BALADA
SWANDARU GENI
Bab IV:
Hilangnya Seorang Swandaru Geni
Babak – 24
Dengan
kewaspadaan tinggi Pandan Wangi kemudian melangkah maju, mendekat ke arah
Swandaru yang saat itu terlihat berdiri termangu-mangu. Kedua pedang tipisnya
kembali bergetar dan ia masih berada pada puncak tertinggi dari ajian Asta Sewu
maupun kemampuan untuk menjangkau sasaran sebelum senjata yang sesungguhnya itu
menyentuh tubuh lawannya.
“Aku tidak
boleh lengah, aku pasti mampu menemukan titik lemah dari ajian Tameng Waja
itu”, - desis Pandan Wangi dalam hati.
Tetapi
Pandan Wangi terpaksa menahan langkahnya dan bahkan kemudian berhenti mendadak
ketika dilihatnya tubuh Swandaru itu limbung. Ujung cambuk yang tadi dipegang
ditangan kirinya terlihat lepas dan sambil terhuyung-huyung ia kemudian
menjatuhkan tubuhnya ke tanah. Sebagaimana awal kedatangannya, ia kini terduduk
dengan kedua kakinya ditekuk kebelakang sementara pantatnyalah yang menopang
berat tubuhnya. Kepalanya tertunduk ke bawah dengan punggung yang membungkuk ke
depan. Sekilas Pandan Wangi sempat melihat tatapan mata Swandaru yang kosong
seolah tiada gairah sama sekali.
Dengan cepat
Pandan Wangi maupun Ki Widura mampu mengurai keadaan yang terjadi. Agaknya
keberadaan makhluk Onggo-Inggi yang telah hangus dan musnah menjadi debu oleh
ilmu api Kiai Garda berpengaruh besar atas sikap Swandaru. Ia kembali
‘nglimpruk’ tanpa daya dan tidak mempunyai sikap sama sekali. Swandaru adalah
golek yang ditinggal mati oleh sang dalang sehingga meskipun hidup, akan tetapi
ia adalah golek yang tidak berguna.
Hampir saja
Gilang berlari mendekati Swandaru, akan tetapi Ki Widura segera mencegahnya
sambil berbisik pelan.
“Tunggu
Gilang, saat ini tubuh ayahmu masih dikuasai aura gelap penguasa Kali Belehan
yang berbahaya bagi kita yang menyentuhnya. Sebaiknya kita tunggu pamanmu Agung
Sedayu terlebih dahulu”
Gilang dan
Pandan Wangi bagai tersadarkan, pandangan mereka kemudian menyapu ke seluruh
tepian sungai Belehan itu. Ada dua lingkaran pertarungan yang selama ini mereka
abaikan karena perhatian mereka sepenuhnya terampas oleh sikap Swandaru.
Beberapa
tombak dari tempat mereka berdiri Sekar Mirah sedang bertarung dengan seorang
lawan yang bertubuh sedang akan tetapi mempunyai tenaga yang cukup besar. Wajah
orang itu sangat mudah dikenali karena ada bekas luka yang menggores pelipis
kirinya. Gerakannya sangat mantab dan menimbulkan kesiur angin yang tajam.
Senjatanya berupa sebuah golok berukuran cukup besar terayun-ayun mengerikan
dan ia sama sekali tidak ragu untuk membentur tongkat baja putih milik Sekar
Mirah. Beberapa kali terjadi benturan yang mengakibatkan percikan bunga api dan
keduanya terpaksa mundur beberapa langkah. Masing-masing merasakan panas di
tangannya dan mengakui bahwa agaknya tenaga mereka masih berimbang.
Akan tetapi Sekar
Mirah sama sekali tidak gentar, tetapi sebagaimana saat melawan Ki Sindupati,
ia juga melihat bahwa orang dengan bekas luka dipelipisnya itu mempunyai
pandangan mata yang cenderung kosong. Sikapnya yang terkadang ragu seolah tidak
meyakini apa yang sedang dilakukannya itu memberi kesempatan pada Sekar Mirah untuk
bergerak lebih cepat dan mendesak lawannya.
Sementara,
di sebelah lingkaran pertarungan antara Sekar Mirah dengan lawannya itu, Ki
Sindupati terlihat sedang mati-matian bertahan dari gempuran lawannya yang
bertubuh kurus dan tinggi. Lawannya yang bertubuh jangkung ini memiliki
pertahanan yang sangat rapat, sementara tangan dan kakinya memiliki jangkauan
yang lebih panjang dan sangat merepotkan Ki Sindupati. Di kedua tangan orang
jangkung ini tergenggam dua buah pisau belati panjang yang tajam pada kedua
sisinya. Cara memegang dan menggerakkan kedua pisau belati panjang itu
menunjukkan betapa ia sangat menguasai dan ahli dalam permainan pisau belati
ini.
Ki Sindupati
yang juga sudah menggenggam senjatanya berupa tombak pendek bermata tiga itu
terpaksa mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya hingga ke puncak untuk
menghindari gempuran lawannya yang bertubuh jangkung itu. Inilah yang telah
beberapa kali menyelamatkannya dari sambaran pisau belati panjang yang terus mengejarnya.
Orang
bertubuh jangkung itu adalah pembantu utama Resi Bening Aji atau yang juga
disebut Resi Kali Belehan. Sesungguhnya ia mempunyai tingkat olah kanuragan
yang paling tinggi diantara semua pembantu penguasa Kali Belehan itu. Akan
tetapi sebagaimana lawan Sekar Mirah, mata orang itu terlihat kosong dan
melakukan seluruh geraknya hanya berdasarkan semua ilmu yang melekat dalam
dirinya tetapi tanpa disertai greget atas tindakannya sendiri.
Dimata Kiai
Garda yang kini sudah berdiri bebas setelah musnahnya makhluk Onggo-Inggi,
orang jangkung itu mempunyai kelebihan yang akan sulit diatasi oleh Ki
Sindupati. Hanya saja tatapan mata kosong dan seringnya ia meragu itu memberi
kesempatan pada Ki Sindupati untuk terus bergerak dan melawan sebisa mungkin.
Apalagi kini Ki Sindupati sudah benar-benar terbebas dari pengaruh yang selama
ini mengendalikannya sehingga ia benar-benar bisa mengetrapkan ilmu meringankan
tubuh serta penguasaan atas seluruh anggota-anggota tubuhnya hingga bagian
terkecil. Karena itu betapapun terdesaknya Ki Sindupati dan bahkan dalam
keadaan yang sulit, ia masih juga mampu menyelamatkan dirinya.
Sementara
itu, Pandan Wangi yang melihat suaminya terduduk dan nglimpruk tanpa daya
segera bergeser mendekati Kiai Garda. Dalam keadaan seperti ini, Pandan Wangi
menganggap bahwa Kiai Garda pasti lebih tahu apa yang sebaiknya mereka lakukan
agar bisa mempercepat penyelesaian masalah di tepian Kali Belehan ini.
“Apa yang
harus kita lakukan Kiai?”, - suara Pandan Wangi terdengar pelan seolah
berbisik.
Kiai Garda
yang mendengar pertanyaan Pandan Wangi itu tidak segera menjawab, melainkan
mengalihkan pandangan matanya ke seluruh area tepian Kali Belehan itu. Swandaru
yang terduduk lemah itu masih menjadi teka-teki baginya apakah akan terus
seperti itu, ataukah akan kembali bangkit dan membahayakan mereka semua karena mungkin
masih ada kekuatan yang kembali mengendalikannya.
Tiba-tiba
Kiai Garda teringat akan kehadiran Gilang yang telah berbuat banyak sehingga
mereka semua mampu menyingkap asap hitam dan memaksa orang-orang dibalik asap
hitam itu untuk menampakkan diri dan muncul di tepian sungai ini.
Sambil
bergeser mendekati Gilang dan Ki Widura, Kiai Garda kemudian berdesis pelan
untuk menjawab pertanyaan Pandan Wangi.
“Marilah
Nyi, yang terpenting saat ini adalah mencegah agar Ki Swandaru tidak akan
kambuh dan terpengaruh lagi oleh kekuatan yang mengendalikannya. Kita tidak
boleh terlambat dan menggantungkan semua harapan kita kepada Ki Agung Sedayu
yang saat ini pasti sedang bertarung dengan Resi gadungan itu”
“Apa yang
harus kita lakukan Kiai?”, - tanya Pandan Wangi dengan nada penasaran.
“Aku yakin
Gilang akan mampu melakukannya”
Kiai Garda
seolah tidak perduli dengan pertanyaan Pandan Wangi. Hal ini membuat keringat
di kening Pandan Wangi bermunculan dan dengan langkah-langkah kecil ia terpaksa
mengikuti Kiai Garda yang bergeser mendekati anak laki-lakinya.
Salam,
Ries
No comments:
Post a Comment