Monday, August 7, 2017

BSG - BAB.IV - HSSG - Babak-21

BALADA SWANDARU GENI
Bab IV: Hilangnya Seorang Swandaru Geni
Babak – 21



Betapapun terkejut, kecewa dan semua perasaan lain yang bercampur menjadi satu dalam hatinya, akan tetapi Pandan Wangi memang sudah benar-benar mempersiapkan diri untuk menghadapi persoalan di tepian Kali Belehan ini. Selain petunjuk dan saran dari Agung Sedayu yang senantiasa membesarkan hatinya, kejadian atas diri Ki Sindupati sedikit banyak telah memberi gambaran yang lebih lugas akan kemungkinan yang akan dihadapinya.


Karena itu, meskipun dengan hati yang perih Pandan Wangi segera menyambut serangan suaminya itu dan bahkan kemudian melibatnya dalam pertarungan jarak pendek. Ia sudah membagi tugas agar Ki Widura yang mengawasi dan melindungi Gilang, sementara ia sendiri mencoba untuk menahan dan menyadarkan suaminya yang telah kehilangan kepribadiannya.


Pandan Wangi yang sudah sering berlatih dengan suaminya itu cukup memahami kelebihan dan kelemahan Swandaru. Meskipun suaminya itu sudah memegang dan bahkan meledakkan cambuknya, ternyata Pandan Wangi tidak mencabut kedua pedang tipisnya melainkan terus melayaninya menggunakan tangan kosong. Ia sengaja mengandalkan kecepatan geraknya, dan ketika ada kesempatan, dengan suara lirih tapi penuh tekanan Pandan Wangi berbisik dekat sekali dengan telinga Swandaru.


“Kakang Swandaru, ini aku Pandan Wangi dari Tanah Perdikan Menoreh. Apakah kau sudah tidak mengenal aku?”


Suara lirih penuh tekanan itu untuk sesaat menyentuh indra pendengaran Swandaru sehingga mata batin Pandan Wangi mampu menangkap betapa gerak suaminya itu tertahan meski hanya sekejab. Hanya saja seiring dengan suara makhluk Onggo-Inggi yang terus meringkik, Swandaru kembali melancarkan serangannya. Gerak dan serangannya penuh tenaga karena dalam pikirannya yang sudah terpengaruh aura gelap Kali Belehan, ia beranggapan bahwa lawan yang ada di hadapannya itu harus di hancurkan.


Tetapi Pandan Wangi tidak berhenti, sambil terus melibat suaminya dalam jarak pendek, ia selalu membisikkan kata-kata yang diharapkan mampu menggunggah kesadaran suaminya.


“Kakang Swandaru, apakah kau ingat dengan Kiai Gringsing yang sering singgah di Kademangan Sangkal Putung?”


Bahkan Pandan Wangi kemudian membisikkan sebuah kalimat yang membuat suaminya itu benar-benar termenung meskipun tidak lama.


“Kakang Swandaru, aku akan menunjukkan sebuah cara kepadamu agar bisa mengalahkan saudara seperguruanmu Agung Sedayu itu. Bukankah kau memang ingin mengalahkan kakang Agung Sedayu? Nah, berhenti bergerak dan berpikirlah”


Kiai Garda yang melihat perkembangan keadaan itu segera sadar bahwa ia harus melakukan sesuatu. Ia melihat Pandan Wangi telah melakukan tugasnya dengan baik, hanya saja tingkat keberhasilannya dinilai masih kecil sehingga memerlukan dukungan. Hal ini terkait keberadaan dan suara meringkik terus menerus dari makhluk yang bernama Onggo-Inggi itu.


Tanpa berucap sepatah katapun, tiba-tiba tangan kanan Kiai Garda sudah memegang tongkatnya yang diberi nama Galih Wulung dan langsung menyambar kedepan menghantam kepala makhluk bernama Onggo-Inggi itu. Dalam serangan awal ini Kiai Garda sudah mengerahkan segenap tenaganya untuk menjajagi kekuatan makhluk itu atau paling tidak mampu membungkam suara ringkikan-nya.


Tak dinyana makhluk aneh itu seolah tidak menghiraukan sambaran tongkat Galih Wulung itu. Dengan tetap memperdengarkan suara tertawa atau meringkiknya, tiga dari kelima kakinya dengan cepat memapaki tongkat Kiai Garda dan bahkan berusaha membelit lalu merenggutnya. Pertemuan antara tongkat dengan ketiga kaki lentur makhluk aneh itu seolah tidak menimbulkan benturan, inilah yang mengejutkan Kiai Garda. Ketiga kaki lentur itu melayang cepat dari sisi samping maupun depan lalu seolah menempel begitu saja.


Untunglah Kiai Garda memang sudah mempersiapkan diri sehingga ia bisa mempertahankan tongkatnya sambil melakukan gerakan mengibas kesamping. Hanya saja ketiga kaki lentur itu seolah mengikuti gerakan tongkat itu sementara dua kakinya yang lain terlihat berdiri tegak diatas tanah untuk menopang kepalanya yang terus bergerak-gerak menakutkan.


Dalam satu gebrakan itu ternyata Kiai Garda tdak mampu membuat Onggo-Inggi itu bergerak mundur atau sekedar untuk membungkam tawa meringkik-nya.


Akibat suara meringkik Onggo-Inggi yang tidak berkeputusan itu, kesadaran Swandaru yang sempat pulih sekejab kembali hilang. Dengan mata yang semakin merah ia kembali melanda Pandan Wangi melalui ayunan-ayunan cambuknya. Siapapun dapat menilai bahwa serangan-serangan itu sangat berbahaya dan dapat melukai lawan secara parah. Tak ayal Pandan Wangi harus mengerahkan segenap perhatian dan kemampuannya, dengan cepat ia menarik nafas pendek-pendek berulang kali dan kini geraknya sudah dilambari ajian Asta Sewu. Tubuhnya bergerak sangat cepat dan mengurung Swandaru dari segala arah dengan jumlah tangan yang tak terhitung jumlahnya.

Meskipun kesadaran dan kepribadian Swandaru hampir hilang, akan tetapi kemampuan Swandaru masih utuh, sehingga dengan gerak naluriah ia segera memutar cambuknya untuk melindungi tubuhnya. Bahkan sekali-kali cambuknya itu menyelinap dan meledak menyerang Pandan Wangi yang terus bergerak gesit menghindar.


Gilang memperhatikan pertarungan itu dengan dada yang berdegup kencang, yang bertarung didepan matanya itu adalah kedua orangtuanya. Ia tidak tahu kepada siapa harus berpihak, hanya saja ia melihat Pandan Wangi melayani serangan-serangan Swandaru yang sedang kehilangan kepribadiannya itu dengan setengah hati. Hal itu sangat membahayakan dirinya karena serangan Swandaru itu benar-benar berbahaya.


Dalam kegalauan itu, Gilang lalu mengeraskan hatinya dan berteriak dari luar arena pertarungan.


“Ibunda, cabut dan lawan Ayah dengan kedua pedang ibunda. Jangan ragu untuk melukai atau melumpuhkan Ayah. Lebih baik Ayah terluka atau terlumpuhkan sekarang daripada terus dalam penguasaan dan kendali makhluk aneh itu. Ibunda harus percaya, paman Agung Sedayu pasti mampu mengobati dan menyadarkan Ayah”


Suara Gilang itu terdengar oleh kedua orang-tuanya yang sedang bertarung itu. Akan tetapi Swandaru seolah tidak perduli dan terus menggerakkan cambuknya untuk melindungi diri dan sekali-kali menyerang serta meledakkan cambuknya dan menimbulkan bunyi ledakan yang sangat keras. Sementara bagi Pandan Wangi, suara Gilang itu telah memberi dorongan dan kemantapan diri untuk berjuang lebih keras dan tidak ragu-ragu. Segera ia menarik kedua pedang tipisnya dan mulai memutarnya untuk melayani serangan cambuk suaminya.


Demikianlah, kedua suami istri itu terlibat dalam sebuah pertarungan yang semakin lama semakin sengit dan bersungguh-sungguh. Seiring derasnya keringat yang menetes dari tubuh Pandan Wangi, maka geraknya semakin cepat dan tidak diliputi rasa ragu lagi. Betapapun rapatnya pertahanan Swandaru dengan putaran cambuknya, akan tetapi ia mulai terganggu dengan ribuan bayangan pedang tipis yang terus menari-nari mengitarinya seakan ribuan lalat hendak hinggap di permukaan kulitnya.


Apalagi, saat itu Pandan Wangi sudah membulatkan tekad untuk melumpuhkan Swandaru dengan cara apapun. Dengan jeli Pandan Wangi melihat beberapa kesempatan yang sebenarnya bisa dimanfaatkannya, hanya saja putaran cambuk berjuntai panjang itu memang masih terlalu mengganggunya.


Saat itulah, Pandan Wangi memutuskan untuk mengetrapkan ilmu yang selama ini sudah ditekuninya, yang membuatnya mampu menyentuh sasaran terlebih dahulu sebelum sentuhan senjata yang sesungguhnya.
Ketika cambuk Swandaru berputar mengancam pundaknya, saat itulah Pandan Wangi merendahkan tubuhnya bahkan posisinya hampir berjongkok. Ia melihat pinggang kiri Swandaru yang terbuka dan agaknya ini adalah celah yang bisa dimanfaatkannya.


Sambil merendahkan dirinya, kaki kiri Pandan Wangi maju setengah langkah sementara pedang ditangan kirinya menyilang melindungi wajahnya, sedang pedang ditangan kanannya terjulur kedepan. Dengan kesadaran tinggi ia sudah melambari gerak pedangnya dengan ilmu mampu mendahului geraknya.


“Maafkan aku kakang, tetapi ini adalah untuk kebaikanmu”, - desis Pandan Wangi dalam hati.


Gilang melihat semua itu dengan degup dada yang berguncang.



Salam,

Ries

No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...