Thursday, August 17, 2017

BSG - BAB.V - AUP - Babak-01

BALADA SWANDARU GENI
Bab V: Ajaran Untuk Pulang
Babak – 01


---------------- 
  
MERDEKA!!!
Bersamaan dengan HUT Kemerdekaan Indonesia, merdeka pula jiwa tokoh utama kita dari penyekapan fisik dan tekanan psikis yang selama ini membelenggu. Bukan suatu kebetulan kalau pembebasan itu terjadi pada hari yang sama dengan kemerdekaan NKRI. Bukankah daun kering yang jatuh dari pangkal dahannya itu juga bukan suatu kebetulan?

Lalu apakah setelah merdeka, SG kemudian menyadari seluruh kesalahan, menggosok sisi gelapnya  serta hilang pula sifat ‘tuk-mis’-nya? Akankah ia menjadi pribadi gemilang sesuai ajaran yang senantiasa dibisik-kan secara terus menerus oleh Sang Guru Kiai Gringsing?

Akankah PW berbahagia dengan pulangnya sang suami lalu melupakan serta mengubur cinta dalam hati atas pria lain yang selama ini membelenggu nurani? Apakah AS akan melepas sepenuhnya  keberadaan Gilang dan ibundanya kepada SG ataukah akan selalu mengawasinya meski dengan sembunyi-sembunyi?

Who knows?

-----------  


Ledakan maha dahsyat itu benar-benar mengguncang udara di sekitar sungai Belehan. Kabut putih dan asap hitam terlihat bergulung-gulung saling menindih dengan suara menderu-deru serta desisan tajam yang menyakitkan gendang telinga. Suasana di siang hari itu sama sekali telah berubah, langit menggelap kelabu akibat saling tindihnya asap dan kabut. Sementara, telinga dan bahkan indra panggraita mereka tidak berfungsi dengan baik karena tertutupi oleh sebuah kekuatan yang tidak mereka kenali.


Belum lagi habis keterkejutan dan ketegangan yang membalut hati setiap orang yang hadir di tepian sungai itu, tiba-tiba jantung mereka kembali berguncang dengan kerasnya. Dua buah ledakan yang jauh lebih dahsyat dari ledakan sebelumnya kembali menggelegar dan hendak merontokkan seluruh isi dada mereka. Bersamaan dengan dua buah ledakan maha dahsyat yang terjadi berturut-turut tanpa jeda itu, langit yang menggelap itu seolah terbelah dan diterangi oleh beberapa loncatan sinar putih kebiru-biruan layaknya sambaran petir yang menyambar-nyambar di langit.


“Cambuk? Dahsyat sekali!”, - tanpa sadar Kiai Garda berdesis lirih.


Ia terpaksa harus menekan dadanya yang seperti terhimpit dua buah gunung anakan. Kedahsyatan ledakan itu benar-benar diluar jangkauan nalarnya sehingga meskipun ia sudah mengerahkan seluruh tenaga cadangannya untuk bertahan, akan tetapi tidak urung Kiai Garda harus menggigit bibirnya sambil memperkuat daya tahan tubuhnya.


Ledakan dahsyat itu meskipun sudah tidak terdengar lagi, tetapi telinga Kiai Garda sesekali masih mendengar semacam letupan-letupan kecil yang merupakan sisa-sisa kekuatan yang terlontar akibat adanya sebuah pertarungan yang maha dahsyat di arena ini. Sejenak kemudian suara-suara itu benar-benar menghilang dan suasana berangsur-angsur menjadi hening.


Meskipun perlahan, kabut putih yang saling menindih dengan asap hitam itu kemudian juga terangkat dan bergerak menjauh oleh hembusan angin. Suasana siang kembali terang benderang dan panas mataharipun mulai terasa menyengat kulit.


Untuk sesaat Kiai Garda masih merasa seolah berada dalam sebuah dunia yang tidak dikenal maupun disadarinya, dunia yang penuh ketidakpastian dan bahkan teramat menakutkan. Tetapi perlahan-lahan kesadarannya kembali pulih, seiring suasana siang yang kembali terang dan panas sebagaimana layaknya siang hari.


Akan tetapi kesadaran yang datangnya baru sekejab itu ternyata kembali terguncang ketika matanya menyapu seluruh tepian sungai itu. Terlihat tubuh-tubuh yang bergelimpangan diatas pasir seolah mereka baru saja tumbang oleh sebuah serangan yang tidak mampu mereka lawan. Ki Sindupati dan lawannya yang bertubuh jangkung itu tergeletak dengan jarak sekitar dua tombak dan agaknya keduanya sudah tidak sadarkan diri. Posisi keduanya hanya berjarak sekitar enam-tujuh tombak dari rumpun bambu kuning yang tumbuh di seberang tempuran sungai itu.


Tiga tombak disebelahnya, laki-laki dengan luka di pelipis yang menjadi lawan Sekar Mirah juga tergeletak tak sadarkan diri. Sementara hanya berjarak kurang dari satu tombak, Sekar Mirah terlihat terduduk lemah dihamparan yang berpasir sambil tangan kirinya menekan dadanya sementara tangan kanannya masih memegang tongkat baja putihnya. Kiai Garda sempat melihat betapa wajah Sekar Mirah sedemikian pucat oleh keterkejutan yang menghentak dadanya secara tiba-tiba.


Secara tidak sadar kaki Kiai Garda hampir saja melangkah hendak menghampiri Sekar Mirah untuk memberi pertolongan. Akan tetapi, mendadak Kiai Garda berhenti seolah teringat akan sesuatu yang sangat penting dan membuat dadanya berdebar-debar kencang. Dengan cepat ia membalikkan tubuhnya untuk menghadap kearah yang tadi ia punggungi. Wajahnya berubah sangat tegang, ingatannya akan Gilang menimbulkan perasaan kuatir yang sedemikian besar atas nasib bocah yang tadi sedang melayang di udara saat ledakan-ledakan itu terjadi.


Tak tertahan mulut Kiai Garda mendesah lirih ketika dilihatnya tiga sosok tubuh yang sedang terbaring lemah dalam jarak yang berdekatan. Mereka itu adalah satu keluarga, suami-istri dengan anak laki-lakinya. Pandan Wangi tergolek lemah dengan tangan yang terjulur ke samping hendak memeluk Gilang. Akan tetapi tubuhnya yang lemah ternyata tidak mampu menggeser badannya sehingga ia hanya terdiam sambil matanya berkedip sayu menatap anaknya yang terbaring diam. Tepat disamping Pandan Wangi, tergolek tubuh Swandaru yang tertelungkup diam tidak bergerak.


Disamping kanan agak belakang, terlihat Ki Widura terduduk lemah dengan wajah yang sangat pucat. Orang tua itu sama sekali tidak mampu untuk berdiri ataupun sekedar mengeluarkan kata-kata.


Hati Kiai Garda benar-benar tercekat, kenyataannya bahwa hanya ia sendiri yang masih mampu bertahan sementara semua orang yang hadir disitu ternyata bertumbangan. Ia memang tidak mampu membayangkan besarnya kekuatan yang sedang bertarung di sekitar tempuran Kali Belehan itu, yang pada kenyataannya bahkan tidak mampu ia tangkap meskipun ia telah mengetrapkan ajian sapta panggraita yang dimilikinya.


Kiai Garda yang sudah menginjak usia pertengahan abad terlihat terbengong-bengong seolah kebingungan harus melakukan apa terlebih dahulu. Pengalaman yang sudah tertimbun dalam dirinya seolah termentahkan oleh kejadian dahsyat yang susul-menyusul dan mencekam hatinya.

Akan tetapi setelah menarik nafas dalam-dalam, perlahan-lahan Kiai Garda berhasil menguasai dirinya.

Dengan tergesa-gesa dan bahkan sambil berlari ia segera menghampiri Gilang yang tergeletak tak sadarkan diri. Sambil berjongkok, Kiai Garda bermaksud memeriksa denyut nadi di pergelangan tangan kiri Gilang. Tetapi baru saja ia hendak menyentuh tangan Gilang, kembali perasaan Kiai Garda seperti disengat kalajengking ketika ada suara lirih yang menyapanya.


“Kiai”


Suara itu sebenarnya terdengar lirih saja, akan tetapi suasana batin Kiai Garda yang masih diliputi ketegangan membuatnya sangat terkejut sehingga ia terlonjak. Sambil melangkah surut untuk  mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan, kepala Kiai Garda sedikit mendongak agar bisa  melihat siapakah yang sedang menyapanya ditengah suasana yang menegangkan ini.


Saat itulah Kiai Garda menangkap seraut wajah yang dikenalnya sedang berjalan pelan dan sambil membopong tubuh Sekar Mirah dan mendudukkan tubuh itu disebelah Pandan Wangi. Wajah itu berusaha tersenyum meskipun Kiai Garda bisa menangkap bahwa sebetulnya orang itu mengalami kelelahan yang sangat. Pakaiannya terlihat kumal dan compang-camping serta berlubang-lubang dibeberapa tempat dengan noda-noda hangus seolah baru dihujani ribuan arang yang membara.


Sesaat kemudian sosok yang baru hadir itu menoleh dan berkata.


“O, maaf, apakah aku mengejutkan Kiai?”, - suaranya terdengar dipenuhi nada lelah.


Kiai Garda menarik nafas dalam-dalam, kehadiran orang ini seolah merupakan embun sejuk yang mengusap dan menghapus semua ketegangan yang selama ini merayapi hatinya. Kemunculannya seolah juga merupakan pertanda bahwa semua ketegangan yang terjadi agaknya sudah berakhir. Dengan suara pelan Kiai Garda kemudian menjawab.


“Ya, sesungguhnya aku memang terkejut Ki Agung Sedayu. Tetapi agaknya itu semata-mata karena hatiku yang diliputi ketegangan dan kecemasan melihat keadaan saudara-saudara kita khususnya angger Gilang ini”


Orang yang baru datang dan tidak lain adalah Agung Sedayu itu mengangguk-angguk sambil melangkah mendekati Gilang yang terbaring di atas pasir tepian sungai Belehan itu. Sambil berjongkok ia masih sempat berkata.


“Kiai, aku mohon Kiai berkenan menolong Paman Widura dan yang lain. Biarlah aku mencoba melihat keadaan Gilang yang agaknya sedang pingsan ini”

“O, baiklah”, - Kiai Garda seperti seorang yang baru tersadarkan dan segera bergeser untuk memberikan pertolongan kepada Ki Widura dan yang lain.


Agung Sedayu segera memeriksa denyut nadi di pergelangan tangan Gilang serta mendengar detak jantung di dada bocah itu. Diperiksanya dengan teliti seluruh anggota badan serta urat-urat di sekitar leher dan dadanya. Ia menarik nafas lega ketika tidak menemukan sesuatu yang aneh ditubuh bocah itu. Dengan cekatan, tangan kanannya melakukan beberapa kali totokan dan pijatan di sekitar telapak kaki dan dada bocah itu agar segera tersadar dari pingsannya.


Salam,
Ries




No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...