Saturday, August 12, 2017

BSH - BAB.IV. - HSSG - Babak-24

BALADA SWANDARU GENI
Bab IV: Hilangnya Seorang Swandaru Geni
Babak – 24



Dengan kewaspadaan tinggi Pandan Wangi kemudian melangkah maju, mendekat ke arah Swandaru yang saat itu terlihat berdiri termangu-mangu. Kedua pedang tipisnya kembali bergetar dan ia masih berada pada puncak tertinggi dari ajian Asta Sewu maupun kemampuan untuk menjangkau sasaran sebelum senjata yang sesungguhnya itu menyentuh tubuh lawannya.


“Aku tidak boleh lengah, aku pasti mampu menemukan titik lemah dari ajian Tameng Waja itu”, - desis Pandan Wangi dalam hati.


Tetapi Pandan Wangi terpaksa menahan langkahnya dan bahkan kemudian berhenti mendadak ketika dilihatnya tubuh Swandaru itu limbung. Ujung cambuk yang tadi dipegang ditangan kirinya terlihat lepas dan sambil terhuyung-huyung ia kemudian menjatuhkan tubuhnya ke tanah. Sebagaimana awal kedatangannya, ia kini terduduk dengan kedua kakinya ditekuk kebelakang sementara pantatnyalah yang menopang berat tubuhnya. Kepalanya tertunduk ke bawah dengan punggung yang membungkuk ke depan. Sekilas Pandan Wangi sempat melihat tatapan mata Swandaru yang kosong seolah tiada gairah sama sekali.


Dengan cepat Pandan Wangi maupun Ki Widura mampu mengurai keadaan yang terjadi. Agaknya keberadaan makhluk Onggo-Inggi yang telah hangus dan musnah menjadi debu oleh ilmu api Kiai Garda berpengaruh besar atas sikap Swandaru. Ia kembali ‘nglimpruk’ tanpa daya dan tidak mempunyai sikap sama sekali. Swandaru adalah golek yang ditinggal mati oleh sang dalang sehingga meskipun hidup, akan tetapi ia adalah golek yang tidak berguna.


Hampir saja Gilang berlari mendekati Swandaru, akan tetapi Ki Widura segera mencegahnya sambil berbisik pelan.


“Tunggu Gilang, saat ini tubuh ayahmu masih dikuasai aura gelap penguasa Kali Belehan yang berbahaya bagi kita yang menyentuhnya. Sebaiknya kita tunggu pamanmu Agung Sedayu terlebih dahulu”


Gilang dan Pandan Wangi bagai tersadarkan, pandangan mereka kemudian menyapu ke seluruh tepian sungai Belehan itu. Ada dua lingkaran pertarungan yang selama ini mereka abaikan karena perhatian mereka sepenuhnya terampas oleh sikap Swandaru.

Beberapa tombak dari tempat mereka berdiri Sekar Mirah sedang bertarung dengan seorang lawan yang bertubuh sedang akan tetapi mempunyai tenaga yang cukup besar. Wajah orang itu sangat mudah dikenali karena ada bekas luka yang menggores pelipis kirinya. Gerakannya sangat mantab dan menimbulkan kesiur angin yang tajam. Senjatanya berupa sebuah golok berukuran cukup besar terayun-ayun mengerikan dan ia sama sekali tidak ragu untuk membentur tongkat baja putih milik Sekar Mirah. Beberapa kali terjadi benturan yang mengakibatkan percikan bunga api dan keduanya terpaksa mundur beberapa langkah. Masing-masing merasakan panas di tangannya dan mengakui bahwa agaknya tenaga mereka masih berimbang.


Akan tetapi Sekar Mirah sama sekali tidak gentar, tetapi sebagaimana saat melawan Ki Sindupati, ia juga melihat bahwa orang dengan bekas luka dipelipisnya itu mempunyai pandangan mata yang cenderung kosong. Sikapnya yang terkadang ragu seolah tidak meyakini apa yang sedang dilakukannya itu memberi kesempatan pada Sekar Mirah untuk bergerak lebih cepat dan mendesak lawannya.


Sementara, di sebelah lingkaran pertarungan antara Sekar Mirah dengan lawannya itu, Ki Sindupati terlihat sedang mati-matian bertahan dari gempuran lawannya yang bertubuh kurus dan tinggi. Lawannya yang bertubuh jangkung ini memiliki pertahanan yang sangat rapat, sementara tangan dan kakinya memiliki jangkauan yang lebih panjang dan sangat merepotkan Ki Sindupati. Di kedua tangan orang jangkung ini tergenggam dua buah pisau belati panjang yang tajam pada kedua sisinya. Cara memegang dan menggerakkan kedua pisau belati panjang itu menunjukkan betapa ia sangat menguasai dan ahli dalam permainan pisau belati ini.


Ki Sindupati yang juga sudah menggenggam senjatanya berupa tombak pendek bermata tiga itu terpaksa mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya hingga ke puncak untuk menghindari gempuran lawannya yang bertubuh jangkung itu. Inilah yang telah beberapa kali menyelamatkannya dari sambaran pisau belati panjang yang terus mengejarnya.


Orang bertubuh jangkung itu adalah pembantu utama Resi Bening Aji atau yang juga disebut Resi Kali Belehan. Sesungguhnya ia mempunyai tingkat olah kanuragan yang paling tinggi diantara semua pembantu penguasa Kali Belehan itu. Akan tetapi sebagaimana lawan Sekar Mirah, mata orang itu terlihat kosong dan melakukan seluruh geraknya hanya berdasarkan semua ilmu yang melekat dalam dirinya tetapi tanpa disertai greget atas tindakannya sendiri.


Dimata Kiai Garda yang kini sudah berdiri bebas setelah musnahnya makhluk Onggo-Inggi, orang jangkung itu mempunyai kelebihan yang akan sulit diatasi oleh Ki Sindupati. Hanya saja tatapan mata kosong dan seringnya ia meragu itu memberi kesempatan pada Ki Sindupati untuk terus bergerak dan melawan sebisa mungkin. Apalagi kini Ki Sindupati sudah benar-benar terbebas dari pengaruh yang selama ini mengendalikannya sehingga ia benar-benar bisa mengetrapkan ilmu meringankan tubuh serta penguasaan atas seluruh anggota-anggota tubuhnya hingga bagian terkecil. Karena itu betapapun terdesaknya Ki Sindupati dan bahkan dalam keadaan yang sulit, ia masih juga mampu menyelamatkan dirinya.


Sementara itu, Pandan Wangi yang melihat suaminya terduduk dan nglimpruk tanpa daya segera bergeser mendekati Kiai Garda. Dalam keadaan seperti ini, Pandan Wangi menganggap bahwa Kiai Garda pasti lebih tahu apa yang sebaiknya mereka lakukan agar bisa mempercepat penyelesaian masalah di tepian Kali Belehan ini.


“Apa yang harus kita lakukan Kiai?”, - suara Pandan Wangi terdengar pelan seolah berbisik.


Kiai Garda yang mendengar pertanyaan Pandan Wangi itu tidak segera menjawab, melainkan mengalihkan pandangan matanya ke seluruh area tepian Kali Belehan itu. Swandaru yang terduduk lemah itu masih menjadi teka-teki baginya apakah akan terus seperti itu, ataukah akan kembali bangkit dan membahayakan mereka semua karena mungkin masih ada kekuatan yang kembali mengendalikannya.


Tiba-tiba Kiai Garda teringat akan kehadiran Gilang yang telah berbuat banyak sehingga mereka semua mampu menyingkap asap hitam dan memaksa orang-orang dibalik asap hitam itu untuk menampakkan diri dan muncul di tepian sungai ini.


Sambil bergeser mendekati Gilang dan Ki Widura, Kiai Garda kemudian berdesis pelan untuk menjawab pertanyaan Pandan Wangi.


“Marilah Nyi, yang terpenting saat ini adalah mencegah agar Ki Swandaru tidak akan kambuh dan terpengaruh lagi oleh kekuatan yang mengendalikannya. Kita tidak boleh terlambat dan menggantungkan semua harapan kita kepada Ki Agung Sedayu yang saat ini pasti sedang bertarung dengan Resi gadungan itu”


“Apa yang harus kita lakukan Kiai?”, - tanya Pandan Wangi dengan nada penasaran.


“Aku yakin Gilang akan mampu melakukannya”


Kiai Garda seolah tidak perduli dengan pertanyaan Pandan Wangi. Hal ini membuat keringat di kening Pandan Wangi bermunculan dan dengan langkah-langkah kecil ia terpaksa mengikuti Kiai Garda yang bergeser mendekati anak laki-lakinya.


Salam,
Ries

No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...