#NulisRandom2017
JEJAK YANG TERPILIH
Sisipan – Menu Ibu
Day-18
Ini hari ke-23 di bulan Ramadhan yang bertepatan dengan hari
ke-18 #NulisRandom2017.
Tiba-tiba saja aku ingin menulis sebuah Sisipan, sekedar
untuk menjaga kebugaran dalam marathon #NulisRandom2017 agar tidak diliputi
rasa jemu.
Tulisan ini mungkin hanya bisa di pahami oleh mereka yang
usia kepala-4 atau minimum kepala-3-lah, karena mengandung istilah masa lampau
yang susah dipahami anak kekinian.
Jujur saja tahun ini tidak banyak yang berbeda di banding
dengan Ramadhan tahun-tahun sebelumnya.
Berusaha meningkatkan nilai ibadah agar lebih baik, bergaul
dengan teman-teman pengajian yang aktif di masjid, dan yang ternyata juga menguras
energi adalah memikirkan menu buka puasa /sahur apa yang nanti di konsumsi
bareng anak-anak.
Padahal tiap hari juga beli – tidak memasak sendiri – kenapa
jadi ribet dan bahkan menguras energi?
Anganku lalu flash back ke puluhan tahun silam.
Ketika masa kecil hingga remaja, Ibu selalu memasak sendiri
untuk seluruh anggota keluarga yang berjumlah 9 (ya sembilan, bukan salah
ketik) atau 11 dengan Bapak+Ibu. Pagi-pagi, ibu jarang atau tidak pernah memasak
nasi karena biasanya kita semua sarapan ‘sego-wadhang’.
‘Sego-wadhang’ adalah nasi dingin sisa kemarin/ tadi malam
yang kondisinya masih belum basi. Biasanya untuk sarapan atau ‘ganjel perut’
sebelum masuk sekolah, kita kombinasikan nasi wadhang ini dengan ‘sambel-bawang’
atau ‘kecap-manis’ atau terkadang parutan kelapa muda yang dicampur dengan
garam. Konon nasi wadhang ini bagus untuk mereka yang terkena diabet.
Lauknya krupuk puli atau krupuk Bandung.
That’s all!
Tetapi kalau ada sedikit uang saku, kita juga bisa membeli
dan sarapan ‘Nasi Pecel’ – the most delicious dan unforgettable menu yang
bertebaran di sudut-sudut jalan.
Menjelang pukul 8 pagi ke atas, ibu mulai sibuk
‘cethik-geni’ alias menyalakan perapian di tungku tanah/ lempung untuk memasak
nasi. Ketika umurku menginjak remaja, ibu sudah mempunyai dua buah kompor yang
berbahan bakar minyak tanah alias ‘lengo-gas’.
Dengan tungku dari tanah lempung dan kompor lengo gas inilah
Ibu setiap hari menanak nasi dan memasak. Ibu tidak mengenal kompor-gas,
‘MagiCom’ atau ‘Teflon’ ataupun ‘Kulkas’ untuk menyimpan dan mengawetkan
sayuran dan ikan itu.
Beras harus di cuci alias ‘di-pususi’ lalu dicampur air
untuk di liwet diatas perapian. Ketika air sudah menyusut dan kondisi beras
sudah setengah matang, maka ia kita aduk dan pindahkan ke atas kukusan atau
dandang dimana beras/ nasi akan matang karena uap panas yang muncul dari bawah
kukusan atau sarangan dandang – proses ini di sebut ‘di-tapung’.
Ada beberapa macam merk beras, sebut saja IR, Pelita, Sempat
atau Genjah. Urutan ini menunjukkan yang termurah hingga termahal, pun
menunjukkan yang ter-kurang-enak hingga ter-maknyusss.
Kita lebih sering merasakan kepunelan IR dan Pelita!
Maka, jadilah!
Meskipun hanya jenis IR atau Pelita, tetapi dengan cara “di-tanak”
seperti diatas maka jadilah nasi hangat yang wangi, punel dan seksi.
Mau dimakan hanya dengan sambel ataupun di campur sayur
{djangan} aneka kuah, nasi ini akan terasa nikmat tiada tanding.
Sambil menunggu nasi matang, ibu juga menyiapkan sayur
[djangan] sebagai menu utama pendamping nasi. Menurutku yang menjadi andalan
Ibu adalah ‘Sayur-Lodeh’ karena beliau sering banget masak sayur lodeh terong,
tewel atau terkadang lodeh kates (buah-papaya).
Satu bumbu yang tidak pernah terlewatkan dalam sayur lodeh ini adalah
‘tempe-medem’ alias ‘tempe-bosok’. Tanpa ‘tempe-bosok’ maka sayur lodeh serasa
kopong alias gak nendang blas!
Sementara di kompor lengo-gas, ibu menempatkan wajan
penggorengan dan menuangkan ‘lengo-klenthik’ yang perlahan-lahan mengeluarkan
suara mendesis yang khas. Sebelumnya, Ibu sudah menggores saling-silang
permukaan tempe yang kemudian di rendam dalam air yang sudah bercampur dengan
garam dan uleg-an bawang putih alias ‘di-uyahi’.
Sreeengg!!
Nada dan bunyi tempe basah yang beradu dengan panasnya
‘lengo-klenthik’ itu mengusik anganku. Rasa kangen membuncah pada menu-menu
yang pernah di sajikan Ibu. Padahal hanya itulah yang kemudian tersaji; Nasi
Putih, Sayur Lodeh, Tempe Goreng dan satu yang tidak pernah terlewati adalah
sambel trasi.
Jadi Ibu hanya memasak sekali di pagi hari itu saja!
Selanjutnya menu itu untuk Makan Siang, Malam dan kalau tersisa untuk besok
pagi!
Yang pasti, tempe dan sambel tidak pernah tersisa bahkan
sebelum malam sering sudah habis. Bukan karena saking enaknya –meski memang
enak -, tetapi memang Ibu membuatnya serba terbatas, satu orang maksimal
jatahnya 2 potong saja.
Maka keesokan paginya, memanaskan sayur (lodeh) adalah
kegiatan rutin dan utama.
Belakangan baru aku ketahui alasannya mengapa Ibu sangat
sering memasak sayur lodeh. Tidak sebagaimana sayur asem atau apalagi sayur
bening yang memang tidak boleh dipanasi pada ke-esokan harinya, sayur lodeh
ketika di panasi justru menjadi menu yang sangat istimewa!
Baunya terbawa angin dan hidung yang tadinya buntu bisa
blong karena nikmatnya, seolah seluruh rasa gurih yang ada dalam menu masakan
apapun di dunia ini bersatu dan tertumpah di sayur lodeh yang di panasi pada
keesokan harinya itu.
Blendrang!!
Itulah sebutannya.
Ia adalah antitesa dari seluruh rasa gurih dan nikmat pada
segala jenis sayur berkuah.
Padahal alasan Ibu pada awalnya adalah untuk pengiritan,
agar menu kemarin masih bisa di nikmati untuk esok hari.
Kalau menu ‘Rendang’ bahkan sudah di akui PBB sebagai salah
satu ‘heritage’ kuliner dari Indonesia, maka seharusnya ‘Blendrang’ adalah juga
pantas untuk diakui sebagai ‘ikon’ penyelamat sekonomi rumah tangga pada
masanya!
Sekarang?
Anakku yang besar minta buka puasa dengan menu soup buntut .
Adiknya minta menu buka puasa menu nasi bebek.
Aku sendiri kepingin nasi Padang.
Sahurnya?
Mikir lagi! Duh..
Salam,
No comments:
Post a Comment