Wednesday, August 9, 2017

BSG - BAB.IV - HSSG - Babak-23

BALADA SWANDARU GENI
Bab IV: Hilangnya Seorang Swandaru Geni
Babak – 23



Wajah Ki Widura dan Gilang yang mengawasi jalannya pertarungan itu menjadi sangat pucat. Keadaan berubah sedemikian cepat, kini Pandan Wangilah yang terancam ujung cambuk berkarah besi yang terayun mematuk dengan di lambari tenaga cadangan Swandaru yang sangat besar. Tetapi tidak ada yang bisa mereka lakukan, selain jarak yang tidak terlalu dekat, perubahan itu begitu mendadak dan tidak terduga.


Kepasrahan adalah sandaran terakhir sekaligus merupakan titik tertinggi kepercayaan manusia kepada Yang Maha Agung sesembahan-nya. Kondisi ini biasanya tercapai ketika manusia sudah berusaha dengan sangat bersungguh-sungguh, akan tetapi ia tidak lagi melihat jalan lain untuk berhasil. Maka seluruh pengharapan hanya tertuju kepada Yang Maha Agung yang selama ini kebesaran-Nya selalu terucap seiring detak jantung dan aliran darah dalam tubuhnya.


Itulah yang terjadi pada Pandan Wangi yang selama ini sangat mempercayai perlindungan dari sesembahannya, akan tetapi ia juga selalu mengawalinya dengan sebuah usaha yang bersungguh-sungguh.


Satu hal yang terkadang tidak disadari banyak orang, keadaan berpasrah diri itu sebenarnya membawa seseorang pada puncak keheningan yang justru membangkitkan seluruh potensi yang mendekam dalam alam bawah sadar kita. Dalam keadaan genting dan tidak terelakkan, seluruh syaraf dan gerak naluriah dalam tubuh bergetar lembut namun sangatlah cepat.


Terlebih, ada sebuah kalimat atau petuah yang selalu di ingat oleh Pandan Wangi dan saat itu petuah atau petunjuk itu kembali bergema dalam pikiran dan ingatannya. Meskipun selama ini ia belum membuktikannya, akan tetapi karena kalimat ini datang dari orang yang sangat di hormatinya, maka ia cenderung percaya sepenuhnya.


“Wangi, dengan berlatih secara rutin, ajian Asta Sewu ini aku pastikan akan mempertajam semua gerak naluriahmu. Dengan ilmu meringankan tubuh yang sekarang kau miliki, sebenarnya semua benda dapat kau jadikan sebagai pijakan untuk bergerak atau melompat. Bahkan, kesiur angin dari lawan juga bisa kau manfaatkan untuk bergerak sesuai keinginanmu”


Tanpa sadar Pandan Wangi membayangkan wajah Agung Sedayu saat mengucapkan kalimat-kalimat itu. Saat itu seperti biasanya, Pandan Wangi cenderung menunduk sambil mengukir seluruh kata-kata dari pria yang pernah menarik perhatiannya itu ke dalam hati dan ingatannya.

Pada saat yang sama, pikiran bawah sadar Pandan Wangi seolah juga mempertontonkan sebuah gerak yang baru saja dilihat sehari sebelumnya dan sangat menarik perhatiannya. Gambaran gerak itu muncul  ketika terjadi pertarungan antara Sekar Mirah dan Ki Sindupati dimana laki-laki berbaju gelap itu mampu membuat lompatan yang teramat panjang dengan meminjam tenaga benturan antara dirinya melawan Sekar Mirah, sehingga ia terbebas dari bahaya yang menyergapnya.


Sudah tentu semua ingatan dan gambaran gerak itu terjadi dalam waktu yang sangat cepat atau hanya sekelebatan saja dalam diri Pandan Wangi. Tetapi ingatan dan kesadaran akan semua hal itu menyadarkan Pandan Wangi bahwa masih ada usaha yang pantas ia lakukan agar terbebas dari kegentingan yang menderanya saat ini.


Seluruh susunan syaraf dan gerak naluriah dalam diri Pandan Wangi seketika bergetar lembut. Kepasrahannya atas keadaan yang dihadapi saat ini justru memunculkan keyakinan yang sangat tinggi.


Dengan penuh rasa percaya diri, mata Pandan Wangi menatap ayunan cambuk suaminya yang mengancam dada kirinya. Ayunan itu begitu kuat karena dilambari tenaga cadangan yang sangat besar sehingga menimbulkan kesiur angin yang keras dan tajam seolah menusuk kulit.


“Inilah yang harus aku manfaatkan”, - desis Pandan Wangi dalam hati.


Segera Pandan Wangi memusatkan seluruh perhatiannya pada gerak pedang tipis di tangan kirinya. Dengan menahan nafas kuat-kuat dan masih dilambari ajian gerak Asta Sewu, pedang ditangan kirinya mengibas dan menyambut juntai cambuk berjuntai panjang dan berkarah baja itu.


Sesaat sebelum kibasan pedang tipis dan juntai cambuk itu saling berbenturan, Pandan Wangi sudah bisa merasakan adanya hembusan angin kasar dan tajam yang begitu besar yang ditimbulkan oleh ayunan cambuk itu. Saat itulah, dengan mengempos semangat hingga ke puncaknya, Pandan Wangi segera memapaki kesiur angin keras itu dan mengetrapkan ilmu meringankan tubuhnya hingga puncaknya.


Terjadilah sebuah benturan yang tidak semua orang menyadari kejadiannya. Kenyataan-nya yang berbenturan sebenarnya hanyalah kibasan pedang tipis Pandan Wangi melawan hempasan angin kasar akibat ayunan senjata cambuk Swandaru yang dilambari pengerahan tenaga cadangan yang sangat besar. Benturan itu sama sekali tidak menimbulkan ledakkan layaknya dua buah tenaga cadangan yang sedang bertemu, hanya saja mata tajam Ki Widura masih bisa melihat kejadian yang sesungguhnya.


Tenaga benturan itulah yang dimanfaatkan Pandan Wangi untuk melemparkan tubuhnya jauh ke belakang.

Mata Ki Widura dan Gilang terbelalak ketika melihat tubuh Pandan Wangi melesat mundur dengan tubuh yang tetap menghadap ke depan menatap Swandaru. Tubuh Pandan Wangi itu terlontar rendah hampir menyentuh tanah karena posisi awalnya ia memang sedang membungkukkan tubuhnya. Akan tetapi setelah terlontar mundur dan rendah hampir tiga tombak, ujung kaki kiri Pandan Wangi segera menotol tanah yang membuat tubuhnya melambung ke atas dan berjungkir balik beberapa kali sebelum kemudian mendarat di tanah dengan tanpa menimbulkan bunyi sama sekali. Satu tangan kiri Pandan Wangi menyilang didada sambil tetap menggenggam pedang tipisnya, sementara tangan kanannya terangkat tinggi dan pedangnya tegak lurus hendak menggapai langit.


Sebuah sikap kuda-kuda yang sangat kuat dan rapat akan tetapi juga menggambarkan sebuah keindahan.


Pandan Wangi mencoba mengatur degup didadanya yang berdetak lebih kencang dari biasanya. Apa yang baru saja dilakukannya dengan seketika dan tanpa persiapan itu ternyata telah menyelamatkannya.


“Untunglah aku selalu mengingat nasehat kakang Agung Sedayu”, - ia berucap dalam hati.


Salam,

Ries

No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...