Tuesday, August 8, 2017

BSG - BAB.IV - HSSG - Babak-22

BALADA SWANDARU GENI
Bab IV: Hilangnya Seorang Swandaru Geni
Babak – 22


Ki Widura yang cukup tahu akan kemampuan Pandan Wangi dimana pedangnya bisa melukai tubuh lawan sebelum pedang itu menyentuhnya menjadi tegang luar biasa. Bagaimanapun juga pertarungan antara suami istri itu begitu mencengkam perasaannya. Selama ini Swandaru selalu menganggap dirinya serba lebih dalam banyak hal termasuk dalam olah kanuragan. Kini pertarungan itu menjadi ajang pembuktian apakah ilmu cambuk dan tenaga raksasa yang dibanggakan Swandaru selama ini akan  mampu meredam kelincahan serta semua ajian yang terpendam dalam diri Pandan Wangi istrinya.


Disaat yang sama Ki Widura menyadari bahwa siapapun yang menang dalam pertarungan ini akan menyisakan luka tidak hanya di tubuh fisik, melainkan juga luka hati. Inilah yang sangat mengganggu dan menjadi beban pikiran semua orang termasuk Ki Widura.


Ki Widura cukup tahu bahwa saat ini meskipun Swandaru berada dalam penguasaan tokoh di Kali Belehan ini, akan tetapi itu hanya sebatas pikiran dan kepribadiannya saja. Sementara ilmu cambuk, tenaga dan semua yang mendukung kemampuannya terlihat masih utuh.


“Tetapi aku kira dengan tambahan Aji Asta Sewu yang semakin matang itu Swandaru akan kesulitan jika harus bertarung dengan sungguh-sungguh melawan Pandan Wangi”, - batin Ki Widura.


Maka sesungguhnya pertarungan yang berlangsung itu benar-benar akan membenturkan dua buah ilmu dari sepasang suami istri yang sedang memendam masalah.


Siapapun yang menang dalam pertarungan ini, maka yang kalah dan membawa pengakuan bahwa ilmunya lebih rendah dari pasangannya. Ki Widura melihat, dalam keadaan biasa jiwa Pandan Wangi jauh lebih mengendap dan tentu bisa menerima jika ternyata kemampuan suaminya memang lebih tinggi. Akan tetapi dalam keadaan seperti sekarang ini, Pandan Wangi justru tidak boleh kalah sehingga ia benar-benar berada pada puncak kemampuannya.


“Jika aku kalah, maka sesungguhnya yang kalah adalah kami berdua. Pemenangnya adalah Resi gila  penguasa kali Belehan ini”, geram Pandan Wangi dalam hati.


Karena itu Pandan Wangi tidak lagi mengekang dirinya, kesempatan yang telah terbuka itu telah dimanfaatkannya dengan sangat baik. Tangannya terjulur lurus melakukan gerak tusukan, pedangnyapun telah dilambari ajiannya yang dapat melukai tubuh lawan sebelum menyentuhnya.



Disaat yang sangat menegangkan itulah, terjadi lagi sebuah peristiwa yang agaknya membuat pertarungan antara suami istri itu berakhir tidak seperti yang dibayangkan Ki Widura.


Udara di tepian sungai Belehan itu kembali digoncang suara meringkik yang tinggi dan menghentak, sebelum kemudian suara itu langsung menghilang senyap seketika.


Agaknya Kiai Garda memang tidak ingin menunda waktu atau sekedar melakukan penjajagan lagi. Ia sangat sadar bahwa semakin cepat ia bisa melenyapkan makhluk aneh dan menyeramkan ini, maka kemungkinan agar Swandaru bisa diselamatkan akan menjadi semakin besar. Maka Kiai Garda seolah berpacu dengan waktu.


Dalam gebrakan awal, Kiai Garda menyadari betapa lima buah kaki lentur yang terus bergerak itu seolah tidak bisa dihantam dengan tongkat Galih Wulung miliknya. Betapapun keras ayunan tongkat itu, ternyata kaki-kaki lentur itu selalu mampu melekat lunak kemudian membelit dan berusaha merenggut tongkat Galih Putih itu.


Saat itulah Kiai Garda melangkah dua tindak surut dan mengetrapkan ajian yang dinamakan Aji Mawa Dahana. Sesungguhnya, selain menguasai ajian yang bersumber pada inti embun yang mampu merubah keringat menjadi butiran-butiran padat yang keras dan teramat dingin, Kiai Garda juga menguasai ajian yang bersumber pada panasnya bara api. Dalam sekejab, tongkat Galih Wulung yang tadinya berwarna ungu kehitaman itu berubah menjadi merah membara dan memancarkan panas yang menyengat.


Tongkat Galih Wulung itu seakan juga mengeluarkan pletikan-pletikan bara api yang membakar udara disekitarnya. Kiai Garda sengaja tidak mengeluarkan ajian Mawa Dahana ini sewaktu menundukkan Hantu Laut yang juga menggunakan ilmu api. Baginya, ilmu api akan lebih mudah jika ditundukkan dengan ilmu yang bersumber pada air atau udara dingin yang beku. Karena jika api di lawan dengan api pula, maka orang-orang disekitarnyalah yang akan terdampak dan lebih menderita.


Dengan perhitungan yang mapan, tongkat Galih Wulung yang kini membara dan berwarna kemerahan serta mengeluarkan pletikan api itu terayun dengan deras mengancam kepala makhluk bernama  Onggo-Inggi itu. Ketika tiga kaki diantara lima kaki yang dimiliki Onggo-Inggi itu menyambut dan membelit tongkatnya, saat itulah Kiai Garda menyalurkan segenap hawa murninya dan meningkatkan bara panas dalam tongkatnya hingga ke puncak.


Terdengarlah suara ringkikan yang sangat keras sekali, agaknya makhluk itu tidak menyadari bahwa tongkat itu membawa hawa yang teramat panas dan mampu membakar serta menghanguskan apapun yang disentuhnya.

Makhluk Onggo-Inggi adalah makhluk menyeramkan yang hanya menuruti apa yang menjadi perintah penguasanya. Ia tidak di bekali dengan otak atau pengetahuan bahwa api itu panas dan mampu membakar apapun yang disentuhnya. Ia bertindak dengan hanya mengulang-ulang apa yang memang sudah dikuasainya, yaitu membelit dan merenggut apapun yang sudah dibelitnya.


Karena itu tongkat Kiai Garda dengan mudahnya langsung membakar dan menghanguskan tiga kaki lentur yang hendak membelitnya itu. Ketika, belitan tiga kaki itu terlepas karena terbakar, maka tongkat Kiai Garda langsung menghantam dua kaki lainnya yang menopang di tanah. Gerakan Kiai Garda sedemikian cepat dan direncanakan sehingga dalam sekejab kelima kaki Onggo-Inggi itu terbakar dan hangus karenanya.


Saat itulah mata Kiai Garda sempat menangkap sebuah kejadian yang selama ini banyak dibicarakan orang, meskipun banyak pula yang tidak mempercayainya. Dalam keadaan kelima kakinya yang hangus terbakar itu, makhluk bernama Onggo-Inggi itu mengeluarkan ringkikan keras sambil menggoyangkan seluruh kepala dan rambutnya sedemikian keras, sehingga terlihat sangat mengerikan. Rambutnya menyambar kemana-mana sementara dari rambut itu justru mengeluarkan bau harum yang menusuk hidung yang biasanya mampu memabukkan serta membangkitkan gairah para laki-laki hidung belang.
 

Ketika goyangan itu sudah mencapai puncaknya, Kiai Garda hampir saja membelalakkan matanya ketika yang ada dihadapannya kini adalah sesosok perempuan yang sedemikian cantik dan berambut halus. Tubuhnya terlihat sintal dengan kulit putih mulus seolah bidadari yang turun dari kahyangan. Dengan gerak sedemikian gemulai, bidadari itu melemparkan sebuah sebuah senyuman dan pandangan sayu ke arah Kiai Garda, seolah ia hendak mengundangnya untuk bermasyuk-mesra. Dengan menggunakan kemben dan pakaian yang sedikit terbuka, maka penampilan perempuan ini benar-benar tak ubahnya bagai bidadari dan merupakan godaan terbesar bagi siapapun yang tidak mempunyai iman yang kuat.


Akan tetapi hal itu justru semakin menyadarkan Kiai Garda tentang siapa yang dihadapinya. Karena hal itu ternyata justru membangkitkan kemarahannya hingga ke puncak.


“Kau salah jika melakukan hal ini kepadaku. Aku sudah tidak muda lagi, terlebih aku tahu persis siapakah kau ini”, - geram Kiai Garda dengan kemarahan yang tidak tertahankan lagi.


Segera Kiai Garda merapal sebuah japa mantra dari mulutnya, dan sesaat kemudian kembali tongkat Galih Wulung itu terayun-ayun mengerikan. Dari tongkat yang berwarna merah membara itu keluar pletikan-pletikan api yang membakar udara disekitarnya. Sementara tongkat Galih Wulung itu benar-benar menyasar dan mengenai tubuh dan wajah perempuan cantik itu dengan sangat keras dan tanpa ampun, sehingga terdengarlah ringkikan yang semakin keras.


Tercium bau rambut yang terbakar hangus, seiring berubahnya wujud perempuan berparas bidadari  dan bertubuh sintal yang kembali kepada ujud asli makhluk Onggo-Inggi. Serba hitam dan berambut gimbal menakutkan.


Akan tetapi ternyata Kiai Garda tidak berhenti hanya sampai disitu, dengan terus mengucapkan japa-mantra, tangannya melancarkan serangan-serangan membadai yang mencabik-cabik seluruh bagian kepala dan kaki makhluk itu.


“Aku tidak akan berhenti sampai kau berubah bentuk menjadi bubukan arang”, - Kiai Garda menggeram.


Saat itulah terdengar ringkikan yang teramat keras dan panjang sebelum akhirnya tiba-tiba saja menghilang sebagaimana yang didengar oleh Pandan Wangi dan semua orang yang hadir ditepian sungai itu. Agaknya itu adalah ringkian terakhir kali yang di perdengarkan oleh makhluk Onggo-Inggi itu.


Pada saat yang bersamaan, Pandan Wangi yang sudah mengetrapkan semua ajian dalam dirinya sudah menjulurkan pedangnya dan siap merobek pinggang kiri Swandaru suaminya. Suara meringkik keras itu memang sedikit mengganggunya, akan tetapi ia tidak ingin rencananya ini tertunda. Ketika sudah mendekati sasaran ia justru menambah daya dorong pedangnya sambil melakukan gerak mencukil untuk memberi tekanan pada luka yang ditimbulkan.


Meskipun jarak pedang Pandan Wangi masih sejengkal lebih, akan tetapi ia merasakan bahwa senjatanya itu telah menyentuh perut Swandaru suaminya.


Akan tetapi betapa terkejutnya hati Pandan Wangi ketika merasakan bahwa senjatanya itu seolah menghantam sebuah dinding yang sangat keras dan terbuat dari baja. Bahkan pedang tipisnya itu terpaksa bergeser ke samping akibat kerasnya dinding yang ternyata belum mampu ditembusnya.


“Tameng Waja”, - desis Pandan Wangi seolah baru tersadarkan.


Ternyata Pandan Wangi telah lengah dan bahkan melakukan sebuah kesalahan besar. Ia benar-benar melupakan sebuah fakta bahwa suaminya itu mampu melindungi tubuhnya dari serangan senjata tajam dengan peningkatan ajian Tameng Waja yang terus menerus dilatihnya.  Saat mengalami keterkejutan karena pedangnya ternyata tidak mampu menembus ajian Tameng Waja milik suaminya, saat itulah sebuah sambaran ujung cambuk Swandaru justru mengancam dadanya. Ayunan cambuk itu dilambari kekuatan tenaga cadangan Swandaru yang sangat besar sehingga benar-benar berbahaya bagi siapapun yang menjadi lawannya.


Siapapun yang mengikuti pertarungan itu akan merasakan ketegangan yang sangat mencekam. Dalam sekejab keadaan berbalik, Pandan Wangi yang sebelumnya mengancam tubuh suaminya dengan penerapan ilmunya, kini justru terbalik dan dalam kondisi terancam bukan hanya tubuhnya melainkan juga jiwanya.


Tidak ada kesempatan baginya untuk menghindar atau menangkis lagi.


Pandan Wangi berusaha meningkatkan daya tahan tubuhnya sambil pedang di tangan kirinya melakukan gerak kibasan sehingga kalaupun harus terkena ujung cambuk, maka luka yang ditimbulkannya tidak akan terlalu dalam.


Sambil menggigit bibirnya, Pandan Wangi menggeram pasrah.


Salam,

Ries

No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...