BALADA
SWANDARU GENI
Bab V: Ajaran Untuk Pulang
Babak – 05
Dahi Agung
Sedayu sempat berkerut dalam, ia jarang sekali merasakan bau yang meskipun
tidak terlalu tajam namun sesungguhnya melontarkan aroma yang sangat busuk dan
menyengat. Dalam sekejab ia segera menyadari bahwa aroma busuk itu sangat
serupa dengan bau bangkai yang sudah terpapar terbuka tanpa tersentuh apapun
dalam hitungan hari atau bahkan pekan. Hanya saja bau itu ternyata sama sekali
tidak menyerangnya melainkan bawaan yang tertangkap oleh indra penciumannya
saat jiwa Resi Kali Belehan itu berpindah atau oncat dari tubuh sosok hitamnya
dan merasuk ke dalam keris besar ber-luk tigabelas itu. Itulah sebuah sarana
ilmu hitam dalam menerapkan ajian yang mereka percayai mendatangkan sebuah kekuatan.
Bahwa bau
itu tidak menyerang dan mengganggunya itu agaknya merupakan prosesi oncatnya
jiwa Resi Kali Belehan, dan hal itu ternyata justru memberi sebuah gagasan
dibenak Agung Sedayu untuk melakukan hal serupa.
”Jika aku
bisa mengacaukan daya pikirnya, maka prosesi oncat jiwa itu mungkin bisa aku
gagalkan”, - desis Agung Sedayu dalam hati.
Tanpa banyak
berpikir lagi, sambil masih tetap berjongkok, tangan kanan Agung Sedayu
terlihat menekan pergelangan tangan kirinya. Adalah sebuah karunia dan hasil
dari latihan yang sangat tekun sehingga Agung Sedayu hanya membutuhkan waktu
yang sekejab untuk bisa membangkitkan dan mengetrapkan ilmu-ilmu yang ada dalam
dirinya.
Saat itu
pula, melintas bau harum yang teramat tajam dan tersaring sehingga bau itu
meluncur dan menyerang hanya kepada sasaran lawan. Dalam pengembangannya,
ternyata Agung Sedayu mampu memampatkan inti sari ajian ini sehingga sangat
sedikit orang diluar sasaran yang mampu menangkap menebarnya aroma wangi ini.
Sifat aroma
wangi yang sangat tajam ini adalah menyerang dan mengacaukan daya pikir serta pemusatan hati nurani lawan. Dalam penerapan
puncaknya bahkan sanggup membuat lawan roboh karena jiwa dan daya pikir yang
sudah tidak mampu menopang keinginan atau nafsunya. Agung Sedayu meyakini bahwa
meski jiwa lawannya itu sedang oncat, akan tetapi serangannya tidak menyerang
kewadagan atau fisik belaka, sehingga lawan pasti akan merasakan dan mengenai
indra penciumannya.
Disaat lawan
sedang bertarung untuk mempertahankan pengaruh bau harum mewangi itulah Agung
Sedayu mempersiapkan cambuknya dan merancang sebuah serangan susulan. Wajahnya
terlihat menegang dan sedikit mengeras, sifat ragu yang biasanya menempel dalam
kepribadiannya seolah lenyap terhembus getaran-getaran yang keluar dari rasa
kuatir dalam dirinya.
Inilah satu
masa dalam kehidupan seorang Agung Sedayu dimana ia sama sekali tidak ragu lagi
untuk menghancurkan lawannya. Lawan yang sedemikian tangguh dengan ilmu-ilmu
yang diluar jangkauan pemahaman manusia pada umumnya. Lawan yang ternyata telah
menyandarkan segala tindakannya pada kuasa gelap dan itu tercermin dari ilmu
hitam yang dikuasainya.
Agung Sedayu
kini telah berdiri tegak pada kedua kakinya yang kokoh, sementara ditangan
kanannya telah tergenggam cambuk berjuntai panjang yang ujung.
Dengan seksama
mata Agung Sedayu melihat betapa asap merah kehitaman tipis yang tadinya
bergerak dari sosok tubuh hitam merambat menuju keris ber-luk tiga belas itu
seolah tertahan. Asap tipis itu berputar-putar dan saling menelan dengan
gerakan yang tidak menentu. Agaknya serangan bau harum yang dilontarkan Agung
Sedayu mampu menghambat prosesi oncat jiwa Resi Kali Belehan itu.
Agung Sedayu
segera memanfaatkan keadaan itu, tanpa menggeser tubuhnya tiba-tiba tangan
kanannya terayun dengan sangat cepat. Ia mengerahkan segenap tenaga wadagnya
pada ayunan cambuk yang pertama ini, sehingga saat itulah udara di sekitar
sungai itu terdengar suara ledakan dahsyat bagaikan petir di langit.
Inilah
ledakan pertama yang mengejutkan semua orang di tepian itu, termasuk Pandan
Wangi dan Gilang yang sedang melayang menyeberang ke tepian sungai. Tetapi
suara ini hanya menimbulkan kejutan di telinga dan perasaan saja sementara
Gilang sudah pula melemparkan potongan bambu kuning temu ros-e itu menuju
sasaran yaitu noda hitam di belakang telinga kiri Ayahnya, Swandaru Geni.
Hanya saja Agung
Sedayu tidak berhenti pada tahapan itu, ia sudah menyusun rencana yang ia
yakini akan berhasil meskipun mungkin akan menimbulkan dampak samping atas
orang-orang yang ada di sekitar sungai ini.
Ledakan
dahsyat yang pertama itu ternyata disusuli oleh ayunan cambuk Agung Sedayu yang
kedua, yang sama sekali tidak mengeluarkan bunyi ledakan. Akan tetapi dari
ayunan cambuk yang kedua ini, udara terasa pampat dan dada siapapun yang ada
disekitar pertarungan itu bagaikan di himpit oleh gunung anakan secara
tiba-tiba. Agung Sedayu ternyata telah berada dan melepaskan puncak ajian Orang
Bercambuk yang merupakan ilmu turunan dari Mpu Windujati, sehingga melesatlah
sinar biru keputihan yang membelah udara siang.
Benar-benar
bagaikan lompatan petir dilangit dan langsung menghantam keris ber-luk tiga
belas yang sedang dipegang oleh lawannya.
Terjadilah sebuah
ledakan yang sedemikian dahsyat dan memekakkan telinga. Sementara itu ternyata tangan
kanan Agung Sedayu telah kembali bergerak dan terayunlah kembali cambuk yang
telah dilambari ilmu puncak perguruan Windujati itu untuk kedua kalinya tanpa
menimbulkan suara. Susul menyusul seolah terjadi bersamaan dan tanpa jeda
dengan ledakan yang terjadi.
Bagi yang
hanya mengandalkan indra pendengaran, mereka hanya terkejut akibat dahsyatnya
ledakan yang pertama, tanpa menyadari
bahwa sesungguhnya yang menghentak dan menghimpit dadanya serta
membuatnya pingsan itu adalah ledakan kedua yang ternyata tidak mengeluarkan
bunyi sama sekali.
Inilah yang
dialami oleh Gilang.
Setelah
menyelesaikan tugasnya untuk mengayunkan bidikannya, Gilang yang sedang
melayang di udara itu merasakan gendang telinganya bagaikan pecah, dadanya
pepat dan ketika kakinya mencapai pasir di tepian sungai, tubuhnya terjungkal.
Sesungguhnya bocah itu telah pingsan bahkan sebelum kakinya menyentuh pasir.
Sementara
itu, perhatian Agung Sedayu sepenuhnya tercurah kepada akibat dari serangannya.
Ia memang sengaja membidik bilah keris yang berukuran besar dan ber-luk tiga
belas itu, yang kemudian terhantam sinar petir akibat ilmu puncak dari
perguruan Orang Bercambuk. Hantaman itu mengakibatkan sebuah ledakan besar
kedua dan menimbulkan guncangan yang tidak kalah dahsyatnya dengan gundangan
yang pertama.
Pada saat
yang sama, ternyata Agung Sedayu tanpa ragu langsung menyusuli serangannya itu
dengan ayunan cambuk berikutnya yang tidak mengeluarkan bunyi sama sekali.
Kembali
langit disiang itu terbelah oleh meloncatnya sinar biru keputihan yang disertai
goncangan yang teramat dahsyat dalam dada masing-masing orang. Kejadian itu
terjadi dengan teramat cepat dan sama sekali tidak diperkirakan semua orang.
Saat itulah beberapa orang langsung bergelimpangan tidak mampu menahan himpitan
dalam dada mereka, pingsan.
Himpitan
dalam dada itu begitu dahsyat dan mendadak, ibarat jantung siapapun yang
mendengarnya seolah terlepas dari batang yang menopangnya. Dua orang pembantu
Resi Belahan termasuk Ki Sindupati yang sedang bertarung langsung terkapar
pingsan tidak sadarkan diri.
Sementara
Sekar Mirah yang sudah pernah mendengar ledakan itu dan mengetahui bahwa
himpitan didada ini pastilah berasal dari pengetrapan ilmu suaminya, ternyata
ia bisa lebih menata diri dari keterkejutan yang timbul.
Akan tetapi
tak urung Sekar Mirahpun terjatuh lunglai dan seluruh tenaganya bagaikan
dihisap karenanya. Inilah yang juga terjadi dengan Ki Widura, yang meskipun
sebenarnya tenaganya masih utuh akan tetapi
himpitan di dadanya ternyata membuat kedua kakinya tidak mampu menopang
berat tubuhnya.
Kiai Garda
yang sedang berdiri bebas tanpa lawan saat itu memang sedang memusatkan segala
perhatiannya kepada melayangnya tubuh Pandan Wangi dan Gilang. Ia melihat
saat-saat dimana Gilang yang sedang melayang itu mengayunkan tangannya untuk
membidik, sehingga seluruh perasaan dan perhatiannya terampas seluruhnya pada
hasil lemparan. Ternyata, Kiai Garda tidak sempat melihat hasil dari lemparan
Gilang. Dua buah ledakan yang terjadi berturut-turut tanpa jeda itu membuatnya
sangat terperanjat sehingga membuatnya membalikkan badan untuk melihat keadaan.
Apalagi kemudian sebuah himpitan yang maha berat telah menekan dadanya.
Tak pelak
Kiai Garda terbungkuk-bungkuk sambil memegangi dadanya, secara naluriah ia
meningkatkan daya tahan tubuhnya hingga ke puncak untuk menahan himpitan itu.
Keringat mengucur deras dan membasahi wajah serta punggung Kiai Garda, tetapi
sesaat kemudian ternyata tekanan dan himpitan raksasa itu perlahan-lahan hilang
sehingga ia bisa mulai menarik nafas meskipun dengan terengah-engah. Saat ia
menengadahkan wajahnya, Kiai Garda melihat semua orang telah jatuh
bergelimpangan.
Ketika itu
Kiai Garda sudah tidak sempat melihat tubuh Pandan Wangi yang melayang
dibelakang Gilang. Sebagamana Sekar Mirah, Pandan Wangi bisa langsung meyakini
bahwa ledakan dan tekanan yang menghimpit dadanya itu pastilah berasal dari
penuntasan ilmu cambuk Agung Sedayu, apalagi sekilas ia melihat pula lompatan
sinar petir yang berwarna biru keputihan itu.
Betapa perasaan
Pandan Wangi bagaikan di aduk-aduk karena-nya, saat itu ia melihat Gilang yang
melayang di depannya kemudian langsung terjatuh dan pingsan. Sementara ia
sendiri tidak bisa menengok kearah suaminya dan melihat hasil bidikan Gilang
karena harus berjuang menahan tekanan dan himpitan di dadanya. Saat kakinya
menyentuh tanah berpasir, Pandan Wangi ternyata tidak mampu menjaga
keseimbangan wadag dan perasaannya sehingga tubuhnya ikut terguling dekat di
tubuh Gilang yang terbaring diam.
Hanya saja
Pandan Wangi ternyata masih mampu menjaga kesadarannya dan tidak sampai
pingsan. Meskipun tenaganya bagaikan terhisap habis akibat menahan himpitan di
dadanya, dengan susah payah Pandan Wangi berusaha bergeser dan berharap bisa merangkak
mendekati tubuh Gilang yang diam. Hati Pandan Wangi dipenuhi rasa kuatir yang
teramat sangat akan kondisi anaknya, sementara pada saat yang sama tidak pula
bisa dipungkiri betapa menyelinap rasa kuatir yang besar atas keselamatan Agung
Sedayu yang sedang menghadapi lawan yang teramat tangguh.
Tubuh Pandan
Wangi yang berusaha merangkak mendekati Gilang itu sebagian bertaburkan pasir.
Sementara dari wajahnya yang sayu, terlihat anak rambut di sekitar telinganya basah
oleh keringat. Sambil menggigit bibirnya yang tipis, Pandan Wangi berusaha
terus bergeser sambil mendesah lirih.
“Gilang!”
Salam,
Ries
No comments:
Post a Comment