BALADA
SWANDARU GENI
Bab V: Ajaran Untuk Pulang
Babak – 01
----------------
MERDEKA!!!
Bersamaan
dengan HUT Kemerdekaan Indonesia, merdeka pula jiwa tokoh utama kita dari
penyekapan fisik dan tekanan psikis yang selama ini membelenggu. Bukan suatu
kebetulan kalau pembebasan itu terjadi pada hari yang sama dengan kemerdekaan
NKRI. Bukankah daun kering yang jatuh dari pangkal dahannya itu juga bukan
suatu kebetulan?
Lalu apakah
setelah merdeka, SG kemudian menyadari seluruh kesalahan, menggosok sisi gelapnya
serta hilang pula sifat ‘tuk-mis’-nya?
Akankah ia menjadi pribadi gemilang sesuai ajaran yang senantiasa dibisik-kan
secara terus menerus oleh Sang Guru Kiai Gringsing?
Akankah PW
berbahagia dengan pulangnya sang suami lalu melupakan serta mengubur cinta
dalam hati atas pria lain yang selama ini membelenggu nurani? Apakah AS akan
melepas sepenuhnya keberadaan Gilang dan
ibundanya kepada SG ataukah akan selalu mengawasinya meski dengan
sembunyi-sembunyi?
Who knows?
-----------
Ledakan maha
dahsyat itu benar-benar mengguncang udara di sekitar sungai Belehan. Kabut
putih dan asap hitam terlihat bergulung-gulung saling menindih dengan suara menderu-deru
serta desisan tajam yang menyakitkan gendang telinga. Suasana di siang hari itu
sama sekali telah berubah, langit menggelap kelabu akibat saling tindihnya asap
dan kabut. Sementara, telinga dan bahkan indra panggraita mereka tidak
berfungsi dengan baik karena tertutupi oleh sebuah kekuatan yang tidak mereka
kenali.
Belum lagi
habis keterkejutan dan ketegangan yang membalut hati setiap orang yang hadir di
tepian sungai itu, tiba-tiba jantung mereka kembali berguncang dengan kerasnya.
Dua buah ledakan yang jauh lebih dahsyat dari ledakan sebelumnya kembali
menggelegar dan hendak merontokkan seluruh isi dada mereka. Bersamaan dengan dua
buah ledakan maha dahsyat yang terjadi berturut-turut tanpa jeda itu, langit
yang menggelap itu seolah terbelah dan diterangi oleh beberapa loncatan sinar
putih kebiru-biruan layaknya sambaran petir yang menyambar-nyambar di langit.
“Cambuk? Dahsyat
sekali!”, - tanpa sadar Kiai Garda berdesis lirih.
Ia terpaksa
harus menekan dadanya yang seperti terhimpit dua buah gunung anakan.
Kedahsyatan ledakan itu benar-benar diluar jangkauan nalarnya sehingga meskipun
ia sudah mengerahkan seluruh tenaga cadangannya untuk bertahan, akan tetapi tidak
urung Kiai Garda harus menggigit bibirnya sambil memperkuat daya tahan
tubuhnya.
Ledakan
dahsyat itu meskipun sudah tidak terdengar lagi, tetapi telinga Kiai Garda sesekali
masih mendengar semacam letupan-letupan kecil yang merupakan sisa-sisa kekuatan
yang terlontar akibat adanya sebuah pertarungan yang maha dahsyat di arena ini.
Sejenak kemudian suara-suara itu benar-benar menghilang dan suasana berangsur-angsur
menjadi hening.
Meskipun perlahan,
kabut putih yang saling menindih dengan asap hitam itu kemudian juga terangkat dan
bergerak menjauh oleh hembusan angin. Suasana siang kembali terang benderang dan
panas mataharipun mulai terasa menyengat kulit.
Untuk sesaat
Kiai Garda masih merasa seolah berada dalam sebuah dunia yang tidak dikenal
maupun disadarinya, dunia yang penuh ketidakpastian dan bahkan teramat
menakutkan. Tetapi perlahan-lahan kesadarannya kembali pulih, seiring suasana
siang yang kembali terang dan panas sebagaimana layaknya siang hari.
Akan tetapi kesadaran
yang datangnya baru sekejab itu ternyata kembali terguncang ketika matanya
menyapu seluruh tepian sungai itu. Terlihat tubuh-tubuh yang bergelimpangan
diatas pasir seolah mereka baru saja tumbang oleh sebuah serangan yang tidak
mampu mereka lawan. Ki Sindupati dan lawannya yang bertubuh jangkung itu
tergeletak dengan jarak sekitar dua tombak dan agaknya keduanya sudah tidak
sadarkan diri. Posisi keduanya hanya berjarak sekitar enam-tujuh tombak dari
rumpun bambu kuning yang tumbuh di seberang tempuran sungai itu.
Tiga tombak
disebelahnya, laki-laki dengan luka di pelipis yang menjadi lawan Sekar Mirah
juga tergeletak tak sadarkan diri. Sementara hanya berjarak kurang dari satu
tombak, Sekar Mirah terlihat terduduk lemah dihamparan yang berpasir sambil
tangan kirinya menekan dadanya sementara tangan kanannya masih memegang tongkat
baja putihnya. Kiai Garda sempat melihat betapa wajah Sekar Mirah sedemikian
pucat oleh keterkejutan yang menghentak dadanya secara tiba-tiba.
Secara tidak
sadar kaki Kiai Garda hampir saja melangkah hendak menghampiri Sekar Mirah untuk
memberi pertolongan. Akan tetapi, mendadak Kiai Garda berhenti seolah teringat
akan sesuatu yang sangat penting dan membuat dadanya berdebar-debar kencang. Dengan
cepat ia membalikkan tubuhnya untuk menghadap kearah yang tadi ia punggungi.
Wajahnya berubah sangat tegang, ingatannya akan Gilang menimbulkan perasaan
kuatir yang sedemikian besar atas nasib bocah yang tadi sedang melayang di
udara saat ledakan-ledakan itu terjadi.
Tak tertahan
mulut Kiai Garda mendesah lirih ketika dilihatnya tiga sosok tubuh yang sedang
terbaring lemah dalam jarak yang berdekatan. Mereka itu adalah satu keluarga,
suami-istri dengan anak laki-lakinya. Pandan Wangi tergolek lemah dengan tangan
yang terjulur ke samping hendak memeluk Gilang. Akan tetapi tubuhnya yang lemah
ternyata tidak mampu menggeser badannya sehingga ia hanya terdiam sambil matanya
berkedip sayu menatap anaknya yang terbaring diam. Tepat disamping Pandan Wangi,
tergolek tubuh Swandaru yang tertelungkup diam tidak bergerak.
Disamping
kanan agak belakang, terlihat Ki Widura terduduk lemah dengan wajah yang sangat
pucat. Orang tua itu sama sekali tidak mampu untuk berdiri ataupun sekedar
mengeluarkan kata-kata.
Hati Kiai Garda
benar-benar tercekat, kenyataannya bahwa hanya ia sendiri yang masih mampu
bertahan sementara semua orang yang hadir disitu ternyata bertumbangan. Ia
memang tidak mampu membayangkan besarnya kekuatan yang sedang bertarung di
sekitar tempuran Kali Belehan itu, yang pada kenyataannya bahkan tidak mampu ia
tangkap meskipun ia telah mengetrapkan ajian sapta panggraita yang dimilikinya.
Kiai Garda
yang sudah menginjak usia pertengahan abad terlihat terbengong-bengong seolah
kebingungan harus melakukan apa terlebih dahulu. Pengalaman yang sudah
tertimbun dalam dirinya seolah termentahkan oleh kejadian dahsyat yang susul-menyusul
dan mencekam hatinya.
Akan tetapi
setelah menarik nafas dalam-dalam, perlahan-lahan Kiai Garda berhasil menguasai
dirinya.
Dengan
tergesa-gesa dan bahkan sambil berlari ia segera menghampiri Gilang yang
tergeletak tak sadarkan diri. Sambil berjongkok, Kiai Garda bermaksud memeriksa
denyut nadi di pergelangan tangan kiri Gilang. Tetapi baru saja ia hendak menyentuh
tangan Gilang, kembali perasaan Kiai Garda seperti disengat kalajengking ketika
ada suara lirih yang menyapanya.
“Kiai”
Suara itu sebenarnya
terdengar lirih saja, akan tetapi suasana batin Kiai Garda yang masih diliputi
ketegangan membuatnya sangat terkejut sehingga ia terlonjak. Sambil melangkah
surut untuk mempersiapkan diri
menghadapi segala kemungkinan, kepala Kiai Garda sedikit mendongak agar bisa melihat siapakah yang sedang menyapanya
ditengah suasana yang menegangkan ini.
Saat itulah
Kiai Garda menangkap seraut wajah yang dikenalnya sedang berjalan pelan dan sambil
membopong tubuh Sekar Mirah dan mendudukkan tubuh itu disebelah Pandan Wangi.
Wajah itu berusaha tersenyum meskipun Kiai Garda bisa menangkap bahwa
sebetulnya orang itu mengalami kelelahan yang sangat. Pakaiannya terlihat kumal
dan compang-camping serta berlubang-lubang dibeberapa tempat dengan noda-noda
hangus seolah baru dihujani ribuan arang yang membara.
Sesaat
kemudian sosok yang baru hadir itu menoleh dan berkata.
“O, maaf,
apakah aku mengejutkan Kiai?”, - suaranya terdengar dipenuhi nada lelah.
Kiai Garda
menarik nafas dalam-dalam, kehadiran orang ini seolah merupakan embun sejuk
yang mengusap dan menghapus semua ketegangan yang selama ini merayapi hatinya. Kemunculannya
seolah juga merupakan pertanda bahwa semua ketegangan yang terjadi agaknya
sudah berakhir. Dengan suara pelan Kiai Garda kemudian menjawab.
“Ya, sesungguhnya
aku memang terkejut Ki Agung Sedayu. Tetapi agaknya itu semata-mata karena
hatiku yang diliputi ketegangan dan kecemasan melihat keadaan saudara-saudara
kita khususnya angger Gilang ini”
Orang yang baru
datang dan tidak lain adalah Agung Sedayu itu mengangguk-angguk sambil
melangkah mendekati Gilang yang terbaring di atas pasir tepian sungai Belehan
itu. Sambil berjongkok ia masih sempat berkata.
“Kiai, aku
mohon Kiai berkenan menolong Paman Widura dan yang lain. Biarlah aku mencoba
melihat keadaan Gilang yang agaknya sedang pingsan ini”
“O, baiklah”,
- Kiai Garda seperti seorang yang baru tersadarkan dan segera bergeser untuk
memberikan pertolongan kepada Ki Widura dan yang lain.
Agung Sedayu
segera memeriksa denyut nadi di pergelangan tangan Gilang serta mendengar detak
jantung di dada bocah itu. Diperiksanya dengan teliti seluruh anggota badan
serta urat-urat di sekitar leher dan dadanya. Ia menarik nafas lega ketika
tidak menemukan sesuatu yang aneh ditubuh bocah itu. Dengan cekatan, tangan
kanannya melakukan beberapa kali totokan dan pijatan di sekitar telapak kaki
dan dada bocah itu agar segera tersadar dari pingsannya.
Salam,
Ries
No comments:
Post a Comment