Tuesday, August 22, 2017

BSG - BAB.V - AUP - Babak-03

BALADA SWANDARU GENI
Bab V: Ajaran Untuk Pulang
Babak – 03



Ketika kecepatan pusaran angin itu mencapai puncaknya, dengan cepat sekali tiba-tiba Agung Sedayu mengendalikan pusaran itu untuk masuk dan menusuk ke dasar tempuran sungai Belehan. Gerakan dengan tenaga dahsyat dan mendadak itu tak pelak membuat permukaan air di tempuran sungai Belehan itu seperti tersibak atau bahkan terbelah. Gelombang air itu kemudian naik keatas dan bahkan membentuk semacam dinding yang berbentuk lingkaran yang berputar secara terus menerus seiring pusaran angin itu. Gabungan suara menderu-deru dengan gelombang air yang tersibak itu sangat mencekam siapapun yang mendengarnya dan sungguh sulit digambarkan dengan kata-kata.


Kiai Garda mencoba mengetrapkan ajian Sapta Pandulu hingga ke puncaknya, akan tetapi ia harus mengakui bahwa kemampuannya tidak berhasil menembus dan melihat apa yang terjadi di balik dinding air yang berputar itu. Hanya saja panggraita Kiai Garda meyakini dan bisa merasakan betapa kekuatan angin pusaran itu kini tengah menyisir dan kemudian mengaduk-aduk apa yangada di dasar tempuran sungai itu. Dengan kekuatan yang sedemikian dahsyat, rasanya semua yang ada didasar itu akan terenggut dan ibaratnya tidak ada sebutir kerikilpun yang akan terlewatkan.


Sesaat kemudian, mata Kiai Garda segera menangkap betapa dari dalam pusaran air yang berputar itu berhamburanlah lumpur bercampur pasir yang terlempar naik ke udara lalu jatuh kembali kepermukaan air diluar pusaran itu. Tanah berlumpur serta pasir berwarna coklat kehitaman itu berhamburan terus menerus kearah dimana Agung Sedayu dan Kiai Garda berdiri dan jatuh di tepian sungai sekitar dua tombak didepan mereka.


Kiai Garda segera mempersiapkan diri, ia menarik nafas dalam-dalam dengan sangat lembut melalui lubang hidungnya. Tubuhnya sedikit merendah dan kaki kiri-nya bergeser kedepan setengah langkah. Kedua tangannya bergerak pelan didepan dada dan membentuk sebuah lingkaran yang diulang beberapa kali. Dengan cara ini, Kiai Garda sedang menebarkan tenaga cadangannya melalui pampatnya udara disekitarnya serta membuat sebuah dinding yang tidak kasat mata yang akan melindungi mereka dari terpaan benda apapun.


Sementara itu, meskipun mata Agung Sedayu terpaku pada pusaran angin dan pusaran air di atas tempuran sungai, akan tetapi dengan sudut matanya ia melihat bahwa Kiai Garda sudah mempersiapkan diri. Karena itu beberapa saat kemudian, Agung Sedayu segera menambah dan menghentakkan kekuatan yang lebih besar sehingga berhamburanlah lumpur bercampur pasir hitam itu dengan lebih banyak, lebih deras dan lebih jauh jangkauannya menuju kearah mereka berdua.


Dari jarak yang agak jauh, Ki Widura, Sekar Mirah, Pandan Wangi dan Gilang bisa melihat betapa air yang bercampur dengan lumpur, pasir dan bahkan kini juga ada kerikilnya itu terlontar naik dari dalam pusaran lalu dengan cepat menggerojok kearah tepian. Air itu kini berwarna pekat dan bahkan sedikit padat karena banyaknya lumpur, pasir dan kerikil di dalamnya dan dengan derasnya meluncur hendak menghantam dan mengubur Agung Sedayu dan Kiai Garda yang tetap berdiri ditempatnya.


Hampir saja mulut Gilang berteriak untuk memperingatkan kedua pamannya yang seolah tidak tahu bahaya itu. Akan tetapi matanya kemudian terbelalak ketika melihat betapa air atau lumpur kehitaman yang pekat dan padat itu seolah tertahan atau membentur sebuah dinding yang tidak terlihat lalu kemudian berhamburan jatuh ke tanah, sekitar satu tombak dari tempat Agung Sedayu dan Kiai Garda berdiri. Gelombang air pekat itu masih meluncur terus menerus dan menghantam dinding yang tidak kasat mata itu seolah tidak berhenti.


Beberapa saat kemudian mata Gilang bahkan sempat menangkap adanya sebuah benda padat berwarna hitam yang juga ikut terbawa arus gelombang luncuran dan kemudian menghantam dinding yang dibuat Kiai Garda itu.


Setelah itu secara perlahan-lahan gelombang luncuran lumpur padat itu mengecil dan bahkan kemudian berhenti seiring hilangnya pusaran air dan juga pusaran angin yang tadi ada di atas tempuran sungai Belehan itu. Suara-suara gemuruh yang sangat mendirikan bulu roma juga sudah tidak terdengar lagi dan suasana di tepian sungai itu berangsur-angsur kembali normal.


Agung Sedayu dan Kiai Garda terlihat maju beberapa langkah dari tempat mereka berdiri dan bahkan kemudian berjongkok. Dihadapannya ada timbunan lumpur yang bercampur dengan pasir dan kerikil yang berhamburan. Diantara itu semua, mata kedua orang itu menatap sesosok tubuh manusia yang tergolek diam tak bergerak.


Sosok tubuh yang tergolek diam itu bercampur atau dilumuri lumpur pekat sehingga semua bagian tubuhnya juga terlihat berwarna hitam. Rambutnya yang panjang terlihat menggimbal sementara dari sisi samping kiri, Kiai Garda bisa melihat bahwa dikepala sosok tubuh itu tersangkut sebuah mahkota yang terbuat dari emas meskipun sebagian sudah pula dikotori lumpur hitam. Di bagian depan mahkota itu berhiaskan sebuah ukiran berbentuk ular yang sedang menggulung tubuhnya sementara kepala ular itu tegak dengan tatapan mata dingin menakutkan.


Tetapi perhatian Kiai Garda teralih di bagian dada sebelah kiri sosok tubuh itu, dimana sebuah potongan kecil bambu kuning yang agak panjang ternyata telah menusuk jantungnya hingga tembus ke belakang.


“Agaknya tusukan bambu kuning pethuk ros-e inilah yang telah mengakhiri hidup Resi Kegelapan ini”, - desis Kiai Garda dalam hati.


Meskipun hanya sekilas, Kiai Garda melihat pula betapa kulit tubuh orang yang tergolek itu dipenuhi beberapa bilur-bilur yang warnanya lebih gelap seolah menampakkan adanya beberapa luka cambuk.

“Orang ini mampu melindungi tubuhnya dengan ilmu kebal yang cukup sempurna, sehingga cambuk Ki Agung Sedayu tidak mampu melukai kulitnya. Akan tetapi pastilah cambuk itu telah meremukkan tulang dan bagian-bagian dalam tubuhnya”, - diam-diam Kiai Garda membuat penilaian sendiri.


Sementara Agung Sedayu yang juga berjongkok disebelah Kiai Garda terdengar berdesis pelan - ,”Aku tidak mempunyai pilihan lain Kiai, orang ini mempunyai ilmu teramat tinggi dan sangat aneh. Hampir saja aku dikelabuhi oleh bentuk wadagnya yang mampu berubah dalam sekejab dan sulit dikenali meskipun aku sudah mengetrapkan ajian sapta panggraita”


Kiai Garda terlihat mengerutkan keningnya - ,”Bagaimanakah ia merubah bentuk wadagnya dan bagaimana mungkin Ki Agung Sedayu hampir dikelabuhi?”


Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam, diam-diam ia mengucap syukur ke hadapan Yang Maha Agung karena telah memberinya kesempatan untuk tetap bertahan hidup dan bahkan akhirnya keluar dari pertarungan yang mencekam itu.


“Kiai, sesungguhnyalah aku mempercayai bahwa diatas langit masih ada langit. Adalah salah jika aku merasa terlalu bangga dengan ilmu-ilmu yang selama ini sudah aku miliki, akan tetapi kenyataannya aku hampir saja tumbang dan tidak bisa menahan gempuran Resi Kali Belehan yang ternyata mampu merubah dirinya menjadi berbagai bentuk dalam waktu sekejab”, -  Agung Sedayu berhenti sejenak sebelum kemudian melanjutkan kalimatnya dengan nada rendah - ,”Aku tidak gentar atau takut ketika ia merubah dirinya menjadi makhluk hitam yang sangat menyeramkan, lebih menyeramkan dari makhluk Onggo-Inggi itu. Lalu dalam sekejab ia merubah dirinya menjadi perempuan cantik yang sangat menggoda dengan pakaian yang terbuka. Di kali lain, ia berubah bagaikan seorang satria atau bahkan maharaja dengan pakaian serba gemerlap dan sikap yang sangat berwibawa. Aku masih bisa melayaninya dengan baik dan bahkan mendesaknya dengan serangan-seranganku. Akan tetapi, perubahan wujudnya yang terakhir membuat hatiku begitu tercekat dan bahkan kemudian hampir-hampir melemahkan seluruh perlawananku”


Kiai Garda mengerutkan keningnya lebih dalam, dilihatnya Agung Sedayu itu menundukkan kepalanya seolah sedang menelan perasaan yang tadi mengganggunya. Dengan hati-hati Kiai Garda itu kemudian menyela dan menebak - ,”Pastilah kegoncangan hati Ki Agung Sedayu itu terjadi karena Resi itu berubah menjadi seseorang yang sedemikian dekat di hati Ki Agung Sedayu”.


Agung Sedayu menoleh sambil memandangi wajah Kiai Garda - ,”Tidak salah Kiai, dan tahukah Kiai ia berubah menjadi wujud seperti apa?”


Kiai Garda menggelengkan kepalanya pelan - ,”Tentu aku tidak tahu Ki”


“Ia berubah menjadi seseorang yang selama ini membimbing dan melindungiku. Seseorang yang sangat aku hormati, yang menganggap semua orang adalah keluarganya sementara ia sendiri tidak pernah berkeluarga. Seseorang yang telah mengabdikan hidupnya untuk membantu sesama dalam lingkup yang kecil sebagai seorang tabib, akan tetapi dalam lingkup besar, sumbang sih-nya telah membantu berdirinya sebuah kerajaan yang bernama Mataram ini”, - suara Agung Sedayu terdengar merendah.


“Ah”, - kini Kiai Garda ikut mendesah - ,”Apakah beliau guru Kiai Gringsing?”


“Selama ini sikap dan petunjuk Guru memang menjadi acuan dan panutan hidupku Kiai, dan akhir-akhir ini kerinduanku akan kehadiran Guru sebenarnya sangat membuncah. Apalagi melihat tingkah laku adi Swandaru yang sering membuatku mengelus dada. Jika saja guru sempat melihatnya, aku tidak bisa membayangkan betapa sedihnya hati orang-tua itu”, - suara Agung Sedayu terdengar prihatin, sehingga perasaan Kiai Garda ikut merinding karenanya.


Kiai Garda yang sedikit banyak sudah mengetahui persoalan diantara kakak-beradik seperguruan itu ikut menarik nafas dalam-dalam. Terbesit sebuah kekaguman atas kesabaran yang dimiliki oleh Agung Sedayu dalam menaggapi persoalan diantara mereka. Agaknya itulah cermin sikap dari ajaran gurunya Kiai Gringsing.


“Lalu bagaimana Ki Agung Sedayu bisa terlepas dari cengkeraman perasaan itu”, - Kiai Garda sengaja mengajukan sebuah pertanyaan untuk mengalihkan perasaan Agung Sedayu yang sedang peka itu.


“Aku hampir saja terlena dalam sikap cengeng Kiai, dan itu hampir saja berakibat fatal pada diriku. Lihatlah Kiai”, - Agung Sedayu tiba-tiba saja menyingkap baju bagian atas dan menunjukkan kepada Kiai Garda pundak kiri bagian atasnya yang terlihat membiru -,”Resi itu mampu mengguncangkan perlindungan ilmu kebalku dan bahkan menyarangkan pukulan beracun yang membuat seluruh kulit tubuh dan darahku terasa gatal”


Kiai Garda bergeser mendekat, sebagai seorang ahli pengobatan ia ingin meneliti luka akibat pukulan beracun itu. Keningnya terlihat berkerut dalam sebelum kemudian ia berkata pelan - ,”Racun itu agaknya telah berhenti menyebar Ki, agaknya Yang Maha Agung memberi karunia tubuh yang bebas dari segala macam jenis racun pada Ki Agung Sedayu”


Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam - ,”Sebuah karunia yang wajib aku syukuri Kiai”


“Tetapi Ki Agung Sedayu belum menjelaskan bagaimana caranya bisa terlepas dari cengkeraman perasaan itu”, - Kiai Garda mengejar jawaban dari pertanyaan sebelumnya.

“Sesungguhnya kesadaran itu muncul dengan tiba-tiba Kiai, sesaat setelah terkena pukulan beracun itu tubuhku terpental jauh ke belakang. Disaat itu pula aku melihat dan mendengar teriakan Pandan Wangi yang agaknya sedang meloncat melintasi sungai sambil menggandeng Gilang. Agaknya teriakan Pandan Wangi dan  pemandangan yang sempat kutangkap itu telah menyadarkan diriku agar segera bertindak tanpa ditunda lagi. Jika aku mati terkapar karena tindakan Resi Belehan, lalu bagaimana dengan nasib yang lain-lain, terutama Gilang yang masih bocah itu?”



Salam,

Ries 

No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...