BALADA SWANDARU GENI
Bab V: Ajaran Untuk Pulang
Babak – 04
Bab V: Ajaran Untuk Pulang
Babak – 04
Kiai Garda terlihat mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun belum terlalu lama mengenal, tetapi ia memang bisa merasakan kedekatan antara Agung Sedayu dan Gilang. Terlebih setelah diketahuinya bahwa Agung Sedayu memang belum dikarunia momongan meskipun sudah berumah tangga sekian lama.
“Saat itulah aku membuang semua keraguan yang biasanya selalu bergelayut di dada ini Kiai”, - terdengar suara Agung Sedayu melanjutkan kalimatnya - ,”Orang seperti Resi Kali Belehan ini sangat berbahaya karena ia mampu menebar kejahatan melalui orang-orang yang dibawah kendalinya. Sikap dan ajarannya secara jelas bertentangan dengan kepercayaan dasar kita pada umumnya, bahwa Yang Maha Agung adalah kuasa tertinggi. Resi Kali Belehan ini menyandarkan hidupnya pada kuasa gelap yang ternyata justru menyeretnya pada perbuatan yang cenderung menurutkan hawa nafsu yang tidak pernah terpuaskan. Agaknya ia juga mengajarkan pengikutnya untuk menyembah kuasa kegelapan dan mengabaikan kepercayaan kita kepada Yang Maha Tunggal”
Agung Sedayu berhenti sejenak seolah hendak menelan ludahnya. Meskipun belum terlalu lama mengenal mengenal Kiai Garda, tetapi panggraita Agung Sedayu meyakinkannya bahwa orang yang juga menganggap Kiai Gringsing sebagai gurunya itu adalah pribadi yang dapat dipercaya. Ia bahkan telah menganggap Kiai Garda sebagai kakak seperguruan yang sudah sepantasnya mengetahui apa yang telah terjadi.
Karena itu Agung Sedayu mencoba mengingat dan menceritakan kepada Kiai Garda saat-saat dimana pertarungannya dengan Resi Kali Belehan itu hampir mencapai puncaknya.
Saat itu pundak kiri Agung Sedayu terasa panas dan gatal-gatal luar biasa akibat pukulan beracun dari lawannya yang secara fisik telah merubah diri menjadi ujud gurunya, Kiai Gringsing. Rasa hormat dan kehendak untuk senantiasa berbakti kepada gurunya membuat Agung Sedayu seolah tidak mempunyai tumpuan untuk bersikap melawan. Panggraitanya mampu menangkap kenyataan yang sedang ia hadapi, akan tetapi jiwanya seolah melayang tanpa sandaran sementara sikapnya menjadi sangat tumpul.
Tubuh Agung Sedayu terpental ke belakang hampir tiga tombak jauhnya. Rasa panas dan gatal-gatal yang meruak dan menyusup dalam aliran darahnya hampir pula membekukan ingatannya bahwa sesungguhnya tubuhnya sudah tawar terhadap semua jenis racun.
Saat itulah, secara tidak sengaja mata dan telinga Agung Sedayu menangkap sebuah gerakan dan teriakan yang dilakukan oleh Pandan Wangi yang sedang melompat ke tepian seberang sungai sambil menggandeng Gilang. Pemandangan dan suara teriakan yang hanya sesaat itu bagaikan sebuah tusukan jarum kecil di ulu hatinya. Terasa sakit dan teramat ngilu meski hanya sekejab, akan tetapi itulah yang kemudian menyadarkannya atas apa yang sedang dihadapinya.
Sesungguhnya Agung Sedayu tidak tahu apa yang sedang dilakukan oleh Pandan Wangi dan Gilang sehingga mereka berdua harus melompati tepian sungai menuju seberang. Dalam benaknya, Agung Sedayu merasa pastilah keduanya sedang terancam mara-bahaya sehingga harus bergerak yang diluar rencana yang sudah mereka bicarakan. Sekilas pula terbayang wajah istrinya, Sekar Mirah, yang ia ketahui juga sedang bertarung melawan salah satu pembantu Resi Kali Belehan ini.
Kekuatiran akan nasib orang-orang terdekatnya itu benar-benar menyadarkan Agung Sedayu untuk bersikap tegas tanpa ragu-ragu lagi. Jauh di lubuk hatinya, awalnya ia memang berharap bahwa pertarungan ini tidak perlu membawa kematian bagi siapapun, tetapi harapan itu agaknya akan sulit terpenuhi.
Karena itu, ketika tubuhnya terpental jauh ke belakang dan bahkan jatuh hingga berguling-guling beberapa kali, disaat itu pula Agung Sedayu segera mempersiapkan diri dan membangkitkan semua getaran dalam tubuhnya. Pengalaman yang telah tertimbun dalam dirinya mampu membuatnya untuk membatasi akibat fatal yang mungkin timbul dan bahkan dalam sekejab Agung Sedayu sudah mampu berjongkok menghadap kearah lawannya. Tangan kanannya terlihat menyentuh tanah untuk menopang berat tubuhnya, sementara tangan kirinya menempel pada lutut kaki kirinya yang ditekuk. Dengan wajah yang menegang, Agung Sedayu menatap lawannya yang sedang melayang mengejarnya sambil hendak mengayunkan sebuah keris besar ber-luk tigabelas.
Dimata Agung Sedayu yang jiwa dan nuraninya telah tersadarkan itu, ujud lawannya itu kini sama sekali tidak menyerupai ujud gurunya, Kiai Gringsing. Lawannya adalah seorang yang berpakaian serba hitam, sama sekali tidak ada motif gringsing pada kain panjangnya. Wajahnya terlihat sedikit tirus, menandakan umurnya yang cukup tua, rambut panjangnya terurai lepas kebelakang dan kepalanya dihiasi sebuah mahkota gemerlap yang agaknya terbuat dari emas.
Tetapi semua ciri fisik pada lawannya itu hanya melintas sekejab saja dipikirannya, sementara perhatian dan pandangan Agung Sedayu kemudian sepenuhnya teralihkan pada senjata keris di tangan lawannya. Keris ini berukuran lebih besar dari keris pada umumnya yang biasanya berluk sembilan, terlebih keris ditangan lawannya itu memunculkan aura gelap yang mampu menekan perasaan lawan. Terlihat warna merah menyala menyelimuti batang keris, akan tetapi warna merah itu kemudian ditimpa oleh aura yang sangat pekat dan gelap yang menyelubunginya sehingga keris itu sesungguhnya mengandung sebuah kekuatan yang teramat dahsyat dan sulit diperkirakan besarnya.
Dalam waktu yang teramat singkat dan posisi diserang, Agung Sedayu mampu berpikir cepat. Akan kurang menguntungkan jika ia harus menyambut atau membentur keris lawan yang sedang berada pada puncak kekuatannya. Otaknya berputar dengan sangat cepat dan segera ia membidik satu titik yang mampu ia jangkau dengan tatapan matanya. Agung Sedayu sengaja mengabaikan dada lawan yang sebenarnya terbuka.
Agung Sedayu meyakini bahwa serangan ke bagian dada belum tentu mampu merobohkan lawan yang sedang dalam puncak tertinggi kemampuannya, sementara keris ditangan lawan itulah yang saat ini justru sedang mengancam jiwanya.
Dalam keterbatasan waktu yang sangat mendesak dan sambil berjongkok diatas tanah, Agung Sedayu memanjatkan doa dan berserah pada kuasa Yang Maha Agung. Ia sudah memantabkan hati dan sasaran, sehingga sesaat kemudian dari kedua matanya memancar sebuah sinar merah yang melesat cepat bagaikan tatit menyambar di langit. Dua sinar merah yang meluncur dari kedua mata Agung Sedayu itu dengan telak dan tak tertahankan menghantam pergelangan tangan kanan Resi Kali Belehan yang sedang menggenggam keris pusakanya.
Sesungguhnya Agung Sedayu memang dikarunia ingatan yang cemerlang serta kemampuan untuk membaca situasi dengan sangat baik. Ilmu perlindungan atau ilmu kebal pada umumnya memusatkan kekuatan pada bagian tubuh utama manusia dalam hal ini bagian dada, perut, punggung ataupun pundak yang memang mudah dijangkau lawan. Terlebih ilmu kebal atau perlindungan yang diperoleh melalui olah nafas, maka perut dan dada merupakan puncak kekuatan perlindungan yang sangat sulit bisa ditembus lawan.
Hal itu bisa ditangkap dengan jeli oleh Agung Sedayu, terlebih situasi saat itu ia harus menghindari sambaran keris yang sangat berbahaya itu. Karena itu Agung Sedayu sengaja melepas sasaran pada dada lawan yang sebenarnya sangat terbuka, melainkan mengarahkan bidikan matanya pada pergelangan tangan kanan lawan.
Sementara itu Resi Kali Belehan terlambat menyadari gerak Agung Sedayu yang ternyata mengabaikan dadanya yang terbuka yang memang sengaja ia pakai sebagai pancingan. Hatinya terguncang dan betapa terperanjatnya ia ketika menyadari bahwa sasaran Agung Sedayu adalah pergelangan tangan kanannya yang sedang memegang keris pusaka. Sama sekali bukan dadanya yang terbuka.
Tetapi Resi Kali Belehan ini memang tokoh pinunjul dengan pengalaman luar biasa yang tertimbun dalam dirinya. Ia memiliki ilmu-ilmu yang dianggap diluar nalar atau diluar akal sehat orang pada umumnya. Menyadari dahsyatnya dua sinar merah yang keluar dari kedua mata Agung Sedayu, ia segera mengambil keputusan yang sama sekali diluar dugaan Agung Sedayu.
Agung Sedayu yang sedang membidik pergelangan tangan lawan itu terperanjat bukan main ketika merasakan serangannya yang membentur, meremas dan membakar pergelangan tangan itu seolah tidak berpengaruh sama sekali. Tubuh hitam itu seolah hanya merupakan sosok tanpa jiwa yang sama sekali tidak merasakan sakit ataupun keterkejutan sama sekali. Tubuh sosok hitam itu memang terpental dan terlihat keluar asap dari pergelangan tangannya, akan tetapi Agung Sedayu merasakan serangannya itu mengenai sesuatu yang kopong, tidak menyakiti jiwa ataupun menyakiti kehidupan yang mendukung sosok tubuh hitam itu.
Sungguh suatu keadaan yang benar-benar mencengangkan dan diluar pemahaman Agung Sedayu.
Akan tetapi saat itulah panggraita Agung Sedayu bergetar, sekejab sebelum serangan sorot matanya menghantam sasaran, matanya masih sempat melihat ada gumpalan asap merah bercampur hitam yang sangat tipis keluar dari kepala atau cakra mahkota lawan. Asap merah kehitaman itu bergerak melalui tubuh bagian atasnya dan merambat ke tangan kanannya yang sedang dipenuhi aura pusakanya yang menggelap akibat pengerahan tenaga cadangan dan ilmu yang tersalur di keris ber-luk tiga belas itu.
Sudah tentu semua kejadian itu berlangsung dalam waktu yang teramat cepat dan bahkan hanya selintasan pikiran manusia.
Tiba-tiba jantung Agung Sedayu berdetak kencang dan tidak beraturan, panggraitanya yang tajam meyakini bahwa jiwa lawannya sudah berpindah dan tidak lagi berada dalam tubuh hitam itu. Kenyataannya tubuh sosok hitam itu bagaikan segepok batang pisang yang meskipun teremas oleh bantaian serangan matanya, akan tetapi tidak terdengar jerit kesakitan ataupun keluhan yang keluar dari mulut sosok hitam itu.
Agung Sedayu memang belum pernah mendengar ada ilmu yang sanggup memindahkan jiwa, apalagi ke dalam sebuah benda mati. Akan tetapi panggraitanya mengatakan bahwa jiwa Resi Kali Belehan itu sekarang sudah oncat dari tubuh sosok hitamnya dan berpindah merasuk ke dalam keris pusakanya. Ataukah keris pusaka itu adalah sebuah benda yang didalamnya terpancar kehidupan?
Kenyataannya, keris ber-luk tigabelas itu kini memancarkan cahaya merah kehitaman yang semakin membesar, pekat dan menakutkan. Keris itu memang masih ada dalam genggaman sosok hitam yang seolah sudah tanpa jiwa, akan tetapi sosok hitam itulah yang kini justru digerakkan oleh keris yang kini mempunyai jiwa dan kemauan. Sebuah pemandangan yang tidak dipahami oleh manusia kebanyakan dan bahkan membuat jantung seorang Agung Sedayu berdenyut semakin kencang.
Sambil masih berjongkok Agung Sedayu mencoba mempertajam seluruh ilmu yang akan mendukung tindakannya. Ajian Sapta Pandulu, Sapta Pangganda dan Sapta Panggraitanya dikerahkan hingga ke puncak.
Ada aroma khas yang kemudian tertangkap oleh ajian Sapta Pangganda dan hinggap di hidung Agung Sedayu.
Salam,
Ries
Ries
No comments:
Post a Comment