Friday, August 11, 2017

SISIPAN - KIMCHI JEPANG

SISIPAN
Kimchi-Jepang

Sore itu aku menyelesaikan sholat maghrib lebih cepat dari biasanya.

“Ayo tah pa…kita belum reserve seat lho”, - Acin, anakku yang kecil berteriak nggupuhi.

“Sek ta lhah diikkk, wong cuman berempat  saja masak pakai reserve seat segala sehh…”

Tapi tak urung aku mempercepat langkahku ke kamar dan melepas sarung untuk berganti dengan celana cargo dengan banyak kantong saku di bagian depan dan samping. Aku ingat, awal membeli celana ini aku terlebih dahulu menghitung jumlah saku yang totalnya ternyata ada 7 buah.

Modelnya yang simple, warna ‘khaki-tua’ yang soft, bahan yang lunak serta jahitannya yang halus membuat pesona celana ini membutakan pikiranku. Beberapa lembaran merah terpaksa aku keluarkan dari dompet untuk menggantinya dari mbak kasir di sebuah Plaza dekat sungai Kalimas-Surabaya.

Umur celana ini sudah hampir dua tahun tetapi masih bau toko karena jarang kupakai. Kebiasaanku memang  agak terbalik jika dibandingkan orang lain, yang ketika mencintai sebuah benda - misalnya topi atau arloji - mereka cenderung sering memakainya. Bahkan teramat sering, sehingga orang lain akan dengan mudah mengenalinya sebagai benda kesayangan.

Itu penilaian pada umumnya. Sedang penilaian khususnya, orang segera sadar bahwa itu adalah satu-satunya topi dan arloji yang kita punya L L

Sementara rasa cintaku pada celana ini justru menempatkannya pada tumpukkan paling bawah diantara sedikit celanaku yang lain. Celana ini sangat jarang aku pakai. Aku memang sempat berikrar bahwa celana ini hanya akan aku pakai pada momen-momen khusus dalam hidupku, atau paling tidak saat aku ada kesempatan untuk mendaki gunung lagi.

“Uwiss Pa, aku yang cewek aja berdandan-nya cepet, koq malah Papa masih milang-miling-i celono ae. Mas Linggar sama mbak Sita sudah otewe lhooh..”, - sambil berdiri ditengah pintu kamarku, kembali suara Acin membuatku gupuh.

Hari ini ulang-tahunnya Acin dan kita memutuskan untuk merayakannya dengan hanya makan-makan.  Sebenarnya Acin ingin merayakannya dengan menyantap masakan Korea yang sering tayang di Asian Food TV channel. Dimata dan pikirannya, menu yang disebut “Kimchi” itu selain sehat, pasti tidak akan membuatnya gemuk karena banyak serat sayur sebagai asupan. Terbukti artis-artis Korea itu selain putih mulus juga badannya ramping soro. Itu pasti karena Kimchi!

Tetapi sehari sebelumnya aku sempat mendengar Acin gontok-gontokan dengan kakaknya Linggar.

 “Adik harus mempertimbangkan selera papa juga, jangan mikir lidahnya sendiri dong! Papa itu sudah lama gak maem sop buntut depot Langgeng”, - suara Linggar terdengar meninggi.

“Lhahh…yang ulang-tahun kan aku mas!”, - adiknya gak mau mengalah.

“Yang mbayarin bill siapa?”, - tukas kakaknya tak kalah keras.

Setelah gontok-gontokan cukup lama, mereka berdua akhirnya sepakat untuk makan Japanese Food saja dengan catatan Linggar yang bayar.

“Mas kan sudah bisa cari duit sendiri, sekali-kali nyenengin adiknya. Jangan Papa terus!”

Hatiku terharu, dalam hati aku berdoa semoga lain kali ada ulang minggu atau ulang bulan sehingga menu makanku bisa up-grade lebih sering dan lebih sehat tanpa harus membuka dompet. J J J

Aku mengarahkan kendaraan menuju tengah kota. Di jalan A. Yani, lalu-lintas sedikit tersendat khususnya dari arah depan. Puluhan mobil bergerak pelan sementara lampunya menyorot dan menyilaukan mata. Tanganku segera meraih kaca-mata anti silau yang biasa kupakai saat mengemudi malam hari.

“Pa, jangan pakai kacamata dulu. Lihat, lampu-lampu itu adalah ucapan selamat ulang-tahun dari warga kota kepadaku”, - celoteh Acin dengan suara konyol.

Linggar, anakku yang besar, sudah menunggu di RM dengan pacarnya. Sejak pagi, ia memang sudah keliling kota dan tidak sempat pulang dulu. Setelah menjemput  Sita, kami sepakat langsung bertemu di RM ini. Pengunjung  tidak terlalu ramai sehingga kita bisa memesan cepat dan menikmati suasana dengan lebih nyaman.

Sejak awal mengenal masakan Jepang, satu yang tidak bisa saya ingkari adalah jenis saos atau kecapnya yang beraroma tajam dilidah. Kadang kita juga terkecoh oleh penampilan ‘wasabi’ yang berwarna hijau lembut, akan tetapi super pedasnya membuat lidah bergetar bahkan beberapa jam sesudahnya.

Salah seorang teman pernah berkata; para samurai adalah mereka yang berani menantang maut dan berani mati. Jiwa samurai itu kini tersimpan dalam pedasnya wasabi ini. Lhahh!!

Akan tetapi, layaknya Japanese Food, menu yang disukai anak-anak muda adalah shabu-shabu. Irisan daging tipis-tipis yang kita celupkan di tiga campuran saos sebelum kemudian kita ‘grill’ diatas ‘anglo modern’. Lalu ada bulatan bakso, irisan tahu jepang halus serta potongan cumi lunak yang direbus dalam kuah yang aromanya lembut di hidung akan tetapi tajam di lidah. Tidak lupa Acin mengambil sebakul kecil selada hijau segar yang selama ini menjadi kegemarannya.

Alunan musik tradisional Jepang membuat kita tidak sadar bahwa menu yang tersedia di meja sudah tinggal separoh.

Saat itulah Acin membuat  ‘menunya sendiri’. Diambilnya selembar irisan daging sapi tipis yang sudah di grill serta sudah dibumbui saos, lalu irisan daging itu diletakkan diatas permukaan daun selada lalu digulungnya sehingga dari luar yang terlihat adalah gulungan daun selada saja.

“Ini Kimchi ala Jepang mas!”, - seru Acin sambil mempersiapkan Hp-nya.

Kedua kakaknya hanya meringis melihat kelakuan adiknya.

Setelah cekrak-cekrek, mengambil foto untuk nanti di-posting di akun sosmed-nya, Acin dengan lahap menyantap yang dia sebut Kimchi Jepang itu. Dalam sekejab beberapa gulung Kimchi Jepang itu sudah berpindah ke perutnya.

Aku sendiri sudah berhenti beberapa saat yang lalu, sementara Acin baru berhenti ketika irisan daging tipis itu sudah habis tak bersisa. Yang tersisa hanyalah beberapa lembar daun selada saja.

“Habisin dik, selada mengandung serat yang bagus untuk kesehatan”, - kakaknya menyemangati.

Adiknya mengangguk dengan tegas. Setelah menyedot minuman beberapa saat, tangannya kembali meraih daun selada itu. Akan tetapi karena sudah tidak ada irisan daging sebagai bahan pengisi, geraknya terlihat lebih lamban dan ia bahkan memilih untuk menyobek daun itu dan bukan menggulungnya lagi.

Saat itulah ia memekik kecil sambil membelalakkan matanya.

“Papa!”

Tangan kiri-nya dengan kasar mencolek pinggangku, sementara matanya tetap terbelalak dan menatap daun selada yang ada ditangan kanan-nya. Aku segera bergeser mendekat dan ikut mengamati daun selada yang membuat sikapnya heboh itu. Ternyata mataku belum rabun, disitu kulihat ada makhluk hidup kecil yang berwarna hijau sesuai warna selada, bergerak terus seolah sedang meronta-ronta dan hendak bersembunyi atau melarikan diri dari tatapan mata kami berdua.

“Ah, inilah ulat hijau yang membuat Kimchi Jepang itu terasa super enak dik!”, - seruku tak tahan.

Beberapa pengunjung lain menengok ke arah kami dan wajah Acin kulihat semburat merah. Entahlah, apakah malu karena menjadi perhatian beberapa orang atau mungkin jengkel akibat menemukan ulat hijau yang bertengger di daun selada kegemarannya.

“Kira-kira ada berapa ekor yang sudah masuk di perutku Pa?”, - ujarnya dengan nada prihatin.

Untunglah, suaranya tidak terdengar panik ataupun menunjukkan rasa jijik yang berlebihan. Kembali ia mangambil Hp-nya dan cekrek-cekrek beberapa kali sehingga gambar daun berbuah ulat itu kini berpindah ke layar Hp-nya.

Segera tangannya melambai ke arah pelayan yang dengan tergopoh-gopoh ikut gugup ketika kita tunjukkan ulat diatas daun selada itu. Beberapa kali pelayan itu meminta maaf yang dibalas Acin dengan senyuman masam. Agaknya kenikmatan Kimchi Jepang yang sudah melewati tenggorokan dan bersarang diperut itu telah mencegahnya untuk melakukan protes yang berlebihan.

Kami sudah menyelesaikan santap malam, tetapi masih sibuk dengan perdebatan sebelum kemudian sepakat bahwa sebenarnya ulat hijau itulah sumber kelezatan Kimchi Jepang. Ketika hendak berdiri untuk pulang, tiba-tiba datang seorang pelayan dengan nampan coklat ditangannya.

“Mbak, sekali lagi kami mohon maaf karena kekhilafan kami. Sebagai ungkapan rasa sesal, ini ada ice-cream untuk dessert mbak dan keluarga sekalian”

Bahasa pelayan itu sangat runtut, sopan dan terdengar enak di telinga. Setelah pelayan itu pergi, kakaknya berbisik lirih yang hanya kami berempat yang bisa mendengarnya.

“Dik, sikap dan cara pelayan itu meminta maaf sungguh mengundang simpati dan menyentuh perasaan. Jangan-jangan kejadian seperti ini sudah sangat sering sehingga iapun sangat terlatih karenanya”

Acin memandang wajah kakaknya dengan mata nanar. Ia kemudian mengangkat gelas ice-cream yang ada di tangan kirinya sambil matanya menatap tajam penuh selidik.

“Mas, akankah kita juga menemukan ulat hidup di dalam ice-cream ini?”, - kini nada suaranya penuh keprihatinnan.

Hampir saja aku tersedak karenanya, tetapi ice-cream digelasku sudah habis!

Salam,

Ries

No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...