Thursday, August 3, 2017

BSG - BAB.IV - HSSG - Babak-19

BALADA SWANDARU GENI
Bab IV: Hilangnya Seorang Swandaru Geni
Babak – 19



Sebelum Kiai Garda menyelesaikan teriakannya, ternyata Pandan Wangi dengan cepat telah bergeser ke sisi sebelah kiri Gilang. Tangannya menyentuh tipis pundak Gilang, agar tidak mengganggu gerak dan keleluasaan bocah kecil itu, akan tetapi sentuhan tipis itu ternyata membawa tenaga hawa murni yang luar biasa besarnya, membanjir dan memenuhi seluruh urat syaraf Gilang. Inilah hasil latihan yang dilakukan oleh Pandan Wangi dan Gilang sehari sebelum mereka berangkat menuju sungai Belehan ini. Pandan Wangi dan Gilang ternyata bisa melakukannya dengan sangat baik, penyaluran hawa-murninya membanjir dan diterima oleh tubuh Gilang tanpa penolakan atau hambatan. Dengan cara ini maka apapun yang akan dilakukan Gilang akan terlambari hawa-murni yang dahsyat dari Pandan Wangi.


Padahal sewaktu latihan disanggar tempo hari, tubuh Pandan Wangi terasa limbung dan hampir saja ia terjatuh kalau tidak di tangkap dan dipapah oleh Agung Sedayu. Kini dengan doa yang terpanjat setiap saat mereka dapat melakukannya tanpa kesulitan.


Sementara itu, ternyata Kiai Garda tidak menunggu reaksi Gilang. Begitu menyelesaikan kalimatnya, tangan kanan Kiai Garda segera bergerak cepat dan meluncurlah beberapa butiran garam kasar berwarna putih, melesat cepat dan membidik titik putih yang menyilaukan mata. Hampir tidak ada selisih waktu, Gilang yang menerima hawa-murni yang membanjir dari Pandan Wangi juga menggerakkan tangan kanannya dan melesat pula dua buah potongan bambu kuning kecil yang berujung tajam, menyusul butiran-butiran garam kasar itu serta membidik cahaya putih terang yang mampu menembus dinding asap hitam pekat itu.


Garam kasar berwarna putih itu sudah dilambari tenaga cadangan dan japa-mantra dari Kiai Garda. Kekuatannya menjadi sangat besar, mampu meledakkan dan bahkan menyingkap semua yang tersembunyi yang tidak tertangkap oleh mata wadag. Hal ini telah terbukti ketika lemparan garam kasar Kiai Garda itu mampu memunculkan Panca-Lawa dengan ribuan bentuk semu yang mengiringinya, juga memaksa Ki Sindupati untuk keluar dari persembunyian yang sebelumnya tidak bisa di tangkap dengan ajian Sapta Panggraita.


Gilang sendiri ternyata mampu menerapkan apa yang telah diajarkan oleh Agung Sedayu. Dengan cepat ia mengunci sasaran bidiknya, dan dengan keyakinan tinggi langsung melesatkan dua buah potongan bambu kuning kecil dengan dilambari hawa murni yang sedemikian besar dan membajir dari ibundanya Pandan Wangi. Sebenarnyalah, tenaga luar Pandan Wangi memang tidak terlalu istimewa, akan tetapi kebiasaannya untuk selalu puasa dan berlaku prihatin itu ternyata telah membangkitkan hawa murni dalam tubuhnya menjadi sangat besar luar biasa.


Diatas itu semua, ada sebuah kekuatan lain yang tersembunyi akan tetapi mampu mendorong dan bahkan melipat-gandakan kedahsyatan lemparan Gilang, yaitu potongan bambu kuning yang ujungnya telah diruncingkan oleh Agung Sedayu. Pada dasarnya bambu kuning memiliki aura alami yang sangat kuat yang jika diberdayakan merupakan sebuah senjata yang mampu menolak dan bahkan menumpas semua kuasa kegelapan. Terlebih Agung Sedayu mampu memilih bambu kuning itu adalah bagian dari batang yang bertemu dengan ruasnya, atau yang sering disebut sebagai bambu pethuk ros.



Ketika melakukan ajian Rogoh Sukma dan melihat keadaan sungai Belehan bersama Kiai Garda beberapa hari yang lalu, sebenarnya keberadaan bambu kuning inilah yang membuat Agung Sedayu yakin dan percaya bahwa mereka akan mampu memecahkan persoalan di sungai Belehan itu. Ia seolah melihat bahwa Yang Maha Agung telah menunjukkan dan menyediakan sarana yang bisa dipergunakan untuk memecahkan masalah di tepian sungai itu.


Karena itu, dengan kepercayaan yang sangat tinggi Agung Sedayu telah melatih Gilang untuk meningkatkan daya bidik-nya agar ia mampu mengunci sasaran dan karenanya kecil kemungkinan bidikan-nya meleset.


Akan tetapi, Agung Sedayu juga sadar akan masih lemahnya kekuatan tenaga cadangan atau hawa murni yang ada dalam tubuh Gilang. Adalah tidak mungkin baginya untuk meningkatkan tenaga cadangan atau hawa-murni dalam tubuh Gilang dalam waktu yang pendek. Hanya saja Agung Sedayu juga melihat keberadaan Pandan Wangi yang selama ini mempunyai getaran yang selaras dan berpengaruh besar dalam kehidupan Gilang sehari-hari. Karena itu ia sengaja melatih Pandan Wangi dan Gilang agar mereka bisa saling terhubung cepat dalam menyalurkan dan menerima arus hawa murni dalam tubuh masing-masing.


Latihan yang hanya dilakukan dalam waktu pendek dan di sela-sela kegalauan akibat memikirkan nasib Swandaru itu ternyata telah berhasil dengan sedemikian baik. Dua potong bambu kuning pethuk ros itu kini dilambari hawa murni yang sangat besar dan meluncur cepat menyusul butiran garam kasar berwarna putih yang melaju di depannya.


Ki Widura yang tahu persis persiapan dan kejadian yang kini ada depannya hanya bisa menahan napas sambil berdoa semoga apa yang sudah mereka rencanakan bisa berhasil. Sementara Sekar Mirah dan Ki Sindupati tidak sempat merenungi apa yang terjadi dibalik semua ini, mata mereka seolah tidak berkedip melihat luncuran butiran-butiran garam kasar putih yang disusul kemudian dengan dua potong bambu kuning pethok ros yang melesat secepat tatit membelah udara diatas kedung Kali Belehan itu.


Sesungguhnya asap hitam pekat itu bergerak cepat sambil menghimpit atau membelit kabut putih yang ada didalamnya dengan suara mendesis yang semakin tajam dan keras menusuk telinga. Ibarat seekor ayam putih yang terbelit ular berwarna hitam, maka tubuh ayam itu kini sama sekali sudah tidak nampak, melainkan hanya tubuh ular hitam yang terus membelit dan meremas agar tubuh ayam itu hancur. Bahkan belitan itu semakin lama semakin kedalam dan mengecil sehingga besarnya putaran asap hitam itu kini tidak lebih besar dari batang pohon beringin yang hampir tercerabut dari akarnya itu.


Akan tetapi seperti yang telah dilihat Kiai Garda dan yang lain, dari dalam asap hitam pekat itu telah muncul sinar putih yang sangat terang dan menyilaukan mata. Titik putih yang menyilaukan mata itu besarnya tidak lebih dari biji sawo, hanya sinarnya sedemikian kuat sehingga mampu menembus dinding asap hitam itu. Inilah yang menjadi sasaran bidik dari Kiai Garda maupun Gilang!


Matahari mulai bergeser turun dari puncaknya, ia sama sekali tidak menghiraukan kejadian di tengah kedung Belehan itu. Sementara anginlah yang ternyata menaruh perhatian, ini terlihat dan terasa dari hembusannya yang semakin kencang. Pucuk-pucuk daun di rumpun bambu kuning itu terayun-ayun oleh angin yang berhembus kencang. Gesekan daun dan batangnya menimbulkan suara gemeresak dan menimbulkan suara-suara yang aneh di telinga siapapun yang mendengarnya.


Sesaat kemudian terjadilah apa yang selama ini mencengkam hati dan perasaan mereka semua. Lemparan garam kasar berwarna putih yang disusul dua potong kecil bambu kuning pethuk ros itu dengan tepat mengenai sinar putih pada dinding asap hitam yang terus berputar.


Untuk sesaat semua jantung terasa meledak sebelum kemudian berhenti berdetak.


Sebuah benturan yang sangat dahsyat telah menimbulkan tiga buah ledakan keras yang disertai letupan-letupan yang nyaring. Tiga buah ledakan yang sangat keras itu telah mengguncang perasaan siapapun yang mendengarnya, gendang telinga mereka seolah akan pecah sementara daun-daun kering yang masih mencoba melekat di ranting-ranting pohon itu langsung rontok dan tertiup angin kencang dan melayang hingga kejauhan.


Pada saat bersamaan, permukaan air di kedung sungai Belehan itu bergolak keras dan serta menciptakan gelombang air besar yang naik turun seolah ada tangan raksasa yang sedang mengaduk-aduknya. Gelombang itu bergerak tidak beraturan akibat daya ledakan yang sangat besar, sementara air sungai muncrat dan terpercik tinggi ke segala arah.


Semua kejadian itu sangat menggetarkan hati semua orang yang berdiri di tepian sungai Belehan itu. Akan tetapi mata mereka lebih terpaku pada kejadian berikutnya, dimana asap berwarna hitam pekat dan berbentuk bulat bagai ular melilit itu mendadak buyar dan pecah berkeping-keping sambil mengeluarkan desisan keras yang kemudian suara desisan itu menghilang dengan cepat.


Asap hitam itu benar-benar kehilangan bentuknya, ia tidak mampu lagi menyatu dan membentuk bulatan-bulatan padat yang mampu mengiris ataupun berputar melanda yang ada di sekelilingnya. Asap itu pecah berserakkan dan kembali ke bentuknya sebagai asap yang tipis dan kemudian tertiup angin kencang sehingga asap itupun berhembus menjauh dari tengah kedung sungai Belehan.


Bersamaan dengan pecahnya asap hitam itu terjadilah hal yang menggetarkan hati setiap orang yang hadir disitu. Bahkan tidak kurang seorang Pandan Wangi sendiri memekik tertahan sambil tangannya memegang erat pundak kiri Gilang.


“Gilang!”, - desis Pandan Wangi lirih.


Salam,

Ries

No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...