BALADA
SWANDARU GENI
Bab IV:
Hilangnya Seorang Swandaru Geni
Babak – 21
Betapapun
terkejut, kecewa dan semua perasaan lain yang bercampur menjadi satu dalam
hatinya, akan tetapi Pandan Wangi memang sudah benar-benar mempersiapkan diri
untuk menghadapi persoalan di tepian Kali Belehan ini. Selain petunjuk dan
saran dari Agung Sedayu yang senantiasa membesarkan hatinya, kejadian atas diri
Ki Sindupati sedikit banyak telah memberi gambaran yang lebih lugas akan
kemungkinan yang akan dihadapinya.
Karena itu,
meskipun dengan hati yang perih Pandan Wangi segera menyambut serangan suaminya
itu dan bahkan kemudian melibatnya dalam pertarungan jarak pendek. Ia sudah
membagi tugas agar Ki Widura yang mengawasi dan melindungi Gilang, sementara ia
sendiri mencoba untuk menahan dan menyadarkan suaminya yang telah kehilangan
kepribadiannya.
Pandan Wangi
yang sudah sering berlatih dengan suaminya itu cukup memahami kelebihan dan kelemahan
Swandaru. Meskipun suaminya itu sudah memegang dan bahkan meledakkan cambuknya,
ternyata Pandan Wangi tidak mencabut kedua pedang tipisnya melainkan terus melayaninya
menggunakan tangan kosong. Ia sengaja mengandalkan kecepatan geraknya, dan
ketika ada kesempatan, dengan suara lirih tapi penuh tekanan Pandan Wangi
berbisik dekat sekali dengan telinga Swandaru.
“Kakang
Swandaru, ini aku Pandan Wangi dari Tanah Perdikan Menoreh. Apakah kau sudah
tidak mengenal aku?”
Suara lirih
penuh tekanan itu untuk sesaat menyentuh indra pendengaran Swandaru sehingga
mata batin Pandan Wangi mampu menangkap betapa gerak suaminya itu tertahan
meski hanya sekejab. Hanya saja seiring dengan suara makhluk Onggo-Inggi yang
terus meringkik, Swandaru kembali melancarkan serangannya. Gerak dan
serangannya penuh tenaga karena dalam pikirannya yang sudah terpengaruh aura
gelap Kali Belehan, ia beranggapan bahwa lawan yang ada di hadapannya itu harus
di hancurkan.
Tetapi
Pandan Wangi tidak berhenti, sambil terus melibat suaminya dalam jarak pendek,
ia selalu membisikkan kata-kata yang diharapkan mampu menggunggah kesadaran
suaminya.
“Kakang
Swandaru, apakah kau ingat dengan Kiai Gringsing yang sering singgah di Kademangan
Sangkal Putung?”
Bahkan Pandan
Wangi kemudian membisikkan sebuah kalimat yang membuat suaminya itu benar-benar
termenung meskipun tidak lama.
“Kakang
Swandaru, aku akan menunjukkan sebuah cara kepadamu agar bisa mengalahkan
saudara seperguruanmu Agung Sedayu itu. Bukankah kau memang ingin mengalahkan
kakang Agung Sedayu? Nah, berhenti bergerak dan berpikirlah”
Kiai Garda
yang melihat perkembangan keadaan itu segera sadar bahwa ia harus melakukan
sesuatu. Ia melihat Pandan Wangi telah melakukan tugasnya dengan baik, hanya
saja tingkat keberhasilannya dinilai masih kecil sehingga memerlukan dukungan. Hal
ini terkait keberadaan dan suara meringkik terus menerus dari makhluk yang
bernama Onggo-Inggi itu.
Tanpa
berucap sepatah katapun, tiba-tiba tangan kanan Kiai Garda sudah memegang tongkatnya
yang diberi nama Galih Wulung dan langsung menyambar kedepan menghantam kepala
makhluk bernama Onggo-Inggi itu. Dalam serangan awal ini Kiai Garda sudah
mengerahkan segenap tenaganya untuk menjajagi kekuatan makhluk itu atau paling
tidak mampu membungkam suara ringkikan-nya.
Tak dinyana
makhluk aneh itu seolah tidak menghiraukan sambaran tongkat Galih Wulung itu.
Dengan tetap memperdengarkan suara tertawa atau meringkiknya, tiga dari kelima
kakinya dengan cepat memapaki tongkat Kiai Garda dan bahkan berusaha membelit
lalu merenggutnya. Pertemuan antara tongkat dengan ketiga kaki lentur makhluk
aneh itu seolah tidak menimbulkan benturan, inilah yang mengejutkan Kiai Garda.
Ketiga kaki lentur itu melayang cepat dari sisi samping maupun depan lalu
seolah menempel begitu saja.
Untunglah
Kiai Garda memang sudah mempersiapkan diri sehingga ia bisa mempertahankan
tongkatnya sambil melakukan gerakan mengibas kesamping. Hanya saja ketiga kaki
lentur itu seolah mengikuti gerakan tongkat itu sementara dua kakinya yang lain
terlihat berdiri tegak diatas tanah untuk menopang kepalanya yang terus
bergerak-gerak menakutkan.
Dalam satu
gebrakan itu ternyata Kiai Garda tdak mampu membuat Onggo-Inggi itu bergerak
mundur atau sekedar untuk membungkam tawa meringkik-nya.
Akibat suara
meringkik Onggo-Inggi yang tidak berkeputusan itu, kesadaran Swandaru yang
sempat pulih sekejab kembali hilang. Dengan mata yang semakin merah ia kembali
melanda Pandan Wangi melalui ayunan-ayunan cambuknya. Siapapun dapat menilai
bahwa serangan-serangan itu sangat berbahaya dan dapat melukai lawan secara
parah. Tak ayal Pandan Wangi harus mengerahkan segenap perhatian dan
kemampuannya, dengan cepat ia menarik nafas pendek-pendek berulang kali dan
kini geraknya sudah dilambari ajian Asta Sewu. Tubuhnya bergerak sangat cepat
dan mengurung Swandaru dari segala arah dengan jumlah tangan yang tak terhitung
jumlahnya.
Meskipun
kesadaran dan kepribadian Swandaru hampir hilang, akan tetapi kemampuan
Swandaru masih utuh, sehingga dengan gerak naluriah ia segera memutar cambuknya
untuk melindungi tubuhnya. Bahkan sekali-kali cambuknya itu menyelinap dan
meledak menyerang Pandan Wangi yang terus bergerak gesit menghindar.
Gilang memperhatikan
pertarungan itu dengan dada yang berdegup kencang, yang bertarung didepan
matanya itu adalah kedua orangtuanya. Ia tidak tahu kepada siapa harus
berpihak, hanya saja ia melihat Pandan Wangi melayani serangan-serangan
Swandaru yang sedang kehilangan kepribadiannya itu dengan setengah hati. Hal
itu sangat membahayakan dirinya karena serangan Swandaru itu benar-benar berbahaya.
Dalam
kegalauan itu, Gilang lalu mengeraskan hatinya dan berteriak dari luar arena
pertarungan.
“Ibunda,
cabut dan lawan Ayah dengan kedua pedang ibunda. Jangan ragu untuk melukai atau
melumpuhkan Ayah. Lebih baik Ayah terluka atau terlumpuhkan sekarang daripada
terus dalam penguasaan dan kendali makhluk aneh itu. Ibunda harus percaya, paman
Agung Sedayu pasti mampu mengobati dan menyadarkan Ayah”
Suara Gilang
itu terdengar oleh kedua orang-tuanya yang sedang bertarung itu. Akan tetapi
Swandaru seolah tidak perduli dan terus menggerakkan cambuknya untuk melindungi
diri dan sekali-kali menyerang serta meledakkan cambuknya dan menimbulkan bunyi
ledakan yang sangat keras. Sementara bagi Pandan Wangi, suara Gilang itu telah memberi
dorongan dan kemantapan diri untuk berjuang lebih keras dan tidak ragu-ragu. Segera
ia menarik kedua pedang tipisnya dan mulai memutarnya untuk melayani serangan
cambuk suaminya.
Demikianlah,
kedua suami istri itu terlibat dalam sebuah pertarungan yang semakin lama
semakin sengit dan bersungguh-sungguh. Seiring derasnya keringat yang menetes
dari tubuh Pandan Wangi, maka geraknya semakin cepat dan tidak diliputi rasa ragu
lagi. Betapapun rapatnya pertahanan Swandaru dengan putaran cambuknya, akan
tetapi ia mulai terganggu dengan ribuan bayangan pedang tipis yang terus
menari-nari mengitarinya seakan ribuan lalat hendak hinggap di permukaan
kulitnya.
Apalagi,
saat itu Pandan Wangi sudah membulatkan tekad untuk melumpuhkan Swandaru dengan
cara apapun. Dengan jeli Pandan Wangi melihat beberapa kesempatan yang
sebenarnya bisa dimanfaatkannya, hanya saja putaran cambuk berjuntai panjang itu
memang masih terlalu mengganggunya.
Saat itulah,
Pandan Wangi memutuskan untuk mengetrapkan ilmu yang selama ini sudah
ditekuninya, yang membuatnya mampu menyentuh sasaran terlebih dahulu sebelum sentuhan
senjata yang sesungguhnya.
Ketika
cambuk Swandaru berputar mengancam pundaknya, saat itulah Pandan Wangi merendahkan
tubuhnya bahkan posisinya hampir berjongkok. Ia melihat pinggang kiri Swandaru
yang terbuka dan agaknya ini adalah celah yang bisa dimanfaatkannya.
Sambil merendahkan
dirinya, kaki kiri Pandan Wangi maju setengah langkah sementara pedang ditangan
kirinya menyilang melindungi wajahnya, sedang pedang ditangan kanannya terjulur
kedepan. Dengan kesadaran tinggi ia sudah melambari gerak pedangnya dengan ilmu
mampu mendahului geraknya.
“Maafkan aku
kakang, tetapi ini adalah untuk kebaikanmu”, - desis Pandan Wangi dalam hati.
Gilang
melihat semua itu dengan degup dada yang berguncang.
Salam,
Ries
No comments:
Post a Comment