BALADA
SWANDARU GENI
Bab IV:
Hilangnya Seorang Swandaru Geni
Babak – 19
Sebelum Kiai
Garda menyelesaikan teriakannya, ternyata Pandan Wangi dengan cepat telah
bergeser ke sisi sebelah kiri Gilang. Tangannya menyentuh tipis pundak Gilang,
agar tidak mengganggu gerak dan keleluasaan bocah kecil itu, akan tetapi sentuhan
tipis itu ternyata membawa tenaga hawa murni yang luar biasa besarnya,
membanjir dan memenuhi seluruh urat syaraf Gilang. Inilah hasil latihan yang
dilakukan oleh Pandan Wangi dan Gilang sehari sebelum mereka berangkat menuju
sungai Belehan ini. Pandan Wangi dan Gilang ternyata bisa melakukannya dengan
sangat baik, penyaluran hawa-murninya membanjir dan diterima oleh tubuh Gilang
tanpa penolakan atau hambatan. Dengan cara ini maka apapun yang akan dilakukan
Gilang akan terlambari hawa-murni yang dahsyat dari Pandan Wangi.
Padahal
sewaktu latihan disanggar tempo hari, tubuh Pandan Wangi terasa limbung dan
hampir saja ia terjatuh kalau tidak di tangkap dan dipapah oleh Agung Sedayu.
Kini dengan doa yang terpanjat setiap saat mereka dapat melakukannya tanpa
kesulitan.
Sementara
itu, ternyata Kiai Garda tidak menunggu reaksi Gilang. Begitu menyelesaikan
kalimatnya, tangan kanan Kiai Garda segera bergerak cepat dan meluncurlah
beberapa butiran garam kasar berwarna putih, melesat cepat dan membidik titik
putih yang menyilaukan mata. Hampir tidak ada selisih waktu, Gilang yang
menerima hawa-murni yang membanjir dari Pandan Wangi juga menggerakkan tangan
kanannya dan melesat pula dua buah potongan bambu kuning kecil yang berujung
tajam, menyusul butiran-butiran garam kasar itu serta membidik cahaya putih terang
yang mampu menembus dinding asap hitam pekat itu.
Garam kasar
berwarna putih itu sudah dilambari tenaga cadangan dan japa-mantra dari Kiai
Garda. Kekuatannya menjadi sangat besar, mampu meledakkan dan bahkan menyingkap
semua yang tersembunyi yang tidak tertangkap oleh mata wadag. Hal ini telah
terbukti ketika lemparan garam kasar Kiai Garda itu mampu memunculkan
Panca-Lawa dengan ribuan bentuk semu yang mengiringinya, juga memaksa Ki
Sindupati untuk keluar dari persembunyian yang sebelumnya tidak bisa di tangkap
dengan ajian Sapta Panggraita.
Gilang sendiri
ternyata mampu menerapkan apa yang telah diajarkan oleh Agung Sedayu. Dengan
cepat ia mengunci sasaran bidiknya, dan dengan keyakinan tinggi langsung
melesatkan dua buah potongan bambu kuning kecil dengan dilambari hawa murni yang
sedemikian besar dan membajir dari ibundanya Pandan Wangi. Sebenarnyalah, tenaga
luar Pandan Wangi memang tidak terlalu istimewa, akan tetapi kebiasaannya untuk
selalu puasa dan berlaku prihatin itu ternyata telah membangkitkan hawa murni dalam
tubuhnya menjadi sangat besar luar biasa.
Diatas itu
semua, ada sebuah kekuatan lain yang tersembunyi akan tetapi mampu mendorong
dan bahkan melipat-gandakan kedahsyatan lemparan Gilang, yaitu potongan bambu
kuning yang ujungnya telah diruncingkan oleh Agung Sedayu. Pada dasarnya bambu
kuning memiliki aura alami yang sangat kuat yang jika diberdayakan merupakan
sebuah senjata yang mampu menolak dan bahkan menumpas semua kuasa kegelapan. Terlebih
Agung Sedayu mampu memilih bambu kuning itu adalah bagian dari batang yang
bertemu dengan ruasnya, atau yang sering disebut sebagai bambu pethuk ros.
Ketika
melakukan ajian Rogoh Sukma dan melihat keadaan sungai Belehan bersama Kiai
Garda beberapa hari yang lalu, sebenarnya keberadaan bambu kuning inilah yang
membuat Agung Sedayu yakin dan percaya bahwa mereka akan mampu memecahkan
persoalan di sungai Belehan itu. Ia seolah melihat bahwa Yang Maha Agung telah menunjukkan
dan menyediakan sarana yang bisa dipergunakan untuk memecahkan masalah di
tepian sungai itu.
Karena itu,
dengan kepercayaan yang sangat tinggi Agung Sedayu telah melatih Gilang untuk
meningkatkan daya bidik-nya agar ia mampu mengunci sasaran dan karenanya kecil
kemungkinan bidikan-nya meleset.
Akan tetapi,
Agung Sedayu juga sadar akan masih lemahnya kekuatan tenaga cadangan atau hawa
murni yang ada dalam tubuh Gilang. Adalah tidak mungkin baginya untuk meningkatkan
tenaga cadangan atau hawa-murni dalam tubuh Gilang dalam waktu yang pendek.
Hanya saja Agung Sedayu juga melihat keberadaan Pandan Wangi yang selama ini
mempunyai getaran yang selaras dan berpengaruh besar dalam kehidupan Gilang
sehari-hari. Karena itu ia sengaja melatih Pandan Wangi dan Gilang agar mereka
bisa saling terhubung cepat dalam menyalurkan dan menerima arus hawa murni dalam
tubuh masing-masing.
Latihan yang
hanya dilakukan dalam waktu pendek dan di sela-sela kegalauan akibat memikirkan
nasib Swandaru itu ternyata telah berhasil dengan sedemikian baik. Dua potong
bambu kuning pethuk ros itu kini dilambari hawa murni yang sangat besar dan
meluncur cepat menyusul butiran garam kasar berwarna putih yang melaju di
depannya.
Ki Widura
yang tahu persis persiapan dan kejadian yang kini ada depannya hanya bisa
menahan napas sambil berdoa semoga apa yang sudah mereka rencanakan bisa
berhasil. Sementara Sekar Mirah dan Ki Sindupati tidak sempat merenungi apa
yang terjadi dibalik semua ini, mata mereka seolah tidak berkedip melihat
luncuran butiran-butiran garam kasar putih yang disusul kemudian dengan dua
potong bambu kuning pethok ros yang melesat secepat tatit membelah udara diatas
kedung Kali Belehan itu.
Sesungguhnya
asap hitam pekat itu bergerak cepat sambil menghimpit atau membelit kabut putih
yang ada didalamnya dengan suara mendesis yang semakin tajam dan keras menusuk
telinga. Ibarat seekor ayam putih yang terbelit ular berwarna hitam, maka tubuh
ayam itu kini sama sekali sudah tidak nampak, melainkan hanya tubuh ular hitam yang
terus membelit dan meremas agar tubuh ayam itu hancur. Bahkan belitan itu
semakin lama semakin kedalam dan mengecil sehingga besarnya putaran asap hitam
itu kini tidak lebih besar dari batang pohon beringin yang hampir tercerabut
dari akarnya itu.
Akan tetapi
seperti yang telah dilihat Kiai Garda dan yang lain, dari dalam asap hitam
pekat itu telah muncul sinar putih yang sangat terang dan menyilaukan mata.
Titik putih yang menyilaukan mata itu besarnya tidak lebih dari biji sawo, hanya
sinarnya sedemikian kuat sehingga mampu menembus dinding asap hitam itu. Inilah
yang menjadi sasaran bidik dari Kiai Garda maupun Gilang!
Matahari mulai
bergeser turun dari puncaknya, ia sama sekali tidak menghiraukan kejadian di
tengah kedung Belehan itu. Sementara anginlah yang ternyata menaruh perhatian,
ini terlihat dan terasa dari hembusannya yang semakin kencang. Pucuk-pucuk daun
di rumpun bambu kuning itu terayun-ayun oleh angin yang berhembus kencang.
Gesekan daun dan batangnya menimbulkan suara gemeresak dan menimbulkan
suara-suara yang aneh di telinga siapapun yang mendengarnya.
Sesaat
kemudian terjadilah apa yang selama ini mencengkam hati dan perasaan mereka
semua. Lemparan garam kasar berwarna putih yang disusul dua potong kecil bambu kuning
pethuk ros itu dengan tepat mengenai sinar putih pada dinding asap hitam yang
terus berputar.
Untuk sesaat
semua jantung terasa meledak sebelum kemudian berhenti berdetak.
Sebuah
benturan yang sangat dahsyat telah menimbulkan tiga buah ledakan keras yang
disertai letupan-letupan yang nyaring. Tiga buah ledakan yang sangat keras itu telah
mengguncang perasaan siapapun yang mendengarnya, gendang telinga mereka seolah
akan pecah sementara daun-daun kering yang masih mencoba melekat di
ranting-ranting pohon itu langsung rontok dan tertiup angin kencang dan melayang
hingga kejauhan.
Pada saat
bersamaan, permukaan air di kedung sungai Belehan itu bergolak keras dan serta
menciptakan gelombang air besar yang naik turun seolah ada tangan raksasa yang
sedang mengaduk-aduknya. Gelombang itu bergerak tidak beraturan akibat daya
ledakan yang sangat besar, sementara air sungai muncrat dan terpercik tinggi ke
segala arah.
Semua
kejadian itu sangat menggetarkan hati semua orang yang berdiri di tepian sungai
Belehan itu. Akan tetapi mata mereka lebih terpaku pada kejadian berikutnya,
dimana asap berwarna hitam pekat dan berbentuk bulat bagai ular melilit itu
mendadak buyar dan pecah berkeping-keping sambil mengeluarkan desisan keras
yang kemudian suara desisan itu menghilang dengan cepat.
Asap hitam itu
benar-benar kehilangan bentuknya, ia tidak mampu lagi menyatu dan membentuk
bulatan-bulatan padat yang mampu mengiris ataupun berputar melanda yang ada di
sekelilingnya. Asap itu pecah berserakkan dan kembali ke bentuknya sebagai asap
yang tipis dan kemudian tertiup angin kencang sehingga asap itupun berhembus
menjauh dari tengah kedung sungai Belehan.
Bersamaan
dengan pecahnya asap hitam itu terjadilah hal yang menggetarkan hati setiap
orang yang hadir disitu. Bahkan tidak kurang seorang Pandan Wangi sendiri
memekik tertahan sambil tangannya memegang erat pundak kiri Gilang.
“Gilang!”, -
desis Pandan Wangi lirih.
Salam,
Ries
No comments:
Post a Comment