Saturday, June 10, 2017

JEJAK YANG TERPILIH - Day-11

#NulisRandom2017
JEJAK YANG TERPILIH
Kiai Pangupa Jiwa
Day-11

Malam ini sepulang dari sholat tarawih Bian sengaja membaringkan tubuhnya dan berniat tidur lebih awal. Ia sudah pesan kepada Lukita agar semangkuk kecil semur lidah untuk menu sahur nanti di letakkan di atas sarangan magic-com sehingga nanti malam ia tidak perlu memanasi-nya lagi.
Tetapi hingga menjelang tengah malam matanya sama sekali tidak mau terpejam. Betapapun letih fisiknya tetapi kegelisahan hatinya tidak mampu membuat mata untuk di ajak beristirahat. Perlahan-lahan Bian turun dari ranjang dan mengambil air wudhu untuk melaksanakan sholat sunnah. Disaat gelisah seperti ini ia memang terbiasa membawa semua rasa yang tidak menentu ini untuk di adukan ke hadapan sesembahannya.
Bian tenggelam dalam ibadahnya.
Ketika selesai menunaikan sholat sunnah, ia tetap duduk terpekur sambil melantunkan dzikir dalam hati. Bibirnya tidak bergerak, tetapi darahnya bergolak, jantungnya berdetak dan semua pori-pori dalam tubuhnya membuka serta melantunkan pujian atas kuasa Yang Maha Esa. Disadarinya diri yang termaat kecil di hamparan ciptaan-Nya yang maha besar dan maha luas. Dipasrahkannya semua masalah dalam hidupnya dengan disertai permohonan untuk memperoleh petunjuk apa yang harus di lakukan selaku hamba-Nya yang harus berusaha.
Bian seolah masuk dalam dunia dengan satu warna, antara ungu dan kekuningan. Sunyi dan menentramkan, tubuhnya terhisap melayang ke dalam masa ribuan tahun silam lalu kemudian terlempar ke ratusan tahun masa depan. Hanya saja lorong masa ini serasa tiada mengenal waktu, tak ada siang ataupun malam, hanya ada keheningan.
Sebuah sentuhan lembut di lututnya membuat Bian tersadarkan akan masa yang kini dihadapinya. Masih dalam keterpejaman mata, ia melihat seorang laki-laki tua dengan baju lurik dan beskap layaknya orang Jawa kuno duduk tepat dihadapannya. Kepalanya tertutupi blangkon warna gelap, sementara wajahnya terlihat bersinar dan bersih tanpa ada satu rambut di wajahnya, baik itu kumis ataupun jenggot. Senyum laki-laki tua itu menebar ketentraman.
Tanpa berkata sepatah katapun Bian meraih tangan pria itu dan menciumnya dalam hening.
Laki-laki tua itu tersenyum sambil memegang kedua lutut Bian.
“Jangan gelisah anakku, kau memang terpilih diantara beberapa orang pilihan. Lakukanlah apa yang sudah aku pesankan, dan temuilah Kiai Syukur. Insya Allah ia akan banyak memberimu bekal untuk kebaikan umat di masa-mu. Saat ini, ada kuasa gelap yang sedang menyusun kekuatan untuk membawa peradaban manusia kembali ke jaman jahiliyah dan mengarah ke kehancuran. Adalah tugas-mu untuk mencegah dan melawan kebathilan yang terjadi di sekitarmu baik dengan cara yang halus maupun dengan cara kekerasan”
Laki-laki tua berwajah bersih itu sama sekali tidak menggerakkan bibirnya, wajahnya yang teduh hanya tersenyum sambil melihat ke arah Bian. Tetapi ucapan yang panjang itu seolah langsung tersemat di dalam hati sanubari Bian yang membuat wajahnya menunduk meng-iyakan.
“Nah, anakku, justru kau harus bersyukur akan tugas mulia ini. Aku tahu ini tidak ringan, karena itu aku meninggalkan sebuah cincin yang akan membantumu untuk menawarkan semua jenis racun yang mungkin akan kau temui dalam petualanganmu nanti. Sebutlah cincin ini sesuai namaku yaitu, Kiai Pangupa Jiwa"
Perlahan-lahan rasa itu memudar, Bian bisa merasakan betapa tubuhnya dikembalikan pada posisi semula dan di masa kekinian. Di rasakannya dengung lembut suara AC dan semilir angin yang mengusap porinya. Sambil mengatur debar jantung dan perasaannya Bian membuka matanya sedikit demi sedikit. Di hadapannya, diatas sajadah tempat ia menunaikan sholat, tergeletak sebuah cincin berwarna biru tua dengan emban dari emas putih. Sejenak cincin itu seolah mencorong memancarkan sinar yang menyilaukan mata, sebelum kemudian berubah dan kembali layaknya cincin pada umumnya.
Bian mengambil cincin itu dengan perlahan-lahan lalu mengamatinya dengan seksama. Setelah menata diri dan yakin bahwa cincin itu adalah untuk dirinya, ia segera mengenakannya di jari manis tangan kanannya.
“Semoga aku mampu mengemban amanah apapun yang dibebankan kepadaku”, - desis Bian perlahan.
Bian melakukan sujud syukur cukup lama sbelum kemudian bangkit dan berniat menikmati makan sahurnya.
Salam,

No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...