Saturday, August 5, 2017

BSH - BAB.IV - HSSG - Babak-20

BALADA SWANDARU GENI
Bab IV: Hilangnya Seorang Swandaru Geni
Babak – 20



Sebenarnyalah, bersamaan dengan terdengarnya ledakan dahsyat yang memecah dinding asap hitam itu, terlihat beberapa sosok bayangan yang terlontar keluar dari dinding asap pekat itu. Seorang berdiri di paling kiri langsung menghadapi Ki Sindupati, sementara seorang lagi berdiri tepat di depan Sekar Mirah.


Belum sempat Gilang memperhatikan dua sosok tubuh yang muncul itu, ia yang berdiri di sebelah Pandan Wangi tidak kurang terperanjatnya ketika tiba-tiba muncul dua buah bayangan hitam yang melayang dan langsung jatuh berdebum di tanah berpasir di depannya. Keterkejutannya menjadi berkali lipat besarnya ketika Gilang merasakan sentuhan tangan ibundanya, sehingga ia-pun memekik kecil bahkan sambil mundur dua langkah.


Hanya saja sumber keterkejutan Gilang dan Pandan Wangi agaknya berbeda. Ini terlihat dari pandangan mata keduanya yang ternyata tidak menatap pada titik dan arah yang sama.


Sebagai seorang bocah, Gilang masih terpengaruh pada cerita atau dongeng tentang makhluk-makhluk menyeramkan yang sering diceritakan para orangtua. Cerita yang oleh sebagian anak diyakini kebenarannya sehingga mereka cenderung menurut perintah orangtua karena rasa takut. Sementara Gilang sendiri tidak pernah menerima perlakuan dengan cara ditakut-takuti baik dari Swandaru maupun Pandan Wangi. Gilang hanya mendengar dari teman-temannya yang terkadang cerita itu sudah dilebih-lebihkan. Karena itu Gilang menganggap bahwa cerita-cerita tentang makhluk menakutkan itu ngayawara belaka.  


Akan tetapi, kini kedua mata Gilang terbelalak lebar dan mulutnya terdengar memekik tanpa sengaja karena ada rasa takut yang menyelinap secara mendadak.


Sebelum Gilang menyadari apa yang sesungguhnya terjadi, dihadapannya telah berdiri sesosok makhluk yang sama sekali berbeda dengan dua orang yang telah muncul dihadapan Ki Sindupati dan Sekar Mirah.


Makhluk ini berwarna serba hitam, tingginya kurang lebih sama dengan tinggi Gilang atau sekitar setengah tinggi orang dewasa lebih sedikit.  


Siapapun yang melihat ujud makhluk hitam ini, hal pertama yang menimbulkan rasa heran, jijik sekaligus takut adalah bahwa makhluk hitam tersebut ternyata sama sekali tidak mempunyai badan. Tubuhnya hanya terdiri dari kepala hitam yang langsung ditopang oleh semacam kaki panjang yang berjumlah lima buah. Kaki yang berwarna hitam dan berjumlah lima buah itu ternyata juga tidak mempunyai lutut, melainkan langsung dari kepala turun kebawah dengan lima telapak kaki yang menyentuh tanah. Kaki itu terlihat lentur dan terus bergerak sehingga mungkin bisa saja kaki-kaki itu saling membelit.


Makhluk hitam itu berambut gimbal yang panjang turun ke bawah hampir menyentuh tanah. Sebagian rambutnya juga tergerai ke depan menutupi wajahnya. Disela-sela rambut gimbal itu masih terlihat dua buah mata bulat yang besar dan berwarna kuning dengan bola mata merah membara. Ukuran mata itu sungguh tidak lazim karena hampir memenuhi sebagian besar wajahnya. Hidungnya juga berukuran besar, akan tetapi tidak mempunyai batang hidung melainkan hanya dua lubang hidung yang bulat dan hampir melekat pada sisi dalam mata dibagian kanan dan kiri. Entah apakah makhluk itu mempunyai mulut atau tidak karena bagian itu tertutupi oleh lebatnya bulu kumis, jambang serta jenggotnya yang berwarna serba hitam dan memanjang kebawah.  


Dimata Gilang, makhluk serba hitam ini berwajah manusia akan tetapi berkaki ubur-ubur.


“Onggo-Inggi”,- desis Kiai Garda sambil bergeser maju menghalangi pandangan Gilang -,“Mundurlah Gilang, adalah tugasku untuk melenyapkan makhluk aneh ini”


Gilang tidak menjawab, sambil menata dadanya yang berdebar kencang ia juga merasakan tubuh ibundanya yang berdiri disampingnya gemetar karena goncangan dalam hatinya. Dengan cepat bocah itu mengikuti arah pandangan Pandan Wangi dan kembali mulutnya terpekik.


Sekitar satu setengah tombak dari makhluk Onggo-Inggi itu terlihat seorang yang duduk dengan wajah terlongong-longong dan pandangan mata yang kosong. Cara duduk orang itupun menunjukkan ketidakberdayaannya karena ia duduk dengan menekuk kedua lututnya ke belakang, bukan untuk menopang berat tubuh keseluruhan tubuhnya, karena ternyata pantatnya justru langsung menyentuh tanah berpasir. Badannya yang agak gemuk seolah tak bertulang karena cenderung condong ke depan dan tidak mampu menyangga tubuhnya. Sikap seperti itu biasanya disebut sebagai ‘duduk ndeprok’ dan menunjukkan seseorang yang sudah menyerah dan pasrah atas segala keadaan yang telah di alaminya.


“Ayah!”


Hampir saja Gilang berlari mendekat sebelum tangan Pandan Wangi meraih dan mencegahnya.


“Tahan Gilang, ingat pesan pamanmu Agung Sedayu. Saat ini Ayah sedang dalam penguasaan penguasa Kali Belehan, sehingga kita harus bertindak sesuai rencana”, - sambil menahan perasaannya yang bergejolak Pandan Wangi masih sempat berbisik kepada anaknya.



Sebenarnyalah dada Pandan Wangi berdegup kencang sekali, matanya terasa panas. Ia pernah melihat suaminya itu terluka sangat parah, bahkan luka yang terakhir karena serangan ilmu yang disebut Ajian Tunda Bantala itu hampir melumpuhkan kaki dan tubuh fisiknya. Akan tetapi perasaan sedih, gelisah dan kuatir yang dirasakan saat ini jauh lebih mencekam. Tubuh suaminya yang meringkuk tanpa daya atau kadang disebut dengan istilah ‘nglimpruk’ itu menunjukkan sudah tidak ada daya upaya apapun yang dimilikinya. Terlebih wajah bengong dan terlongong-longong itu menunjukkan bahwa Swandaru sudah tidak perduli dan tidak mengenali dirinya sendiri.


Yang juga mengguncang perasaan Pandan Wangi dan Gilang adalah kenyataan bahwa Swandaru ternyata memakai pakaian hitam dan serba gelap. Seingat Pandan Wangi, suaminya itu tidak pernah menyukai warna hitam dan selama hidupnya tidak pernah pula berpakaian hitam seperti sekarang ini. Inilah bentuk penguasaan atas diri Swandaru dari penguasa Kali Belehan itu.


Swandaru tidak ubahnya seperti sebuah golek boneka berbadan besar yang digerakkan oleh kekuatan lain. Atau ia tak ubahnya seperti seekor siput tua yang bergerak karena dibentak ataupun di paksa oleh pemiliknya.


Sosok yang selama ini dikenal mempunyai kemampuan sangat tinggi, tenaga yang teramat besar dan bahkan kepercayaan diri yang berlebihan itu kini duduk lemah terkulai. Semua ciri yang menempel pada dirinya lenyap tanpa bekas. Kepribadiannya telah terenggut tanpa sisa.


Mata Pandan Wangi terasa nanar, disamping rasa kasihan dan kuatir yang dalam atas keadaan suaminya, disaat itu ada perasaan marah yang menyeruak dan membuat dadanya sesak.


“Siapa yang telah membuat kakang Swandaru seperti ini harus menerima balasannya”, - geram Pandan Wangi dalam hati.


Hampir saja kedua tangannya mencabut pedang tipis dilambungnya sebelum kemudian ia sadar pedang itu tidak akan membantunya.


Pandan Wangi tidak sempat merenung lebih jauh dan kembali hatinya terguncang ketika sekilas ia melihat makhluk hitam yang disebut Onggo-Inggi itu mengeluarkan suara keras seperti ringkik-an kuda. Bersamaan dengan suara yang mirip ringkik-an kuda itu rambut gimbalnya terayun ayun diudara dan berputar keras sehingga menimbulkan hembusan angin yang cukup tajam.


Sebenarnyalah, kejadian berikutnya sama sekali tidak terduga oleh siapapun. Suara meringkik Onggo-Inggi yang diikuti putaran rambut gimbalnya itu ternyata merupakan sebuah perintah atau isyarat bagi Swandaru yang masih terduduk lemah ditanah. Swandaru yang tadinya terlihat lemah tanpa daya dengan tatapan mata yang kosong itu terlihat menegakkan badannya. Bahkan dengan gesit tiba-tiba Swandaru itu bangkit dan berdiri pada kedua kakinya. Matanya terlihat memerah dan yang lebih mengejutkan adalah dari mulutnya terdengar suara mendesis aneh yang keras berulang kali.


Swandaru benar-benar berubah, ia telah kehilangan jati dirinya sama sekali.


Belum lagi reda keterkejutan Pandan Wangi dan yang lain, tiba-tiba udara siang di sungai Belehan itu kembali dikejutkan oleh sebuah ledakan keras mengguntur di langit. Swandaru ternyata telah menggenggam cambuk ditangannya dan dengan suara mendesis keras ia langsung melompat ke depan menerkam Pandan Wangi.

Swandaru sama sekali tidak mengenali siapa yang ada di depannya. Ia tidak sadar bahwa yang diserangnya adalah istri yang selama ini mendampinginya, yang telah mengabdi dengan tulus untuk membangun sebuah rumah tangga harmonis seperti yang pernah dijanjikannya. Swandaru sudah lupa segalanya. Ia hanya bergerak, mendesis dan mengayunkan tangannya yang ternyata masih mengandung tenaga yang sangat besar.


Betapa tercekatnya hati Pandan Wangi.



Salam,

Ries

No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...