Wednesday, August 2, 2017

BSG - BAB.IV - HSSG - Babak-18

BALADA SWANDARU GENI
Bab IV: Hilangnya Seorang Swandaru Geni
Babak – 18



“Berhati-hatilah, tidak seperti kabut putih yang dimunculkan oleh Ki Agung Sedayu, asap hitam itu mengandung racun meskipun mungkin tidak terlalu kuat akan tetapi bisa mengganggu pernafasan kita”, - desis Kiai Garda mengingatkan.


Semua yang mendengar perkataan Kiai Garda mengangguk, untunglah mereka sudah minum ramuan yang diberikan Kiai Garda sehingga mudah-mudahan bisa terbebas dari ancaman asap hitam beracun itu.


Sementara tepat di tengah kedung itu, asap hitam yang muncul dari permukaan air semakin lama semakin tebal serta mengeluarkan suara mendesis yang mendirikan bulu roma. Asap itu menyebar ke seluruh permukaan sungai  seolah ia sedang menyapu dan hendak membuat sebuah alas yang sangat lebar dan luas sebelum bergerak naik ke atas.

                                                                                                                                                                                           
Ternyata yang terjadi kemudian adalah sesuai perkiraan. Setelah menyebar ke seluruh permukaan kedung, asap hitam yang semakin menebal itu dengan cepat naik ke atas serta menimbulkan suara mendesis yang semakin keras. Selain naik ke atas asap itu juga bergerak ke tengah kedung seolah hendak mengapit serta menghimpit kabut putih yang masih saja berputaran di tengah kedung itu.


Suasana siang di tepian sungai Belehan itu kini berubah menjadi sangat menyeramkan. Sinar matahari yang  terik seolah terhalang dan terabaikan oleh hadirnya kabut putih dan asap hitam yang kini saling bertarung. Suara menderu-deru yang ditimbulkan putaran kabut putih berbentuk tabung raksasa itu kini diselingi suara mendesis yang tajam dan keras akibat bergeraknya asap hitam pekat itu.


Hati dan perasaan mereka yang hadir di tepian sungai Belehan itu bagaikan teraduk-aduk. Seumur hidup, mereka tidak pernah melihat pertarungan yang sedemikian aneh dan dahsyat. Kabut putih dan asap hitam itu kini seolah saling bergumul dan berbenturan di udara sehingga menimbulkan ledakan-ledakan keras dan memekakkan telinga.


Kabut putih itu terlihat mempertahankan bentuknya yang bulat seperti tabung itu dengan terus bergerak berputar. Sementara asap hitam yang semakin tebal itu naik dari permukaan sungai itu kini sudah memenuhi seluruh area kedung, ia mengepung kabut putih itu dari segala arah. Beberapa kali terlihat betapa asap hitam itu berusaha menyeruak atau mengiris dari bawah, samping maupun tengah dinding dan mencoba merobek tebalnya dinding kabut putih itu. Tepian dan sisi-sisi asap hitam itu seolah berubah menjadi mata pisau yang teramat tajam yang hendak menyayat apapun yang berada didekatnya.

Akan tetapi asap hitam itu selalu mental dan berbalik arah, kabut putih itu terasa sangat keras dan bahkan mampu menolak serta melontarkan apapun yang menyentuhnya. Terjadilah benturan-benturan yang menimbulkan ledakan-ledakan dahsyat seolah dewa langit sedang bertarung melawan raja naga angkasa yang menimbulkan ledakan-ledakan petir di atas kedung itu dan itu sangat menakutkan bagi siapapun yang melihat dan mendengarnya.


“Ternyata kemampuanku tidak ada sekuku ireng dibandingkan Ki Agung Sedayu”, - diam-diam Kiai Garda membatin.


Di sebelah Kiai Garda, Sekar Mirah sendiri seolah tidak mampu berpikir jernih. Pertarungan kabut di depannya yang disertai suara ledakan-ledakan bergemuruh dan desisan yang menusuk telinga itu benar-benar diluar jangkauan nalarnya. Yang lebih membuat Sekar Mirah terbengong-bengong adalah kenyataan bahwa yang sedang bertarung itu adalah Agung Sedayu suaminya. Keberadaannya mendampingi Agung Sedayu setiap hari ternyata tidak berarti ia mengenal isi dan kemampuan dari suaminya itu. Suaminya itu bagaikan sumur yang teramat dalam dan tidak terlihat dasarnya, perbendaharaan ilmunya begitu luas dan jarang yang mengetahuinya karena sifatnya yang memang tertutup dan tidak suka pamer atau menunjukkan kelebihannya kepada orang lain.


Disamping rasa bangga yang menyeruak dalam hatinya, terbersit pula rasa kuatir yang sedemikian besar mengingat lawannya kali ini mempunyai kemampuan yang sangat tinggi dan bahkan belum terjajagi.


Tidak berbeda dengan Sekar Mirah, Ki Widura yang mengamati pertarungan itu terlihat menggeleng-gelengkan kepalanya, sambil berdesis dalam hati  - ,”Untunglah Agung Sedayu ingat untuk senantiasa bersyukur dengan anugrah dari Yang Maha Agung atas kemampuan yang sangat tinggi seperti itu. Tidak heran, Kiai Gringsing dan Ki Waskita begitu mempercayainya”


Sementara itu punggung Pandan Wangi semakin basah oleh keringat, bahkan kini dahinya juga mulai mengembun. Betapapun ia menaruh kepercayaan yang sangat tinggi kepada Agung Sedayu, akan tetapi pertarungan yang terjadi di depannya itu benar-benar membuat hatinya sangat tegang. Tanpa sadar dari bibirnya yang tipis terucap doa untuk keselamatan dan kemenangan Agung Sedayu.


“Kakang Agung Sedayu sudah berbuat terlalu banyak untuk aku dan keluargaku, semoga Yang Maha Agung memberi kekuatan dan bisa keluar dari pertarungan ini dengan membawa kemenangan”, - desis Pandan Wangi lirih.


Yang tidak terlalu banyak berpikir adalah Gilang dan Ki Sindupati, mata keduanya dengan tegang menatap ke depan dan menyaksikan betapa pertarungan antara kabut putih dan asap hitam itu menjadi semakin sengit.

Ketika usaha asap hitam untuk mengiris atau merobek dinding kabut putih itu senantiasa mental, tiba-tiba terlihat kabut itu merubah geraknya dan kini berputaran mengelilingi kabut putih yang juga berputar pada porosnya. Asap hitam itu menjadi semakin pekat dan kini membentuk putaran yang hendak menghimpit dan melingkari kabut putih. Ia seolah berubah menjadi ular hitam raksasa yang membelit tabung putih itu mulai dari bawah naik hingga ke atas.


Saat itulah semua mata bisa melihat betapa kabut putih itu kini tertelan oleh belitan asap hitam pekat yang terus berputar sambil menekan ke dalam seolah hendak meremukkan bentuk tabung itu hingga hancur berkeping-keping. Kini yang terlihat hanyalah asap hitam pekat yang terus bergerak, sementara kabut putih itu bagaikan tertelan dan tidak diketahui lagi keberadaannya.


Jantung Sekar Mirah dan Pandan Wangi bagaikan meledak karenanya. Meskipun mereka tidak tahu kejadian sesungguhnya, akan tetapi hilangnya kabut putih yang tertelan asap hitam itu seolah menggambarkan betapa Agung Sedayu sedang terdesak oleh amukan badai lawan. Tanpa sadar Sekar Mirah menggenggam erat tongkat baja putihnya siap untuk bergerak. Hanya saja ia juga bingung karena rasanya tidak mungkin jika ia harus berlari menembus asap hitam pekat yang letaknya justru di atas kedung sungai Belehan itu.


Disaat yang sangat menegangkan itulah, Kiai Garda menangkap sesuatu yang memang selama ini mereka tunggu. Ketika belitan asap hitam pekat itu berputar semakin cepat dan bentuknya juga semakin mengecil seolah sedang meremas dan hendak menghancurkan kabut putih itu menjadi pecah berkeping-keping, disaat itulah tiba-tiba muncul sebuah titik putih kecil yang bersinar sangat terang dan menyilaukan mata.


Titik putih itu berasal dari dalam lingkaran yang tertutupi asap hitam pekat, akan tetapi sinarnya ternyata mampu menembus kepekatan itu dan kemudian memancar melalui dinding putaran yang berwarna hitam pekat itu.


Saat itulah Kiai Garda mempersiapkan diri dan berbisik lirih.


“Gilang, sekarang!”



Salam,

Ries 

No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...