BALADA
SWANDARU GENI
Bab IV:
Hilangnya Seorang Swandaru Geni
Babak – 17
Kiai Garda
dan yang lainnya segera mengikuti arah pandangan mata Agung Sedayu sambil
menajamkan indra penglihatannya. Yang terlihat hanyalah endog pengamun-amun
atau butiran-butiran uap air yg melayang-layang di udara akibat panas matahari
yang mulai menyengat. Baru sesaat kemudian mereka melihat ada sebuah titik
dikejauhan yang mendekat ke arah mereka, semakin lama semakin dekat.
“Ah, mengapa
ia justru kembali kesini?”, - tiba-tiba suara Agung Sedayu berdesis lirih. Ia
sudah mengenali orang itu bahkan sebelum yang lainnya menyadari akan adanya
orang yang sedang mendatanginya.
“Siapa
kakang?”, - tanya Sekar Mirah.
“Kau sudah
pernah berhadapan dengannya Mirah”, - jawab Agung Sedayu.
Ketika titik
hitam itu semakin mendekat, barulah mereka semua melihat dengan lebih jelas.
Apalagi sejenak kemudian orang itu melangkah menuju bawah pohon preh dimana
mereka berdiri. Wajah orang itu berwajah bersih dengan sorot mata yang sayu,
pakaiannya terlihat sedikit kumal dan berwarna hijau gelap. Dengan langkah
ragu-ragu ia melangkah mendekat dan kemudian berdiri sekitar dua tombak dari
bayangan pohon preh yang rimbun itu.
Dengan
kepala menunduk, ia kemudian berkata pendek dan pelan - ,”Aku minta maaf,
tetapi aku ingin berbicara dengan Ki Agung Sedayu”
Agung Sedayu
yang disebut namanya itu segera melangkah dan mempersilahkan orang itu untuk
duduk bergabung dengan mereka - ,”Marilah Ki Sindupati, silahkan duduk dan
bergabung dengan kami”
Laki-laki
berpakaian hijau gelap itu memang Ki Sindupati yang telah menghadang mereka di
mulut hutan dengan ribuan kelelawar semu yang merupakan bentuk penggandaan dari
lima kelelawar yang disebutnya sebagai Panca Lawa. Meskipun wajahnya sayu, akan
tetapi mata itu sudah tidak menyiratkan kekosongan melainkan terlihat menahan
beban pikiran yang berat. Ia segera melangkah menuju bawah pohon preh itu dan
duduk bergabung dengan yang lain.
“Mengapa Ki
Sindupati menyusulku, bukankah seharusnya Ki Sindupati sudah dalam perjalanan
kembali ke lereng timur Gunung Lawu?”, - Agung Sedayu langsung bertanya keperluannya
mengingat ia tidak mempunyai waktu banyak lagi.
Ki Sindupati
terlihat menarik nafas dalam-dalam sebelum menjawab pertanyaan Agung Sedayu.
“Awalnya aku
memang berpikir demikian Ki, akan tetapi aku merasa tempat itu hanya akan
menimbulkan kenangan yang senantiasa menyiksa batinku akibat kesalahan yang
membuat Ayah dan saudara tua-ku tewas. Aku dihantui rasa bersalah dan wajah
Ayah dan saudara tua-ku selalu terbayang ”, - Ki Sindupati berhenti sejenak
sambil menelan ludah - ,”Aku tahu Ki Agung Sedayu hendak membebaskan laki-laki
bertubuh gemuk yang kini dalam sekapan Resi Belehan itu. Sejujurnya aku ingin
membalas dendam kepada Resi itu, akan tetapi untuk melawan mereka seorang diri,
kemampuanku bisa di-ibaratkan bagai seekor nyamuk yang masuk ke dalam kobaran
api. Karena itu ijinku aku bergabung dengan Ki Agung Sedayu untuk menyerang
sarang Resi palsu itu. Seandainya aku mati dan tidak dapat menuntaskan
demdamku, paling tidak aku sudah berbuat sedikit kebaikan untuk membantu Ki
Agung Sedayu dan kawan-kawan disini”
Begitu
menyelesaikan kalimatnya, mendadak Ki Sindupati merubah posisi duduknya lalu
melakukan gerak sujud di depan Agung Sedayu sebagai ungkapan permintaan yang
bersungguh-sungguh. Sudah tentu Agung Sedayu kaget dan segera bergeser maju
serta menarik Ki Sindupati agar kembali duduk seperti semula.
“Duduklah Ki
Sindupati, tidak perlu berlebihan seperti ini”, - ujar Agung Sedayu cepat.
“Tolonglah
Ki, aku mohon di-ijinkan membantu”, - suara Ki Sindupati terdengar parau.
Suasana pagi
menjelang siang itu sejenak terasa hening, angin berhembus perlahan dan pucuk
daun-daun pepohonan disekitar terlihat bergoyang lembut. Agung Sedayu
memandangi Ki Sindupati yang duduk di depannya dengan mata yang seolah tidak
berkedip. Ia memang melihat ada rasa bersalah yang besar serta perasaan putus
asa yang kini melanda hati laki-laki berpakaian hijau gelap ini. Tenyata kesadaran yang telah pulih itu juga
menumbuhkan berkorbarnya perasaan dendam akibat perbuatan orang yang selama ini
mengendalikannya.
Sejenak
kemudian keheningan itu dipecahkan oleh suara Agung Sedayu - ,”Baiklah, kami
tentu tidak keberatan dan bahkan berterimakasih jika Ki Sindupati berkenan
membantu. Nah, kita akan mematangkan rencana kita dan mempersiapkan diri untuk menuju
tepian Kali Belehan itu”
Demikianlah,
Agung Sedayu ternyata harus memperbarui rencana yang sebelumnya sudah mereka
susun. Akan tetapi kehadiran Ki Sindupati serta pemahaman atas apa yang ada di
dalam sarang Resi Kali Belehan itu justru membuka peluang yang lebih besar untuk
keberhasilan rencana mereka.
Sebelum
matahari mencapai puncaknya, rombongan itu lalu bergeser ke belakang dan menyusuri
jalan setapak. Mereka berjalan beriringan dan tidak lama kemudian sudah mulai menuruni
lereng tanggul sungai yang cukup terjal. Kini jumlah mereka yang menjadi tujuh
orang itu sudah berada di tepian sungai Belehan dan berdiri di atas hamparan
pasir yang terletak tidak jauh dari rumpun bambu kuning di depan tempuran
sungai.
“Berhati-hatilah,
terutama paman Widura dan Pandan Wangi, tolong jaga dan beri kesempatan kepada
Gilang agar bisa melakukan tugasnya. Sementara Kiai Garda, Ki Sindupati dan Sekar
Mirah bisa menyesuaikan dengan keadaan yang nanti akan kita hadapi”, - suara
Agung Sedayu terdengar lirih seolah berbisik.
Semuanya
mengangguk, tetapi tidak ada yang menjawab kalimat Agung Sedayu itu.
“Nah, aku
akan bergeser untuk memancing mereka keluar menemui kita. Bukan kita yang masuk
ke-alam mereka”
Begitu
kalimat Agung Sedayu itu selesai, ia langsung membalikkan tubuh dan melangkah
menghampiri rumpun bambu kuning yang tumbuh cukup pepat. Belum sempat Gilang
mengedipkan matanya, tubuh Agung Sedayu sudah lenyap di telan rapatnya rumpun
bambu kuning itu.
Ketegangan
mulai merambati hati semua yang hadir di pinggir Kali Belehan itu, betapapun
mereka mencoba menenangkan diri, akan tetapi tanpa bisa dicegah, degup jantung
mereka berdetak lebih kencang dari biasanya.
Kiai Garda
mengajak Gilang dan yang lain untuk bergeser dan menempatkan diri pada posisi
yang terbaik. Lalu tanpa mengeluarkan sepatah katapun, Kiai Garda mengambil
sejumput garam kasar dari saku ikat pinggangnya. Seperti yang telah terjadi
sebelumnya, mulut Kiai Garda berkomat-kamit menggumamkan bait-bait doa atau
japa mantra yang kemudian ditiupkan di telapak tangan kirinya yang menggenggam
sejumput garam kasar. Hal itu dilakukan berulang kali sambil matanya menatap ke
depan tepatnya ke arah dua pohon beringin yang terletak di sisi kanan dan kiri
tempuran sungai.
Matahari
kini tepat mencapai puncaknya dan sinarnya benar-benar hendak membakar kulit
siapapun yang berdiri tanpa naungan. Cahayanya yang terang benderang menyinari
permukaan sungai sehingga aliran sungai Belehan itu seolah memancarkan sinar
yang menyilaukan mata.
Akan tetapi
semua yang berdiri di tepian sungai itu kemudian melihat ada kabut tipis yang
turun secara perlahan-lahan. Mata Kiai Garda yang tajam bisa menyusuri awal
turunnya kabut itu justru berasal dari
mahkota daun dua pohon beringin yang letaknya diseberang tempuran. Kabut itu
turun perlahan dan kemudian menyebar ke segala arah, bahkan kemudian kabut tipis
itu juga muncul dari permukaan kedung, yaitu pertemuan aliran sungai yang selama
ini permukaannya tidak terlalu bergejolak.
Dalam waktu
yang tidak terlalu lama, kawasan di pinggir sungai Belehan itu mulai dipenuhi
kabut putih yang cukup tebal. Kabut itu mulai menghalangi jarak pandang semua
yang ada disitu, akan tetapi mata mereka tetap bisa terbuka tanpa merasa pedih.
Sementara terik mataharipun seolah tertahan oleh kabut tebal itu sehingga
sengatan-nya tidak lagi terlalu panas di kulit.
Kabut putih
itu semakin lama semakin tebal dan bahkan kemudian bergerak tidak beraturan,
semakin lama semakin cepat dan memenuhi seluruh kawasan sungai Belehan.
Sekar Mirah pernah
melihat kabut putih yang sama disaat Agung Sedayu berperang tanding melawan
Tumenggung Prabadaru. Belakangan ia tahu bahwa kabut itu keluar karena ajian
yang diterapkan oleh Kiai Gringsing untuk melindungi Agung Sedayu dari serangan
gelap yang menyasar indra penciumannya. Kabut itu memang berputar akan tetapi
ia hanya menjadi dinding yang menghalangi pandangan semua orang sehingga tidak
mengganggu perang-tanding yang sedang berlangsung.
Sementara
kabut putih yang sekarang ini tidak berputar-putar untuk membuat dinding yang
membatasi mereka dari pandangan orang lain, akan tetapi kabut itu menyebar ke
seluruh kawasan tempuran sungai itu seolah hendak menjangkau semua sudut-sudut kawasan
itu tanpa ada yang terlewati. Kabut putih itu kemudian berbaur cepat sebelum
kemudian terpecah dan membuat dua buah
tabung raksasa berwarna putih.
Bersamaan
dengan terbentuknya dua buah tabung raksasa dari kabut putih itu, tiba-tiba
terdengar suara gemeresak yang berasal dari rumpun bambu kuning yang terletak
di seberang tempuran. Semua mata melihat ada dua buah putaran angin kecil yang
bergerak cepat yang memutar serta melemparkan dedaunan kering yang ada
disekitarnya. Dalam waktu yang pendek, telah tercipta dua buah lingkaran angin
lesus yang kemudian membesar dan bergerak mengejar dua buah tabung putih
raksasa yang berada diatas permukaan tempuran.
Semua orang yang
berdiri di tepian sungai itu bisa melihat dengan jelas, betapa tabung putih
raksasa yang terbentuk dari kabut itu kini digerakkan oleh angin lesus yang
berputar dengan sangat cepatnya. Kecepatan berputarnya itu semakin lama semakin
meningkat sehingga menimbulkan suara yang menderu-deru yang mendirikan bulu
roma. Keadaan di tepian sungai belehan itu menjadi terasa asing ketika sinar
matahari justru tertahan oleh kabut sehingga menjadi sedikit redup, semantara
suara menderu-deru itu berkumandang riuh rendah memenuhi udara.
Dua buah
tabung putih raksasa yang berputar dengan cepat itu tiba-tiba saja bergeser.
Sambil terus berputar kedua tabung putih itu awalnya hendak saling mendekat,
akan tetapi belum lagi kedua putaran itu bertabrakan atau saling menyatu,
ternyata kedua tabung putih itu justru melesat saling menjauh dan kini masing-masing
bergeser mendekati pohon beringin raksasa yang berdiri di tepian sungai.
Terjadilah sebuah
kejadian yang maha dahsyat dimata Gilang khususnya, bahkan yang lainpun merasa
betapa pemandangan di depannya itu sangat langka, menakutkan serta diluar nalar
pikiran mereka.
Kedua tabung
putih raksasa yang berputar dengan sangat cepat itu bergeser dan masing-masing melanda
sebuah pohon beringin yang letaknya di tepi kali tempuran. Putaran kabut tabung
raksasa itu seolah menelan seluruh keberadaan pohon beringin yang berumur
puluhan atau bahkan ratusan tahun lalu memutar dan menggilasnya.
Udara di
kawasan sungai Belehan itu di penuhi oleh suara gemeresak keras yang berulang-ulang
dan bahkan beberapa kali terdengar ledakan-ledakan yang cukup keras. Putaran
dengan suara menderu-deru menakutkan itu tidak berhenti dan terus melanda dan
menelan keberadaan kedua pohon beringin itu. Bahkan semua mata kemudian dapat
melihat betapa dinding putaran yang berupa kabut putih itu kini dipenuhi oleh
patahan ranting maupun banyaknya daun hijau yang berputar terus tanpa berhenti.
Sampah yang
berupa daun dan patahan dahan dan ranting itu berputar mengikuti putaran tabung
putih raksasa itu sebelum kemudian dinaikkan dan di lempar keudara sehingga
melayang ke segala penjuru, mengotori semua yang ada disekitarnya dan sebagian
lagi jatuh ke permukaan sungai dan hanyut mengikuti aliran air.
Kejadian itu
terjadi beberapa kali dan setiap kali dinding itu dikotori oleh sampah-sampah
daun dan ranting pohon beringin, maka setiap kali pula putaran kabut putih itu
melemparkannya ke udara sehingga sesaat kemudian tabung raksasa itu dindingnya
kembali putih.
Kedua
putaran tabung putih raksasa agaknya sedang menelan dan memporak-porandakan
keberadakan dua pohon beringin raksasa.
Kiai Garda
yang telah mengetrapkan semua ajian yang ada dalam dirinya segera melihat,
bahwa dinding putaran tabung itu kini cenderung bersih. Agaknya tidak ada lagi
sampah yang harus di angkatnya, sehingga kini putaran tabung raksasa itu bergerak
cepat saling mendekat dan kemudian saling menelan. Akan tetapi bertemunya dua
tabung putih raksasa itu ternyata tidak menimbulkan bunyi ataupun benturan,
mereka terlihat menyatu dan kemudian membentuk sebuah tabung putih raksasa yang
lebih besar lagi dan terus berputar.
Sementara
mata Gilang sempat melihat betapa dua buah pohon beringin raksasa yang
ditinggalkan oleh kedua tabung putih itu keadaannya menjadi sangat mengenaskan.
Tidak terlihat sama sekali dahan, ranting apalagi daun yang tersisa di kedua
pohon itu. Dua buah pohon beringin raksasa yang sangat rimbun dan berumur sudah
puluhan tahun itu kini nampak gundul tak bersisa. Yang tertinggal hanyalah
batang pohon utama, berdiri agak miring dan bahkan hampir saja tercerabut dari
akarnya.
“Kekuatan
apakah yang mampu mencerabut akar dua pohon raksasa itu?”, - bukan main
herannya Gilang sehingga tanpa sadar ia berdesis lirih.
Akan tetapi
Gilang tidak dapat merenungi keberadaan pohon beringin itu lebih lama,
dilihatnya putaran kabut putih raksasa itu kini bergeser dan bergerak cepat.
Kini ia berputar tepat diatas kedung sungai yang menjadi pertemuan arus antara
sungai yang membujur lurus searah dengan jalan di bulak panjang itu dengan
sebuah sungai yang memotongnya tegak lurus dan menjadikan rumpun bambu kuning
itu posisinya sebagai tusuk sate.
Putaran itu
semakin lama semakin cepat dan menimbulkan suara yang lebih dahsyat dari
sebelumnya. Sementara itu mata batin Kiai Garda bisa melihat adanya asap hitam
yang keluar dari permukaan air di kedung Kali Belehan itu. Semakin lama, asap
itu semakin gelap dan kemudian mendesak ke atas hendak menelan keberadaan kabut
putih yang masih saja berputar.
Saat itulah
Kiai Garda berdesis lirih kepada Gilang yang berdiri di sampingnya.
“Gilang,
persiapkan dirimu. Sebentar ada tugas besar yang harus kita tunaikan!”
Gilang
mengangguk tanpa menjawab kalimat Kiai Garda. Sementara Pandan Wangi yang
berdiri di sebelah Gilang justru bergeser ke belakang Gilang untuk
mempersiapkan diri.
Pandan Wangi
merasakan punggungnya basah oleh keringat.
Salam,
Ries
No comments:
Post a Comment