BALADA
SWANDARU GENI
Bab IV:
Hilangnya Seorang Swandaru Geni
Babak – 18
“Berhati-hatilah,
tidak seperti kabut putih yang dimunculkan oleh Ki Agung Sedayu, asap hitam itu
mengandung racun meskipun mungkin tidak terlalu kuat akan tetapi bisa
mengganggu pernafasan kita”, - desis Kiai Garda mengingatkan.
Semua yang
mendengar perkataan Kiai Garda mengangguk, untunglah mereka sudah minum ramuan yang
diberikan Kiai Garda sehingga mudah-mudahan bisa terbebas dari ancaman asap
hitam beracun itu.
Sementara
tepat di tengah kedung itu, asap hitam yang muncul dari permukaan air semakin
lama semakin tebal serta mengeluarkan suara mendesis yang mendirikan bulu roma.
Asap itu menyebar ke seluruh permukaan sungai seolah ia sedang menyapu dan hendak membuat
sebuah alas yang sangat lebar dan luas sebelum bergerak naik ke atas.
Ternyata
yang terjadi kemudian adalah sesuai perkiraan. Setelah menyebar ke seluruh
permukaan kedung, asap hitam yang semakin menebal itu dengan cepat naik ke atas
serta menimbulkan suara mendesis yang semakin keras. Selain naik ke atas asap
itu juga bergerak ke tengah kedung seolah hendak mengapit serta menghimpit kabut
putih yang masih saja berputaran di tengah kedung itu.
Suasana
siang di tepian sungai Belehan itu kini berubah menjadi sangat menyeramkan. Sinar
matahari yang terik seolah terhalang dan
terabaikan oleh hadirnya kabut putih dan asap hitam yang kini saling bertarung.
Suara menderu-deru yang ditimbulkan putaran kabut putih berbentuk tabung
raksasa itu kini diselingi suara mendesis yang tajam dan keras akibat bergeraknya
asap hitam pekat itu.
Hati dan
perasaan mereka yang hadir di tepian sungai Belehan itu bagaikan teraduk-aduk.
Seumur hidup, mereka tidak pernah melihat pertarungan yang sedemikian aneh dan
dahsyat. Kabut putih dan asap hitam itu kini seolah saling bergumul dan
berbenturan di udara sehingga menimbulkan ledakan-ledakan keras dan memekakkan
telinga.
Kabut putih
itu terlihat mempertahankan bentuknya yang bulat seperti tabung itu dengan
terus bergerak berputar. Sementara asap hitam yang semakin tebal itu naik dari
permukaan sungai itu kini sudah memenuhi seluruh area kedung, ia mengepung
kabut putih itu dari segala arah. Beberapa kali terlihat betapa asap hitam itu berusaha
menyeruak atau mengiris dari bawah, samping maupun tengah dinding dan mencoba
merobek tebalnya dinding kabut putih itu. Tepian dan sisi-sisi asap hitam itu
seolah berubah menjadi mata pisau yang teramat tajam yang hendak menyayat apapun
yang berada didekatnya.
Akan tetapi asap
hitam itu selalu mental dan berbalik arah, kabut putih itu terasa sangat keras
dan bahkan mampu menolak serta melontarkan apapun yang menyentuhnya. Terjadilah
benturan-benturan yang menimbulkan ledakan-ledakan dahsyat seolah dewa langit
sedang bertarung melawan raja naga angkasa yang menimbulkan ledakan-ledakan petir
di atas kedung itu dan itu sangat menakutkan bagi siapapun yang melihat dan
mendengarnya.
“Ternyata
kemampuanku tidak ada sekuku ireng dibandingkan Ki Agung Sedayu”, - diam-diam
Kiai Garda membatin.
Di sebelah
Kiai Garda, Sekar Mirah sendiri seolah tidak mampu berpikir jernih. Pertarungan
kabut di depannya yang disertai suara ledakan-ledakan bergemuruh dan desisan
yang menusuk telinga itu benar-benar diluar jangkauan nalarnya. Yang lebih
membuat Sekar Mirah terbengong-bengong adalah kenyataan bahwa yang sedang
bertarung itu adalah Agung Sedayu suaminya. Keberadaannya mendampingi Agung
Sedayu setiap hari ternyata tidak berarti ia mengenal isi dan kemampuan dari
suaminya itu. Suaminya itu bagaikan sumur yang teramat dalam dan tidak terlihat
dasarnya, perbendaharaan ilmunya begitu luas dan jarang yang mengetahuinya
karena sifatnya yang memang tertutup dan tidak suka pamer atau menunjukkan
kelebihannya kepada orang lain.
Disamping
rasa bangga yang menyeruak dalam hatinya, terbersit pula rasa kuatir yang
sedemikian besar mengingat lawannya kali ini mempunyai kemampuan yang sangat tinggi
dan bahkan belum terjajagi.
Tidak
berbeda dengan Sekar Mirah, Ki Widura yang mengamati pertarungan itu terlihat
menggeleng-gelengkan kepalanya, sambil berdesis dalam hati - ,”Untunglah Agung Sedayu ingat untuk senantiasa
bersyukur dengan anugrah dari Yang Maha Agung atas kemampuan yang sangat tinggi
seperti itu. Tidak heran, Kiai Gringsing dan Ki Waskita begitu mempercayainya”
Sementara
itu punggung Pandan Wangi semakin basah oleh keringat, bahkan kini dahinya juga
mulai mengembun. Betapapun ia menaruh kepercayaan yang sangat tinggi kepada
Agung Sedayu, akan tetapi pertarungan yang terjadi di depannya itu benar-benar
membuat hatinya sangat tegang. Tanpa sadar dari bibirnya yang tipis terucap doa
untuk keselamatan dan kemenangan Agung Sedayu.
“Kakang
Agung Sedayu sudah berbuat terlalu banyak untuk aku dan keluargaku, semoga Yang
Maha Agung memberi kekuatan dan bisa keluar dari pertarungan ini dengan membawa
kemenangan”, - desis Pandan Wangi lirih.
Yang tidak
terlalu banyak berpikir adalah Gilang dan Ki Sindupati, mata keduanya dengan
tegang menatap ke depan dan menyaksikan betapa pertarungan antara kabut putih
dan asap hitam itu menjadi semakin sengit.
Ketika usaha
asap hitam untuk mengiris atau merobek dinding kabut putih itu senantiasa
mental, tiba-tiba terlihat kabut itu merubah geraknya dan kini berputaran
mengelilingi kabut putih yang juga berputar pada porosnya. Asap hitam itu menjadi
semakin pekat dan kini membentuk putaran yang hendak menghimpit dan melingkari kabut
putih. Ia seolah berubah menjadi ular hitam raksasa yang membelit tabung putih
itu mulai dari bawah naik hingga ke atas.
Saat itulah
semua mata bisa melihat betapa kabut putih itu kini tertelan oleh belitan asap
hitam pekat yang terus berputar sambil menekan ke dalam seolah hendak
meremukkan bentuk tabung itu hingga hancur berkeping-keping. Kini yang terlihat
hanyalah asap hitam pekat yang terus bergerak, sementara kabut putih itu
bagaikan tertelan dan tidak diketahui lagi keberadaannya.
Jantung
Sekar Mirah dan Pandan Wangi bagaikan meledak karenanya. Meskipun mereka tidak
tahu kejadian sesungguhnya, akan tetapi hilangnya kabut putih yang tertelan asap
hitam itu seolah menggambarkan betapa Agung Sedayu sedang terdesak oleh amukan
badai lawan. Tanpa sadar Sekar Mirah menggenggam erat tongkat baja putihnya
siap untuk bergerak. Hanya saja ia juga bingung karena rasanya tidak mungkin
jika ia harus berlari menembus asap hitam pekat yang letaknya justru di atas
kedung sungai Belehan itu.
Disaat yang
sangat menegangkan itulah, Kiai Garda menangkap sesuatu yang memang selama ini
mereka tunggu. Ketika belitan asap hitam pekat itu berputar semakin cepat dan
bentuknya juga semakin mengecil seolah sedang meremas dan hendak menghancurkan
kabut putih itu menjadi pecah berkeping-keping, disaat itulah tiba-tiba muncul
sebuah titik putih kecil yang bersinar sangat terang dan menyilaukan mata.
Titik putih
itu berasal dari dalam lingkaran yang tertutupi asap hitam pekat, akan tetapi
sinarnya ternyata mampu menembus kepekatan itu dan kemudian memancar melalui
dinding putaran yang berwarna hitam pekat itu.
Saat itulah
Kiai Garda mempersiapkan diri dan berbisik lirih.
“Gilang,
sekarang!”
Salam,
Ries
No comments:
Post a Comment