Saturday, June 17, 2017

JEJAK YANG TERPILIH - Day-18

#NulisRandom2017
JEJAK YANG TERPILIH
Sisipan – Menu Ibu
Day-18


Ini hari ke-23 di bulan Ramadhan yang bertepatan dengan hari ke-18 #NulisRandom2017.

Tiba-tiba saja aku ingin menulis sebuah Sisipan, sekedar untuk menjaga kebugaran dalam marathon #NulisRandom2017 agar tidak diliputi rasa jemu.

Tulisan ini mungkin hanya bisa di pahami oleh mereka yang usia kepala-4 atau minimum kepala-3-lah, karena mengandung istilah masa lampau yang susah dipahami anak kekinian.

Jujur saja tahun ini tidak banyak yang berbeda di banding dengan Ramadhan tahun-tahun sebelumnya.

Berusaha meningkatkan nilai ibadah agar lebih baik, bergaul dengan teman-teman pengajian yang aktif di masjid, dan yang ternyata juga menguras energi adalah memikirkan menu buka puasa /sahur apa yang nanti di konsumsi bareng anak-anak.

Padahal tiap hari juga beli – tidak memasak sendiri – kenapa jadi ribet dan bahkan menguras energi?

Anganku lalu flash back ke puluhan tahun silam.

Ketika masa kecil hingga remaja, Ibu selalu memasak sendiri untuk seluruh anggota keluarga yang berjumlah 9 (ya sembilan, bukan salah ketik) atau 11 dengan Bapak+Ibu. Pagi-pagi, ibu jarang atau tidak pernah memasak nasi karena biasanya kita semua sarapan ‘sego-wadhang’.

‘Sego-wadhang’ adalah nasi dingin sisa kemarin/ tadi malam yang kondisinya masih belum basi. Biasanya untuk sarapan atau ‘ganjel perut’ sebelum masuk sekolah, kita kombinasikan nasi wadhang ini dengan ‘sambel-bawang’ atau ‘kecap-manis’ atau terkadang parutan kelapa muda yang dicampur dengan garam. Konon nasi wadhang ini bagus untuk mereka yang terkena diabet.
Lauknya krupuk puli atau krupuk Bandung.

That’s all!

Tetapi kalau ada sedikit uang saku, kita juga bisa membeli dan sarapan ‘Nasi Pecel’ – the most delicious dan unforgettable menu yang bertebaran di sudut-sudut jalan.

Menjelang pukul 8 pagi ke atas, ibu mulai sibuk ‘cethik-geni’ alias menyalakan perapian di tungku tanah/ lempung untuk memasak nasi. Ketika umurku menginjak remaja, ibu sudah mempunyai dua buah kompor yang berbahan bakar minyak tanah alias ‘lengo-gas’.

Dengan tungku dari tanah lempung dan kompor lengo gas inilah Ibu setiap hari menanak nasi dan memasak. Ibu tidak mengenal kompor-gas, ‘MagiCom’ atau ‘Teflon’ ataupun ‘Kulkas’ untuk menyimpan dan mengawetkan sayuran dan ikan itu.

Beras harus di cuci alias ‘di-pususi’ lalu dicampur air untuk di liwet diatas perapian. Ketika air sudah menyusut dan kondisi beras sudah setengah matang, maka ia kita aduk dan pindahkan ke atas kukusan atau dandang dimana beras/ nasi akan matang karena uap panas yang muncul dari bawah kukusan atau sarangan dandang – proses ini di sebut ‘di-tapung’.

Ada beberapa macam merk beras, sebut saja IR, Pelita, Sempat atau Genjah. Urutan ini menunjukkan yang termurah hingga termahal, pun menunjukkan yang ter-kurang-enak hingga ter-maknyusss.

Kita lebih sering merasakan kepunelan IR dan Pelita!

Maka, jadilah!

Meskipun hanya jenis IR atau Pelita, tetapi dengan cara “di-tanak” seperti diatas maka jadilah nasi hangat yang wangi, punel dan seksi.

Mau dimakan hanya dengan sambel ataupun di campur sayur {djangan} aneka kuah, nasi ini akan terasa nikmat tiada tanding.

Sambil menunggu nasi matang, ibu juga menyiapkan sayur [djangan] sebagai menu utama pendamping nasi. Menurutku yang menjadi andalan Ibu adalah ‘Sayur-Lodeh’ karena beliau sering banget masak sayur lodeh terong, tewel atau terkadang  lodeh kates (buah-papaya). Satu bumbu yang tidak pernah terlewatkan dalam sayur lodeh ini adalah ‘tempe-medem’ alias ‘tempe-bosok’. Tanpa ‘tempe-bosok’ maka sayur lodeh serasa kopong alias gak nendang blas!

Sementara di kompor lengo-gas, ibu menempatkan wajan penggorengan dan menuangkan ‘lengo-klenthik’ yang perlahan-lahan mengeluarkan suara mendesis yang khas. Sebelumnya, Ibu sudah menggores saling-silang permukaan tempe yang kemudian di rendam dalam air yang sudah bercampur dengan garam dan uleg-an bawang putih alias ‘di-uyahi’.

Sreeengg!!

Nada dan bunyi tempe basah yang beradu dengan panasnya ‘lengo-klenthik’ itu mengusik anganku. Rasa kangen membuncah pada menu-menu yang pernah di sajikan Ibu. Padahal hanya itulah yang kemudian tersaji; Nasi Putih, Sayur Lodeh, Tempe Goreng dan satu yang tidak pernah terlewati adalah sambel trasi.

Jadi Ibu hanya memasak sekali di pagi hari itu saja! Selanjutnya menu itu untuk Makan Siang, Malam dan kalau tersisa untuk besok pagi!

Yang pasti, tempe dan sambel tidak pernah tersisa bahkan sebelum malam sering sudah habis. Bukan karena saking enaknya –meski memang enak -, tetapi memang Ibu membuatnya serba terbatas, satu orang maksimal jatahnya 2 potong saja.

Maka keesokan paginya, memanaskan sayur (lodeh) adalah kegiatan rutin dan utama.

Belakangan baru aku ketahui alasannya mengapa Ibu sangat sering memasak sayur lodeh. Tidak sebagaimana sayur asem atau apalagi sayur bening yang memang tidak boleh dipanasi pada ke-esokan harinya, sayur lodeh ketika di panasi justru menjadi menu yang sangat istimewa!

Baunya terbawa angin dan hidung yang tadinya buntu bisa blong karena nikmatnya, seolah seluruh rasa gurih yang ada dalam menu masakan apapun di dunia ini bersatu dan tertumpah di sayur lodeh yang di panasi pada keesokan harinya itu.

Blendrang!!

Itulah sebutannya.

Ia adalah antitesa dari seluruh rasa gurih dan nikmat pada segala jenis sayur berkuah.

Padahal alasan Ibu pada awalnya adalah untuk pengiritan, agar menu kemarin masih bisa di nikmati untuk esok hari.
Kalau menu ‘Rendang’ bahkan sudah di akui PBB sebagai salah satu ‘heritage’ kuliner dari Indonesia, maka seharusnya ‘Blendrang’ adalah juga pantas untuk diakui sebagai ‘ikon’ penyelamat sekonomi rumah tangga pada masanya!

Sekarang?

Anakku yang besar minta buka puasa dengan menu soup buntut .

Adiknya minta menu buka puasa menu nasi bebek.

Aku sendiri kepingin nasi Padang.

Sahurnya?

Mikir lagi! Duh..



Salam,

No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...