Tuesday, August 1, 2017

BSG - BAB.IV - HSSG - Babak-17

BALADA SWANDARU GENI
Bab IV: Hilangnya Seorang Swandaru Geni
Babak – 17



Kiai Garda dan yang lainnya segera mengikuti arah pandangan mata Agung Sedayu sambil menajamkan indra penglihatannya. Yang terlihat hanyalah endog pengamun-amun atau butiran-butiran uap air yg melayang-layang di udara akibat panas matahari yang mulai menyengat. Baru sesaat kemudian mereka melihat ada sebuah titik dikejauhan yang mendekat ke arah mereka, semakin lama semakin dekat.


“Ah, mengapa ia justru kembali kesini?”, - tiba-tiba suara Agung Sedayu berdesis lirih. Ia sudah mengenali orang itu bahkan sebelum yang lainnya menyadari akan adanya orang yang sedang mendatanginya.


“Siapa kakang?”, - tanya Sekar Mirah.


“Kau sudah pernah berhadapan dengannya Mirah”, - jawab Agung Sedayu.


Ketika titik hitam itu semakin mendekat, barulah mereka semua melihat dengan lebih jelas. Apalagi sejenak kemudian orang itu melangkah menuju bawah pohon preh dimana mereka berdiri. Wajah orang itu berwajah bersih dengan sorot mata yang sayu, pakaiannya terlihat sedikit kumal dan berwarna hijau gelap. Dengan langkah ragu-ragu ia melangkah mendekat dan kemudian berdiri sekitar dua tombak dari bayangan pohon preh yang rimbun itu.


Dengan kepala menunduk, ia kemudian berkata pendek dan pelan - ,”Aku minta maaf, tetapi aku ingin berbicara dengan Ki Agung Sedayu”


Agung Sedayu yang disebut namanya itu segera melangkah dan mempersilahkan orang itu untuk duduk bergabung dengan mereka - ,”Marilah Ki Sindupati, silahkan duduk dan bergabung dengan kami”


Laki-laki berpakaian hijau gelap itu memang Ki Sindupati yang telah menghadang mereka di mulut hutan dengan ribuan kelelawar semu yang merupakan bentuk penggandaan dari lima kelelawar yang disebutnya sebagai Panca Lawa. Meskipun wajahnya sayu, akan tetapi mata itu sudah tidak menyiratkan kekosongan melainkan terlihat menahan beban pikiran yang berat. Ia segera melangkah menuju bawah pohon preh itu dan duduk bergabung dengan yang lain.


“Mengapa Ki Sindupati menyusulku, bukankah seharusnya Ki Sindupati sudah dalam perjalanan kembali ke lereng timur Gunung Lawu?”, - Agung Sedayu langsung bertanya keperluannya mengingat ia tidak mempunyai waktu banyak lagi.


Ki Sindupati terlihat menarik nafas dalam-dalam sebelum menjawab pertanyaan Agung Sedayu.


“Awalnya aku memang berpikir demikian Ki, akan tetapi aku merasa tempat itu hanya akan menimbulkan kenangan yang senantiasa menyiksa batinku akibat kesalahan yang membuat Ayah dan saudara tua-ku tewas. Aku dihantui rasa bersalah dan wajah Ayah dan saudara tua-ku selalu terbayang ”, - Ki Sindupati berhenti sejenak sambil menelan ludah - ,”Aku tahu Ki Agung Sedayu hendak membebaskan laki-laki bertubuh gemuk yang kini dalam sekapan Resi Belehan itu. Sejujurnya aku ingin membalas dendam kepada Resi itu, akan tetapi untuk melawan mereka seorang diri, kemampuanku bisa di-ibaratkan bagai seekor nyamuk yang masuk ke dalam kobaran api. Karena itu ijinku aku bergabung dengan Ki Agung Sedayu untuk menyerang sarang Resi palsu itu. Seandainya aku mati dan tidak dapat menuntaskan demdamku, paling tidak aku sudah berbuat sedikit kebaikan untuk membantu Ki Agung Sedayu dan kawan-kawan disini”


Begitu menyelesaikan kalimatnya, mendadak Ki Sindupati merubah posisi duduknya lalu melakukan gerak sujud di depan Agung Sedayu sebagai ungkapan permintaan yang bersungguh-sungguh. Sudah tentu Agung Sedayu kaget dan segera bergeser maju serta menarik Ki Sindupati agar kembali duduk seperti semula.


“Duduklah Ki Sindupati, tidak perlu berlebihan seperti ini”, - ujar Agung Sedayu cepat.


“Tolonglah Ki, aku mohon di-ijinkan membantu”, - suara Ki Sindupati terdengar parau.


Suasana pagi menjelang siang itu sejenak terasa hening, angin berhembus perlahan dan pucuk daun-daun pepohonan disekitar terlihat bergoyang lembut. Agung Sedayu memandangi Ki Sindupati yang duduk di depannya dengan mata yang seolah tidak berkedip. Ia memang melihat ada rasa bersalah yang besar serta perasaan putus asa yang kini melanda hati laki-laki berpakaian hijau gelap ini. Tenyata  kesadaran yang telah pulih itu juga menumbuhkan berkorbarnya perasaan dendam akibat perbuatan orang yang selama ini mengendalikannya.


Sejenak kemudian keheningan itu dipecahkan oleh suara Agung Sedayu - ,”Baiklah, kami tentu tidak keberatan dan bahkan berterimakasih jika Ki Sindupati berkenan membantu. Nah, kita akan mematangkan rencana kita dan mempersiapkan diri untuk menuju tepian Kali Belehan itu”


Demikianlah, Agung Sedayu ternyata harus memperbarui rencana yang sebelumnya sudah mereka susun. Akan tetapi kehadiran Ki Sindupati serta pemahaman atas apa yang ada di dalam sarang Resi Kali Belehan itu justru membuka peluang yang lebih besar untuk keberhasilan rencana mereka.

Sebelum matahari mencapai puncaknya, rombongan itu lalu bergeser ke belakang dan menyusuri jalan setapak. Mereka berjalan beriringan dan tidak lama kemudian sudah mulai menuruni lereng tanggul sungai yang cukup terjal. Kini jumlah mereka yang menjadi tujuh orang itu sudah berada di tepian sungai Belehan dan berdiri di atas hamparan pasir yang terletak tidak jauh dari rumpun bambu kuning di depan tempuran sungai.


“Berhati-hatilah, terutama paman Widura dan Pandan Wangi, tolong jaga dan beri kesempatan kepada Gilang agar bisa melakukan tugasnya. Sementara Kiai Garda, Ki Sindupati dan Sekar Mirah bisa menyesuaikan dengan keadaan yang nanti akan kita hadapi”, - suara Agung Sedayu terdengar lirih seolah berbisik.


Semuanya mengangguk, tetapi tidak ada yang menjawab kalimat Agung Sedayu itu.


“Nah, aku akan bergeser untuk memancing mereka keluar menemui kita. Bukan kita yang masuk ke-alam mereka”


Begitu kalimat Agung Sedayu itu selesai, ia langsung membalikkan tubuh dan melangkah menghampiri rumpun bambu kuning yang tumbuh cukup pepat. Belum sempat Gilang mengedipkan matanya, tubuh Agung Sedayu sudah lenyap di telan rapatnya rumpun bambu kuning itu.


Ketegangan mulai merambati hati semua yang hadir di pinggir Kali Belehan itu, betapapun mereka mencoba menenangkan diri, akan tetapi tanpa bisa dicegah, degup jantung mereka berdetak lebih kencang dari biasanya.


Kiai Garda mengajak Gilang dan yang lain untuk bergeser dan menempatkan diri pada posisi yang terbaik. Lalu tanpa mengeluarkan sepatah katapun, Kiai Garda mengambil sejumput garam kasar dari saku ikat pinggangnya. Seperti yang telah terjadi sebelumnya, mulut Kiai Garda berkomat-kamit menggumamkan bait-bait doa atau japa mantra yang kemudian ditiupkan di telapak tangan kirinya yang menggenggam sejumput garam kasar. Hal itu dilakukan berulang kali sambil matanya menatap ke depan tepatnya ke arah dua pohon beringin yang terletak di sisi kanan dan kiri tempuran sungai.


Matahari kini tepat mencapai puncaknya dan sinarnya benar-benar hendak membakar kulit siapapun yang berdiri tanpa naungan. Cahayanya yang terang benderang menyinari permukaan sungai sehingga aliran sungai Belehan itu seolah memancarkan sinar yang menyilaukan mata.


Akan tetapi semua yang berdiri di tepian sungai itu kemudian melihat ada kabut tipis yang turun secara perlahan-lahan. Mata Kiai Garda yang tajam bisa menyusuri awal turunnya kabut itu justru berasal  dari mahkota daun dua pohon beringin yang letaknya diseberang tempuran. Kabut itu turun perlahan dan kemudian menyebar ke segala arah, bahkan kemudian kabut tipis itu juga muncul dari permukaan kedung, yaitu pertemuan aliran sungai yang selama ini permukaannya tidak terlalu bergejolak.


Dalam waktu yang tidak terlalu lama, kawasan di pinggir sungai Belehan itu mulai dipenuhi kabut putih yang cukup tebal. Kabut itu mulai menghalangi jarak pandang semua yang ada disitu, akan tetapi mata mereka tetap bisa terbuka tanpa merasa pedih. Sementara terik mataharipun seolah tertahan oleh kabut tebal itu sehingga sengatan-nya tidak lagi terlalu panas di kulit.


Kabut putih itu semakin lama semakin tebal dan bahkan kemudian bergerak tidak beraturan, semakin lama semakin cepat dan memenuhi seluruh kawasan sungai Belehan.


Sekar Mirah pernah melihat kabut putih yang sama disaat Agung Sedayu berperang tanding melawan Tumenggung Prabadaru. Belakangan ia tahu bahwa kabut itu keluar karena ajian yang diterapkan oleh Kiai Gringsing untuk melindungi Agung Sedayu dari serangan gelap yang menyasar indra penciumannya. Kabut itu memang berputar akan tetapi ia hanya menjadi dinding yang menghalangi pandangan semua orang sehingga tidak mengganggu perang-tanding yang sedang berlangsung.


Sementara kabut putih yang sekarang ini tidak berputar-putar untuk membuat dinding yang membatasi mereka dari pandangan orang lain, akan tetapi kabut itu menyebar ke seluruh kawasan tempuran sungai itu seolah hendak menjangkau semua sudut-sudut kawasan itu tanpa ada yang terlewati. Kabut putih itu kemudian berbaur cepat sebelum kemudian  terpecah dan membuat dua buah tabung raksasa berwarna putih.


Bersamaan dengan terbentuknya dua buah tabung raksasa dari kabut putih itu, tiba-tiba terdengar suara gemeresak yang berasal dari rumpun bambu kuning yang terletak di seberang tempuran. Semua mata melihat ada dua buah putaran angin kecil yang bergerak cepat yang memutar serta melemparkan dedaunan kering yang ada disekitarnya. Dalam waktu yang pendek, telah tercipta dua buah lingkaran angin lesus yang kemudian membesar dan bergerak mengejar dua buah tabung putih raksasa yang berada diatas permukaan tempuran.


Semua orang yang berdiri di tepian sungai itu bisa melihat dengan jelas, betapa tabung putih raksasa yang terbentuk dari kabut itu kini digerakkan oleh angin lesus yang berputar dengan sangat cepatnya. Kecepatan berputarnya itu semakin lama semakin meningkat sehingga menimbulkan suara yang menderu-deru yang mendirikan bulu roma. Keadaan di tepian sungai belehan itu menjadi terasa asing ketika sinar matahari justru tertahan oleh kabut sehingga menjadi sedikit redup, semantara suara menderu-deru itu berkumandang riuh rendah memenuhi udara.


Dua buah tabung putih raksasa yang berputar dengan cepat itu tiba-tiba saja bergeser. Sambil terus berputar kedua tabung putih itu awalnya hendak saling mendekat, akan tetapi belum lagi kedua putaran itu bertabrakan atau saling menyatu, ternyata kedua tabung putih itu justru melesat saling menjauh dan kini masing-masing bergeser mendekati pohon beringin raksasa yang berdiri di tepian sungai.


Terjadilah sebuah kejadian yang maha dahsyat dimata Gilang khususnya, bahkan yang lainpun merasa betapa pemandangan di depannya itu sangat langka, menakutkan serta diluar nalar pikiran mereka.


Kedua tabung putih raksasa yang berputar dengan sangat cepat itu bergeser dan masing-masing melanda sebuah pohon beringin yang letaknya di tepi kali tempuran. Putaran kabut tabung raksasa itu seolah menelan seluruh keberadaan pohon beringin yang berumur puluhan atau bahkan ratusan tahun lalu memutar dan menggilasnya.


Udara di kawasan sungai Belehan itu di penuhi oleh suara gemeresak keras yang berulang-ulang dan bahkan beberapa kali terdengar ledakan-ledakan yang cukup keras. Putaran dengan suara menderu-deru menakutkan itu tidak berhenti dan terus melanda dan menelan keberadaan kedua pohon beringin itu. Bahkan semua mata kemudian dapat melihat betapa dinding putaran yang berupa kabut putih itu kini dipenuhi oleh patahan ranting maupun banyaknya daun hijau yang berputar terus tanpa berhenti.


Sampah yang berupa daun dan patahan dahan dan ranting itu berputar mengikuti putaran tabung putih raksasa itu sebelum kemudian dinaikkan dan di lempar keudara sehingga melayang ke segala penjuru, mengotori semua yang ada disekitarnya dan sebagian lagi jatuh ke permukaan sungai dan hanyut mengikuti aliran air.


Kejadian itu terjadi beberapa kali dan setiap kali dinding itu dikotori oleh sampah-sampah daun dan ranting pohon beringin, maka setiap kali pula putaran kabut putih itu melemparkannya ke udara sehingga sesaat kemudian tabung raksasa itu dindingnya kembali putih.


Kedua putaran tabung putih raksasa agaknya sedang menelan dan memporak-porandakan keberadakan dua pohon beringin raksasa.


Kiai Garda yang telah mengetrapkan semua ajian yang ada dalam dirinya segera melihat, bahwa dinding putaran tabung itu kini cenderung bersih. Agaknya tidak ada lagi sampah yang harus di angkatnya, sehingga kini putaran tabung raksasa itu bergerak cepat saling mendekat dan kemudian saling menelan. Akan tetapi bertemunya dua tabung putih raksasa itu ternyata tidak menimbulkan bunyi ataupun benturan, mereka terlihat menyatu dan kemudian membentuk sebuah tabung putih raksasa yang lebih besar lagi dan terus berputar.


Sementara mata Gilang sempat melihat betapa dua buah pohon beringin raksasa yang ditinggalkan oleh kedua tabung putih itu keadaannya menjadi sangat mengenaskan. Tidak terlihat sama sekali dahan, ranting apalagi daun yang tersisa di kedua pohon itu. Dua buah pohon beringin raksasa yang sangat rimbun dan berumur sudah puluhan tahun itu kini nampak gundul tak bersisa. Yang tertinggal hanyalah batang pohon utama, berdiri agak miring dan bahkan hampir saja tercerabut dari akarnya.


“Kekuatan apakah yang mampu mencerabut akar dua pohon raksasa itu?”, - bukan main herannya Gilang sehingga tanpa sadar ia berdesis lirih.


Akan tetapi Gilang tidak dapat merenungi keberadaan pohon beringin itu lebih lama, dilihatnya putaran kabut putih raksasa itu kini bergeser dan bergerak cepat. Kini ia berputar tepat diatas kedung sungai yang menjadi pertemuan arus antara sungai yang membujur lurus searah dengan jalan di bulak panjang itu dengan sebuah sungai yang memotongnya tegak lurus dan menjadikan rumpun bambu kuning itu posisinya sebagai tusuk sate.


Putaran itu semakin lama semakin cepat dan menimbulkan suara yang lebih dahsyat dari sebelumnya. Sementara itu mata batin Kiai Garda bisa melihat adanya asap hitam yang keluar dari permukaan air di kedung Kali Belehan itu. Semakin lama, asap itu semakin gelap dan kemudian mendesak ke atas hendak menelan keberadaan kabut putih yang masih saja berputar.


Saat itulah Kiai Garda berdesis lirih kepada Gilang yang berdiri di sampingnya.


“Gilang, persiapkan dirimu. Sebentar ada tugas besar yang harus kita tunaikan!”


Gilang mengangguk tanpa menjawab kalimat Kiai Garda. Sementara Pandan Wangi yang berdiri di sebelah Gilang justru bergeser ke belakang Gilang untuk mempersiapkan diri.


Pandan Wangi merasakan punggungnya basah oleh keringat.



Salam,

Ries

No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...