Tuesday, April 4, 2017

BALADA SWANDARU GENI - Sebuah Perjalanan - Babak-24

BALADA SWANDARU GENI
Sebuah Perjalanan
Babak-24

Jantung Hantu Laut itu semakin berdebar-debar ketika melihat sikap Kiai Garda yang sekarang tanpa ragu menyambut serangannya. Lawannya itu tidak lagi selalu menghilang dan menghindar dari garis serangannya.

Sebagai tokoh yang berpengalaman, Hantu Laut itu menyadari bahwa berdasarkan sikap yang baru saja ditunjukkan,  agaknya lawannya itu sedang mempersiapkan ajian untuk menahan serangannya. Maka dengan berteriak nyaring Hantu Laut itu segera meluncur dan ayunan Kiai Djangkung Dhahana segera membelah udara disekitar halaman banjar itu.

Serangan itu dilakukan dengan pengerahan tenaga yang sangat besar dan bahkan mendekati puncak kekuatan Hantu Laut. Akibatnya, udara di halaman banjar itu bagaikan terbakar dan orang-orang yang berdiri melingkar di arena itu tanpa sadar harus mundur dan mengambil jarak lebih jauh.

Di pojok halaman itu berdiri serumpun pohon pisang dan beberapa daun keringnya, yang biasa disebut klaras, ujung-ujungnya tepinya terlihat mulai hangus menghitam. Bererapa daun kering yang berserakan di tanahpun mulai menebar bau hangus meskipun belum mengeluarkan api.

Kiai Garda yang menyadari betapa berbahayanya serangan yang kali ini, sengaja tidak menghilang sebagaimana sebelumnya. Beberapa kali ia melenting-lenting tinggi dan cepat untuk menghindari serangan Hantu Laut itu sambil berusaha meningkatkan lapis ajian yang sedang di terapkannya. Ia memang memerlukan waktu beberapa saat sambil berusaha mencari celah untuk melakukan serangan balik.

Hantu Laut yang melihat tubuh lawannya tidak menghilang sebagaimana sebelumnya segera mengejar dan melandanya dengan serangan-serangan ilmu api-nya. Meskipun ia menyadari bahwa lawannya akan menerapkan ajian baru, tetapi ia begitu yakin bahwa ilmu api-nya akan mampu menghancurkan lawannya. Ia hanya perlu untuk menyentuh dan membentur tubuh lawannya.

Sebuah serangan deras melanda Kiai Garda, keris Hantu Laut itu terayun menyambar leher sambil menumpahkan percikan-percikn api panas yang membakar udara. Tetapi Kiai Garda memang sudah mempersiapkan diri, dengan hati tatag disambutnya serangan itu dengan merendahkan tubuhnya sambil memutar tongkat Galih Wulung dengan gerakan cepat. Ketika ayunan itu melintas sejengkal diatas kepalanya, tongkatnya segera menyodok ke arah dada lawan.

Hantu Laut itu melihat gerakan tongkat yang lurus mengarah dadanya, dengansebat ia segera memiringkan tubuhnya sehingga terhindar dari sodokan itu. Tetapi tangan kiri hantu itu tiba-tiba saja bergerak cepat berusaha untuk menangkap dan meremas tongkat Galih Wulung itu sambil mengerahkan ilmu api-nya hingga ke puncak. Ia bermaksud untuk merampas dan membakar tongkat lawannya itu sebelum kemudian menyusuli dengan ayunan keris ke arah tubuh Kiai Garda.

Gerakan kedua orang itu dilakukan dengan sangat cepat dan sungguh Kiai Garda berada dalam keadaan yang sangat mengkuatirkan.

Udara malam yang panas itu tiba-tiba kembali dikoyak oleh teriakan dan umpatan kasar justru dari mulut Hantu Laut. Dengan cepat ia melompat jauh untuk mengambil jarak. Ia tidak bisa menyembunyikan wajahnya yang terlihat sangat tegang dan penuh keheranan sambil sesekali menyeringai menahan sakit di lengan kirinya.

“Gila, ilmu apa lagi yang kau terapkan kali ini Kiai?”,- nada suaranya mengandung penasaran yang besar.

Kiai Garda tidak langsung menjawab, kesempatan itu dipergunakannya untuk mengatur nafas sambil mempertajam pengetrapan ajian untuk semakin tebal melapisi keseluruhan tubuhnya.

“ Aku hanya berusaha lepas dan tidak terbakar oleh apimu Hantu Laut”, - setelah merasa siap Kiai Garda menjawab pertanyaan lawannya itu.

Sesungguhnya Hantu Laut itu merasa sangat penasaran, baru kali ini ia berhadapan dengan lawan yang sedemikian ulet dan bahkan merepotkannya.

Ketika tangan kirinya tadi berusaha menangkap tongkat lawannya dan hendak meremasnya agar terbakar dengan tenaga api-nya, tiba-tiba tangannya itu terasa menyentuh benda keras yang teramat dingin. Tongkat kayu itu seolah berubah menjadi tongkat yang terbuat dari batu  salju yang sangat keras sekaligus teramat dingin.

Dalam keterperanjatan yang sangat, tak terhindarkan lagi tangan kiri Hantu Laut yang dilapisi ilmu api itu berbenturan dengan rasa dingin beku yang mengalir dari tongkat Galih Wulung. Terdengar suara mendesis yang sangat tajam dan panjang, tak ubahnya besi yang membara kemudian dimasukkan dalam gelombang air dingin yang bahkan kemudian mengeluarkan asap yang cukup tebal.

Disaat masih diliputi rasa terkejut itu, Hantu Laut terlambat untuk menghindar ketika Kiai Garda justru meloncat maju hendak menyarangkan tangan kirinya ke dadanya. Dengan gerakan secepat yang mampu ia lakukan, hantu itu menarik tubuhnya sambil tangan kanannya segera mengayunkan keris Kiai Djangkung Dhahana untuk memapasi ayunan tangan kiri lawannya.

Gerakan Hantu Laut yang tergesa-gesa itu mampu menyelamatkan dadanya dari serangan Kiai Garda. Tetapi ia sedikit terlambat sehingga tak urung lengan kirinya kembali tersentuh oleh ajian Cunda Manik. Kiai Garda sendiri agaknya masih cukup jeri untuk langsung memapaki keris yang mampu menaburkan butiran panas itu, sehingga iapun terpaksa harus melompat mundur.

Wajah Hantu Laut itu terlihat tegang dan dipenuhi kemarahan.

“Pantaslah Ki Kalangan Abang mampus ditangan orang ini”, - geramnya dalam hati.

Hantu itu segera menyiapkan diri untuk melakukan serangan berikutnya. Meskipun ia sadar bahwa lawannya kali ini berilmu sangat tinggi, tetapi hatinya sama sekali tidak gentar. Ia mempunyai keyakinan yang sangat tinggi bahwa ilmu-ilmu yang mengendap dalam dirinya akan mampu menyelamatkannya dan bahkan membunuh lawannya.

Ketika Hantu Laut itu hendak kembali melompat menyerang lawannya, tiba-tiba udara malam itu kembali dirobek teriakan keras yang disusul ledakan cambuk susul menyusul tiga kali.

Agaknya teriakan itu berasal dari mulut Watu Gempal yang sedang meluncurkan serangan ke arah lawan. Tetapi yang membuat Hantu Laut dan Kiai Garda mengerutkan keningnya adalah tiga ledakan cambuk yang datang susul menyusul. Ledakan pertama dan kedua begitu keras memekakkan telinga sebagaimana yang telah mereka dengar sebelumnya, hanya saja ledakan yang ketiga itu terdengar jauh lebih pelan.

Tetapi ledakan ketiga ini justru seolah menghentak dada siapapun yang mendengarnya. Seolah dada ini sedang di gencet dengan batu sebesar kerbau dan membuat nafas tersengal-sengal.

Di lingkaran lain, terlihat Swandaru sedang terpojok disudut halaman tanpa ada ruang gerak untuk menghindar sementara tubuh raksasa Watu Gempal itu sedang melayang menerkamnya.


Salam,

Bagi poro sanak-kadang FB yang ketinggalan/ belum membaca seri-seri sebelumnya, silahkan bisa menikmatinya di blog sy;  http://pudjo-riswantoro.blogspot.co.id



1 comment:

widiaxa said...

Matur-nuwun Ki-Pujo-Riswantoro atas glodakannya.

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...