Friday, June 30, 2017

JEJAK YANG TERPILIH - Day-28

#NulisRandom2017
JEJAK YANG TERPILIH
Green-House Abi
Day-28


Minggu pagi itu jalanan masih sunyi ketika mobil yang di-kendarai Bian dan Lukita membelah keluar kota Surabaya menuju ke selatan dan kemudian berbelok ke kanan alias arah barat daya kota.
Bian sengaja mengajak Lukita untuk mengunjungi Kiai Syukur atau yang kemudian ia sebut dengan Abi setelah pertemuan terakhirnya di masjid bilangan utara kota kamis malam yang lalu. Ia ingin terbuka agar adiknya itu mengetahui dengan pasti tempat-tempat yang ia kunjungi maupun dengan siapa ia berhubungan sehingga tidak menimbulkan tanda tanya.
Lalu-lintas masih cenderung sunyi sehingga sekitar satu jam kemudian mereka berdua sudah memasuki jalan yang menanjak atau daerah perbukitan yang merupakan kaki pegunungan. Untunglah jaringan internet di daerah ini masih cukup bagus, sehingga Bian bisa memanfaatkan ‘google-map’ untuk mencari alamat sesuai petunjuk Abi.
Dari jalan utama mereka berbelok ke kiri memasuki jalanan yang agak sempit tetapi terlihat bersih dan di kanan-kirinya ditumbuhi bunga-bunga yang asri. Bian sengaja mematikan AC lalu menurunkan kaca jendela mobil hingga mentok ke bawah.
Matahari bersinar penuh tanpa ditutupi sehelai awan, sementara angin berhembus tidak terlalu kencang tetapi membawa hawa sejuk khas udara pegunungan. Suasana pagi itu membuat hati kedua kakak beradik itu terasa riang dan menyenangkan.
Setelah melewati beberapa petak sawah, dari jauh mata Lukita bisa melihat lima buah bangunan yang semi terbuka dimana atapnya ditutup menggunakan plastik UV. Sementara dindingnya hanya dibatasi dengan paranet warna hitam, yang mampu menyaring jumlah sinar matahari yang masuk serta mencegah masuknya belalang atau binatang lain perusak tanaman.
“Itu mas, Green-House!”, - seru Lukita sambil menudingkan tangan ke depan.
Bian mengangguk dan pelan-pelan ia mengarahkan kendaraannya untuk masuk ke area halaman depan Green-House tersebut. Seorang pria berpeci berumur sekitar 40-an tahun dengan tergopoh-gopoh menyambut kedatangan mereka.
Senyumnya mengembang sehingga nampak gigi-giginya yang putih, tetapi mata Bian sempat menangkap adanya sebuah tattoo di lengan kiri orang berpeci tersebut.
“Selamat datang mas Bian dan mbak Lukita, mari silahkan naik ke Gazebo dulu”, - ujarnya ramah khas orang padesaan.
Bian dan Lukita saling berpandangan dengan mimik heran, bagaimana mungkin orang berpeci itu mengetahui namanya sementara mereka sama sekali tidak mengenalnya dan bahwa kedatangan mereka kesini juga sama sekali tidak di rencanakan.
“Maaf pak, apakah ini Green-House dimana Abi tinggal?”, - tanya Bian sesopan mungkin.
“Abi?”, - kini orang berpeci itu yang heran.
“Maaf, maksud saya Pak Syukur atau Kiai Syukur”,- dengan cepat Bian meralat pertanyaannya.
“Oh”, - orang berpeci itu kembali melempar senyumnya yang lebar -,”Betul mas Bian, disini kami memanggilnya dengan sebutan Abah. Tadi Abah berpesan kalau mas Bian dan mbak Lukita datang diminta agar menunggu dulu di gazebo. Abah masih membenahi saluran air di sawah sebelah kiri yang kemarin sempat jebol”
Lukita terlihat mengerutkan keningnya, ia sempat berbisik kepada Bian - ,”Apakah Abi tahu bahwa kita akan datang berkunjung?”
Bian tidak menjawab melainkan hanya menggelengkan kepalanya saja. Ia sendiri sejauh ini bahkan belum mengenal sosok Abi itu lebih dalam.
Orang berpeci yang kemudian memperkenalkan diri bernama Pak Sutar itu segera mengajak mereka melangkah ke tengah-tengah halaman di antara lima buah Green-House itu. Bangunan Gazebo terletak tepat di tengah-tengah kelima Green-House itu.
Sambil berjalan Bian dan Lukita bisa menyaksikan keadaan di dalam bangunan Green House melalui lubang-lubang paranet. Terlihat lonjoran-lonjoran pipa panjang yang diberi lubang pada jarak sekitar 20-25 cm. Lonjoran pipa paralon itu disusun miring bertingkat dalam jarak yang cukup rapat. Dalam setiap lubang berdiameter sekitar 4-5 cm itu tumbuh macam-macam jenis sayuran yang nampak begitu segar dan sehat. Sawi atau selada hijau, kangkung, pak-chou, kailan dan bahkan buah tomat.
“Ah, inilah bertanam sistem Hidroponik”, - seru Lukita seolah baru tersadarkan.
Ia sudah beberapa kali membaca artikel tentang sistem hidroponik ini dan bahkan gambar-gambarnya sempat ia simpan di gallery laptop-nya.
Pak Sutar yang mendengar perkataan Lukita itu langsung menyahut -,”Betul mbak Lukita, ini memang sistem Hidroponik. Jadi kita menanam sayuran tapi tidak menggunakan media tanah melainkan dengan mengairi pipa paralon ini dengan air bernutrisi sesuai kebutuhannya. Di bagian belakang ini Abah bahkan mulai mencoba menanam berbagai macam buah-buahan”
Bukan main senang dan tertariknya hati Lukita melihat sayur-sayuran yang segar dan membentang memenuhi area green-house. Ia tidak henti-hentinya bergerak dan bertanya kepada pak Sutar tentang sistem pengairan maupun cara tanam dan pemeliharaannya.
“Bukankah sayuran ini yang disebut organik mas Bian? Harganya mahal dan banyak restoran besar yang terkadang bahkan kesulitan mencarinya”, - sebuah ide melintas di benak Lukita.
Salam,

No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...