Sunday, August 13, 2017

BSG - BAB.IV - HSSG - Babak-25

BALADA SWANDARU GENI
Bab IV: Hilangnya Seorang Swandaru Geni
Babak – 25



Ki Widura mengerutkan keningnya ketika melihat Kiai Garda dan Pandan Wangi yang bergeser mendekati Gilang yang berdiri di sebelahnya. Dengan demikian pengawasan terhadap Swandaru terasa agak longgar dan ini menggelisahkan Ki Widura. Segera ia bergeser hendak menggantikan keduanya untuk mengawasi Swandaru, agaknya Ki Widura sama sekali tidak ingin lengah.


Kiai Garda agaknya cukup memahami apa yang ada di pikiran Ki Widura. Karena itu ia segera berdesis lirih - ,”Ki Widura, kita harus memanfaatkan kesempatan ini sebelum nanti Ki Swandaru terkena pengaruh yang bisa mengendalikannya lagi”


“Apa yang harus kita lakukan Kiai?”, - tanya Ki Widura.


Kiai Garda tidak langsung menjawab melainkan menoleh kepada Gilang - ,”Gilang, apakah kau masih mempunyai sisa potongan bambu kuning pethuk rose itu?”


Mendengar pertanyaan Kiai Garda itu, Gilang langsung meraih sesuatu dibalik kain panjangnya dan menunjukkannya kepada mereka yang hadir disitu.


“Ini hanya tersisa satu paman”, - jawab Gilang pendek.


“Bagus, tetapi itu berarti bidikanmu nanti sama sekali tidak boleh meleset Gilang. Nah, dengarlah”, - suara Kiai Garda terdengar sangat bersungguh-sungguh - ,”Aku tidak tahu apa yang sedang dilakukan oleh Ki Agung Sedayu sekarang karena keberadaannya tidak dapat aku jangkau dengan semua indra yang ada padaku. Tetapi kita harus bertindak cepat untuk menyelamatkan ayahmu Gilang”


Semua yang hadir disitu mendengar dengan wajah tegang. Mereka benar-benar mengabaikan lingkaran pertarungan yang sedang berkobar dengan sengitnya dan lebih memusatkan perhatiannya kepada upaya penyelamatan Swandaru Geni.


“Gilang, perhatikan noda kehitaman yang ada belakang telinga kiri Ayahmu agak turun sedikit ke bawah. Mungkin kau belum melihatnya dengan seksama, maka nanti perhatikanlah dengan sungguh-sungguh dan arahkan bidikanmu yang menggunakan potongan bambu kuning itu. Aku meyakini, itulah titik atau pintu keluar masuknya pengaruh luar yang membuat Ki Swandaru bisa dikendalikan oleh makhluk Onggo-Inggi ataupun oleh Resi gila di tepian Kali Belehan ini”, - suara Kiai Garda terdengar berbisik pelan seolah ia sedang berbicara menggunakan ajian pameling meskipun orang yang mendengarnya ada di sebelah dan dihadapannya.


Agaknya Kiai Garda benar-benar berusaha agar tidak ada seorangpun yang mencuri dengar rencana mereka.


“Baik paman”, - jawab Gilang mantab sambil mengedarkan pandangannya - ,”Tetapi apakah aku harus bertempur dan memancing Ayah agar ia mau bergerak dan menghadap ke arah lain dulu”


Kiai Garda yang mengikuti arah pandangan mata Gilang segera menangkap maksud dan keraguan bocah kecil itu. Saat ini Swandaru duduk ‘ndeprok’ dekat sekali dengan batas tepi sungai sambil menghadap kearah utara, sementara sungai berada di sebelah kirinya. Saat ini mereka berada disisi timur yang berarti di sebelah kanan Swandaru yang duduk itu. Jika ingin mengincar bagian kiri tubuhnya, maka Swandaru harus dipancing agar mau bergeser dan menghadap kearah selatan atau paling tidak kearah timur.


Ada keraguan yang melintas dihati Kiai Garda - ,”Kalau harus memancing agar Ki Swandaru bergerak, aku kuatir simpul-simpul syarafnya akan bergetar dan menangkap adanya bahaya yang mengancamnya. Ini dapat memicunya untuk bergerak lagi tanpa kendali”


Ketika Kiai Garda masih berpikir dan ragu-ragu untuk memutuskan, terdengar suara Pandan Wangi lirih.


“Kiai, aku ada usul”

“Bagaimana Nyi?”, - kini Kiai Garda yang mengerutkan keningnya.


Pandan Wangi terlihat mengangkat wajahnya sambil memandang ke seberang sungai dan Kiai Garda terpaksa mengikuti arah pandangan ibundanya Gilang itu.


“Kiai, lihatlah, diseberang sungai itu ada sebuah batu yang cukup besar untuk menjadi pijakan Gilang agar bisa bergerak dengan leluasa. Aku kira kita bisa memanfaatkan batu itu”, - desis Pandan Wangi pelan.


“Apakah Nyi Pandan Wangi bisa melompati sungai yang cukup lebar ini sambil membawa Gilang?”, - tanya Kiai Garda hati-hati.


Sungai itu memang cukup lebar, jarak dari tepi ke tepian seberang mungkin sekitar sepuluh atau sebelas tombak. Dalam keadaan biasa dan jika hanya seorang diri, Kiai Garda meyakini bahwa dengan ilmu meringankan tubuhnya yang nyaris sempurna, Pandan Wangi akan mampu melompati jarak yang sedemikian lebar itu. Akan tetapi kini yang menjadi tumpuan harapan mereka adalah Gilang dan rasanya akan sulit bagi Gilang untuk melompat dan menyeberang sungai yang sedemikian lebar itu.


Pandan Wangi menyadari arah pertanyaan Kiai Garda itu. Jika ia harus menggendong Gilang, maka berat tubuh anaknya itu memang akan mengurangi daya lenting maupun daya lompatnya. Seberapapun ia mengetrapkan ilmu meringankan tubuhnya, maka akan sulit untuk sampai di tepian seberang. Mungkin ia akan terjatuh di tengah-tengah sungai dan tertelan arus air yang mengalir terus menerus itu.

Tetapi bahwa Pandan Wangi berani mengajukan sebuah usul itu karena ia mempunyai sebuah rencana.

Dengan cepat Pandan Wangi kemudian melangkah ke tepian lalu membungkukkan badannya untuk mengambil dua buah batu seukuran kepalan tangan orang dewasa. Diserahkannya dua buah batu kali sebesar sekepalan tangan itu kepada Kiai Garda sambil berbisik pelan.


“Aku memerlukan bantuan Kiai”


Suara Pandan Wangi yang sangat lirih itu hampir tidak tertangkap oleh terlinga Gilang.


Sementara Kiai Garda menerima batu kali dari tangan Pandan Wangi itu sambil mengerutkan keningnya. Akan tetapi sejenak kemudian ia justru tersenyum lebar sambil mengangguk-angguk, diam-diam ia mengagumi kecermelangan otak dari putri penguasa Tanah Perdikan Menoreh itu.

Pandan Wangi kemudian memanggil Gilang agar lebih mendekat dan menuturkan rencananya untuk bisa sampai diseberang dan bagaimana kemudian tugas Gilang itu bisa dilaksanakan.


“Baiklah, aku percaya Nyi Pandan Wangi dan angger Gilang akan mampu melakukannya”


“Aku mohon Kiai dan Paman Widura menjaga kakang Swandaru sementara aku akan membawa Gilang ke tepian seberang”


Tanpa menunggu jawaban, Pandan Wangi langsung bergeser dan mengajak Gilang untuk melangkah agak menjauh dari Kiai Garda untuk mengambil sudut lompatan yang terbaik.


Sesaat kemudian Pandan Wangi segera mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Ia menarik nafas pendek-pendek beberapa kali dan menyimpannya di dada. Pandan Wangi mengetrapkan ilmu meringankan tubuh pada puncaknya dan pada saat yang sama mengucap doa permohonan agar Yang Maha Agung memberinya pertolongan.


Peluh mengembun di wajahnya yang jelita, akan tetapi itu justru menambah pesona betapa Pandan Wangi merupakan sosok wanita yang sangat lengkap.


Salam,
Ries



No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...