Saturday, August 19, 2017

BSG - BAB.V. - AUP - Babak-02

BALADA SWANDARU GENI
Bab V: Ajaran Untuk Pulang
Babak – 02



Sementara Pandan Wangi yang melihat kehadiran Agung Sedayu sedang memeriksa Gilang memaksakan diri untuk bergeser mendekat. Sudut hatinya yang terdalam mengucap syukur bahwa Agung Sedayu agaknya telah menyelesaikan tugasnya tanpa cedera yang berarti, meskipun tubuhnya tampak letih dengan pakaian yang compang-camping. Akan tetapi di sisi yang lain, ia dipenuhi kecemasan yang teramat sangat dengan keadaan Gilang sehingga dengan susah payah ia memaksakan diri untuk terus merangkak dan bergeser mendekat. Tubuhnya terasa sangat lemah dan sisa-sisa tenaganya seolah tersedot habis oleh rasa keterkejutan dan kekuatirannya atas kondisi anaknya.


“Gilang!”, - desahnya lirih sambil berusaha terus bergerak.


Pandan Wangi terpaksa berhenti sejenak ketika sebuah tangan halus memegang pundaknya sambil berbisik lemah.


“Tenanglah Pandan Wangi, biarlah kakang Agung Sedayu melihat keadaan Gilang”, - suara Sekar Mirah terdengar lirih seolah ia memaksakan tenaga terakhirnya untuk mengucapkan kalimat itu.


Agung Sedayu yang sudah selesai memeriksa Gilang itu ternyata kemudian justru melangkah mendekati Sekar Mirah dan Pandan Wangi. Wajahnya yang meskipun lelah terlihat tersenyum tipis sehingga menimbulkan ketenangan pada diri kedua perempuan itu.


“Gilang hanya pingsan dan tidak lama lagi ia pasti terbangun. Sekarang, cobalah untuk memusatkan nalar-budi sejenak agar bisa memulihkan tenaga kalian berdua”


Agung Sedayu menyelesaikan kalimatnya sambil membantu Sekar Mirah menemukan tempat yang nyaman untuk duduk dan melakukan pemusatan nalar-budi. Ada sebuah pohon nyamlung yang cukup besar ditepian sungai itu meskipun letaknya agak menjorok ke tebing. Matahari yang sudah mulai turun ke barat itu memberikan naungan yang cukup bagi mereka untuk berteduh dari sengatan panas.


Setelah itu, Agung Sedayu melangkah menghampiri Pandan Wangi dan memapahnya untuk bergeser dan bergabung dengan Sekar Mirah dibawah naungan mahkota daun yang cukup rindang.


“Marilah Wangi, sebaiknya kau memperbaiki kondisi tubuh dan memulihkan tenagamu terlebih dahulu. Aku juga akan mengangkat Gilang sebelum nanti memeriksa pula keadaan adi Swandaru”

Suara Agung Sedayu yang lirih itu seolah merupakan sihir bagi Pandan Wangi sehingga ia cenderung menurut saja ketika kedua tangan Agung Sedayu terulur dan membantunya untuk melangkah. Dengan tertatih-tatih keduanya kemudian beranjak dan bergeser menuju bawah pohon nyamlung dimana ternyata Kiai Garda telah membawa Ki Widura duduk disamping Sekar Mirah. Wajah Ki Widura terlihat pucat sementara jantungnya berdetak tidak beraturan, akan tetapi sebenarnya kondisinya masih lebih baik di banding Sekar Mirah maupun Pandan Wangi yang tenaganya memang sudah terkuras dalam beberapa hari terakhir.


Setelah memberi saran agar ketiganya memusatkan nalar-budi untuk memulihkan kembali kondisi tubuhnya, Agung Sedayu kemudian berdesis kepada Kiai Garda.


“Marilah Kiai, sebaiknya kita bawa semua tubuh-tubuh yang pingsan itu ke bawah pohon ini”


Kiai Garda menganggukkan kepalanya tanpa menjawab, hatinya masih diliputi tanda tanya dan keheranan atas semua peristiwa yang baru saja mereka alami. Dengan cepat keduanya mengangkat tubuh-tubuh pingsan itu ke bawah pohon nyamplung itu dan membaringkannya dengan berderet.


Ketika keduanya selesai memindahkan tubuh-tubuh itu, tidak lama kemudian terdengar suara mengerang dari Gilang yang berbaring di sebelah Ki Widura. Ternyata Gilang adalah yang pertama kali siuman, sementara Swandaru dan dua pembantu dari Resi Belehan itu masih juga belum menampakkan tanda-tanda akan tumbuhnya kesadaran.


Dengan cepat Kiai Garda, mengambil sebuah ramuan yang agak kental dari ikat pinggangnya dan kemudian memborehkannya ke dada dan leher Gilang. Ramuan itu menebar bau yang cukup harum serta mampu menumbuhkan kesadaran dengan lebih cepat. Setelah mengerang beberapa kali ternyata sesaat kemudian Gilang bahkan sudah membuka matanya dan berusaha duduk. Ia mengedarkan pandangan matanya sambil mengerutkan keningnya ketika melihat Ibundanya, bibinya Sekar Mirah dan Ki Widura sedang duduk tegak bersila sambil memejamkan kedua matanya.


Sementara ada tiga tubuh lain yang terbaring, salah satunya adalah tubuh Ayahnya yang sedang diperiksa oleh pamannya Agung Sedayu sambil berjongkok. Dengan cepat kesadaran Gilang pulih,  sehingga ia bangkit dan bahkan melangkah mendekat.


“Bagaimana keadaan Ayah, paman?”, - tanya Gilang dengan nada kuatir.


Agung Sedayu menoleh sambil tersenyum.


“Bidikanmu sungguh luar biasa Gilang”, - kata Agung Sedayu sambil meminta Gilang mendekat - ,”Lihatlah, noda hitam di belakang telinga Ayahmu kini sudah lenyap meskipun sebagai gantinya kini bagian itu terluka dan berdarah akibat bidikan bambu kuningmu. Hilangnya noda hitam itu akan lebih memudahkan kita untuk melepaskan seluruh pengaruh buruk yang pernah ada. Apalagi, penguasa sungai itu juga sudah tidak ada lagi”


Gilang sekali lagi terlihat mengerutkan keningnya, sementara justru ada suara lain yang mengajukan kepada Agung Sedayu.


“Apa yang terjadi dan dimanakan sekarang Resi Kali Belehan itu Ki?”


Suara dan pertanyaan itu ternyata datangnya dari Kiai Garda. Agaknya ia memendam rasa penasaran yang besar sehingga ketika ada kesempatan, segera diajukannya pertanyaan yang membelit perasaannya itu.


Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam, sebelum kemudian menjawab pertanyaan Kiai Garda itu - ,“Aku memang ingin mengajak Kiai Garda untuk melihat keadaan Resi Belehan itu, tetapi kita tunggu sejenak sampai paman Widura dan yang lainnya menyelesaikan pemusatan nalar-budinya”


Kiai Garda menganggukkan kepalanya, saat ini mereka berdua memang tidak mungkin meninggalkan tempatnya. Agaknya Agung Sedayu memang memperhatikan segala hal hingga bagian-bagian yang terkecil.


“Pantaslah, ia adalah adik dari Ki Temunggung Untara yang sangat terkenal dalam menyusun strategi dan siasat perang. Agaknya keluarga Ki Agung Sedayu memang merupakan orang-orang pilihan”, - desis Kiai Garda dalam hati.


Beberapa saat kemudian ternyata Ki Widura, Pandan Wangi dan Sekar Mirah sudah menyelesaikan pemusatan nalar-budinya hampir pada saat yang bersamaan. Meskipun tenaganya belum pulih sepenuhnya, akan tetapi mereka merasakan tubuhnya  lebih segar dan sudah bisa bergerak sebagaimana biasanya.


Saat itulah kemudian Agung Sedayu mengajak Kiai Garda untuk bergeser beberapa puluh tombak dari pohon nyamlung itu, justru kembali mendekati rumpun bambu kuning yang sekarang kondisinya porak poranda. Batang-batang bambu itu roboh tidak beraturan dengan daun yang hampir-hampir gundul. Akan tetapi akar pohon bambu itu masih kokoh tertancap ditanah sehingga dalam beberapa bulan ke depan rumpun bambu itu pasti akan kembali tumbuh dengan subur. Sangat berbeda dengan kondisi dua pohon beringin raksasa yang tumbuh di seberang, dimana batang utamanya telah hangus menghitam serta kondisinya miring dengan akar yang sudah tercerabut sebagian.


“Aku mohon Kiai Garda bisa membantu”, - desis Agung Sedayu.

Kiai Garda mengerutkan keningnya karena kurang memahami perkataan Agung Sedayu. Akan tetapi setelah Agung Sedayu memberi penjelasan sekilas, ia segera mengangguk dan mempersiapkan diri.


Sesaat kemudian, dari samping kiri Agung Sedayu tiba-tiba muncul angin pusaran angin kecil yang bergerak berputar-putar. Pusaran itu seolah muncul begitu saja dan kemudian bergeser ketepian serta hendak menyeberangi sungai Belehan itu. Pusaran yang awalnya hanya kecil itu semakin lama semakin membesar dan bergerak diatas permukaan air sungai.


Kiai Garda menunjukkan wajah tegang, ia melihat Agung Sedayu hanya menyilangkan kedua tangannya di dada atau bersedekap. Akan tetapi mata Agung Sedayu menatap tajam pada pusaran angin yang awalnya kecil dan kini berubah semakin lama semakin besar. Angin pusaran yang terus membesar itu bahkan kemudian menimbulkan riak-riak air permukaan sungai itu bergelombang.


Pusaran yang terus membesar itu kini bergerak menuju tengah dan berhenti ketika berada tepat diatas pertemuan arus air atau yang disebut dengan Tempuran Kali Belehan. Pusaran angin itu tidak lagi bergeser, akan tetapi terus berputar semakin lama semakin meraksasa dan menimbulkan suara menderu-deru mengerikan.


Permukaan air dibawah pusaran angin raksasa itu bergolak semakin keras dan menimbulkan suara bergelombang. Kini permukaan air itu bagaikan diaduk oleh tangan-tangan raksasa sehingga terjadilah ombak dan gelombang yang membesar dan bahkan terangkat tinggi oleh pusaran angin raksasa itu


Kiai Garda merasakan udara di sekitar Kali Belehan itu kini kembali mencekam dan mematikan seluruh indra serta perasaannya. Pusaran angin raksasa itu terus mengaduk-aduk tempuran sungai dan mengangkat tinggi air dibawahnya sehingga muncullah gelombang ombak dengan suara yang bergemuruh dan menderu-deru.



Salam,
Ries


No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...