“ Angger Bian dan Lukita, selamat datang di gubug-ku yang sederhana ini ngger”,- sebuah suara lunak terdengar menyapa mereka dari belakang.
Bian memutar badannya dan dilihatnya seraut wajah bersih dengan senyuman yang menyejukkan. Pria paroh-baya itu seolah menawarkan ketenangan bagi lawan bicaranya.
Segera Bian berjalan mendekat dan meraih tangan kanan pria itu untuk di ciumnya. Lukita dengan cepat mengikuti sebagaimana yang dilakukan kakaknya.
“Maaf Abi, saya berkunjung tanpa memberi tahu terlebih dahulu”, - kata Bian sambil memperkenalkan Lukita adiknya.
“Tentu tidak perlu meminta maaf Bian”, - sahut Abi sambil tertawa - ,”Aku justru sangat senang jika kalian sering berkunjung kesini. Apalagi agaknya angger Lukita sangat bersemangat untk mengetahui sistem bertanam dengan cara hidroponik ini”
Lukita terlihat menganggukkan kepalanya kuat-kuat dan tanpa ragu-ragu.
“Benar Abi. Sesungguhnya saya pernah membaca artikel tentang sistem hidroponik ini. Hanya saja setelah melihat langsung keadaan disini, rasanya ketertarikan dan keunikan sistem ini menjadi berlipat-lipat”
Mulut Abi terlihat menyunggingkan senyuman lebar.
“Kalau begitu, marilah kita berkeliling sejenak sebelum nanti naik ke gazebo. Aku akan tunjukkan keadaan dalam green-house ini supaya angger Lukita lebih paham nantinya”
Demikianlah, mereka bertiga kemudian berkeliling dari satu bangunan green-house ke bangunan yang lain. Lukita terlihat tidak bisa menahan kegembiraan hatinya melihat kesegaran sayur-mayur yang membentang subur memenuhi area dalam kebun itu. Sementara, karena tidak berpuasa, ia bahkan minta ijin Abi agar diperbolehkan untuk merasakan buah tomat yang terasa segar dimulut.
Ketika matahari memanjat naik hampir ke puncaknya Abi mengajak mereka untuk naik ke Gazebo. Sesungguhnya bangunan Gazebo ini lebih banyak diperuntukkan sebagai mushola untuk sholat. Karena itu, lantai-nya yang terbuat dari kayu terlihat senantiasa bersih meskipun di lemari kecil Abi juga selalu menyediakan sajadah, sarung dan mukena.
Setelah menunaikan sholat berjamaah, Abi mengajak mereka duduk sambil berbincang.
“Angger Bian dan Lukita, untuk selanjutnya aku berharap kalian berdua lebih sering berkunjung ke sini, terutama Bian. Ada beberapa hal yang nanti bisa kita pelajari dan insya Allah itu berguna sebagai bekal dalam kehidupan ini. Sudah tentu yang bisa aku tunjukkan dan ajarkan juga amatlah terbatas sesuai kemampuan. Hanya saja, terbatas bagi seseorang itu terkadang terlihat luar biasa atau bahkan tidak terbatas bagi orang lain. Tetapi dimata Allah, sesungguhnya kemampuan kita itu amatlah kecil, bahkan tidak berarti sama sekali”
“Saya mengerti Abi”, - jawab Bian dengan suara pelan.
Sementara Lukita hanya menundukkan kepala sambil mendengarkan uraian Abi.
“ Angger berdua, jika nanti aku menunjukkan sesuatu hal yang terasa baru, maka jangan menganggap aku sedang pamer atau menyombongkan diri. Sesungguhnya aku berlindung kepada Allah Yang Maha Pengasih dari segala sifat riya’ dan ujub”, - suara Abi berhenti sejenak sambil matanya memandang sekelilingnya -,”Nah, sekarang lihatlah ke arah tiang kayu itu. Di bagian atas dekat dengan ujung tiang itu apakah angger melihat ada sebuah paku yang menancap dan tetapi hanya separo panjang batang paku itu saja?”
Tangan Abi nampak menunjuk pada sebatang tiang kayu yang berjarak sekitar 6 meter dari tempat mereka duduk. Bian dan Lukita terpaksa menajamkan pandangan matanya, karena jarak 6 meter meskipun bukan jarak yang jauh, akan tetapi untuk melihat sebatang paku tetaplah diperlukan sebuah ketajaman pandangan mata.
Paku itu sudah agak berkarat dan separo batangnya menancap ke dalam tiang, sementara separo batang yang lain masih menonjol. Abi biasanya menggunakan paku yang menonjol itu untuk dipasangi tali yang membentang ke tiang yang lain dan dipergunakan untuk menjemur atau melipat plastic UV maupun paranet.
“Menurut angger berdua, bagaimanakah caranya agar kita bisa memaku paku itu agar melesak ke dalam, tanpa alat palu dan tanpa menggeser tubuh kita dari tempat kita duduk ini?”, - tanya Abi.
Bian dan Lukita terpaksa memutar otaknya sambil mengerutkan keningnya. Akan tetapi agaknya Abi juga tidak memerlukan jawaban. Tiba-tiba saja tangannya terayun dengan cepat akan tetapi gerak itu di lakukan dengan asal-asalan tanpa konsentrasi sama sekali.
Sebuah uang logam berkilau melesat dan meluncur dengan cepat ke arah tiang itu. Terdengar sebuah bunyi dentingan cukup keras, sebelum kemudian uang logam itu jatuh ke tanah.
Akan tetapi perhatian dan mata kedua kakak beradik itu seolah tidak bergeser dan terus menatap tempat dimana sebatang paku tadi tertancap dekat di ujung tiang. Paku itu kini melesak ke dalam dan penampang paku itu kini sudah menempel rata dengan permukaan tiang kayu, tanpa ada tonjolan sama sekali.
“Sebuah kemampuan bidik tingkat dewa”, - ujar Bian maupun Lukita dalam hati -,”Selain ketepatan membidik yang tinggi, diperlukan tenaga yang cukup besar sehingga benturan uang logam itu mampu menekan paku itu sehingga masuk dan melesak ke dalam kayu. Hebatnya, Abi melakukan semua itu seolah tanpa konsentrasi”
Suasana siang itu terasa hening, Bian dan Lukita diliputi oleh kekaguman yang sangat sehingga tidak mampu mengeluarkan suara.
“Nah angger Bian dan Lukita, apakah kalian mau mencoba?”, - tanya Abi sambil menunjukkan beberapa uang logam di tangannya.
Bian dan Lukita tiba-tiba merasa gelagapan.
Salam,
No comments:
Post a Comment