“Kau masih kalah tujuh lompatan bro”
Bian melempar senyum pada Ridho yang baru saja menginjakkan kaki-nya di titik finish yang mereka sepakati. Otot tangan dan kaki Ridho terlihat menonjol sementara wajah bahkan pakaiannya basah oleh keringat.
“Gila, jadi aku harus nraktir kamu lagi Bi?”, - tanya Ridho sambil mengatur nafasnya yang masih terengah-engah.
Bian tertawa kecil, ia memang sudah membuat perjanjian dengan temannya itu bahwa siapa yang kalah dalam ‘Parkour-Jamming’ harus membayar apa yang mereka santab seusai latihan, karena sekarang bulan Ramadhan maka akan diganti seusai sholat tarawih. Perjanjian berlaku selama satu bulan dan sudah hampir tiga pekan ini ia selalu mendahului Ridho tiba di titik finish lebih dulu.
Bian tertawa kecil, ia memang sudah membuat perjanjian dengan temannya itu bahwa siapa yang kalah dalam ‘Parkour-Jamming’ harus membayar apa yang mereka santab seusai latihan, karena sekarang bulan Ramadhan maka akan diganti seusai sholat tarawih. Perjanjian berlaku selama satu bulan dan sudah hampir tiga pekan ini ia selalu mendahului Ridho tiba di titik finish lebih dulu.
Belum lagi Bian sempat menjawab, sudut matanya menangkap ada keributan di tempat parkir sebuah supermarket yang terletak di seberang jalan. Disusul kemudian seorang yang menggunakan jaket berwarna coklat berlari kencang menyeberang jalan sambil memasukkan sebuah dompet ke bagian dalam jaketnya. Sementara di belakangnya, terlihat seorang perempuan paroh-baya yang berteriak histeris sambil berusaha mengejar tetapi agaknya kakinya tersandung dan akhirnya tubuh itu terjatuh.
Tanpa menunggu, kaki Bian langsung terayun dan tubuhnya melesat ke arah laki-laki berjaket coklat yang agaknya adalah seorang pencopet. Pagar GOR setinggi satu setengah meter dan terbuat dari besi BRC itu diloncatinya dengan mudah dan kini ia sudah ada di pinggir jalan raya. Tanpa berhenti sedetik-pun tubuh Bian melaju menyeberang jalan raya yang saat itu meskipun ramai tetapi agak tersendat karena beberapa pengemudinya memperlambat laju kendaraannya dan menonton keributan yang terjadi.
Ini memudahkan Bian untuk mengayunkan tubuhnya melewati tiga buah motor dan sebuah mobil ber-kap putih dalam dua lompatan. Pengemudi mobil itu nampak terkejut dan berteriak memanggil namanya ketika melihat berkelebatnya bayangan Bian yang melesat ke depan. Tetapi Bian tidak memperdulikan teriakan pengemudi itu, ia terus berlari sambil sekali lagi melompati sebuah mobil Jeep warna hijau yang juga sedang melaju agak kencang. Kedua tangan Bian terpaksa menyentuh kap mobil Jeep tersebut untuk membuat tumpuan di lompatan berikutnya, tetapi ia berhasil melaluinya dengan selamat dan bahkan cepat.
Setelah menghindari laju dua buah sepeda motor, Bian segera melompat naik ke trotoar.
Kini dia sudah satu jalur dengan laki-laki pencopet itu, kakinya bergerak dengan cepatnya sehingga sesaat kemudian ia sudah mendekati laki-laki berjaket coklat itu.
Sambil terus bergerak mata Genta sempat memperhatikan keadaan di sekitarnya.
“Ah, agaknya ia di tunggu temannya”, - desis Bian dalam hati.
Di depan ada sebuah pertigaan dimana seorang laki-laki berjaket hitam dengan helm teropong duduk di atas motor Ninja yang sudah menyala. Bian bisa menduga bahwa ini adalah teman si pencopet yang akan menjemputnya dan melarikan diri. Jarak Bian dengan pencopet itu sebenarnya tinggal sekitar 11-12 meter, tetapi ini akan memberi kesempatan yang cukup bagi mereka untuk kabur.
Bian bertindak cepat, tubuhnya tiba-tiba saja menggelinding diatas trotoar sambil tangannya meraih beberapa batu sebesar telur ayam yang bertebaran di tepi taman trotoar itu. Ketika meloncat bangkit tangannya segera terayun cepat membidik kaki laki-laki pencopet yang sudah hampir naik ke boncengan belakang motor temannya.
Bidikan Bian itu dilakukan dengan tergesa-gesa, tetapi batu itu seolah mempunyai mata dan melesat dengan sangat cepat.
Terdengar pekik kesakitan dari laki-laki berjaket coklat itu ketika dua buah batu secara susul menyusul mengenai paha dan lutut belakang kaki kanannya. Meskipun hanya batu taman warna putih dan cenderung agak lunak jika dibandingkan batu kali, tetapi lemparan Bian itu terasa bagaikan pukulan palu besi yang membuat kaki laki-laki pencopet itu tidak bisa digerakkan.
Ia terjerembab dan membentur jok belakang motor temannya sebelum kemudian jatuh ke tanah. Terdengar laki-laki pencopet itu mengeluh kesakitan sambil tangannya memegang kaki kanannya yang seolah lumpuh.
“Bangsat!”
Laki-laki kedua yang merupakan teman dari pencopet itu mengumpat keras. Ia bermaksud hendak meloloskan diri dan meninggalkan temannya, tangannya segera menekan dan memutar gas sehingga motor itu melesat hendak meninggalkan arena itu.
Tetapi Bian sama sekali tidak ingin melepaskan laki-laki kedua itu. Baginya, siapapun yang sudah berkomplot dengan penjahat dan telah berbuat jahat, maka ia wajib ditangkap dan diproses hukum.
“Semoga latihanku selama ini tidak sia-sia”, - desis Bian dalam hati.
Tanpa di duga oleh siapapun kaki Bian tiba-tiba saja menjejak tanah dengan keras sehingga tubuhnya yang masih berjarak sekitar 5-6 meter itu melayang bagaikan terbang memapaki laju motor dari arah samping. Kakinya terjulur lurus dan Bian sengaja mengerahkan dan menyalurkan segenap kekuatannya di kaki kanan untuk memberi efek benturan yang maksimal.
Semua terjadi dalam waktu yang sangat cepat, bisa dibilang hanya dalam satu-dua kedipan mata tiba-tiba saja terjadi sebuah benturan keras.
Tanpa dapat di cegah tubuh laki-laki kedua yang merupakan teman dari pencopet itu terlempar dari motornya. Pinggang kirinya terasa sakit luar biasa akibat tendangan samping yang dilakukan oleh Bian. Ia mengerang sambil berusaha bangkit, sementara Bian yang juga terjatuh akibat dari benturan itu bisa menjaga posisi jatuhnya dengan baik sehingga tidak mengalami luka yang berarti.
Ketika laki-laki kedua itu berusaha bangkit, dengan cepat Bian bergerak dan melontarkan serangan sambil tubuhnya berputar di udara. Sebuah tendangan ‘turning kick’ Bian mengenai pundak dan leher laki-laki itu dengan telak sehingga helm teropong yang di pakainya retak dan bahkan lepas dari kepalanya.
Gerak berputar di udara Bian itu memberi sebuah dorongan kekuatan yang berlipat sehingga tendangan itu terasa sangat keras. Tubuh pria itu seolah terputar dan kemudian terbanting dengan keras ditanah lalu diam. Pingsan.
Beberapa orang yang melihat kejadian itu segera mendekat dan berkerumun karenanya.
“Gendeng ko’on iku Bian, bisa mampus tertabrak mobil kamu tadi”
Rio sudah berdiri di sebelah Bian sambil meringkus laki-laki pencopet yang sedari tadi diam sambil merintih kesakitan.
Bian tersenyum, dilihatnya dua orang petugas security berlari mendekat dan kemudian ikut meringkus kedua komplotan pencopet itu.
Bian segera mendekati Ridho dan berbisik.
“Bro, kalau ada pertanyaan dari satpam atau polisi tolong kamu yang jawab. Aku harus cabut sekarang karena Lukita gak bawa kendaraan”
“Eh…”
Belum sempat Ridho menjawab, Bian sudah berlari menjauh. Sambil tertawa kecil ia sempat melambaikan tangan dan berteriak.
“Jangan lupa nanti malam Pizza!”
“Gendeng ko’on Bi!”
Ridho mengeluh karena diserahi urusan tetek-bengek masalah pencopet itu.
Sementara bayangan Bian sudah tidak terlihat.
Salam,
** Parkour : berasal dari Perancis, semacam aktivitas (olah-raga) gerak cepat seperti lari yang mampu melewati haling rintang dengan mudah karena mampu memanfaatkan prinsip efisiensi kemampuan dalam tubuh diri sendiri. Kecepatan gerak dengan memanfaatkan tenaga seminimal mungkin menjadi titik berat aktifitas (olah-raga) ini.
No comments:
Post a Comment