BALADA
SWANDARU GENI
Bab IV:
Hilangnya Seorang Swandaru Geni
Babak – 20
Sebenarnyalah,
bersamaan dengan terdengarnya ledakan dahsyat yang memecah dinding asap hitam
itu, terlihat beberapa sosok bayangan yang terlontar keluar dari dinding asap
pekat itu. Seorang berdiri di paling kiri langsung menghadapi Ki Sindupati,
sementara seorang lagi berdiri tepat di depan Sekar Mirah.
Belum sempat
Gilang memperhatikan dua sosok tubuh yang muncul itu, ia yang berdiri di
sebelah Pandan Wangi tidak kurang terperanjatnya ketika tiba-tiba muncul dua
buah bayangan hitam yang melayang dan langsung jatuh berdebum di tanah berpasir
di depannya. Keterkejutannya menjadi berkali lipat besarnya ketika Gilang merasakan
sentuhan tangan ibundanya, sehingga ia-pun memekik kecil bahkan sambil mundur
dua langkah.
Hanya saja sumber
keterkejutan Gilang dan Pandan Wangi agaknya berbeda. Ini terlihat dari
pandangan mata keduanya yang ternyata tidak menatap pada titik dan arah yang sama.
Sebagai
seorang bocah, Gilang masih terpengaruh pada cerita atau dongeng tentang
makhluk-makhluk menyeramkan yang sering diceritakan para orangtua. Cerita yang
oleh sebagian anak diyakini kebenarannya sehingga mereka cenderung menurut
perintah orangtua karena rasa takut. Sementara Gilang sendiri tidak pernah
menerima perlakuan dengan cara ditakut-takuti baik dari Swandaru maupun Pandan
Wangi. Gilang hanya mendengar dari teman-temannya yang terkadang cerita itu sudah
dilebih-lebihkan. Karena itu Gilang menganggap bahwa cerita-cerita tentang
makhluk menakutkan itu ngayawara belaka.
Akan tetapi,
kini kedua mata Gilang terbelalak lebar dan mulutnya terdengar memekik tanpa
sengaja karena ada rasa takut yang menyelinap secara mendadak.
Sebelum
Gilang menyadari apa yang sesungguhnya terjadi, dihadapannya telah berdiri sesosok
makhluk yang sama sekali berbeda dengan dua orang yang telah muncul dihadapan
Ki Sindupati dan Sekar Mirah.
Makhluk ini berwarna
serba hitam, tingginya kurang lebih sama dengan tinggi Gilang atau sekitar
setengah tinggi orang dewasa lebih sedikit.
Siapapun
yang melihat ujud makhluk hitam ini, hal pertama yang menimbulkan rasa heran,
jijik sekaligus takut adalah bahwa makhluk hitam tersebut ternyata sama sekali
tidak mempunyai badan. Tubuhnya hanya terdiri dari kepala hitam yang langsung
ditopang oleh semacam kaki panjang yang berjumlah lima buah. Kaki yang berwarna
hitam dan berjumlah lima buah itu ternyata juga tidak mempunyai lutut,
melainkan langsung dari kepala turun kebawah dengan lima telapak kaki yang
menyentuh tanah. Kaki itu terlihat lentur dan terus bergerak sehingga mungkin
bisa saja kaki-kaki itu saling membelit.
Makhluk hitam
itu berambut gimbal yang panjang turun ke bawah hampir menyentuh tanah. Sebagian
rambutnya juga tergerai ke depan menutupi wajahnya. Disela-sela rambut gimbal
itu masih terlihat dua buah mata bulat yang besar dan berwarna kuning dengan
bola mata merah membara. Ukuran mata itu sungguh tidak lazim karena hampir
memenuhi sebagian besar wajahnya. Hidungnya juga berukuran besar, akan tetapi
tidak mempunyai batang hidung melainkan hanya dua lubang hidung yang bulat dan
hampir melekat pada sisi dalam mata dibagian kanan dan kiri. Entah apakah
makhluk itu mempunyai mulut atau tidak karena bagian itu tertutupi oleh
lebatnya bulu kumis, jambang serta jenggotnya yang berwarna serba hitam dan
memanjang kebawah.
Dimata
Gilang, makhluk serba hitam ini berwajah manusia akan tetapi berkaki ubur-ubur.
“Onggo-Inggi”,-
desis Kiai Garda sambil bergeser maju menghalangi pandangan Gilang -,“Mundurlah
Gilang, adalah tugasku untuk melenyapkan makhluk aneh ini”
Gilang tidak
menjawab, sambil menata dadanya yang berdebar kencang ia juga merasakan tubuh
ibundanya yang berdiri disampingnya gemetar karena goncangan dalam hatinya.
Dengan cepat bocah itu mengikuti arah pandangan Pandan Wangi dan kembali
mulutnya terpekik.
Sekitar satu
setengah tombak dari makhluk Onggo-Inggi itu terlihat seorang yang duduk dengan
wajah terlongong-longong dan pandangan mata yang kosong. Cara duduk orang
itupun menunjukkan ketidakberdayaannya karena ia duduk dengan menekuk kedua
lututnya ke belakang, bukan untuk menopang berat tubuh keseluruhan tubuhnya,
karena ternyata pantatnya justru langsung menyentuh tanah berpasir. Badannya
yang agak gemuk seolah tak bertulang karena cenderung condong ke depan dan
tidak mampu menyangga tubuhnya. Sikap seperti itu biasanya disebut sebagai ‘duduk
ndeprok’ dan menunjukkan seseorang yang sudah menyerah dan pasrah atas segala
keadaan yang telah di alaminya.
“Ayah!”
Hampir saja
Gilang berlari mendekat sebelum tangan Pandan Wangi meraih dan mencegahnya.
“Tahan
Gilang, ingat pesan pamanmu Agung Sedayu. Saat ini Ayah sedang dalam penguasaan
penguasa Kali Belehan, sehingga kita harus bertindak sesuai rencana”, - sambil
menahan perasaannya yang bergejolak Pandan Wangi masih sempat berbisik kepada
anaknya.
Sebenarnyalah
dada Pandan Wangi berdegup kencang sekali, matanya terasa panas. Ia pernah
melihat suaminya itu terluka sangat parah, bahkan luka yang terakhir karena
serangan ilmu yang disebut Ajian Tunda Bantala itu hampir melumpuhkan kaki dan tubuh
fisiknya. Akan tetapi perasaan sedih, gelisah dan kuatir yang dirasakan saat
ini jauh lebih mencekam. Tubuh suaminya yang meringkuk tanpa daya atau kadang
disebut dengan istilah ‘nglimpruk’ itu menunjukkan sudah tidak ada daya upaya
apapun yang dimilikinya. Terlebih wajah bengong dan terlongong-longong itu
menunjukkan bahwa Swandaru sudah tidak perduli dan tidak mengenali dirinya
sendiri.
Yang juga
mengguncang perasaan Pandan Wangi dan Gilang adalah kenyataan bahwa Swandaru
ternyata memakai pakaian hitam dan serba gelap. Seingat Pandan Wangi, suaminya
itu tidak pernah menyukai warna hitam dan selama hidupnya tidak pernah pula berpakaian
hitam seperti sekarang ini. Inilah bentuk penguasaan atas diri Swandaru dari
penguasa Kali Belehan itu.
Swandaru
tidak ubahnya seperti sebuah golek boneka berbadan besar yang digerakkan oleh
kekuatan lain. Atau ia tak ubahnya seperti seekor siput tua yang bergerak
karena dibentak ataupun di paksa oleh pemiliknya.
Sosok yang selama
ini dikenal mempunyai kemampuan sangat tinggi, tenaga yang teramat besar dan
bahkan kepercayaan diri yang berlebihan itu kini duduk lemah terkulai. Semua ciri
yang menempel pada dirinya lenyap tanpa bekas. Kepribadiannya telah terenggut
tanpa sisa.
Mata Pandan
Wangi terasa nanar, disamping rasa kasihan dan kuatir yang dalam atas keadaan
suaminya, disaat itu ada perasaan marah yang menyeruak dan membuat dadanya
sesak.
“Siapa yang
telah membuat kakang Swandaru seperti ini harus menerima balasannya”, - geram
Pandan Wangi dalam hati.
Hampir saja
kedua tangannya mencabut pedang tipis dilambungnya sebelum kemudian ia sadar pedang
itu tidak akan membantunya.
Pandan Wangi
tidak sempat merenung lebih jauh dan kembali hatinya terguncang ketika sekilas
ia melihat makhluk hitam yang disebut Onggo-Inggi itu mengeluarkan suara keras seperti
ringkik-an kuda. Bersamaan dengan suara yang mirip ringkik-an kuda itu rambut
gimbalnya terayun ayun diudara dan berputar keras sehingga menimbulkan hembusan
angin yang cukup tajam.
Sebenarnyalah,
kejadian berikutnya sama sekali tidak terduga oleh siapapun. Suara meringkik
Onggo-Inggi yang diikuti putaran rambut gimbalnya itu ternyata merupakan sebuah
perintah atau isyarat bagi Swandaru yang masih terduduk lemah ditanah. Swandaru
yang tadinya terlihat lemah tanpa daya dengan tatapan mata yang kosong itu
terlihat menegakkan badannya. Bahkan dengan gesit tiba-tiba Swandaru itu bangkit
dan berdiri pada kedua kakinya. Matanya terlihat memerah dan yang lebih
mengejutkan adalah dari mulutnya terdengar suara mendesis aneh yang keras
berulang kali.
Swandaru benar-benar
berubah, ia telah kehilangan jati dirinya sama sekali.
Belum lagi
reda keterkejutan Pandan Wangi dan yang lain, tiba-tiba udara siang di sungai
Belehan itu kembali dikejutkan oleh sebuah ledakan keras mengguntur di langit. Swandaru
ternyata telah menggenggam cambuk ditangannya dan dengan suara mendesis keras ia
langsung melompat ke depan menerkam Pandan Wangi.
Swandaru sama
sekali tidak mengenali siapa yang ada di depannya. Ia tidak sadar bahwa yang diserangnya
adalah istri yang selama ini mendampinginya, yang telah mengabdi dengan tulus
untuk membangun sebuah rumah tangga harmonis seperti yang pernah dijanjikannya.
Swandaru sudah lupa segalanya. Ia hanya bergerak, mendesis dan mengayunkan
tangannya yang ternyata masih mengandung tenaga yang sangat besar.
Betapa
tercekatnya hati Pandan Wangi.
Salam,
Ries
No comments:
Post a Comment