“Luk, jangan kebanyakan limpa sama paru, asam urat-mu meledak nanti”, - Bian berusaha mengingatkan adiknya yang makan dengan sangat lahap.
“Halah, mas Bian sendiri menunya nasi bebek, sama saja! Kolestrol!”
Lukita menjawab cepat tetapi kepalanya tetap menunduk menghadapi piringnya yang isinya tinggal separo. Mulutnya berdesis menahan rasa pedas akibat sambal pencit yang dipadu dengan bumbu hitam yang menimbulkan sensasi gurih.
“Husss, aku kan olah-raga Luk”, - jawab Bian mencoba menjelaskan.
“Aku lho makan nasi Madura begini belum tentu dua minggu sekali mas”, - Lukita tidak mau kalah.
Malam ini mereka berdua memang sengaja berbuka puasa diluar dan ingin memanjakan lidah masing-masing. Ada sebuah Pujasera yang menyediakan aneka menu pilihan yang memang menjadi favorit keluarga. Suasana di Café itu tidak terlalu ramai karena saat ‘bukber’ sudah agak lama lewat.
Bian dan Lukita sudah menyelesaikan makanan utamanya, tetapi mereka masih duduk dan mengobrol santai sambil menghabiskan wedang jahe yang masih panas. Café ini menjadi favorit bagi mereka berdua karena suasana yang cozy dan kesederhanaan perabotnya yang terkesan alami.
Lampu yang temaram dengan meja dan kursi yang terbuat dari kayu bekas serta atap yang terbuat dari jerami itu menghadirkan suasana tradisional yang lumayan kental. Apalagi ketika hujan turun,
biasanya itu menjadi alasan Bian dan Lukita untuk duduk berlama-lama sambil menikmati gemericik suara air yang jatuh di atap jerami dan kemudian tertumpah ke pinggiran teras.
Hanya saja malam ini sama sekali tidak turun hujan, bahkan udara terasa agak panas karena sudah memasuki pertengahan tahun dimana biasanya adalah musim kemarau.
Di beberapa sudut atas ruangan terbuka itu nampak beberapa loudspeakers warna hitam yang terpasang di dinding. Dari alat penangkap dan pengeras suara ini mengalun lembut sebuah lagu yang membuat Lukita ikut bersenandung menirukan.
----------
Strumming my pain with his fingers,
Singing my life with his words,
Killing me softly with his song,
Killing me softly with his song,
Telling my whole life with his words,
Killing me softly with his song
----------
Strumming my pain with his fingers,
Singing my life with his words,
Killing me softly with his song,
Killing me softly with his song,
Telling my whole life with his words,
Killing me softly with his song
----------
Tetapi Bian tidak bisa sepenuhnya menikmati lagu itu.
Perhatiannya teralihkan oleh masuknya dua orang pemuda yang menghampiri meja nomor 4 yang berjarak dua meja di sebelah mereka duduk. Di meja itu sudah duduk dua orang laki-laki yang sedang menikmati minumannya, hanya saja umur kedua laki-laki ini terpaut agak jauh dengan kedua pemuda yang baru datang. Mereka terlihat saling sapa dan kemudian mengobrol dengan suara pelan bahkan cenderung berbisik.
“Mas Bian, kita pulang sekarang”
Suara dan permintaan pulang Lukita yang tiba-tiba itu sama sekali tidak di duga oleh Bian. Biasanya adiknya itu justru yang paling krasan kalau di ajak nongkrong dan bahkan sulit di ajak pulang.
Dengan kening berkerut Bian memandang wajah adiknya yang terlihat serius.
“Gak salah ta ko’on Luk, opo’o seh?”, - tanya Bian penasaran.
Sambil membenahi baju dan memasukkan HP ke dalam tas-nya, Lukita menjawab pelan.
“Mas, yang baru masuk mengenakan kaos biru itu namanya Rudy, dan sudah menjadi rahasia umum di kampus dia terkenal sebagai penyedia narkoba. Celakanya, dia sering sok-kenal-sok-dekat dan kalau ketemu aku pasti nyinyir. Sebenarnya aku kepingin sekali-sekali menggampar dia!”
“Kenapa tidak kau lakukan?”, - Bian justru tersenyum.
Mata Lukita sedikit mendelik menunjukkan kegusarannya akibat godaan kakaknya. Ia bermaksud berdiri dan berlalu untuk menghindari pertemuan dengan pemuda berkaos biru yang disebutnya bernama Rudy.
Tetapi gerak Lukita yang beranjak dari tempatnya itu justru membuat pemuda bernama Rudy yang duduk dengan arah menyamping itu menengok dan melihatnya.
“Hai, Lukita!”
Suaranya terdengar nyaring dengan nada riang.
Pemuda bernama Rudy itu kemudian berjalan mendekat dengan wajah berbinar-binar. Di tinggalkannya teman-temannya begitu saja, agaknya dia tidak menyangka bisa bertemu Lukita di tempat ini dan itu membuat hatinya senang.
Lukita terpaksa kembali duduk dan wajahnya tiba-tiba saja menjadi panas dan gelap.
Tetapi Rudy seolah-olah tidak melihat perubahan wajah Lukita, sambil tertawa-tawa ia berkata tanpa memperdulikan orang di sekitarnya.
“Wah, gak nyangka bisa ketemu kamu disini. Ayo Luk, gabung di mejaku. Ada beberapa teman yang pasti akan senang berkenalan denganmu”
Tangan Rudy tiba-tiba terjulur begitu saja hendak menarik lengan Lukita.
Tetapi sebuah tangan yang kuat tiba-tiba mencengkeramnya sehingga tangan Rudy tertahan sebelum menyentuh lengan Lukita.
“Jadilah pemuda yang sopan!”, - terdengar sebuah teguran bernada berat.
Salam,
No comments:
Post a Comment