BALADA
SWANDARU GENI
Bab V: Ajaran Untuk Pulang
Babak – 03
Ketika
kecepatan pusaran angin itu mencapai puncaknya, dengan cepat sekali tiba-tiba
Agung Sedayu mengendalikan pusaran itu untuk masuk dan menusuk ke dasar
tempuran sungai Belehan. Gerakan dengan tenaga dahsyat dan mendadak itu tak
pelak membuat permukaan air di tempuran sungai Belehan itu seperti tersibak
atau bahkan terbelah. Gelombang air itu kemudian naik keatas dan bahkan
membentuk semacam dinding yang berbentuk lingkaran yang berputar secara terus menerus
seiring pusaran angin itu. Gabungan suara menderu-deru dengan gelombang air
yang tersibak itu sangat mencekam siapapun yang mendengarnya dan sungguh sulit
digambarkan dengan kata-kata.
Kiai Garda mencoba
mengetrapkan ajian Sapta Pandulu hingga ke puncaknya, akan tetapi ia harus
mengakui bahwa kemampuannya tidak berhasil menembus dan melihat apa yang
terjadi di balik dinding air yang berputar itu. Hanya saja panggraita Kiai
Garda meyakini dan bisa merasakan betapa kekuatan angin pusaran itu kini tengah
menyisir dan kemudian mengaduk-aduk apa yangada di dasar tempuran sungai itu.
Dengan kekuatan yang sedemikian dahsyat, rasanya semua yang ada didasar itu
akan terenggut dan ibaratnya tidak ada sebutir kerikilpun yang akan
terlewatkan.
Sesaat
kemudian, mata Kiai Garda segera menangkap betapa dari dalam pusaran air yang
berputar itu berhamburanlah lumpur bercampur pasir yang terlempar naik ke udara
lalu jatuh kembali kepermukaan air diluar pusaran itu. Tanah berlumpur serta
pasir berwarna coklat kehitaman itu berhamburan terus menerus kearah dimana
Agung Sedayu dan Kiai Garda berdiri dan jatuh di tepian sungai sekitar dua
tombak didepan mereka.
Kiai Garda
segera mempersiapkan diri, ia menarik nafas dalam-dalam dengan sangat lembut
melalui lubang hidungnya. Tubuhnya sedikit merendah dan kaki kiri-nya bergeser
kedepan setengah langkah. Kedua tangannya bergerak pelan didepan dada dan
membentuk sebuah lingkaran yang diulang beberapa kali. Dengan cara ini, Kiai
Garda sedang menebarkan tenaga cadangannya melalui pampatnya udara disekitarnya
serta membuat sebuah dinding yang tidak kasat mata yang akan melindungi mereka dari
terpaan benda apapun.
Sementara
itu, meskipun mata Agung Sedayu terpaku pada pusaran angin dan pusaran air di
atas tempuran sungai, akan tetapi dengan sudut matanya ia melihat bahwa Kiai
Garda sudah mempersiapkan diri. Karena itu beberapa saat kemudian, Agung Sedayu
segera menambah dan menghentakkan kekuatan yang lebih besar sehingga berhamburanlah
lumpur bercampur pasir hitam itu dengan lebih banyak, lebih deras dan lebih
jauh jangkauannya menuju kearah mereka berdua.
Dari jarak
yang agak jauh, Ki Widura, Sekar Mirah, Pandan Wangi dan Gilang bisa melihat
betapa air yang bercampur dengan lumpur, pasir dan bahkan kini juga ada kerikilnya
itu terlontar naik dari dalam pusaran lalu dengan cepat menggerojok kearah tepian.
Air itu kini berwarna pekat dan bahkan sedikit padat karena banyaknya lumpur,
pasir dan kerikil di dalamnya dan dengan derasnya meluncur hendak menghantam
dan mengubur Agung Sedayu dan Kiai Garda yang tetap berdiri ditempatnya.
Hampir saja
mulut Gilang berteriak untuk memperingatkan kedua pamannya yang seolah tidak
tahu bahaya itu. Akan tetapi matanya kemudian terbelalak ketika melihat betapa
air atau lumpur kehitaman yang pekat dan padat itu seolah tertahan atau membentur
sebuah dinding yang tidak terlihat lalu kemudian berhamburan jatuh ke tanah, sekitar
satu tombak dari tempat Agung Sedayu dan Kiai Garda berdiri. Gelombang air pekat
itu masih meluncur terus menerus dan menghantam dinding yang tidak kasat mata
itu seolah tidak berhenti.
Beberapa
saat kemudian mata Gilang bahkan sempat menangkap adanya sebuah benda padat
berwarna hitam yang juga ikut terbawa arus gelombang luncuran dan kemudian menghantam
dinding yang dibuat Kiai Garda itu.
Setelah itu
secara perlahan-lahan gelombang luncuran lumpur padat itu mengecil dan bahkan
kemudian berhenti seiring hilangnya pusaran air dan juga pusaran angin yang tadi
ada di atas tempuran sungai Belehan itu. Suara-suara gemuruh yang sangat
mendirikan bulu roma juga sudah tidak terdengar lagi dan suasana di tepian
sungai itu berangsur-angsur kembali normal.
Agung Sedayu
dan Kiai Garda terlihat maju beberapa langkah dari tempat mereka berdiri dan bahkan
kemudian berjongkok. Dihadapannya ada timbunan lumpur yang bercampur dengan pasir
dan kerikil yang berhamburan. Diantara itu semua, mata kedua orang itu menatap
sesosok tubuh manusia yang tergolek diam tak bergerak.
Sosok tubuh
yang tergolek diam itu bercampur atau dilumuri lumpur pekat sehingga semua
bagian tubuhnya juga terlihat berwarna hitam. Rambutnya yang panjang terlihat
menggimbal sementara dari sisi samping kiri, Kiai Garda bisa melihat bahwa
dikepala sosok tubuh itu tersangkut sebuah mahkota yang terbuat dari emas meskipun
sebagian sudah pula dikotori lumpur hitam. Di bagian depan mahkota itu
berhiaskan sebuah ukiran berbentuk ular yang sedang menggulung tubuhnya sementara
kepala ular itu tegak dengan tatapan mata dingin menakutkan.
Tetapi
perhatian Kiai Garda teralih di bagian dada sebelah kiri sosok tubuh itu,
dimana sebuah potongan kecil bambu kuning yang agak panjang ternyata telah menusuk
jantungnya hingga tembus ke belakang.
“Agaknya
tusukan bambu kuning pethuk ros-e inilah yang telah mengakhiri hidup Resi
Kegelapan ini”, - desis Kiai Garda dalam hati.
Meskipun hanya
sekilas, Kiai Garda melihat pula betapa kulit tubuh orang yang tergolek itu
dipenuhi beberapa bilur-bilur yang warnanya lebih gelap seolah menampakkan adanya
beberapa luka cambuk.
“Orang ini mampu
melindungi tubuhnya dengan ilmu kebal yang cukup sempurna, sehingga cambuk Ki
Agung Sedayu tidak mampu melukai kulitnya. Akan tetapi pastilah cambuk itu
telah meremukkan tulang dan bagian-bagian dalam tubuhnya”, - diam-diam Kiai
Garda membuat penilaian sendiri.
Sementara
Agung Sedayu yang juga berjongkok disebelah Kiai Garda terdengar berdesis pelan
- ,”Aku tidak mempunyai pilihan lain Kiai, orang ini mempunyai ilmu teramat
tinggi dan sangat aneh. Hampir saja aku dikelabuhi oleh bentuk wadagnya yang mampu
berubah dalam sekejab dan sulit dikenali meskipun aku sudah mengetrapkan ajian
sapta panggraita”
Kiai Garda
terlihat mengerutkan keningnya - ,”Bagaimanakah ia merubah bentuk wadagnya dan
bagaimana mungkin Ki Agung Sedayu hampir dikelabuhi?”
Agung Sedayu
menarik nafas dalam-dalam, diam-diam ia mengucap syukur ke hadapan Yang Maha
Agung karena telah memberinya kesempatan untuk tetap bertahan hidup dan bahkan
akhirnya keluar dari pertarungan yang mencekam itu.
“Kiai,
sesungguhnyalah aku mempercayai bahwa diatas langit masih ada langit. Adalah
salah jika aku merasa terlalu bangga dengan ilmu-ilmu yang selama ini sudah aku
miliki, akan tetapi kenyataannya aku hampir saja tumbang dan tidak bisa menahan
gempuran Resi Kali Belehan yang ternyata mampu merubah dirinya menjadi berbagai
bentuk dalam waktu sekejab”, - Agung
Sedayu berhenti sejenak sebelum kemudian melanjutkan kalimatnya dengan nada
rendah - ,”Aku tidak gentar atau takut ketika ia merubah dirinya menjadi
makhluk hitam yang sangat menyeramkan, lebih menyeramkan dari makhluk
Onggo-Inggi itu. Lalu dalam sekejab ia merubah dirinya menjadi perempuan cantik
yang sangat menggoda dengan pakaian yang terbuka. Di kali lain, ia berubah
bagaikan seorang satria atau bahkan maharaja dengan pakaian serba gemerlap dan
sikap yang sangat berwibawa. Aku masih bisa melayaninya dengan baik dan bahkan
mendesaknya dengan serangan-seranganku. Akan tetapi, perubahan wujudnya yang
terakhir membuat hatiku begitu tercekat dan bahkan kemudian hampir-hampir melemahkan
seluruh perlawananku”
Kiai Garda
mengerutkan keningnya lebih dalam, dilihatnya Agung Sedayu itu menundukkan
kepalanya seolah sedang menelan perasaan yang tadi mengganggunya. Dengan
hati-hati Kiai Garda itu kemudian menyela dan menebak - ,”Pastilah kegoncangan
hati Ki Agung Sedayu itu terjadi karena Resi itu berubah menjadi seseorang yang
sedemikian dekat di hati Ki Agung Sedayu”.
Agung Sedayu
menoleh sambil memandangi wajah Kiai Garda - ,”Tidak salah Kiai, dan tahukah
Kiai ia berubah menjadi wujud seperti apa?”
Kiai Garda
menggelengkan kepalanya pelan - ,”Tentu aku tidak tahu Ki”
“Ia berubah
menjadi seseorang yang selama ini membimbing dan melindungiku. Seseorang yang sangat
aku hormati, yang menganggap semua orang adalah keluarganya sementara ia
sendiri tidak pernah berkeluarga. Seseorang yang telah mengabdikan hidupnya
untuk membantu sesama dalam lingkup yang kecil sebagai seorang tabib, akan tetapi
dalam lingkup besar, sumbang sih-nya telah membantu berdirinya sebuah kerajaan
yang bernama Mataram ini”, - suara Agung Sedayu terdengar merendah.
“Ah”, - kini
Kiai Garda ikut mendesah - ,”Apakah beliau guru Kiai Gringsing?”
“Selama ini
sikap dan petunjuk Guru memang menjadi acuan dan panutan hidupku Kiai, dan akhir-akhir
ini kerinduanku akan kehadiran Guru sebenarnya sangat membuncah. Apalagi
melihat tingkah laku adi Swandaru yang sering membuatku mengelus dada. Jika
saja guru sempat melihatnya, aku tidak bisa membayangkan betapa sedihnya hati
orang-tua itu”, - suara Agung Sedayu terdengar prihatin, sehingga perasaan Kiai
Garda ikut merinding karenanya.
Kiai Garda
yang sedikit banyak sudah mengetahui persoalan diantara kakak-beradik
seperguruan itu ikut menarik nafas dalam-dalam. Terbesit sebuah kekaguman atas
kesabaran yang dimiliki oleh Agung Sedayu dalam menaggapi persoalan diantara
mereka. Agaknya itulah cermin sikap dari ajaran gurunya Kiai Gringsing.
“Lalu
bagaimana Ki Agung Sedayu bisa terlepas dari cengkeraman perasaan itu”, - Kiai
Garda sengaja mengajukan sebuah pertanyaan untuk mengalihkan perasaan Agung
Sedayu yang sedang peka itu.
“Aku hampir
saja terlena dalam sikap cengeng Kiai, dan itu hampir saja berakibat fatal pada
diriku. Lihatlah Kiai”, - Agung Sedayu tiba-tiba saja menyingkap baju bagian
atas dan menunjukkan kepada Kiai Garda pundak kiri bagian atasnya yang terlihat
membiru -,”Resi itu mampu mengguncangkan perlindungan ilmu kebalku dan bahkan
menyarangkan pukulan beracun yang membuat seluruh kulit tubuh dan darahku
terasa gatal”
Kiai Garda
bergeser mendekat, sebagai seorang ahli pengobatan ia ingin meneliti luka
akibat pukulan beracun itu. Keningnya terlihat berkerut dalam sebelum kemudian
ia berkata pelan - ,”Racun itu agaknya telah berhenti menyebar Ki, agaknya Yang
Maha Agung memberi karunia tubuh yang bebas dari segala macam jenis racun pada
Ki Agung Sedayu”
Agung Sedayu
menarik nafas dalam-dalam - ,”Sebuah karunia yang wajib aku syukuri Kiai”
“Tetapi Ki
Agung Sedayu belum menjelaskan bagaimana caranya bisa terlepas dari cengkeraman
perasaan itu”, - Kiai Garda mengejar jawaban dari pertanyaan sebelumnya.
“Sesungguhnya
kesadaran itu muncul dengan tiba-tiba Kiai, sesaat setelah terkena pukulan
beracun itu tubuhku terpental jauh ke belakang. Disaat itu pula aku melihat dan
mendengar teriakan Pandan Wangi yang agaknya sedang meloncat melintasi sungai
sambil menggandeng Gilang. Agaknya teriakan Pandan Wangi dan pemandangan yang sempat kutangkap itu telah
menyadarkan diriku agar segera bertindak tanpa ditunda lagi. Jika aku mati
terkapar karena tindakan Resi Belehan, lalu bagaimana dengan nasib yang
lain-lain, terutama Gilang yang masih bocah itu?”
Salam,
Ries
No comments:
Post a Comment