Bian memarkir sepeda motornya di depan sebuah bangunan panjang yang letaknya di pinggiran tambak yang airnya berwarna hijau. Matahari baru naik sekitar sepengalah, hari sebenarnya masih terlalu pagi tetapi suara mesin gergaji dari dalam bangunan itu menunjukkan bahwa aktifitas-nya sudah dimulai.
Seorang pria berumur sekitar 35-an tahun dan tidak mengenakan baju nampak berlari-lari kecil menyambutnya.
“Kenapa pagi sekali mas Bian?”, - tanyanya dengan wajah cerah.
Bian tersenyum tanpa menjawab pertanyaan laki-laki bertelanjang dada itu. Di serahkannya sebuah bungkusan berisi tiga buah bandeng asap kepada lawan bicaranya sambil berjalan masuk ke dalam bangunan panjang itu.
“Ini nanti untuk buka puasa di rumah. Bagaimana keadaan si Dul, Cak To?”, - tanya Bian.
“Hari ini sudah masuk sekolah mas, tiga hari yang lalu kita bawa ke tukang pijat Sangkal Putung di daerah Malang dan ternyata tulangnya bisa kembali normal”, - jawab laki-laki bertelanjang dada yang oleh Bian di panggil dengan nama Cak To.
“Sebaiknya jangan boleh naik motor dulu cak To, kan si Dul baru klas-3 SMP. Apalagi harus bergabung dengan geng motor segala, ntar ditangkap polisi urusannya bisa panjang”
Cak To terlihat mengangguk-anggukkan kepalanya sambil mengiringi Bian masuk ke dalam ruangan dalam.
Di dalam bangunan panjang itu ada beberapa laki-laki yang sedang sibuk dengan pekerjaannya. Dua orang terlihat sedang menggosok atau menghaluskan papan menggunakan kertas amplas, sementara tiga yang lain sibuk merekatkan lembaran HPL ke permukaan Multiplek.
Sudah hampir dua tahun ini Bian mempercayakan order-order untuk pembuatan meubel-nya kepada Cak To. Sebelumnya Cak To adalah karyawan lepas dari sebuah perusahaan dan profesinya adalah sebagai tukang kayu. Ternyata perusahaan tempat cak To bergabung di ambang kebangkrutan dan saat itulah cak To di minta Bian untuk menggarap beberapa order yang diterimanya.
Awalnya hasil pekerjaan cak To kurang memuaskan dari segi kualitas, tetapi Bian terus-menerus memberi saran perbaikan sehingga kini berjalan hampir dua tahun dan pekerjaan cak To termasuk dalam kategori ‘Excellent’. Bian pula yang mendukung pembiayaan cak To untuk membuka work-shop sendiri dengan menyewa lahan di pinggir tambak ini.
“Pengerjaan Kitchen-set untuk Pak Adi sudah di mulai cak To?”, - tanya Bian.
“Ini mulai potong bahan mas, rasanya gak sampai tiga minggu bisa setting di lokasi. Meskipun ukurannya agak lebar tetapi semua pakai HPL, jadi bisa lebih cepat ”, - sahut cak To cepat.
Bian mengangguk dan merasa puas, ia berkeliling memeriksa beberapa pekerjaan yang sedang dalam proses.
“Cak To, bagian belakang bangunan ini bisa kita manfaatkan sebagai kamar khusus untuk penggarapan cat duco. Sekarang ini memang pasar sedang trend dengan penggunaan HPL, tetapi beberapa masih konservatif dengan duco, bahkan untuk yang kelas atas. Ini kita sedang nego untuk sebuah apartemen dan mengisi beberapa unit kamar sebagai percontohan. Kalau pekerjaan kita baik, mungkin kita akan dapat order dari mereka”, - Bian berhenti sejenak - ,”Proposal pendirian usaha yang kemarin sudah di baca dan di tanda tangani Cak To?”
Tanpa menjawab Cak To segera melangkah menuju tas ransel-nya yang ia letakkan di pojok ruangan. Ia kembali sambil menyodorkan sebuah berkas dalam sebuah map warna kuning.
“Sudah semua mas Bian, pokoknya saya ngikut saja”, - kata cak To sambil menyerahkan map berwarna kuning itu.
“Sip Cak”, - jawab Bian mantab -,”Insya Allah dengan menjadi badan usaha, bisnis kita ini bisa berjalan lebih maju. Kita bisa berhubungan dengan beberapa perusahaan secara langsung karena kita bisa menerbitkan faktur pajak sendiri. Kita tidak selamanya menjadi sub-kontraktor dan juga bisa ikut lelang atau tender dengan nilai yang sesuai kemampuan kita”
Bian masih berada di workshop itu hingga waktu menjelang siang sebelum ia kemudian pamit untuk kembali ke kantor. Ditengah perjalanan ia sempatkan mampir ke masjid perumahan untuk menunaikan sholat dhuhur. Waktu dhuhur sudah lewat sedikit dan masjid itu terasa begitu sepi tanpa ada satu jama’ahpun yang nampak.
Bian melaksanakan sholat Dhuhur dalam keheningan dan kesendirian.
“Mas, silahkan minyak wangi mas”
Tanpa diketahui darimana datangnya, seorang laki-laki tua tiba-tiba saja menghampiri Bian dan menawarkan dagangan minyak wangi-nya saat ia sedang mengenakan kaos kaki hendak meninggalkan masjid. Laki-laki itu terlihat kecil dengan kulit yang berkeriput menempel di tulang. Ia seolah tidak mempunyai daging sama sekali di bagian tangan dan wajahnya. Meskipun terlihat kecil dan pendek, tetapi orangtua itu mempunyai pundak yang lebar dan tidak sewajarnya. Kepalanya tertutupi kopyah warna hitam yang warnanya sudah pudar, sementara badannya yang bungkuk menambah beban berat di kaki yang menopang jalannya.
Segera Bian bergeser memberi tempat duduk orang tua itu disebelahnya.
“Ada minyak wangi apa kek?”
“Ada macam-macam mas, ini ada mesik, jafaron atau minyak seribu bunga”, - jawab kakek itu.
Suaranya terdengar bergetar menandakan usianya yang memang sudah tua.
“Baik kek, saya ambil masing-masing satu botol kecil ya”
Bian sebenarnya tidak minat membeli minyak jenis ini, tetapi melihat perjuangan kakek yang sudah berusia sangat tua dalam mencari rejeki membuat ia tergerak untuk membelinya. Ia sudah puluhan atau bahkan ratusan kali mengalami kejadian seperti ini, membeli bukan karena memerlukan melainkan karena kasihan kepada penjualnya.
Tetapi Bian merasa kali ini ada keanehan yang ia rasakan. Siang hari yang panas itu tiba-tiba saja berubah menjadi sejuk luar biasa, cahaya matahari berkilau keemasan sementara meskipun tidak didahului mendung tetapi ada gerimis tipis mulai jatuh membasahi bumi. Ada pelangi yang tercipta, sementara keheningan itu seolah membawa berjuta makna yang tidak dipahami Bian. Hatinya terasa tenang seolah ia sedang berada di taman yang penuh kedamaian.
“Fabian anakku, bersyukurlah atas semua nikmat yang sudah kau nikmati selama ini. Ada banyak hal yang harus kau lakukan untuk menebar kebaikan di lingkunganmu. Asahlah kepekaan dalam dirimu dan tingkatkanlah ibadahmu. Jika saatnya tiba, berjalanlah ke arah utara kota dan carilah sebuah masjid dimana ada dua buah sumur di dalamnya. Temuilah Kiai Syukur yang kelak akan menjadi gurumu dalam olah kajiwan dan kanuragan”
Suara itu menelusup ke dalam sanubari Bian tanpa ia tahu siapa yang berucap.
Suhu badan Bian tiba-tiba saja terasa panas, keringat dingin mengucur deras tanpa dapat dicegah dan ia berusaha mencari sandaran atas keadaan yang tidak di mengertinya itu. Ia mengucap kalimat dzikir berulang kali dan perlahan-lahan Bian bisa menguasai kesadarannya. Sesungguhnya siang terasa panas menyengat sebagaimana udara Surabaya pada setiap harinya. Sama sekali tidak ada hujan gerimis apalagi pelangi.
Kakek tua penjual minyak wangi yang kurus kering itu lenyap tanpa diketahui arahnya, akan tetapi dihadapan Bian tergeletak tiga buah botol kecil minyak wangi.
Dada Bian berdebar kencang.
Salam,
No comments:
Post a Comment