BALADA
SWANDARU GENI
Bab IV:
Hilangnya Seorang Swandaru Geni
Babak – 23
Wajah Ki
Widura dan Gilang yang mengawasi jalannya pertarungan itu menjadi sangat pucat.
Keadaan berubah sedemikian cepat, kini Pandan Wangilah yang terancam ujung
cambuk berkarah besi yang terayun mematuk dengan di lambari tenaga cadangan
Swandaru yang sangat besar. Tetapi tidak ada yang bisa mereka lakukan, selain
jarak yang tidak terlalu dekat, perubahan itu begitu mendadak dan tidak
terduga.
Kepasrahan
adalah sandaran terakhir sekaligus merupakan titik tertinggi kepercayaan
manusia kepada Yang Maha Agung sesembahan-nya. Kondisi ini biasanya tercapai
ketika manusia sudah berusaha dengan sangat bersungguh-sungguh, akan tetapi ia
tidak lagi melihat jalan lain untuk berhasil. Maka seluruh pengharapan hanya
tertuju kepada Yang Maha Agung yang selama ini kebesaran-Nya selalu terucap
seiring detak jantung dan aliran darah dalam tubuhnya.
Itulah yang
terjadi pada Pandan Wangi yang selama ini sangat mempercayai perlindungan dari
sesembahannya, akan tetapi ia juga selalu mengawalinya dengan sebuah usaha yang
bersungguh-sungguh.
Satu hal
yang terkadang tidak disadari banyak orang, keadaan berpasrah diri itu
sebenarnya membawa seseorang pada puncak keheningan yang justru membangkitkan
seluruh potensi yang mendekam dalam alam bawah sadar kita. Dalam keadaan
genting dan tidak terelakkan, seluruh syaraf dan gerak naluriah dalam tubuh bergetar
lembut namun sangatlah cepat.
Terlebih,
ada sebuah kalimat atau petuah yang selalu di ingat oleh Pandan Wangi dan saat
itu petuah atau petunjuk itu kembali bergema dalam pikiran dan ingatannya.
Meskipun selama ini ia belum membuktikannya, akan tetapi karena kalimat ini
datang dari orang yang sangat di hormatinya, maka ia cenderung percaya
sepenuhnya.
“Wangi, dengan
berlatih secara rutin, ajian Asta Sewu ini aku pastikan akan mempertajam semua
gerak naluriahmu. Dengan ilmu meringankan tubuh yang sekarang kau miliki,
sebenarnya semua benda dapat kau jadikan sebagai pijakan untuk bergerak atau
melompat. Bahkan, kesiur angin dari lawan juga bisa kau manfaatkan untuk
bergerak sesuai keinginanmu”
Tanpa sadar
Pandan Wangi membayangkan wajah Agung Sedayu saat mengucapkan kalimat-kalimat
itu. Saat itu seperti biasanya, Pandan Wangi cenderung menunduk sambil mengukir
seluruh kata-kata dari pria yang pernah menarik perhatiannya itu ke dalam hati
dan ingatannya.
Pada saat
yang sama, pikiran bawah sadar Pandan Wangi seolah juga mempertontonkan sebuah
gerak yang baru saja dilihat sehari sebelumnya dan sangat menarik perhatiannya.
Gambaran gerak itu muncul ketika terjadi
pertarungan antara Sekar Mirah dan Ki Sindupati dimana laki-laki berbaju gelap
itu mampu membuat lompatan yang teramat panjang dengan meminjam tenaga benturan
antara dirinya melawan Sekar Mirah, sehingga ia terbebas dari bahaya yang
menyergapnya.
Sudah tentu
semua ingatan dan gambaran gerak itu terjadi dalam waktu yang sangat cepat atau
hanya sekelebatan saja dalam diri Pandan Wangi. Tetapi ingatan dan kesadaran
akan semua hal itu menyadarkan Pandan Wangi bahwa masih ada usaha yang pantas
ia lakukan agar terbebas dari kegentingan yang menderanya saat ini.
Seluruh susunan
syaraf dan gerak naluriah dalam diri Pandan Wangi seketika bergetar lembut.
Kepasrahannya atas keadaan yang dihadapi saat ini justru memunculkan keyakinan yang
sangat tinggi.
Dengan penuh
rasa percaya diri, mata Pandan Wangi menatap ayunan cambuk suaminya yang
mengancam dada kirinya. Ayunan itu begitu kuat karena dilambari tenaga cadangan
yang sangat besar sehingga menimbulkan kesiur angin yang keras dan tajam seolah
menusuk kulit.
“Inilah yang
harus aku manfaatkan”, - desis Pandan Wangi dalam hati.
Segera Pandan
Wangi memusatkan seluruh perhatiannya pada gerak pedang tipis di tangan
kirinya. Dengan menahan nafas kuat-kuat dan masih dilambari ajian gerak Asta
Sewu, pedang ditangan kirinya mengibas dan menyambut juntai cambuk berjuntai
panjang dan berkarah baja itu.
Sesaat
sebelum kibasan pedang tipis dan juntai cambuk itu saling berbenturan, Pandan
Wangi sudah bisa merasakan adanya hembusan angin kasar dan tajam yang begitu
besar yang ditimbulkan oleh ayunan cambuk itu. Saat itulah, dengan mengempos
semangat hingga ke puncaknya, Pandan Wangi segera memapaki kesiur angin keras
itu dan mengetrapkan ilmu meringankan tubuhnya hingga puncaknya.
Terjadilah
sebuah benturan yang tidak semua orang menyadari kejadiannya. Kenyataan-nya
yang berbenturan sebenarnya hanyalah kibasan pedang tipis Pandan Wangi melawan hempasan
angin kasar akibat ayunan senjata cambuk Swandaru yang dilambari pengerahan
tenaga cadangan yang sangat besar. Benturan itu sama sekali tidak menimbulkan
ledakkan layaknya dua buah tenaga cadangan yang sedang bertemu, hanya saja mata
tajam Ki Widura masih bisa melihat kejadian yang sesungguhnya.
Tenaga
benturan itulah yang dimanfaatkan Pandan Wangi untuk melemparkan tubuhnya jauh
ke belakang.
Mata Ki
Widura dan Gilang terbelalak ketika melihat tubuh Pandan Wangi melesat mundur
dengan tubuh yang tetap menghadap ke depan menatap Swandaru. Tubuh Pandan Wangi
itu terlontar rendah hampir menyentuh tanah karena posisi awalnya ia memang
sedang membungkukkan tubuhnya. Akan tetapi setelah terlontar mundur dan rendah hampir
tiga tombak, ujung kaki kiri Pandan Wangi segera menotol tanah yang membuat tubuhnya
melambung ke atas dan berjungkir balik beberapa kali sebelum kemudian mendarat
di tanah dengan tanpa menimbulkan bunyi sama sekali. Satu tangan kiri Pandan
Wangi menyilang didada sambil tetap menggenggam pedang tipisnya, sementara
tangan kanannya terangkat tinggi dan pedangnya tegak lurus hendak menggapai
langit.
Sebuah sikap
kuda-kuda yang sangat kuat dan rapat akan tetapi juga menggambarkan sebuah
keindahan.
Pandan Wangi
mencoba mengatur degup didadanya yang berdetak lebih kencang dari biasanya. Apa
yang baru saja dilakukannya dengan seketika dan tanpa persiapan itu ternyata
telah menyelamatkannya.
“Untunglah
aku selalu mengingat nasehat kakang Agung Sedayu”, - ia berucap dalam hati.
Salam,
Ries
No comments:
Post a Comment