SISIPAN
Kimchi-Jepang
Sore itu aku menyelesaikan sholat maghrib lebih cepat dari
biasanya.
“Ayo tah pa…kita belum reserve seat lho”, - Acin, anakku
yang kecil berteriak nggupuhi.
“Sek ta lhah diikkk, wong cuman berempat saja masak pakai reserve seat segala sehh…”
Tapi tak urung aku mempercepat langkahku ke kamar dan melepas
sarung untuk berganti dengan celana cargo dengan banyak kantong saku di bagian
depan dan samping. Aku ingat, awal membeli celana ini aku terlebih dahulu
menghitung jumlah saku yang totalnya ternyata ada 7 buah.
Modelnya yang simple, warna ‘khaki-tua’ yang soft, bahan
yang lunak serta jahitannya yang halus membuat pesona celana ini membutakan
pikiranku. Beberapa lembaran merah terpaksa aku keluarkan dari dompet untuk
menggantinya dari mbak kasir di sebuah Plaza dekat sungai Kalimas-Surabaya.
Umur celana ini sudah hampir dua tahun tetapi masih bau toko
karena jarang kupakai. Kebiasaanku memang agak terbalik jika dibandingkan orang lain,
yang ketika mencintai sebuah benda - misalnya topi atau arloji - mereka
cenderung sering memakainya. Bahkan teramat sering, sehingga orang lain akan
dengan mudah mengenalinya sebagai benda kesayangan.
Itu penilaian pada umumnya. Sedang penilaian khususnya,
orang segera sadar bahwa itu adalah satu-satunya topi dan arloji yang kita
punya L L
Sementara rasa cintaku pada celana ini justru menempatkannya
pada tumpukkan paling bawah diantara sedikit celanaku yang lain. Celana ini
sangat jarang aku pakai. Aku memang sempat berikrar bahwa celana ini hanya akan
aku pakai pada momen-momen khusus dalam hidupku, atau paling tidak saat aku ada
kesempatan untuk mendaki gunung lagi.
“Uwiss Pa, aku yang cewek aja berdandan-nya cepet, koq malah
Papa masih milang-miling-i celono ae. Mas Linggar sama mbak Sita sudah otewe
lhooh..”, - sambil berdiri ditengah pintu kamarku, kembali suara Acin membuatku
gupuh.
Hari ini ulang-tahunnya Acin dan kita memutuskan untuk merayakannya
dengan hanya makan-makan. Sebenarnya
Acin ingin merayakannya dengan menyantap masakan Korea yang sering tayang di
Asian Food TV channel. Dimata dan pikirannya, menu yang disebut “Kimchi” itu selain
sehat, pasti tidak akan membuatnya gemuk karena banyak serat sayur sebagai
asupan. Terbukti artis-artis Korea itu selain putih mulus juga badannya ramping
soro. Itu pasti karena Kimchi!
Tetapi sehari sebelumnya aku sempat mendengar Acin
gontok-gontokan dengan kakaknya Linggar.
“Adik harus
mempertimbangkan selera papa juga, jangan mikir lidahnya sendiri dong! Papa itu
sudah lama gak maem sop buntut depot Langgeng”, - suara Linggar terdengar
meninggi.
“Lhahh…yang ulang-tahun kan aku mas!”, - adiknya gak mau
mengalah.
“Yang mbayarin bill siapa?”, - tukas kakaknya tak kalah
keras.
Setelah gontok-gontokan cukup lama, mereka berdua akhirnya
sepakat untuk makan Japanese Food saja dengan catatan Linggar yang bayar.
“Mas kan sudah bisa cari duit sendiri, sekali-kali nyenengin
adiknya. Jangan Papa terus!”
Hatiku terharu, dalam hati aku berdoa semoga lain kali ada
ulang minggu atau ulang bulan sehingga menu makanku bisa up-grade lebih sering
dan lebih sehat tanpa harus membuka dompet. J
J J
Aku mengarahkan kendaraan menuju tengah kota. Di jalan A.
Yani, lalu-lintas sedikit tersendat khususnya dari arah depan. Puluhan mobil
bergerak pelan sementara lampunya menyorot dan menyilaukan mata. Tanganku
segera meraih kaca-mata anti silau yang biasa kupakai saat mengemudi malam
hari.
“Pa, jangan pakai kacamata dulu. Lihat, lampu-lampu itu
adalah ucapan selamat ulang-tahun dari warga kota kepadaku”, - celoteh Acin
dengan suara konyol.
Linggar, anakku yang besar, sudah menunggu di RM dengan
pacarnya. Sejak pagi, ia memang sudah keliling kota dan tidak sempat pulang
dulu. Setelah menjemput Sita, kami sepakat
langsung bertemu di RM ini. Pengunjung tidak
terlalu ramai sehingga kita bisa memesan cepat dan menikmati suasana dengan
lebih nyaman.
Sejak awal mengenal masakan Jepang, satu yang tidak bisa
saya ingkari adalah jenis saos atau kecapnya yang beraroma tajam dilidah. Kadang
kita juga terkecoh oleh penampilan ‘wasabi’ yang berwarna hijau lembut, akan
tetapi super pedasnya membuat lidah bergetar bahkan beberapa jam sesudahnya.
Salah seorang teman pernah berkata; para samurai adalah
mereka yang berani menantang maut dan berani mati. Jiwa samurai itu kini
tersimpan dalam pedasnya wasabi ini. Lhahh!!
Akan tetapi, layaknya Japanese Food, menu yang disukai
anak-anak muda adalah shabu-shabu. Irisan daging tipis-tipis yang kita celupkan
di tiga campuran saos sebelum kemudian kita ‘grill’ diatas ‘anglo modern’. Lalu
ada bulatan bakso, irisan tahu jepang halus serta potongan cumi lunak yang
direbus dalam kuah yang aromanya lembut di hidung akan tetapi tajam di lidah. Tidak
lupa Acin mengambil sebakul kecil selada hijau segar yang selama ini menjadi
kegemarannya.
Alunan musik tradisional Jepang membuat kita tidak sadar
bahwa menu yang tersedia di meja sudah tinggal separoh.
Saat itulah Acin membuat ‘menunya sendiri’. Diambilnya selembar irisan
daging sapi tipis yang sudah di grill serta sudah dibumbui saos, lalu irisan
daging itu diletakkan diatas permukaan daun selada lalu digulungnya sehingga
dari luar yang terlihat adalah gulungan daun selada saja.
“Ini Kimchi ala Jepang mas!”, - seru Acin sambil
mempersiapkan Hp-nya.
Kedua kakaknya hanya meringis melihat kelakuan adiknya.
Setelah cekrak-cekrek, mengambil foto untuk nanti di-posting
di akun sosmed-nya, Acin dengan lahap menyantap yang dia sebut Kimchi Jepang
itu. Dalam sekejab beberapa gulung Kimchi Jepang itu sudah berpindah ke
perutnya.
Aku sendiri sudah berhenti beberapa saat yang lalu,
sementara Acin baru berhenti ketika irisan daging tipis itu sudah habis tak
bersisa. Yang tersisa hanyalah beberapa lembar daun selada saja.
“Habisin dik, selada mengandung serat yang bagus untuk
kesehatan”, - kakaknya menyemangati.
Adiknya mengangguk dengan tegas. Setelah menyedot minuman
beberapa saat, tangannya kembali meraih daun selada itu. Akan tetapi karena
sudah tidak ada irisan daging sebagai bahan pengisi, geraknya terlihat lebih
lamban dan ia bahkan memilih untuk menyobek daun itu dan bukan menggulungnya
lagi.
Saat itulah ia memekik kecil sambil membelalakkan matanya.
“Papa!”
Tangan kiri-nya dengan kasar mencolek pinggangku, sementara
matanya tetap terbelalak dan menatap daun selada yang ada ditangan kanan-nya.
Aku segera bergeser mendekat dan ikut mengamati daun selada yang membuat
sikapnya heboh itu. Ternyata mataku belum rabun, disitu kulihat ada makhluk
hidup kecil yang berwarna hijau sesuai warna selada, bergerak terus seolah
sedang meronta-ronta dan hendak bersembunyi atau melarikan diri dari tatapan mata
kami berdua.
“Ah, inilah ulat hijau yang membuat Kimchi Jepang itu terasa
super enak dik!”, - seruku tak tahan.
Beberapa pengunjung lain menengok ke arah kami dan wajah
Acin kulihat semburat merah. Entahlah, apakah malu karena menjadi perhatian
beberapa orang atau mungkin jengkel akibat menemukan ulat hijau yang bertengger
di daun selada kegemarannya.
“Kira-kira ada berapa ekor yang sudah masuk di perutku Pa?”,
- ujarnya dengan nada prihatin.
Untunglah, suaranya tidak terdengar panik ataupun
menunjukkan rasa jijik yang berlebihan. Kembali ia mangambil Hp-nya dan cekrek-cekrek
beberapa kali sehingga gambar daun berbuah ulat itu kini berpindah ke layar
Hp-nya.
Segera tangannya melambai ke arah pelayan yang dengan
tergopoh-gopoh ikut gugup ketika kita tunjukkan ulat diatas daun selada itu.
Beberapa kali pelayan itu meminta maaf yang dibalas Acin dengan senyuman masam.
Agaknya kenikmatan Kimchi Jepang yang sudah melewati tenggorokan dan bersarang
diperut itu telah mencegahnya untuk melakukan protes yang berlebihan.
Kami sudah menyelesaikan santap malam, tetapi masih sibuk
dengan perdebatan sebelum kemudian sepakat bahwa sebenarnya ulat hijau itulah
sumber kelezatan Kimchi Jepang. Ketika hendak berdiri untuk pulang, tiba-tiba
datang seorang pelayan dengan nampan coklat ditangannya.
“Mbak, sekali lagi kami mohon maaf karena kekhilafan kami.
Sebagai ungkapan rasa sesal, ini ada ice-cream untuk dessert mbak dan keluarga
sekalian”
Bahasa pelayan itu sangat runtut, sopan dan terdengar enak
di telinga. Setelah pelayan itu pergi, kakaknya berbisik lirih yang hanya kami
berempat yang bisa mendengarnya.
“Dik, sikap dan cara pelayan itu meminta maaf sungguh
mengundang simpati dan menyentuh perasaan. Jangan-jangan kejadian seperti ini
sudah sangat sering sehingga iapun sangat terlatih karenanya”
Acin memandang wajah kakaknya dengan mata nanar. Ia kemudian
mengangkat gelas ice-cream yang ada di tangan kirinya sambil matanya menatap tajam
penuh selidik.
“Mas, akankah kita juga menemukan ulat hidup di dalam ice-cream
ini?”, - kini nada suaranya penuh keprihatinnan.
Hampir saja aku tersedak karenanya, tetapi ice-cream
digelasku sudah habis!
Salam,
Ries
No comments:
Post a Comment