Monday, August 14, 2017

BSG - BAB.IV - HSSG - Babak-26

BALADA SWANDARU GENI
Bab IV: Hilangnya Seorang Swandaru Geni
Babak – 26



Matahari baru bergulir sedikit dari puncaknya, panas siang masih terasa menyengat. Pandan Wangi berbisik kepada Gilang agar bisa menyesuaikan apapun yang nanti ia lakukan tanpa sedikitpun meronta meskipun mungkin hanya karena rasa terkejut.


“Kau harus percaya kepadaku Gilang, kita akan mampu melompati sungai ini dan akan berada diseberang untuk bisa menolong Ayahmu”, - Pandan Wangi berbisik lirih.


Gilang mengangguk, sebenarnya ia memang tidak mempunyai keraguan apapun akan kemampuan ibundanya. Hanya saja ibundanya mungkin kuatir bahwa rasa terkejut akan membuat reaksinya meronta dan itu akan berpengaruh dan menyulitkan usaha ibundanya.


Ketika merasa cukup, Pandan Wangi segera menganggukkan kepalanya kepada Kiai Garda sebagai isyarat bahwa ia sudah siap. Mereka berdiri dengan jarak sekitar lima-enam tombak, dan sesaat kemudian Kiai Garda melemparkan sebuah batu yang besarnya sekepalan tangan ke permukaan sungai  dengan arah sedikit menyerong. Lemparan Kiai Garda itu memang tidak melesat cepat laksana tatit, melainkan justru sangat perlahan layaknya anak-anak yang melemparkan batu ke udara. Akan tetapi lemparan itu dilambari dengan tenaga cadangan yang besar sehingga menimbulkan kesiur angin yang sangat kuat.

Pada saat yang bersamaan, Pandan Wangi mengempos semangat dan dengan sebat tangannya menyambar lengan kanan Gilang. Sambil menggandeng lengan kanan Gilang, tubuh Pandan Wangi melesat secepat tatit di udara untuk mengejar batu kali yang dilemparkan oleh Kiai Garda di atas sungai Belehan itu. Keduanya seolah berubah menjadi sepasang burung yang melayang dilangit dengan sayap-sayapnya yang terkembang lebar.


Ketika melayang diatas permukaan air dan sudah berada sekitar setengah lebar sungai, Pandan Wangi segera bisa merasakan angin yang menampar keras akibat lambaran tenaga cadangan Kiai Garda pada batu yang dilemparkannya. Inilah yang menjadi tujuan Pandan Wangi, yaitu mencari pijakan yang akan melontarkan tubuhnya kearah seberang sungai. Gagasan ini muncul akibat kejadian yang baru saja dialaminya, yaitu ketika ia mampu melepaskan diri dari ancaman cambuk suaminya dengan cara meminjam angin keras yang ditimbulkan serangan suaminya itu dan melontarkan tubuhnya jauh kebelakang.


Kini Pandan Wangi seolah mengulanginya tetapi dengan persiapan yang jauh lebih matang dan tidak hanya mengandalkan gerak naluriahnya saja. Sebenarnya ia bahkan bisa saja menunggu batu kali yang dilempar itu mendekat dan memanfaatkan batu itu sebagai pijakan yang lebih mantab serta melontarkan tubuhnya dengan lebih jauh. Akan tetapi ia bisa merasakan lambaran tenaga cadangan Kiai Garda itu sangat besar, sehingga ia hanya memerlukan sambaran angin itu sebelum kemudian tubuhnya kembali mental miring, melesat ke seberang sungai.

Kiai Garda dan Ki Widura melihat betapa tubuh Pandan Wangi mampu melayang cepat meskipun sambil menggandeng Gilang. Kakinya dengan ringan kemudian mendarat diatas permukaan batu besar dipinggiran seberang yang memang menjadi tujuannya.


Bukan main kagumnya Gilang melihat kemampuan ibundanya itu, tanpa sadar mulutnya berdecak kagum . Sungai itu begitu lebar dan arus airnya lumayan deras, akan tetapi sambil menggandengnya, ibundanya itu mampu melompatinya meskipun dengan bantuan pijakan angin dari batu yang dilemparkan Kiai Garda.


“Seharusnya ibunda segera mengajarkan ilmu meringankan tubuh ini kepadaku, sehingga aku tidak selalu menjadi beban dan merepotkan seperti ini”, - desisnya dalam hati.


Tetapi Gilang tidak mengeluarkan sepatah katapun. Meskipun masih bocah, akan tetapi ia bisa merasakan betapa saat ini keadaan begitu menegangkan sehingga semua perhatian terpusat pada apa yang saat ini mampu mereka lakukan. Bukan waktunya untuk bertanya atau meminta penjelasan atas sesuatu yang ia belum mengerti meskipun itu menggelitik hatinya.


Sementara Pandan Wangi yang sudah berdiri diatas batu besar ditepian seberang masih sempat mengedarkan pandangannya ke seluruh tepian sungai Belehan itu. Ia melihat betapa pertarungan antara Sekar Mirah melawan orang dengan bekas luka di pelipisnya itu masih berjalan dengan sengit. Belum terlihat siapa yang lebih unggul meskipun kedua senjata itu menjadi lebih sering berbenturan. Tetapi Pandan Wangi punya keyakinan bahwa asalkan tidak membuat sebuah kesalahan, maka Sekar Mirah akan mampu mengatasi lawannya. Terlebih senjata Sekar Mirah yang berupa tongkat baja putih itu mempunyai kelebihan dibandingkan golok besar yang menjadi senjata orang dengan bekas luka di pelipisnya itu.


Disebelahnya, lingkaran pertarungan antara Ki Sindupati melawan orang bertubuh jangkung itu juga semakin sengit. Ilmu belalang serta penguasaan anggota tubuh yang dikuasai Ki Sindupati benar-benar membuatnya sebagai pribadi yang sangat ulet. Meskipun demikian, Pandan Wangi merasa bahwa sebenarnya Ki Sindupati itu berada dalam keadaan yang sangat mengkhawatirkan.


Tetapi Pandan Wangi mencoba mengabaikan semua yang dilihatnya, saat ini yang terpenting adalah menjalankan apa yang sudah ia rencanakan bersama Gilang dan Kiai Garda. Karena itu ia segera kembali melihat ke dalam dirinya sendiri sambil mempersiapkan timbunan ilmu yang selama ini ada di dalam dirinya.


“Gilang, persiapkan dirimu dengan sungguh-sungguh. Perhatikan sasaranmu dan bidiklah dengan tepat supaya kita bisa menyelamatkan ayahmu dari pengaruh buruk itu”

Gilang mengangguk, akan tetapi dengan nada sedikit ragu ia berkata lirih - ,”Ibunda, dari sini aku belum bisa melihat sasaran bidik itu dengan jelas”


Pandan Wangi mengangguk, sambil menepuk pundak anak laki-lakinya itu ia berbisik lirih, tepat di telinga Gilang - ,”Tentu saja Gilang, jarak ini memang masih terlalu jauh. Karena itu kau akan membidiknya hanya ketika kau sudah yakin akan sasaran itu. Kita akan melakukan kerja sama ini sekali lagi dan yakinlah apa yang kau pelajari dari paman Agung Sedayu akan berhasil”


Bisikan Pandan Wangi yang diucapkan tepat ditelinganya itu membesarkan hati Gilang. Segera syaraf kepekaan dalam tubuhnya bergetar seirama dengan tekadnya yang besar untuk dapat melakukan yang terbaik.


Kedua ibu dan anak itu kemudian menarik nafas lembut dan mempersiapkan diri untuk melakukan rencana berikutnya. Hampir saja Pandan Wangi memberi isyarat kepada Kiai Garda agar kembali melemparkan sebuah batu sekepalan tangan lagi sebagai pijakan bagi tubuhnya untuk terlontar kedua kalinya kembali ke seberang.


Akan tetapi agaknya semua itu harus tertunda. Dengan wajah tegang, telinga semua yang hadir disitu tiba-tiba mendengar suara desisan panjang yang sangat keras diiringi letupan-letupan kecil yang sangat nyaring. Suara desisan panjang dan letupan nyaring itu terjadi berulang kali sehingga menimbulkan keriuhan yang menyakiti telinga yang mendengarnya.


Bersamaan dengan itu, mata mereka semua melihat betapa rumpun bambu kuning itu kini dipenuhi oleh asap hitam dank kabut putih yang bergerak berputar-putar saling menindih. Dalam sekejab asap hitam dan kabut putih itu menjadi tebal dan kini terdengar pula suara gemeresak yang semakin menambah riuhnya udara di tepian sungai itu.


Tiba-tiba saja wajah Pandan Wangi menegang, sambil menggeram ia kemudian berkata kepada anaknya - ,”Gilang, jangan perdulikan yang lain dulu, kita harus melaksanakan rencana kita tanpa ditunda lagi. Persiapkan dirimu sekarang juga”


Mendengar suara ibundanya yang sedemikian bersungguh-sungguh itu, tanpa membantah Gilang segera memusatkan segala perhatiannya atas apa yang akan dilakukannya nanti. Sesaat kemudian Pandan Wangi bahkan sudah mengangkat tangan kanannya ke arah Kiai Garda yang mengisyaratkan agar ia kembali melemparkan sebuah batu sesuai rencana.


Demikianlah, ditengah ketegangan yang sangat mencekam akibat hadirnya asap hitam dan kabut putih yang saling menindih serta riuhnya suara yang muncul, Kiai Garda kembali melontarkan sebuah batu ke udara dengan sasaran sekitar pertengahan lebar sungai. Disaat yang tepat, Pandan Wangi segera melesat dan melenting cepat sambil menyambar lengan Gilang untuk kemudian memapaki sambaran angin batu kali itu dari arah agak menyamping.


Kejadian itupun kembali terulang, dengan meminjam sambaran angin yang kuat akibat lemparan batu Kiai Garda, tubuh Pandan Wangi terlontar dengan sangat cepat menuju seberang sungai. Bahkan kali ini gerak Pandan Wangi terlihat lebih cepat dari sebelumnya.


Sesaat setelah mendapat pijakan angin keras itu tangan Pandan Wangi terlihat memegang lengan Gilang dengan sangat erat sebelum kemudian melontarkan tubuh Gilang itu kearah tepian seberang mendahului gerak tubuhnya sendiri.


Tubuh Gilang terlontar kedepan, melayang di atas sungai menuju tepian seberang. Ia melayang dengan arah kesamping, sedikit dibelakang Swandaru yang masih duduk dengan lunglai. Ketika berjarak sekitar dua tombak, Gilang yang sengaja menajamkan kedua matanya segera bisa melihat titik-titik atau noda  warna hitam di belakang telinga kiri ayahnya itu.


“Inilah sasaran bidikku”,- desis Gilang dalam hati.


Semua kejadian itu terjadi dalam waktu yang sangat-sangat cepat, termasuk luncuran tubuh Gilang, ketepatan mata Gilang dalam melihat noda hitam dibelakang telinga Swandaru serta keputusannya untuk mengunci sasaran. Semuanya terjadi dalam sekelebatan pikiran yang bisa dikatakan teramat cepat, atau seharusnya ada istilah lain yang bisa mewakili apa yang disebut lebih cepat dari kata cepat itu sendiri.


Sambil melayang di udara, tangan kanan Gilang segera terayun dan meluncurlah sepotong bambu kuning pethuk rose secepat tatit di udara.


Ki Widura, Kiai Garda dan bahkan Pandan Wangi yang masih melayang diudara itu bisa melihat betapa bambu kuning itu meluncur dengan cepat dan deras menuju sasarannya. Swandaru sendiri seolah tidak menyadari akan adanya lemparan yang sengaja menyerangnya itu, ia tetap tertunduk tanpa bergerak sama sekali.


Akan tetapi sebelum luncuran bambu kuning itu mengenai sasarannya, disaat Pandan Wangi dan Gilang masih melayang diudara, tiba-tiba suasana di tepian sungai Belehan itu kembali diguncang oleh sebuah ledakan yang teramat dahsyat. Suara ledakan itu jauh lebih dahsyat dari suara-suara yang terdengar sebelumnya dan bahkan membuat jantung mereka yang berdiri disitu seperti di guncang-guncang. Swandaru yang terduduk tanpa bergerak itu bahkan terperanjat sehingga tubuhnya terloncat ke atas meskipun hanya sesaat.

Dua lingkaran pertarungan yang terjadi antara Sekar Mirah dan Ki Sindupati dengan masing-masing lawannya bahkan berhenti dengan mendadak. Hentakan dan kejutan yang terjadi itu membuat mereka melontarkan diri ke belakang untuk menahan kejutan yang muncul serta agar bisa mempersiapkan diri lebih baik.



Sementara sambil melayang diudara Pandan Wangi merasakan jantungnya berguncang hebat. Hatinya menjadi semakin pepat karena kejadian yang terjadi berturut-turut itu pastilah menyangkut keberadaan dua orang laki-laki yang menempati hatinya secara khusus. Yang satu adalah suaminya yang kini sedang membutuhkan pertolongannya, sementara yang satu lagi adalah Agung Sedayu yang selama ini justru selalu menolongnya.


Tanpa disadari, punggung Pandan Wangi kembali terasa basah kuyup oleh keringat.



Salam,

Ries

No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...