BALADA
SWANDARU GENI
Bab V: Ajaran Untuk Pulang
Babak – 02
Sementara
Pandan Wangi yang melihat kehadiran Agung Sedayu sedang memeriksa Gilang
memaksakan diri untuk bergeser mendekat. Sudut hatinya yang terdalam mengucap
syukur bahwa Agung Sedayu agaknya telah menyelesaikan tugasnya tanpa cedera
yang berarti, meskipun tubuhnya tampak letih dengan pakaian yang
compang-camping. Akan tetapi di sisi yang lain, ia dipenuhi kecemasan yang
teramat sangat dengan keadaan Gilang sehingga dengan susah payah ia memaksakan
diri untuk terus merangkak dan bergeser mendekat. Tubuhnya terasa sangat lemah
dan sisa-sisa tenaganya seolah tersedot habis oleh rasa keterkejutan dan
kekuatirannya atas kondisi anaknya.
“Gilang!”, -
desahnya lirih sambil berusaha terus bergerak.
Pandan Wangi
terpaksa berhenti sejenak ketika sebuah tangan halus memegang pundaknya sambil
berbisik lemah.
“Tenanglah
Pandan Wangi, biarlah kakang Agung Sedayu melihat keadaan Gilang”, - suara
Sekar Mirah terdengar lirih seolah ia memaksakan tenaga terakhirnya untuk
mengucapkan kalimat itu.
Agung Sedayu
yang sudah selesai memeriksa Gilang itu ternyata kemudian justru melangkah
mendekati Sekar Mirah dan Pandan Wangi. Wajahnya yang meskipun lelah terlihat
tersenyum tipis sehingga menimbulkan ketenangan pada diri kedua perempuan itu.
“Gilang
hanya pingsan dan tidak lama lagi ia pasti terbangun. Sekarang, cobalah untuk
memusatkan nalar-budi sejenak agar bisa memulihkan tenaga kalian berdua”
Agung Sedayu
menyelesaikan kalimatnya sambil membantu Sekar Mirah menemukan tempat yang
nyaman untuk duduk dan melakukan pemusatan nalar-budi. Ada sebuah pohon
nyamlung yang cukup besar ditepian sungai itu meskipun letaknya agak menjorok
ke tebing. Matahari yang sudah mulai turun ke barat itu memberikan naungan yang
cukup bagi mereka untuk berteduh dari sengatan panas.
Setelah itu,
Agung Sedayu melangkah menghampiri Pandan Wangi dan memapahnya untuk bergeser
dan bergabung dengan Sekar Mirah dibawah naungan mahkota daun yang cukup
rindang.
“Marilah
Wangi, sebaiknya kau memperbaiki kondisi tubuh dan memulihkan tenagamu terlebih
dahulu. Aku juga akan mengangkat Gilang sebelum nanti memeriksa pula keadaan
adi Swandaru”
Suara Agung
Sedayu yang lirih itu seolah merupakan sihir bagi Pandan Wangi sehingga ia cenderung
menurut saja ketika kedua tangan Agung Sedayu terulur dan membantunya untuk
melangkah. Dengan tertatih-tatih keduanya kemudian beranjak dan bergeser menuju
bawah pohon nyamlung dimana ternyata Kiai Garda telah membawa Ki Widura duduk
disamping Sekar Mirah. Wajah Ki Widura terlihat pucat sementara jantungnya
berdetak tidak beraturan, akan tetapi sebenarnya kondisinya masih lebih baik di
banding Sekar Mirah maupun Pandan Wangi yang tenaganya memang sudah terkuras
dalam beberapa hari terakhir.
Setelah memberi
saran agar ketiganya memusatkan nalar-budi untuk memulihkan kembali kondisi
tubuhnya, Agung Sedayu kemudian berdesis kepada Kiai Garda.
“Marilah
Kiai, sebaiknya kita bawa semua tubuh-tubuh yang pingsan itu ke bawah pohon
ini”
Kiai Garda
menganggukkan kepalanya tanpa menjawab, hatinya masih diliputi tanda tanya dan
keheranan atas semua peristiwa yang baru saja mereka alami. Dengan cepat
keduanya mengangkat tubuh-tubuh pingsan itu ke bawah pohon nyamplung itu dan
membaringkannya dengan berderet.
Ketika
keduanya selesai memindahkan tubuh-tubuh itu, tidak lama kemudian terdengar
suara mengerang dari Gilang yang berbaring di sebelah Ki Widura. Ternyata
Gilang adalah yang pertama kali siuman, sementara Swandaru dan dua pembantu
dari Resi Belehan itu masih juga belum menampakkan tanda-tanda akan tumbuhnya
kesadaran.
Dengan cepat
Kiai Garda, mengambil sebuah ramuan yang agak kental dari ikat pinggangnya dan
kemudian memborehkannya ke dada dan leher Gilang. Ramuan itu menebar bau yang
cukup harum serta mampu menumbuhkan kesadaran dengan lebih cepat. Setelah
mengerang beberapa kali ternyata sesaat kemudian Gilang bahkan sudah membuka
matanya dan berusaha duduk. Ia mengedarkan pandangan matanya sambil mengerutkan
keningnya ketika melihat Ibundanya, bibinya Sekar Mirah dan Ki Widura sedang
duduk tegak bersila sambil memejamkan kedua matanya.
Sementara
ada tiga tubuh lain yang terbaring, salah satunya adalah tubuh Ayahnya yang
sedang diperiksa oleh pamannya Agung Sedayu sambil berjongkok. Dengan cepat kesadaran
Gilang pulih, sehingga ia bangkit dan
bahkan melangkah mendekat.
“Bagaimana
keadaan Ayah, paman?”, - tanya Gilang dengan nada kuatir.
Agung Sedayu
menoleh sambil tersenyum.
“Bidikanmu
sungguh luar biasa Gilang”, - kata Agung Sedayu sambil meminta Gilang mendekat
- ,”Lihatlah, noda hitam di belakang telinga Ayahmu kini sudah lenyap meskipun
sebagai gantinya kini bagian itu terluka dan berdarah akibat bidikan bambu
kuningmu. Hilangnya noda hitam itu akan lebih memudahkan kita untuk melepaskan
seluruh pengaruh buruk yang pernah ada. Apalagi, penguasa sungai itu juga sudah
tidak ada lagi”
Gilang
sekali lagi terlihat mengerutkan keningnya, sementara justru ada suara lain
yang mengajukan kepada Agung Sedayu.
“Apa yang
terjadi dan dimanakan sekarang Resi Kali Belehan itu Ki?”
Suara dan
pertanyaan itu ternyata datangnya dari Kiai Garda. Agaknya ia memendam rasa
penasaran yang besar sehingga ketika ada kesempatan, segera diajukannya
pertanyaan yang membelit perasaannya itu.
Agung Sedayu
menarik nafas dalam-dalam, sebelum kemudian menjawab pertanyaan Kiai Garda itu
- ,“Aku memang ingin mengajak Kiai Garda untuk melihat keadaan Resi Belehan
itu, tetapi kita tunggu sejenak sampai paman Widura dan yang lainnya
menyelesaikan pemusatan nalar-budinya”
Kiai Garda
menganggukkan kepalanya, saat ini mereka berdua memang tidak mungkin meninggalkan
tempatnya. Agaknya Agung Sedayu memang memperhatikan segala hal hingga
bagian-bagian yang terkecil.
“Pantaslah,
ia adalah adik dari Ki Temunggung Untara yang sangat terkenal dalam menyusun
strategi dan siasat perang. Agaknya keluarga Ki Agung Sedayu memang merupakan
orang-orang pilihan”, - desis Kiai Garda dalam hati.
Beberapa
saat kemudian ternyata Ki Widura, Pandan Wangi dan Sekar Mirah sudah
menyelesaikan pemusatan nalar-budinya hampir pada saat yang bersamaan. Meskipun
tenaganya belum pulih sepenuhnya, akan tetapi mereka merasakan tubuhnya lebih segar dan sudah bisa bergerak
sebagaimana biasanya.
Saat itulah
kemudian Agung Sedayu mengajak Kiai Garda untuk bergeser beberapa puluh tombak dari
pohon nyamlung itu, justru kembali mendekati rumpun bambu kuning yang sekarang
kondisinya porak poranda. Batang-batang bambu itu roboh tidak beraturan dengan
daun yang hampir-hampir gundul. Akan tetapi akar pohon bambu itu masih kokoh
tertancap ditanah sehingga dalam beberapa bulan ke depan rumpun bambu itu pasti
akan kembali tumbuh dengan subur. Sangat berbeda dengan kondisi dua pohon
beringin raksasa yang tumbuh di seberang, dimana batang utamanya telah hangus
menghitam serta kondisinya miring dengan akar yang sudah tercerabut sebagian.
“Aku mohon
Kiai Garda bisa membantu”, - desis Agung Sedayu.
Kiai Garda
mengerutkan keningnya karena kurang memahami perkataan Agung Sedayu. Akan
tetapi setelah Agung Sedayu memberi penjelasan sekilas, ia segera mengangguk
dan mempersiapkan diri.
Sesaat
kemudian, dari samping kiri Agung Sedayu tiba-tiba muncul angin pusaran angin
kecil yang bergerak berputar-putar. Pusaran itu seolah muncul begitu saja dan
kemudian bergeser ketepian serta hendak menyeberangi sungai Belehan itu.
Pusaran yang awalnya hanya kecil itu semakin lama semakin membesar dan bergerak
diatas permukaan air sungai.
Kiai Garda
menunjukkan wajah tegang, ia melihat Agung Sedayu hanya menyilangkan kedua
tangannya di dada atau bersedekap. Akan tetapi mata Agung Sedayu menatap tajam
pada pusaran angin yang awalnya kecil dan kini berubah semakin lama semakin
besar. Angin pusaran yang terus membesar itu bahkan kemudian menimbulkan riak-riak
air permukaan sungai itu bergelombang.
Pusaran yang
terus membesar itu kini bergerak menuju tengah dan berhenti ketika berada tepat
diatas pertemuan arus air atau yang disebut dengan Tempuran Kali Belehan. Pusaran
angin itu tidak lagi bergeser, akan tetapi terus berputar semakin lama semakin meraksasa
dan menimbulkan suara menderu-deru mengerikan.
Permukaan
air dibawah pusaran angin raksasa itu bergolak semakin keras dan menimbulkan
suara bergelombang. Kini permukaan air itu bagaikan diaduk oleh tangan-tangan
raksasa sehingga terjadilah ombak dan gelombang yang membesar dan bahkan
terangkat tinggi oleh pusaran angin raksasa itu
Kiai Garda
merasakan udara di sekitar Kali Belehan itu kini kembali mencekam dan mematikan
seluruh indra serta perasaannya. Pusaran angin raksasa itu terus mengaduk-aduk
tempuran sungai dan mengangkat tinggi air dibawahnya sehingga muncullah
gelombang ombak dengan suara yang bergemuruh dan menderu-deru.
Salam,
Ries
No comments:
Post a Comment