BALADA
SWANDARU GENI
Bab IV:
Hilangnya Seorang Swandaru Geni
Babak – 22
Ki Widura
yang cukup tahu akan kemampuan Pandan Wangi dimana pedangnya bisa melukai tubuh
lawan sebelum pedang itu menyentuhnya menjadi tegang luar biasa. Bagaimanapun
juga pertarungan antara suami istri itu begitu mencengkam perasaannya. Selama
ini Swandaru selalu menganggap dirinya serba lebih dalam banyak hal termasuk
dalam olah kanuragan. Kini pertarungan itu menjadi ajang pembuktian apakah ilmu
cambuk dan tenaga raksasa yang dibanggakan Swandaru selama ini akan mampu meredam kelincahan serta semua ajian
yang terpendam dalam diri Pandan Wangi istrinya.
Disaat yang
sama Ki Widura menyadari bahwa siapapun yang menang dalam pertarungan ini akan
menyisakan luka tidak hanya di tubuh fisik, melainkan juga luka hati. Inilah
yang sangat mengganggu dan menjadi beban pikiran semua orang termasuk Ki
Widura.
Ki Widura
cukup tahu bahwa saat ini meskipun Swandaru berada dalam penguasaan tokoh di
Kali Belehan ini, akan tetapi itu hanya sebatas pikiran dan kepribadiannya
saja. Sementara ilmu cambuk, tenaga dan semua yang mendukung kemampuannya
terlihat masih utuh.
“Tetapi aku
kira dengan tambahan Aji Asta Sewu yang semakin matang itu Swandaru akan
kesulitan jika harus bertarung dengan sungguh-sungguh melawan Pandan Wangi”, -
batin Ki Widura.
Maka
sesungguhnya pertarungan yang berlangsung itu benar-benar akan membenturkan dua
buah ilmu dari sepasang suami istri yang sedang memendam masalah.
Siapapun
yang menang dalam pertarungan ini, maka yang kalah dan membawa pengakuan bahwa
ilmunya lebih rendah dari pasangannya. Ki Widura melihat, dalam keadaan biasa
jiwa Pandan Wangi jauh lebih mengendap dan tentu bisa menerima jika ternyata
kemampuan suaminya memang lebih tinggi. Akan tetapi dalam keadaan seperti
sekarang ini, Pandan Wangi justru tidak boleh kalah sehingga ia benar-benar
berada pada puncak kemampuannya.
“Jika aku
kalah, maka sesungguhnya yang kalah adalah kami berdua. Pemenangnya adalah Resi
gila penguasa kali Belehan ini”, geram
Pandan Wangi dalam hati.
Karena itu
Pandan Wangi tidak lagi mengekang dirinya, kesempatan yang telah terbuka itu
telah dimanfaatkannya dengan sangat baik. Tangannya terjulur lurus melakukan
gerak tusukan, pedangnyapun telah dilambari ajiannya yang dapat melukai tubuh
lawan sebelum menyentuhnya.
Disaat yang
sangat menegangkan itulah, terjadi lagi sebuah peristiwa yang agaknya membuat
pertarungan antara suami istri itu berakhir tidak seperti yang dibayangkan Ki
Widura.
Udara di
tepian sungai Belehan itu kembali digoncang suara meringkik yang tinggi dan menghentak,
sebelum kemudian suara itu langsung menghilang senyap seketika.
Agaknya Kiai
Garda memang tidak ingin menunda waktu atau sekedar melakukan penjajagan lagi.
Ia sangat sadar bahwa semakin cepat ia bisa melenyapkan makhluk aneh dan
menyeramkan ini, maka kemungkinan agar Swandaru bisa diselamatkan akan menjadi
semakin besar. Maka Kiai Garda seolah berpacu dengan waktu.
Dalam
gebrakan awal, Kiai Garda menyadari betapa lima buah kaki lentur yang terus
bergerak itu seolah tidak bisa dihantam dengan tongkat Galih Wulung miliknya.
Betapapun keras ayunan tongkat itu, ternyata kaki-kaki lentur itu selalu mampu
melekat lunak kemudian membelit dan berusaha merenggut tongkat Galih Putih itu.
Saat itulah
Kiai Garda melangkah dua tindak surut dan mengetrapkan ajian yang dinamakan Aji
Mawa Dahana. Sesungguhnya, selain menguasai ajian yang bersumber pada inti
embun yang mampu merubah keringat menjadi butiran-butiran padat yang keras dan
teramat dingin, Kiai Garda juga menguasai ajian yang bersumber pada panasnya
bara api. Dalam sekejab, tongkat Galih Wulung yang tadinya berwarna ungu
kehitaman itu berubah menjadi merah membara dan memancarkan panas yang
menyengat.
Tongkat
Galih Wulung itu seakan juga mengeluarkan pletikan-pletikan bara api yang
membakar udara disekitarnya. Kiai Garda sengaja tidak mengeluarkan ajian Mawa
Dahana ini sewaktu menundukkan Hantu Laut yang juga menggunakan ilmu api.
Baginya, ilmu api akan lebih mudah jika ditundukkan dengan ilmu yang bersumber
pada air atau udara dingin yang beku. Karena jika api di lawan dengan api pula,
maka orang-orang disekitarnyalah yang akan terdampak dan lebih menderita.
Dengan
perhitungan yang mapan, tongkat Galih Wulung yang kini membara dan berwarna kemerahan
serta mengeluarkan pletikan api itu terayun dengan deras mengancam kepala
makhluk bernama Onggo-Inggi itu. Ketika
tiga kaki diantara lima kaki yang dimiliki Onggo-Inggi itu menyambut dan
membelit tongkatnya, saat itulah Kiai Garda menyalurkan segenap hawa murninya
dan meningkatkan bara panas dalam tongkatnya hingga ke puncak.
Terdengarlah
suara ringkikan yang sangat keras sekali, agaknya makhluk itu tidak menyadari
bahwa tongkat itu membawa hawa yang teramat panas dan mampu membakar serta
menghanguskan apapun yang disentuhnya.
Makhluk
Onggo-Inggi adalah makhluk menyeramkan yang hanya menuruti apa yang menjadi
perintah penguasanya. Ia tidak di bekali dengan otak atau pengetahuan bahwa api
itu panas dan mampu membakar apapun yang disentuhnya. Ia bertindak dengan hanya
mengulang-ulang apa yang memang sudah dikuasainya, yaitu membelit dan merenggut
apapun yang sudah dibelitnya.
Karena itu
tongkat Kiai Garda dengan mudahnya langsung membakar dan menghanguskan tiga
kaki lentur yang hendak membelitnya itu. Ketika, belitan tiga kaki itu terlepas
karena terbakar, maka tongkat Kiai Garda langsung menghantam dua kaki lainnya
yang menopang di tanah. Gerakan Kiai Garda sedemikian cepat dan direncanakan
sehingga dalam sekejab kelima kaki Onggo-Inggi itu terbakar dan hangus
karenanya.
Saat itulah
mata Kiai Garda sempat menangkap sebuah kejadian yang selama ini banyak
dibicarakan orang, meskipun banyak pula yang tidak mempercayainya. Dalam
keadaan kelima kakinya yang hangus terbakar itu, makhluk bernama Onggo-Inggi
itu mengeluarkan ringkikan keras sambil menggoyangkan seluruh kepala dan
rambutnya sedemikian keras, sehingga terlihat sangat mengerikan. Rambutnya
menyambar kemana-mana sementara dari rambut itu justru mengeluarkan bau harum
yang menusuk hidung yang biasanya mampu memabukkan serta membangkitkan gairah
para laki-laki hidung belang.
Ketika
goyangan itu sudah mencapai puncaknya, Kiai Garda hampir saja membelalakkan
matanya ketika yang ada dihadapannya kini adalah sesosok perempuan yang
sedemikian cantik dan berambut halus. Tubuhnya terlihat sintal dengan kulit
putih mulus seolah bidadari yang turun dari kahyangan. Dengan gerak sedemikian gemulai,
bidadari itu melemparkan sebuah sebuah senyuman dan pandangan sayu ke arah Kiai
Garda, seolah ia hendak mengundangnya untuk bermasyuk-mesra. Dengan menggunakan
kemben dan pakaian yang sedikit terbuka, maka penampilan perempuan ini
benar-benar tak ubahnya bagai bidadari dan merupakan godaan terbesar bagi
siapapun yang tidak mempunyai iman yang kuat.
Akan tetapi
hal itu justru semakin menyadarkan Kiai Garda tentang siapa yang dihadapinya.
Karena hal itu ternyata justru membangkitkan kemarahannya hingga ke puncak.
“Kau salah
jika melakukan hal ini kepadaku. Aku sudah tidak muda lagi, terlebih aku tahu
persis siapakah kau ini”, - geram Kiai Garda dengan kemarahan yang tidak
tertahankan lagi.
Segera Kiai
Garda merapal sebuah japa mantra dari mulutnya, dan sesaat kemudian kembali
tongkat Galih Wulung itu terayun-ayun mengerikan. Dari tongkat yang berwarna
merah membara itu keluar pletikan-pletikan api yang membakar udara
disekitarnya. Sementara tongkat Galih Wulung itu benar-benar menyasar dan
mengenai tubuh dan wajah perempuan cantik itu dengan sangat keras dan tanpa
ampun, sehingga terdengarlah ringkikan yang semakin keras.
Tercium bau
rambut yang terbakar hangus, seiring berubahnya wujud perempuan berparas
bidadari dan bertubuh sintal yang kembali
kepada ujud asli makhluk Onggo-Inggi. Serba hitam dan berambut gimbal
menakutkan.
Akan tetapi
ternyata Kiai Garda tidak berhenti hanya sampai disitu, dengan terus
mengucapkan japa-mantra, tangannya melancarkan serangan-serangan membadai yang
mencabik-cabik seluruh bagian kepala dan kaki makhluk itu.
“Aku tidak
akan berhenti sampai kau berubah bentuk menjadi bubukan arang”, - Kiai Garda
menggeram.
Saat itulah
terdengar ringkikan yang teramat keras dan panjang sebelum akhirnya tiba-tiba
saja menghilang sebagaimana yang didengar oleh Pandan Wangi dan semua orang
yang hadir ditepian sungai itu. Agaknya itu adalah ringkian terakhir kali yang
di perdengarkan oleh makhluk Onggo-Inggi itu.
Pada saat
yang bersamaan, Pandan Wangi yang sudah mengetrapkan semua ajian dalam dirinya
sudah menjulurkan pedangnya dan siap merobek pinggang kiri Swandaru suaminya.
Suara meringkik keras itu memang sedikit mengganggunya, akan tetapi ia tidak
ingin rencananya ini tertunda. Ketika sudah mendekati sasaran ia justru menambah
daya dorong pedangnya sambil melakukan gerak mencukil untuk memberi tekanan
pada luka yang ditimbulkan.
Meskipun
jarak pedang Pandan Wangi masih sejengkal lebih, akan tetapi ia merasakan bahwa
senjatanya itu telah menyentuh perut Swandaru suaminya.
Akan tetapi
betapa terkejutnya hati Pandan Wangi ketika merasakan bahwa senjatanya itu
seolah menghantam sebuah dinding yang sangat keras dan terbuat dari baja.
Bahkan pedang tipisnya itu terpaksa bergeser ke samping akibat kerasnya dinding
yang ternyata belum mampu ditembusnya.
“Tameng
Waja”, - desis Pandan Wangi seolah baru tersadarkan.
Ternyata
Pandan Wangi telah lengah dan bahkan melakukan sebuah kesalahan besar. Ia
benar-benar melupakan sebuah fakta bahwa suaminya itu mampu melindungi tubuhnya
dari serangan senjata tajam dengan peningkatan ajian Tameng Waja yang terus
menerus dilatihnya. Saat mengalami
keterkejutan karena pedangnya ternyata tidak mampu menembus ajian Tameng Waja
milik suaminya, saat itulah sebuah sambaran ujung cambuk Swandaru justru
mengancam dadanya. Ayunan cambuk itu dilambari kekuatan tenaga cadangan Swandaru
yang sangat besar sehingga benar-benar berbahaya bagi siapapun yang menjadi
lawannya.
Siapapun
yang mengikuti pertarungan itu akan merasakan ketegangan yang sangat mencekam.
Dalam sekejab keadaan berbalik, Pandan Wangi yang sebelumnya mengancam tubuh
suaminya dengan penerapan ilmunya, kini justru terbalik dan dalam kondisi
terancam bukan hanya tubuhnya melainkan juga jiwanya.
Tidak ada
kesempatan baginya untuk menghindar atau menangkis lagi.
Pandan Wangi
berusaha meningkatkan daya tahan tubuhnya sambil pedang di tangan kirinya
melakukan gerak kibasan sehingga kalaupun harus terkena ujung cambuk, maka luka
yang ditimbulkannya tidak akan terlalu dalam.
Sambil
menggigit bibirnya, Pandan Wangi menggeram pasrah.
Salam,
Ries
No comments:
Post a Comment