. Sinta sempat melambakan tangannya dan meninggalkan senyum termanisnya yang langsung terpahat kuat dan dalam di dinding ingatan Bian.
Ketika mobil putih itu sudah berjalan menjauh, hati Bian begitu lapang seolah selesai menyangga beban yang sangat berat. Tiba-tiba saja tubuhnya melompat ke halaman samping yang cukup luas dan ia bergerak cepat melakukan tendangan dan pukulan ke udara berkali-kali. Tubuhnya melakukan gerak salto ke udara dan kakinya berkali-kali melakukan tendangan berputar sambil berteriak cukup keras. Ia melampiaskan kegirangan yang sudah hampir meledak di dadanya.
“Gendeng ko’on iku mas”, - Lukita tertawa melihat tingkah-polah kakaknya itu.
Pagi itu mata Bian sama sekali tidak mengantuk lagi, ia segera mandi dan membuka komputer untuk melanjutkan pekerjaan-nya sambil bersiul-siul.
Salam,

No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...