BALADA
SWANDARU GENI
Bab IV:
Hilangnya Seorang Swandaru Geni
Babak – 25
Ki Widura
mengerutkan keningnya ketika melihat Kiai Garda dan Pandan Wangi yang bergeser
mendekati Gilang yang berdiri di sebelahnya. Dengan demikian pengawasan
terhadap Swandaru terasa agak longgar dan ini menggelisahkan Ki Widura. Segera
ia bergeser hendak menggantikan keduanya untuk mengawasi Swandaru, agaknya Ki
Widura sama sekali tidak ingin lengah.
Kiai Garda
agaknya cukup memahami apa yang ada di pikiran Ki Widura. Karena itu ia segera
berdesis lirih - ,”Ki Widura, kita harus memanfaatkan kesempatan ini sebelum
nanti Ki Swandaru terkena pengaruh yang bisa mengendalikannya lagi”
“Apa yang
harus kita lakukan Kiai?”, - tanya Ki Widura.
Kiai Garda
tidak langsung menjawab melainkan menoleh kepada Gilang - ,”Gilang, apakah kau
masih mempunyai sisa potongan bambu kuning pethuk rose itu?”
Mendengar
pertanyaan Kiai Garda itu, Gilang langsung meraih sesuatu dibalik kain
panjangnya dan menunjukkannya kepada mereka yang hadir disitu.
“Ini hanya
tersisa satu paman”, - jawab Gilang pendek.
“Bagus,
tetapi itu berarti bidikanmu nanti sama sekali tidak boleh meleset Gilang. Nah,
dengarlah”, - suara Kiai Garda terdengar sangat bersungguh-sungguh - ,”Aku
tidak tahu apa yang sedang dilakukan oleh Ki Agung Sedayu sekarang karena
keberadaannya tidak dapat aku jangkau dengan semua indra yang ada padaku.
Tetapi kita harus bertindak cepat untuk menyelamatkan ayahmu Gilang”
Semua yang
hadir disitu mendengar dengan wajah tegang. Mereka benar-benar mengabaikan
lingkaran pertarungan yang sedang berkobar dengan sengitnya dan lebih
memusatkan perhatiannya kepada upaya penyelamatan Swandaru Geni.
“Gilang,
perhatikan noda kehitaman yang ada belakang telinga kiri Ayahmu agak turun
sedikit ke bawah. Mungkin kau belum melihatnya dengan seksama, maka nanti
perhatikanlah dengan sungguh-sungguh dan arahkan bidikanmu yang menggunakan
potongan bambu kuning itu. Aku meyakini, itulah titik atau pintu keluar
masuknya pengaruh luar yang membuat Ki Swandaru bisa dikendalikan oleh makhluk
Onggo-Inggi ataupun oleh Resi gila di tepian Kali Belehan ini”, - suara Kiai
Garda terdengar berbisik pelan seolah ia sedang berbicara menggunakan ajian
pameling meskipun orang yang mendengarnya ada di sebelah dan dihadapannya.
Agaknya Kiai
Garda benar-benar berusaha agar tidak ada seorangpun yang mencuri dengar
rencana mereka.
“Baik
paman”, - jawab Gilang mantab sambil mengedarkan pandangannya - ,”Tetapi apakah
aku harus bertempur dan memancing Ayah agar ia mau bergerak dan menghadap ke
arah lain dulu”
Kiai Garda
yang mengikuti arah pandangan mata Gilang segera menangkap maksud dan keraguan
bocah kecil itu. Saat ini Swandaru duduk ‘ndeprok’ dekat sekali dengan batas
tepi sungai sambil menghadap kearah utara, sementara sungai berada di sebelah
kirinya. Saat ini mereka berada disisi timur yang berarti di sebelah kanan
Swandaru yang duduk itu. Jika ingin mengincar bagian kiri tubuhnya, maka
Swandaru harus dipancing agar mau bergeser dan menghadap kearah selatan atau
paling tidak kearah timur.
Ada keraguan
yang melintas dihati Kiai Garda - ,”Kalau harus memancing agar Ki Swandaru
bergerak, aku kuatir simpul-simpul syarafnya akan bergetar dan menangkap adanya
bahaya yang mengancamnya. Ini dapat memicunya untuk bergerak lagi tanpa
kendali”
Ketika Kiai
Garda masih berpikir dan ragu-ragu untuk memutuskan, terdengar suara Pandan
Wangi lirih.
“Kiai, aku
ada usul”
“Bagaimana
Nyi?”, - kini Kiai Garda yang mengerutkan keningnya.
Pandan Wangi
terlihat mengangkat wajahnya sambil memandang ke seberang sungai dan Kiai Garda
terpaksa mengikuti arah pandangan ibundanya Gilang itu.
“Kiai,
lihatlah, diseberang sungai itu ada sebuah batu yang cukup besar untuk menjadi
pijakan Gilang agar bisa bergerak dengan leluasa. Aku kira kita bisa
memanfaatkan batu itu”, - desis Pandan Wangi pelan.
“Apakah Nyi
Pandan Wangi bisa melompati sungai yang cukup lebar ini sambil membawa
Gilang?”, - tanya Kiai Garda hati-hati.
Sungai itu
memang cukup lebar, jarak dari tepi ke tepian seberang mungkin sekitar sepuluh
atau sebelas tombak. Dalam keadaan biasa dan jika hanya seorang diri, Kiai
Garda meyakini bahwa dengan ilmu meringankan tubuhnya yang nyaris sempurna,
Pandan Wangi akan mampu melompati jarak yang sedemikian lebar itu. Akan tetapi
kini yang menjadi tumpuan harapan mereka adalah Gilang dan rasanya akan sulit
bagi Gilang untuk melompat dan menyeberang sungai yang sedemikian lebar itu.
Pandan Wangi
menyadari arah pertanyaan Kiai Garda itu. Jika ia harus menggendong Gilang,
maka berat tubuh anaknya itu memang akan mengurangi daya lenting maupun daya
lompatnya. Seberapapun ia mengetrapkan ilmu meringankan tubuhnya, maka akan
sulit untuk sampai di tepian seberang. Mungkin ia akan terjatuh di
tengah-tengah sungai dan tertelan arus air yang mengalir terus menerus itu.
Tetapi bahwa
Pandan Wangi berani mengajukan sebuah usul itu karena ia mempunyai sebuah
rencana.
Dengan cepat
Pandan Wangi kemudian melangkah ke tepian lalu membungkukkan badannya untuk
mengambil dua buah batu seukuran kepalan tangan orang dewasa. Diserahkannya dua
buah batu kali sebesar sekepalan tangan itu kepada Kiai Garda sambil berbisik
pelan.
“Aku
memerlukan bantuan Kiai”
Suara Pandan
Wangi yang sangat lirih itu hampir tidak tertangkap oleh terlinga Gilang.
Sementara
Kiai Garda menerima batu kali dari tangan Pandan Wangi itu sambil mengerutkan
keningnya. Akan tetapi sejenak kemudian ia justru tersenyum lebar sambil
mengangguk-angguk, diam-diam ia mengagumi kecermelangan otak dari putri
penguasa Tanah Perdikan Menoreh itu.
Pandan Wangi
kemudian memanggil Gilang agar lebih mendekat dan menuturkan rencananya untuk
bisa sampai diseberang dan bagaimana kemudian tugas Gilang itu bisa
dilaksanakan.
“Baiklah,
aku percaya Nyi Pandan Wangi dan angger Gilang akan mampu melakukannya”
“Aku mohon
Kiai dan Paman Widura menjaga kakang Swandaru sementara aku akan membawa Gilang
ke tepian seberang”
Tanpa
menunggu jawaban, Pandan Wangi langsung bergeser dan mengajak Gilang untuk
melangkah agak menjauh dari Kiai Garda untuk mengambil sudut lompatan yang
terbaik.
Sesaat
kemudian Pandan Wangi segera mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Ia menarik
nafas pendek-pendek beberapa kali dan menyimpannya di dada. Pandan Wangi
mengetrapkan ilmu meringankan tubuh pada puncaknya dan pada saat yang sama
mengucap doa permohonan agar Yang Maha Agung memberinya pertolongan.
Peluh
mengembun di wajahnya yang jelita, akan tetapi itu justru menambah pesona
betapa Pandan Wangi merupakan sosok wanita yang sangat lengkap.
Salam,
Ries
No comments:
Post a Comment