Monday, August 28, 2017

BSG - BAB.V - AUP - Babak-05

BALADA SWANDARU GENI
Bab V: Ajaran Untuk Pulang
Babak – 05



Dahi Agung Sedayu sempat berkerut dalam, ia jarang sekali merasakan bau yang meskipun tidak terlalu tajam namun sesungguhnya melontarkan aroma yang sangat busuk dan menyengat. Dalam sekejab ia segera menyadari bahwa aroma busuk itu sangat serupa dengan bau bangkai yang sudah terpapar terbuka tanpa tersentuh apapun dalam hitungan hari atau bahkan pekan. Hanya saja bau itu ternyata sama sekali tidak menyerangnya melainkan bawaan yang tertangkap oleh indra penciumannya saat jiwa Resi Kali Belehan itu berpindah atau oncat dari tubuh sosok hitamnya dan merasuk ke dalam keris besar ber-luk tigabelas itu. Itulah sebuah sarana ilmu hitam dalam menerapkan ajian yang mereka percayai mendatangkan sebuah kekuatan.


Bahwa bau itu tidak menyerang dan mengganggunya itu agaknya merupakan prosesi oncatnya jiwa Resi Kali Belehan, dan hal itu ternyata justru memberi sebuah gagasan dibenak Agung Sedayu untuk melakukan hal serupa.


”Jika aku bisa mengacaukan daya pikirnya, maka prosesi oncat jiwa itu mungkin bisa aku gagalkan”, -  desis Agung Sedayu dalam hati.


Tanpa banyak berpikir lagi, sambil masih tetap berjongkok, tangan kanan Agung Sedayu terlihat menekan pergelangan tangan kirinya. Adalah sebuah karunia dan hasil dari latihan yang sangat tekun sehingga Agung Sedayu hanya membutuhkan waktu yang sekejab untuk bisa membangkitkan dan mengetrapkan ilmu-ilmu yang ada dalam dirinya.


Saat itu pula, melintas bau harum yang teramat tajam dan tersaring sehingga bau itu meluncur dan menyerang hanya kepada sasaran lawan. Dalam pengembangannya, ternyata Agung Sedayu mampu memampatkan inti sari ajian ini sehingga sangat sedikit orang diluar sasaran yang mampu menangkap menebarnya aroma wangi ini.


Sifat aroma wangi yang sangat tajam ini adalah menyerang dan mengacaukan daya pikir serta  pemusatan hati nurani lawan. Dalam penerapan puncaknya bahkan sanggup membuat lawan roboh karena jiwa dan daya pikir yang sudah tidak mampu menopang keinginan atau nafsunya. Agung Sedayu meyakini bahwa meski jiwa lawannya itu sedang oncat, akan tetapi serangannya tidak menyerang kewadagan atau fisik belaka, sehingga lawan pasti akan merasakan dan mengenai indra penciumannya.


Disaat lawan sedang bertarung untuk mempertahankan pengaruh bau harum mewangi itulah Agung Sedayu mempersiapkan cambuknya dan merancang sebuah serangan susulan. Wajahnya terlihat menegang dan sedikit mengeras, sifat ragu yang biasanya menempel dalam kepribadiannya seolah lenyap terhembus getaran-getaran yang keluar dari rasa kuatir dalam dirinya.


Inilah satu masa dalam kehidupan seorang Agung Sedayu dimana ia sama sekali tidak ragu lagi untuk menghancurkan lawannya. Lawan yang sedemikian tangguh dengan ilmu-ilmu yang diluar jangkauan pemahaman manusia pada umumnya. Lawan yang ternyata telah menyandarkan segala tindakannya pada kuasa gelap dan itu tercermin dari ilmu hitam yang dikuasainya.


Agung Sedayu kini telah berdiri tegak pada kedua kakinya yang kokoh, sementara ditangan kanannya telah tergenggam cambuk berjuntai panjang yang ujung.


Dengan seksama mata Agung Sedayu melihat betapa asap merah kehitaman tipis yang tadinya bergerak dari sosok tubuh hitam merambat menuju keris ber-luk tiga belas itu seolah tertahan. Asap tipis itu berputar-putar dan saling menelan dengan gerakan yang tidak menentu. Agaknya serangan bau harum yang dilontarkan Agung Sedayu mampu menghambat prosesi oncat jiwa Resi Kali Belehan itu.


Agung Sedayu segera memanfaatkan keadaan itu, tanpa menggeser tubuhnya tiba-tiba tangan kanannya terayun dengan sangat cepat. Ia mengerahkan segenap tenaga wadagnya pada ayunan cambuk yang pertama ini, sehingga saat itulah udara di sekitar sungai itu terdengar suara ledakan dahsyat bagaikan petir di langit.


Inilah ledakan pertama yang mengejutkan semua orang di tepian itu, termasuk Pandan Wangi dan Gilang yang sedang melayang menyeberang ke tepian sungai. Tetapi suara ini hanya menimbulkan kejutan di telinga dan perasaan saja sementara Gilang sudah pula melemparkan potongan bambu kuning temu ros-e itu menuju sasaran yaitu noda hitam di belakang telinga kiri Ayahnya, Swandaru Geni.


Hanya saja Agung Sedayu tidak berhenti pada tahapan itu, ia sudah menyusun rencana yang ia yakini akan berhasil meskipun mungkin akan menimbulkan dampak samping atas orang-orang yang ada di sekitar sungai ini.


Ledakan dahsyat yang pertama itu ternyata disusuli oleh ayunan cambuk Agung Sedayu yang kedua, yang sama sekali tidak mengeluarkan bunyi ledakan. Akan tetapi dari ayunan cambuk yang kedua ini, udara terasa pampat dan dada siapapun yang ada disekitar pertarungan itu bagaikan di himpit oleh gunung anakan secara tiba-tiba. Agung Sedayu ternyata telah berada dan melepaskan puncak ajian Orang Bercambuk yang merupakan ilmu turunan dari Mpu Windujati, sehingga melesatlah sinar biru keputihan yang membelah udara siang.


Benar-benar bagaikan lompatan petir dilangit dan langsung menghantam keris ber-luk tiga belas yang sedang dipegang oleh lawannya.


Terjadilah sebuah ledakan yang sedemikian dahsyat dan memekakkan telinga. Sementara itu ternyata tangan kanan Agung Sedayu telah kembali bergerak dan terayunlah kembali cambuk yang telah dilambari ilmu puncak perguruan Windujati itu untuk kedua kalinya tanpa menimbulkan suara. Susul menyusul seolah terjadi bersamaan dan tanpa jeda dengan ledakan yang terjadi.


Bagi yang hanya mengandalkan indra pendengaran, mereka hanya terkejut akibat dahsyatnya ledakan yang pertama, tanpa menyadari  bahwa sesungguhnya yang menghentak dan menghimpit dadanya serta membuatnya pingsan itu adalah ledakan kedua yang ternyata tidak mengeluarkan bunyi sama sekali.


Inilah yang dialami oleh Gilang.


Setelah menyelesaikan tugasnya untuk mengayunkan bidikannya, Gilang yang sedang melayang di udara itu merasakan gendang telinganya bagaikan pecah, dadanya pepat dan ketika kakinya mencapai pasir di tepian sungai, tubuhnya terjungkal. Sesungguhnya bocah itu telah pingsan bahkan sebelum kakinya menyentuh pasir.


Sementara itu, perhatian Agung Sedayu sepenuhnya tercurah kepada akibat dari serangannya. Ia memang sengaja membidik bilah keris yang berukuran besar dan ber-luk tiga belas itu, yang kemudian terhantam sinar petir akibat ilmu puncak dari perguruan Orang Bercambuk. Hantaman itu mengakibatkan sebuah ledakan besar kedua dan menimbulkan guncangan yang tidak kalah dahsyatnya dengan gundangan yang pertama.


Pada saat yang sama, ternyata Agung Sedayu tanpa ragu langsung menyusuli serangannya itu dengan ayunan cambuk berikutnya yang tidak mengeluarkan bunyi sama sekali.


Kembali langit disiang itu terbelah oleh meloncatnya sinar biru keputihan yang disertai goncangan yang teramat dahsyat dalam dada masing-masing orang. Kejadian itu terjadi dengan teramat cepat dan sama sekali tidak diperkirakan semua orang. Saat itulah beberapa orang langsung bergelimpangan tidak mampu menahan himpitan dalam dada mereka, pingsan.


Himpitan dalam dada itu begitu dahsyat dan mendadak, ibarat jantung siapapun yang mendengarnya seolah terlepas dari batang yang menopangnya. Dua orang pembantu Resi Belahan termasuk Ki Sindupati yang sedang bertarung langsung terkapar pingsan tidak sadarkan diri.

Sementara Sekar Mirah yang sudah pernah mendengar ledakan itu dan mengetahui bahwa himpitan didada ini pastilah berasal dari pengetrapan ilmu suaminya, ternyata ia bisa lebih menata diri dari keterkejutan yang timbul.


Akan tetapi tak urung Sekar Mirahpun terjatuh lunglai dan seluruh tenaganya bagaikan dihisap karenanya. Inilah yang juga terjadi dengan Ki Widura, yang meskipun sebenarnya tenaganya masih utuh akan tetapi  himpitan di dadanya ternyata membuat kedua kakinya tidak mampu menopang berat tubuhnya.


Kiai Garda yang sedang berdiri bebas tanpa lawan saat itu memang sedang memusatkan segala perhatiannya kepada melayangnya tubuh Pandan Wangi dan Gilang. Ia melihat saat-saat dimana Gilang yang sedang melayang itu mengayunkan tangannya untuk membidik, sehingga seluruh perasaan dan perhatiannya terampas seluruhnya pada hasil lemparan. Ternyata, Kiai Garda tidak sempat melihat hasil dari lemparan Gilang. Dua buah ledakan yang terjadi berturut-turut tanpa jeda itu membuatnya sangat terperanjat sehingga membuatnya membalikkan badan untuk melihat keadaan. Apalagi kemudian sebuah himpitan yang maha berat telah menekan dadanya.


Tak pelak Kiai Garda terbungkuk-bungkuk sambil memegangi dadanya, secara naluriah ia meningkatkan daya tahan tubuhnya hingga ke puncak untuk menahan himpitan itu. Keringat mengucur deras dan membasahi wajah serta punggung Kiai Garda, tetapi sesaat kemudian ternyata tekanan dan himpitan raksasa itu perlahan-lahan hilang sehingga ia bisa mulai menarik nafas meskipun dengan terengah-engah. Saat ia menengadahkan wajahnya, Kiai Garda melihat semua orang telah jatuh bergelimpangan.


Ketika itu Kiai Garda sudah tidak sempat melihat tubuh Pandan Wangi yang melayang dibelakang Gilang. Sebagamana Sekar Mirah, Pandan Wangi bisa langsung meyakini bahwa ledakan dan tekanan yang menghimpit dadanya itu pastilah berasal dari penuntasan ilmu cambuk Agung Sedayu, apalagi sekilas ia melihat pula lompatan sinar petir yang berwarna biru keputihan itu.


Betapa perasaan Pandan Wangi bagaikan di aduk-aduk karena-nya, saat itu ia melihat Gilang yang melayang di depannya kemudian langsung terjatuh dan pingsan. Sementara ia sendiri tidak bisa menengok kearah suaminya dan melihat hasil bidikan Gilang karena harus berjuang menahan tekanan dan himpitan di dadanya. Saat kakinya menyentuh tanah berpasir, Pandan Wangi ternyata tidak mampu menjaga keseimbangan wadag dan perasaannya sehingga tubuhnya ikut terguling dekat di tubuh Gilang yang terbaring diam.


Hanya saja Pandan Wangi ternyata masih mampu menjaga kesadarannya dan tidak sampai pingsan. Meskipun tenaganya bagaikan terhisap habis akibat menahan himpitan di dadanya, dengan susah payah Pandan Wangi berusaha bergeser dan berharap bisa merangkak mendekati tubuh Gilang yang diam. Hati Pandan Wangi dipenuhi rasa kuatir yang teramat sangat akan kondisi anaknya, sementara pada saat yang sama tidak pula bisa dipungkiri betapa menyelinap rasa kuatir yang besar atas keselamatan Agung Sedayu yang sedang menghadapi lawan yang teramat tangguh.

Tubuh Pandan Wangi yang berusaha merangkak mendekati Gilang itu sebagian bertaburkan pasir. Sementara dari wajahnya yang sayu, terlihat anak rambut di sekitar telinganya basah oleh keringat. Sambil menggigit bibirnya yang tipis, Pandan Wangi berusaha terus bergeser sambil mendesah lirih.


“Gilang!”


Salam,

Ries

No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...