Tuesday, April 25, 2017

BSG - Bab 3 : Gilang Pamungkas - Babak – 09

BALADA SWANDARU GENI
Bab 3 : Gilang Pamungkas
Babak – 09

Tidak di-nyana dua burung aneh itu mampu melihat bahaya yang mengancam dadanya. Sambil memperlambat kecepatan terbangnya, sayap kanan dan kiri kedua burung itu bergerak menyamping berulang kali melakukan gerak tepisan untuk menyabet batu yang mengarah ke tubuh masing-masing.
Kedua batu sebesar telur yang mengancam dada burung itu ternyata berhasil tertepis untuk kemudian melenceng dan jatuh ke tanah tanpa melukai kedua burung yang menjadi sasaran lempar Gilang.
Tetapi belum lagi batu yang tertepis itu jatuh menyentuh tanah, terdengar suara mendesing dan dua buah batu kembali melesat dan mengancam dada kedua burung itu. Gilang yang melihat kedua batu pertamanya tertepis dengan mudah itu telah meluncurkan lemparan keduanya dengan lebih kuat dan lebih cepat.
Meskipun tidak bisa melihat dengan jelas, tetapi Pandan Wangi bisa merasakan bahwa kedua burung itu agaknya cukup terkejut ketika harus menerima lemparan yang kedua kalinya sebelum mereka sempat mengambil nafas lebih lanjut atas keberhasilan menepis lemparan yang pertama.
Kedua burung itu kini terlihat seolah berhenti, mengambang di udara sambil mengepak-epakkan sayapnya berulang kali. Mereka melakukan gerak tepisan dengan kedua sayapnya yang yang lebar dan sangat kuat itu sehingga batu yang mengancamnya itu kembali tertepis.
Adalah seorang Gilang yang ternyata mampu berpikir dan bertindak dengan cepat. Darah seorang Argapati yang mengalir dalam tubuhnya terpadu dengan sikap seorang Swandaru Geni yang tidak pernah mengenal takut membuatnya mampu mengambil keputusan dengan cepat.
Menyadari lemparan pertamanya mampu ditepis kedua burung itu dengan mudah, maka ia menambah tenaganya pada lemparan yang kedua, dan yang tidak diduga oleh Pandan Wangi maupun semua yang melihat adegan itu, ternyata Gilang langsung menyusuli dengan lemparan ketiga meskipun lemparannya yang kedua belum mengenai sasaran. Selisih waktu antara lemparan kedua dan ketiga itu hanya sekejaban mata.
“Kena!”, - kembali Gilang berteriak keras.
Ketika kedua burung itu sibuk untuk menepis lemparan batu yang kedua, ternyata lemparan yang ketiga lepas dari pengamatan burung itu. Tak ayal kedua burung itu berkaok-kaok kesakitan ketika lemparan ketiga itu dengan deras mengenai paha dan perut mereka. Sementara batu yang kedua juga tidak berhasil mereka tepis dengan sempurna.
Sambil terbang menjauh kedua burung itu memperdengarkan suara ribut yang memekakkan terlinga. Mereka berkumpul dengan kawan-kawannya dan terbang berputaran diatas udara Lemah Cengkar itu. Agaknya burung-burung itu sedang mempersiapkan serangan berikutnya.
Wahana yang melihat kejadian itu terlihat tidak bisa menahan kekagumannya pada Gilang.
“Darimana kau dapatkan batu-batu itu Gilang”, - teriaknya mengatasi suara riuh rendah burung-burung itu.
“ Ada dikantong pelana kudaku paman, banyak sekali. Aku selalu membawanya untuk bisa berlatih setiap saat,” – Gilang menjawab dengan suara yang tidak kalah kerasnya -,” Ayo paman, kali ini kita akan sungguh-sungguh berlomba ketangkasan”
Sambil menjawab, dengan gerak pelan tangan Gilang melemparkan beberapa batu sebesar telur itu ke arah Wahana yang segera menangkapnya. Sikap Gilang yang begitu ceria seolah menganggapnya sedang bermain-main itu mempengaruhi Wahana, sehingga tiba-tiba saja ia turun dari kudanya sambil matanya menatap ke arah gerombolan burung itu.
“Gilang, lihat! Kali ini harus ada yang roboh! ”
Sebelum kalimatnya selesai ternyata batu ditangan Wahana itu telah melesat secepat tatit di udara. Berbeda dengan lemparan Gilang yang hanya dilambari tenaga wadag, Wahana justru melambari lemparannya dengan tenaga cadangan yang cukup besar. Ia yakin bahwa ada orang yang mengendalikan burung-burung itu dan salah satu cara agar orang itu bisa segera menampakkan diri adalah dengan cara merobohkan burung-burung piaraannya itu.
Sebenarnya jarak Wahana dengan burung-burung di udara itu cukup jauh. Tetapi lemparan Wahana yang dilambari dengan tenaga cadangan itu bergerak cepat membelah udara Lemah Cengkar hingga menimbulkan suara desing yang sangat tajam. Kecepatan lemparan itu berlipat-lipat dibandingkan lemparan Gilang.
Belum sempat Gilang mengedipkan matanya, terdengar suara burung yang menjerit kesakitan disusul jatuhnya sosok burung yang sudah terdiam mati sebelum tubuhnya menyentuh tanah.
“Bagus paman, hebat sekali. Ayo terus paman!”
Tanpa menunggu jawaban tiba-tiba saja Gilang meloncat turun dari kudanya dan segera tangan kanannya kembali terayun. Dengan posisi berdiri, maka lemparan Gilang menjadi jauh lebih kuat dibandingkan saat ia melemparkannya dari atas punggung kuda.
Wahana yang melihat tingkah laku Gilang segera mengimbanginya.
Dari tangan keduanya, meluncurlah batu-batu sebesar telur itu ke udara memburu gerombolan burung yang terbang di udara dengan suara riuh rendah. Agaknya lemparan Wahana yang pertama dan langsung menjatuhkan satu burung raksasa hingga mati itu membuat nyali kawanan burung itu menciut sehingga gerakan mereka menjadi tidak beraturan.
Tiga buah batu dari tangan Gilang langsung mengenai dan menyakiti dada tiga burung lain yang segera menjerit kesakitan sambil terbang menjauh meninggalkan suara riuh rendah. Sementara sebuah batu dari tangan Wahana kembali menelan korban yang langsung mati sebelum tubuhnya menyentuh ke tanah.
Dua ekor burung berukuran besar telah mati sebelum terjatuh ditanah, sementara burung-burung lainnya terlihat jeri dan berkaok-kaok terbang menjauh.
Gilang bersorak kegirangan, ia berniat untuk menyusuli dengan lemparan berikutnya, tetapi burung itu terbang menjauh dan agaknya diluar jangkauan lemparannya. Terpaksa mereka menunggu dan Wahana segera mengisyaratkan agar Gilang kembali naik ke atas punggung kudanya.
Saat itulah terdengar suara siulan nyaring yang berulang-ulang, membelah udara dan mampu mengatasi riuh rendah suara burung-burung itu. Bahkan agaknya siulan itu merupakan panggilan yang bisa dimengerti oleh gerombolan burung-burung raksasa tersebut, yang langsung melesat menuju satu tempat.
Agaknya burung-burung itu sudah sangat terlatih, dengan tertib mereka kemudian terbang berbaris dengan jumlah yang kini hanya tinggal sebelas ekor. Mereka terbang merendah ke arah utara tanpa menimbulkan bunyi, kemudian dengan tiba-tiba berbelok ke kiri dengan membentuk semacam garis melengkung seperti bulan sabit.
Garis belokan yang tadinya melengkung itu perlahan-lahan berubah menjadi garis lurus dan kini ke sebelas burung itu terbang dari arah barat menuju timur dimana Ki Widura dan yang lain-lainnya berada.
Ketika gerombolan burung raksasa itu sudah membentuk garis lurus yang sempurna, terdengar kembali suara berkaok-kaok yang riuh rendah. Bersamaan dengan itu, mata Gilang terbelalak ketika muncul dua orang dengan penampilan yang aneh yang tidak diketahui darimana datangnya. Mereka seolah muncul dengan tiba-tiba dari dalam tanah, dan kini kesebelas burung raksasa itu terbang berbaris di belakang keduanya seolah sengaja mengiringi kemunculannya.
“Ah, Paksi Wulung bersaudara!”, - tiba-tiba bibir Wahana berdesis lirih.
Salam,

Monday, April 24, 2017

BSG - Bab 3 : Gilang Pamungkas - Babak - 08

BALADA SWANDARU GENI
Bab 3 : Gilang Pamungkas
Babak - 08


Perempuan yang membawa nampan itu berjalan masuk sambil sedikit menundukkan kepalanya. Saat itulah hati Swandaru berguncang hebat, mulutnya ternganga tanpa mengeluarkan suara. Anehnya, matanya menatap tajam seolah tak berkedip dan membuat penilaian atas perempuan yang baru masuk biliknya itu.

Wajah sedikit lonjong dengan anak rambut yang jatuh disisi telinga kirinya, hidung yang tidak terlalu mancung seolah membentuk dua lembah di sisi kanan kirinya. Dagu yang ujungnya sedikit meruncing seolah enggan menopang kedua pipinya yang sedikit tirus. Terlebih pesona bibir perempuan itu yang cenderung tipis menawarkan kenakalan seorang perempuan dewasa.

Paras wajah itu pernah begitu lekat di benaknya meski bukan dihatinya.

“Wiyati?”, -

Swandaru berdesis lirih antara sadar dan tidak sadar.

Kiai Garda dan perempuan yang baru masuk itu terlihat sedikit tertegun. Agaknya mereka tidak terlalu mendengar jelas akan desisan Swandaru itu sehingga mereka berdua justru memandang wajah Swandaru yang kemudian terlihat semakin memucat.

Sebagai laki-laki yang sudah berumur, meskipun selama ini Swandaru lebih banyak menuruti perasaannya, tetapi di saat-saat terakhir setelah kekalahannya dengan kakak seperguruannya Agung Sedayu, ia telah banyak melakukan perenungan. Karena itu, segera ia sadar bahwa agaknya sikapnya kurang pantas dan  telah mengundang keheranan pada Kiai Garda maupun perempuan yang baru masuk itu.

Ia bermaksud untuk bersikap normal sebagai seorang yang memang baru berkenalan. Hanya saja watak dasar Swandaru yang cenderung terbuka dan tidak ingin berteka-teki memang tidak bisa dikesampingkan. Meskipun ia kemudian bisa menjaga sikapnya agar tidak terlihat kurang sopan, tetapi pandangan matanya masih tetap menatap Wiyati untuk meneruskan penilaiannya.

“Ah, mata ini lain, tatapan matanya lebih banyak menawarkan duka daripada godaan. Juga perempuan ini tidak mempunyai tahi lalat di bawah bibir kirinya”, - Swandaru berkata dalam hatinya dan masih tenggelam dalam penilaiannya -,”Selain tatapan mata dan tahi lalat dibawah bibir kiri itu, semuanya ada pada diri Wiyati. Bahkan caranya berjalan juga tidak jauh berbeda. Ah, mengapa aku harus menemuinya lagi disini?”

Tanpa sadar Swandaru mengeluh dalam hati. Sesungguhnya ia telah bertekad melakukan sebuah perjalanan yang tidak jelas tujuannya itu dengan harapan untuk memperbaiki dirinya. Meskipun pemicu awalnya adalah untuk memperoleh sebuah kemampuan ilmu kanuragan yang lebih tinggi agar bisa menyamai atau bahkan melebihi kemampuan kakak seperguruannya, tetapi jauh dilubuk hatinya ia juga ingin menebus kesalahannya kepada Pandan Wangi dengan menjadi pribadi yang lebih baik sebagai seorang suami dan ayah bagi anaknya.

Tetapi kini, belum lagi jauh perjalanannya, ia harus mengalami goncangan perasaan karena kehadiran seorang perempuan yang kini berdiri dihadapannya sambil membawa nampan.

“Maaf, aku membawakan bubur dan wedang sere untuk Ki Gupala”, - terdengar suara halus yang membuyarkan lamunan Swandaru.

Swandaru benar-benar terkesiap sehingga ia sedikit gelagapan untuk menanggapinya. Meskipun disuarakan dengan penuh kesopanan tanpa ada nada manja, tetapi suara itu sungguh sama persis dengan milik Wiyati.

“Terima kasih Nyi”, - dengan tergagap Swandaru berusaha memperbaiki sikapnya dan berusaha menenangkan hatinya.

Semua kejadian itu hanya berlangsung dalam waktu yang singkat, tetapi tidak lepas dari pengamatan Kiai Garda. Sebagai seorang yang berpengalaman, ia bisa menduga bahwa agaknya tamunya yang bernama Gupala itu mempunyai penilaian tersendiri atas diri perempuan yang baru masuk ke dalam biliknya itu.

Segera Kiai Garda menyela dengan suara rendah untuk mengurai kekakuan sikap diantara mereka.

“Ki Gupala, ini adalah Nyi Sulastri, menantu dari Ki Demang Krikilan”

“O”, - Swandaru berusaha menenangkan dirinya sebaik mungkin - ,”Maafkan sikapku Nyi, jujur aku merasa pernah mengenal seseorang yang mirip dengan Nyi Sulastri. Tetapi agaknya itu memang hanya kemiripan saja”

Terlihat Nyi Sulastri itu mengerutkan keningnya. Sambil meletakkan nampan yang dibawanya ke meja kecil disebelah amben, ia mengambil bangku dan duduk di sebelah Kiai Garda dekat dengan kaki Swandaru yang masih terbaring.

“Siapakah orang yang mirip aku itu Ki Gupala?”

“Darimanakah kau berasal Nyi?”, - Swandaru tidak menjawab melainkan justru bertanya.

“Aku lahir dan besar di Kademangan Krikilan ini Ki, sejak kecil aku tidak pernah bepergian jauh. Apalagi setelah menjadi menantu Ki Demang dan mempunyai momongan, aku lebih banyak tinggal di rumah”

“Apakah kau mempunyai saudara Nyi?”, - watak Swandaru yang terbuka tidak mencegahnya untuk terus mengejar menantu Ki Demang itu dengan pertanyaan lanjutan.

“Ya, aku punya seorang saudara laki-laki yang kini juga tinggal di Kademangan ini sebagai pengawal Ki. Sedang kedua orangtuaku sudah meninggal beberapa tahun yang lalu”

Swandaru menarik nafas dalam-dalam, ia berdiam sejenak sebelum kemudian tersenyum kecil sambil berkata.

“Maafkan kalau aku terlalu banyak bertanya Nyi, tadinya aku berpikir mungkin perempuan yang aku kenal itu adalah saudara kembar Nyi Lastri. Tetapi agaknya memang hanya kemiripan wajah dan fisik belaka”

Kiai Garda dan menantu Ki Demang itupun tersenyum hampir bersamaan.

“Sudahlah”,  – Kiai Garda kembali menyela -,”Mumpung masih hangat, Ki Gupala bisa menghabiskan bubur dan wedang sere itu. Baru nanti sore Ki Gupala harus minum cairan daun pepaya gantung dan kenikir, dicampur dengan kunir yang tadi sudah di tumbuk Nyi Lastri”

Bagi Nyi Sulastri, Swandaru yang dikenalnya dengan nama sebagai Ki Gupala itu dianggapnya sebagai pahlawan penyelamat. Dari cerita mertua dan suaminya, ia mengerti bahwa tanpa kehadiran Ki Gupala, maka akhir dari pertarungan di halaman banjar padukuhan itu akan berbeda dan bisa jadi nasibnya lebih ternista. Karena itu, melihat usia Swandaru yang hampir dua kali lipat usianya, maka ia seolah menganggapnya sebagai orangtuanya sendiri.

Sambil mengambil nampan yang berisi bubur dan wedang sere, Nyi Sulastri segera mendekat dan mengatakan sebuah kalimat yang kemudian mengguncangan dada Swandaru.

“Marilah, Ki Gupala masih belum bisa bangkit. Ijinkan aku menyuapi Ki Gupala!”


                                                                                 oo0oo


Sementara itu matahari terus bergulir tanpa menghiraukan kejadian di muka bumi. Wahana yang berkuda bersebelahan dengan Ki Widura terlihat mengerutkan keningnya dan kemudian berbisik pelan.

“Ki Widura”, - desisnya pelan sekali - ,”Hatiku merasa tidak tenang, agaknya didepan ada yang menunggu”

Ki Widura terlihat menganggukkan kepalanya.

“Benar ngger, sebentar lagi kita akan memasuki sebuah daerah terbuka yang dinamakan Lemah Cengkar. Daerah itu memang sering menjadi pilihan orang-orang yang berniat jahat. Agaknya Pandan Wangi juga menyadarinya sehingga ia berhenti menunggu kita bersama Gilang”

Demikianlah, mereka terus maju sambil meningkatkan kewaspadaan. Pandan Wangi tidak henti-hentinya mengingatkan Gilang untuk selalu berdekatan dengannya, sementara wajah Gilang justru menunjukkan keingin-tahuan yang besar atas apa yang akan terjadi nanti. Sama sekali tidak tersirat ketakutan diwajahnya meskipun ia sudah diberitahu ibundanya bahwa kali ini akan ada orang-orang yang berniat jahat untuk mengambilnya.

Sementara dibelakang mereka, dua orang prajurit yang mengawani masih berjalan pelan diatas kudanya.

Menjelang matahari berada tepat di puncak kepala,  mereka mulai memasuki daerah terbuka di Lemah Cengkar. Ki Widura dan yang lain berusaha bersikap biasa seolah tidak terjadi apa-apa meskipun panggraita mereka merasakan adanya beberapa pasang mata yang mengamati.

Mendadak suasana siang yang terang benderang itu dipenuhi oleh kilatan-kilatan tebal yang berwarna gelap dan menghalangi jarak pandang mereka. Matahari seolah sedang terhalang oleh jaring-jaring hitam yang muncul secara mendadak.

Bersamaan dengan itu, terdengar suara riuh rendah yang memekakkan telinga dan udara di atas Lemah Cengkar itu kini penuhi oleh belasan kepak sayap burung yang berukuran sangat besar.

Betapa terkejutnya Ki Widura dan juga Wahana melihat apa yang nampak dihadapannya itu. Mereka segera sadar bahwa agaknya keterangan yang mereka dapatkan dari para telik sandi sama sekali tidak utuh. Sejauh yang mereka tahu, kawanan yang mencegat mereka di jalanan ini di pimpin oleh seorang yang bernama Ki Juwana yang mereka sudah dapat menakar kemampuannya.

Sama sekali diluar perhitungan mereka bahwa Ki Juwana agaknya telah mengundang sahabatnya yang tinggal di Pulau Karimun dan kini sedang mempertontonkan kehebatan hewan peliharaannya untuk menakut-nakuti lawan.

Burung-burung itu berukuran cukup besar dengan bulu berwarna hitam kehijauan. Bentuknya mirip Rajawali, tetapi paruhnya berukuran lebih panjang dan lebih besar dengan ujung yang melengkung tajam. Mata burung itu bulat berwarna kuning terang layaknya burung hantu, tetapi kukunya yang tajam justru berwarna merah menyala, seakan sedang menunjukkan banyaknya darah lawan yang sudah mereka cacah.

“Kakek Widura, burung itu semua ada tigabelas!”

Sementara yang lain masih terkejut dengan kehadiran burung-burung raksasa yang mendadak itu, ternyata Gilang sudah sempat menghitungnya.

Ki Widura tidak sempat menjawab, karena ia harus menghindar dan menundukkan kepalanya ketika salah satu dari burung itu hampir saja menyambar kepalanya. Demikian pula burung-burung lain yang tadinya terbang agak meninggi itu tiba-tiba melesat rendah sambil kukunya menunjukkan gerak mencengkeram.

Pandan Wangi tidak mau berpikir panjang, segera dicabutnya kedua pedang tipisnya hendak menyambut burung yang mengarah kepada Gilang. Ia sama sekali tidak mengijinkan anak semata wayangnya itu terluka meskipun hanya sekedar cakaran burung. Ia bermaksud menebas dan merontokkan sayap burung yang mulai meluncur rendah itu.

Tetapi sebelum pedang tipis Pandan Wangi menebas, tiba-tiba Gilang justru mengayunkan tangannya dengan sebat. Dari tangan kanannya meluncurlah dua buah batu seukuran telur, melesat secepat tatit ke arah burung yang menyerangnya.

“Kena!”


Salam,

Sunday, April 23, 2017

BSG - Bab 3 : Gilang Pamungkas Babak-07

BALADA SWANDARU GENI
Bab 3 : Gilang Pamungkas
Babak-07
_______________
Mohon maaf kangmas/ mbokayu,
Ini adalah posting perdana di lapak pribadi saya setelah sekian lama cersil BSG ini dinikmati di Group ADBM. Tidak ada yang berubah selain berpindahnya lapak yang dilatar belakangi oleh rasa hormat saya kepada Ki SHM dan Admin ADBM – agar cerita ADBM di Group tidak banyak versi.
Terlebih sebagaimana Blog saya, akun FB ini sudah lama mati suri, jadi saya manfaatkan untuk mengunggah seri BSG ini agar tetap bisa dinikmati para sanak kadang. Semoga berkenan.
Salam,
_______________
Darah Pandan Wangi seolah tersirap hingga ke kepala, rasa terkejutnya melonjak dan tanpa disadarinya dadanya berdegup kencang. Ketika gerak bayangan itu tertangkap matanya, ia masih berjarak beberapa tombak dari pintu dapur, sementara suara bisikan itu begitu lirih tepat ditelinganya, bisa dipastikan hanya dia seorang yang mendengar bisikan itu.
Tetapi belum lagi suara bisikan itu selesai, bayangan hitam yang melesat seolah terbang itu telah berdiri dekat dihadapannya dan tanpa menimbulkan bunyi sama sekali.
Rasa terperanjat yang mendadak itu membuat Pandan Wangi berdiri diam mematung. Ia mencoba mengatur degup dadanya yang masih berdetak kencang.
“ Bukan main, agaknya inilah yang dinamakan ajian Pameling. Kemampuan menyerap bunyi serta kecepatan geraknya juga diluar jangkauanku ”, - desahnya dalam hati.
Bayangan itu termangu-mangu melihat Pandan Wangi yang hanya berdiam diri.
“O, maaf, apakah aku mengejutkan Nyi Pandan Wangi?”, - bayangan itu seolah baru menyadari keadaan dan berkata lirih. Kini suaranya terdengar wajar di telinga.
Dengan cepat Pandan Wangi segera menguasai perasaannya, di persilahkan bayangan hitam itu untuk masuk ke ruangan dapur.
“Silahkan masuk Adi Wahana, aku memang terkejut. Aku kira dihalaman tadi hanya aku sendiri yang mengamati keadaan”, - Pandan Wangi berkata pelan sambil menyelarak pintu dapur itu.
“ Kebetulan aku sudah ada di halaman belakang itu lebih dahulu daripada Nyi Pandan Wangi “,- Wahana menjawab sambil kakinya melangkah menuju gandok tengah tanpa menunggu jawaban Pandan Wangi.
Sementara Pandan Wangi segera menyusulnya sambil berkata dalam hati.
”Murid siapakah sebenarnya adi Wahana ini? Dalam umurnya yang semuda ini ia memiliki kemampuannya yang sangat tinggi dan aku yakin tidak berada di bawah kemampuan kakak sepupunya Sabungsari.”, - lalu ia mencoba menentramkan hatinya -,”Aku tidak boleh gelisah dan harus percaya pada rencana paman Widura. Tujuan orang-orang itu adalah untuk mengambil Gilang agar bisa memaksakan kehendaknya atasku dan Kakang Swandaru. Tugasku besok hanya melindungi Gilang, biarlah yang lain di urus oleh paman Widuran dan adi Wahana”
Di gandok tengah itu ternyata Ki Widura masih duduk bersila di sebelah Gilang yang sudah tidur melingkar. Meskipun sudah diberitahu serba sedikit tentang perjalanan besok pagi yang mungkin akan menempuh bahaya, tetapi Gilang terlihat tidak terlalu risau dan bahkan dengan tenangnya tidur mendengkur.
Mereka bertiga masih sempat berbicara sedikit untuk mematangkan rencana sebelum kemudian Ki Widura berkata.
“Sudahlah, masih ada sedikit waktu untuk beristirahat”, - katanya sambil mempersilahkan Wahana untuk memasuki bilik yang sudah disediakan.
Pagi itu keadaan di Kademangan Sangkal Putung tidak jauh berbeda dengan hari-hari biasanya. Dua orang prajurit dari Jati Anom sudah sempat menikmati sarapan pagi dan lebih suka menunggu di halaman samping sambil membenahi dan mempersiapkan kuda-kuda mereka.
Bagi kedua prajurit itu, menunggu adalah sebagian dari tugas mereka dan mereka sudah terbiasa melakukannya. Hanya saja bagi prajurit yang lebih muda, entah mengapa kali ini ia merasa betapa waktu berjalan sangat lamban. Bahkan saat matahari sudah naik hingga sepenggalah, ternyata Ki Widura dan yang lain-lainnya belum juga turun ke halaman.
“Kenapa lama sekali, bukankah kita akan berangkat menjelang matahari naik sepenggalah? Ini bahkan sudah lebih dari dua galah”, tiba-tiba saja prajurit yang umurnya lebih muda itu menggerutu.
“ He ”, - kawannya, prajurit yang umurnya sedikit lebih tua itu justru terheran-heran - ,”Kau kenapa? Bukankah kita sudah terbiasa menunggu, bahkan untuk waktu yang tidak terbatas. Mungkin saja di dalam mereka masih menyiapkan perbekalan karena kali ini harus mengajak bocah kecil”
Prajurit yang umurnya lebih muda itu agak tergagap sebelum kemudian menarik nafas dalam-dalam.
“Entahlah”, - sahutnya pelan ,” – Rasa-rasanya aku ingin segera berpacu untuk kembali ke rumah. Tadi malam aku bermimpi istriku sudah melahirkan ”
“Gila”, - kawannya yang berumur sedikit lebih tua itu mengerutkan keningnya,” – bukankah kau baru menikah tiga bulan yang lalu? Ataukah kau ada istri yang lain?”
“Ah, kau ini”
Pembicaraan mereka segera terhenti ketika Ki Widura dan yang lain-lainnya nampak menuruni tangga pendapa. Pandan Wangi terlihat mengenakan pakaian khususnya dengan kedua pedang tipis di pinggang kanan dan kirinya. Sementara wajah Gilang nampak berseri-seri dan bibirnya tak henti-hentinya mengumbar senyum, ia sudah tidak sabar untuk berpacu diatas kuda kesayangannya.
“Hati-hatilah Wangi, jaga anakmu baik-baik”, - Ki Demang Sangkal Putung berbisik di telinga Pandan Wangi, lalu ia berpaling kepada Ki Widura dan Wahana,” – Aku titipkan semuanya kepada Ki Widura dan angger Wahana”
Hampir bersamaan mereka menganggukkan kepalanya.
“Sesampainya di Padepokan Jati Anom, aku akan mengirimkan salah seorang cantrik untuk memberi kabar keselamatan kepada Ki Demang”, - jawab Ki Widura.
Demikianlah, rombongan kecil itu segera berangkat meninggalkan halaman Kademangan Sangkal Putung. Kuda-kuda mereka tidak bisa berpacu kencang karena sepanjang jalan masih harus menyapa dan menjawab beberapa pertanyaan dari warga Kademangan yang berpapasan.
Barulah ketika keluar dari padukuhan terakhir yang masih termasuk dalam Kademangan Sangkal Putung, mereka bisa berpacu lebih cepat. Gilang yang sudah terbiasa berpacu diatas kuda itu langsung melecut kudanya dan melesat mendahului yang lain.
Hal itu membuat Pandan Wangi panik dan terpaksa berpacu mengejar dan mengimbanginya.
“ Gilang, apakah kau sudah melupakan pesan Ibunda tadi malam? ”, - suara Pandan Wangi terdengar penuh tekanan.
“Aku ingat ibunda, tetapi bukankah kita masih di wilayah Kademangan sendiri?”
“Ini padukuhan terakhir Gilang, tetapi dimanapun kita saat ini, aku minta kau tidak beranjak jauh dari aku. ”, - suara Pandan Wangi bahkan kemudian meninggi.
Bagi Pandan Wangi, setelah pernikahannya dengan Swandaru Geni, ia tidak pernah merasa begitu khawatir dan gelisah seperti hari ini. Ia sudah mengalami berbagai peperangan dan pertarungan melawan orang-orang berilmu tinggi dengan mempertaruhkan nyawanya maupun nyawa suaminya. Tetapi saat ini ia harus mempertaruhkan keselamatan anak semata wayangnya yang kini bahkan sedang di tinggalkan ayahnya merantau. Hatinya menjerit seolah hendak menuntut kehadiran suaminya.
Jeritan hati Pandan Wangi itu seolah ditangkap lalu disuarakan dilangit oleh kepak sayap serombongan burung gagak yang melintasi udara sambil berkoak-koak riuh rendah.
Wajah Pandan Wangi yang sesaat mendongak ke atas itu kembali menunduk mengamati jalanan. Jarak Sangkal Putung ke Jati Anom tidaklah terlalu jauh dan menurut perhitungan lewat tengah hari mereka sudah akan sampai.
Sementara itu, agak jauh di depan mereka, beberapa orang sedang berkumpul dan melakukan pembicaraan dengan wajah bersungguh-sungguh.
“Jadi apakah semua sesuai rencana dan tidak ada perubahan”, - tanya seorang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan.
“ Ya, Ki Lurah, menurut laporan terakhir mereka sudah keluar dari padukuhan terakhir, tetapi mereka berjalan sangat pelan bagaikan siput”, - jawab seorang yang agaknya adalah anak buahnya.
“ Baiklah, tetap awasi keadaan. Aku akan melapor kepada Guru dan dua orang gila dan aneh dari Pulau Karimun itu”, - tanpa menunggu jawaban orang tinggi kekurus-kurusan itu segera berlalu.
oo0oo
Sementara itu ribuan tombak dari Pandan Wangi berada, Swandaru Geni sudah mulai siuman meskipun masih tergolek lemah. Adalah Kiai Garda yang ternyata sangat memahami ilmu pengobatan sehingga darah akibat luka ilmu api Watu Gempal sudah mulai mampat dan tidak mengalir lagi.
“ Daya tahan tubuh Ki Gupala sangat luar biasa, meskipun darah sudah banyak keluar tetapi kini agaknya Ki Gupala hanya membutuhkan waktu istirahat sambil menunggu luka itu menutup kembali”, - kata Kiai Garda setelah memberi borehan di atas luka Swandaru.
“ Terima kasih Kiai, agaknya obat Kiai teramat baik sehingga aku masih mampu bertahan”, - Swandaru berdesis lemah, tetapi mukanya sudah tidak terlalu pucat.
“Ah, aku memang sedikit mengerti tentang ilmu pengobatan. Tetapi tidak sebaik dibandingkan dengan seseorang yang mungkin Ki Gupala juga mengenalnya”, - tiba-tiba wajah Kiai Garda terlihat bersungguh-sungguh.
Swandaru mengerutkan keningnya, ia sungguh tidak mengetahui arah pembicaraan Kiai Garda. Tetapi belum sempat ia menanyakannya lebih lanjut, terdengar pintu bilik itu di ketuk disusul masuknya seorang perempuan sambil membawa nampan.
Tiba-tiba dada Swandaru berdegup kencang, hampir saja ia membelalakkan matanya melihat perempuan yang masuk sambil membawa nampan itu. Tubuhnya terasa kembali panas dan muncul keringat dingin yang mengembun di dahi dan seluruh wajahnya.
Salam,

Saturday, April 22, 2017

BSG - Gilang Pamungkas - Babak-06

BALADA SWANDARU GENI
Gilang Pamungkas
Babak-06

______________________ 

Mohon maaf menyela sebentar kangmas & mbokayu,

Akhir-akhir ini saya senang melihat gandok ini begitu ramai dengan beberapa postingan para sanak kadang anggota ADBM yang ternyata beragam latar belakang dan profesinya, tetapi sama-sama mencintai karya sang maestro Ki SHM. Saya juga ikut membaca ulang cersil TW hehee…

Tetapi jujur saja tiba-tiba ada perasaan ‘sedikit’ bersalah karena selama ini saya memposting cersil BSG ini tanpa ijin ke Om Admin. Padahal gandok ini seharusnya di-khususkan untuk berkumpul dan membahas karya-karya Ki SHM yang memang fenomenal, sementara BSG hanyalah kisah sempalan fiksi yang jauh dari nilai-nilai sejarah.

Karena itu ketika beberapa teman kemudian memposting karya Ki SHM – meski judulnya lain – saya tiba-tiba saja seperti diingatkan. Saya kurang tahu alasannya, tetapi pada kenyataannya Mbah Man, Ki Jagabaya Amalindo atau (dulu) Nyi Flam juga memposting di Wall/Blog masing-masing.

Untuk itu, mulai edisi mendatang, BSG akan saya posting hanya di Wall FB pribadi saya saja. Bagi para sanak kadang yang masih ingin mengikuti cersil BSG, silahkan ‘Add’ pertemanan di FB saya. Cersil BSG ini sifatnya terbuka, bebas di share tanpa perlu minta ijin.

Satu hal lagi, saya menulis cersil ini murni sekedar selingan alias hobby, sehingga jadwal posting sangat tidak menentu. Ketika sibuk dengan pekerjaan, mungkin jadwal posting akan terputus-putus, tetapi di waktu luang saya akan posting sesering mungkin sesuai kemampuan menulis saya.

Semoga kecintaan atas cersil Nusantara – khususnya karya Ki SHM - akan semakin menular ke generasi yang lebih muda.

Salam,

_____________________


Malam itu udara di Kademangan Sangkal Putung cukup panas karena memang sudah memasuki musim kemarau. Batang padi sudah tegak menghijau karena ditanam beberapa pekan sebelum berakhirnya musim penghujan, dan para petani mulai mengatur aliran sungai yang diangkat naik untuk mengaliri persawahan mereka.

Menjelang wayah sepi uwong, dua prajurit dari Jati Anom yang berbaur dengan penjaga Kademangan sambil bermain macanan itu itu melihat Ki Widura dan Wahana memasuki halaman Kademangan. Keduanya melangkah dengan pelan seolah sedang menikmati udara malam sambil melemaskan kaki.

Melihat kedua prajurit yang ternyata masih belum tidur itu, Ki Widura segera menyapa.

“ Sebaiknya kalian beristirahatlah. Aku tadi sengaja mengajak angger Wahana untuk menikmati mangut ikan lele di warung Nyi Surti di padukuhan sebelah. Agaknya lidah angger Wahana tidak berbeda dengan lidahku, sehingga kami harus menambah dua piring”

Wahana hanya tertawa, lalu katanya kepada kedua prajurit itu.

“ Sudahlah, bukankan kalian sudah disediakan bilik untuk beristirahat? Besok pagi setelah matahari naik sepenggalah kita berempat akan pergi ke Jati Anom bersama dengan Nyi Pandan Wangi dan Gilang”

Kedua prajurit itu tidak menjawab dan hanya menganggukkan kepalanya.

Sementara Ki Widura dan Wahana langsung naik ke pendapa dimana Pandan Wangi sudah menyediakan minuman hangat serta pisang rebus sebagai pengisi perut.

Pandan Wangi masih harus membawa nampan yang berisi sisa-sisa minuman para tamunya itu ke dapur. Dilihatnya perempuan tengah baya yang selama ini membantu pekerjaan di dapur itu duduk terkantuk-kantuk atau bahkan sudah tertidur sambil bersandarkan tiang. Dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara gaduh, Pandan Wangi segera meletakkan nampan itu di amben bambu dan melangkah justru menuju pintu dapur menuju pakiwan belakang. Ia sengaja tidak mau membangunkan pembantunya yang agaknya sudah terlelap dalam mimpi meskipun hanya sambil duduk.

Di halaman belakang itu, Pandan Wangi segera mengendap-endap mencari tempat berlindung di kegelapan. Langit di Sangkal Putung malam itu terlihat bersih dan meskipun tidak ada sinar bulan tetapi suasana malam itu cukup terang bagi matanya.

Sambil menahan nafas, Pandan Wangi mencoba menyerap semua bunyi yang muncul akibat dari gerak yang ditimbulkannya. Tiba-tiba saja tubuhnya melesat cepat dari balik bayangan pohon ke bayangan pohon lainnya. Dengan hati-hati ia menyusupkan tubuhnya lalu berjongkok di balik rimbunnya  daun luntas yang menempel di pojok pagar halaman sebelah kanan.

Dari sini ia bisa mengawasi semua yang ada di halaman belakang itu tanpa ada satu jengkalpun yang terlewatkan.

Untuk beberapa saat Pandan Wangi duduk terdiam di balik rerimbunan itu sambil terus mengawasi keadaan. Pesan dan keterangan dari Ki Widura dan Wahana menjelang gelap tadi membuat hatinya sangat gelisah, karena itu ia memilih untuk meyakinkan apakah malam ini akan ada pergerakan sesuai yang diperkirakan oleh Ki Widura dan Wahana.

Malam terus bergulir dan Pandan Wangi tetap tak beranjak dari tempatnya sambil terus mengawasi keadaan. Meskipun hatinya di liputi kegelisahan tetapi ia mengeraskan diri untuk menunggu jika perlu hingga pagi hari. Pandan Wangi sangat menyadari bahwa dibutuhkan kesabaran tingkat tinggi untuk melakukan pengintaian seperti yang saat ini sedang ia lakukan.

Menjelang tengah malam, telinga Pandan Wangi menangkap langkah-langkah lembut dari pintu butulan samping menuju halaman belakang. Sesosok bayangan berjalan pelan menuju pakiwan, tetapi mata Pandan Wangi yang tajam bisa melihat bahwa wajah orang itu beberapa kali menengok ke kanan dan ke kiri seolah sedang memeriksa keadaan.

Ketika sudah berada di pintu pakiwan, bayangan itu tidak segera masuk, bahkan tiba-tiba saja ia meloncat ringan menjauhi pakiwan dan berlindung di balik sebuah pohon sawo kecik yang berdiri tidak jauh dari pakiwan itu. Bayangan itu seolah hilang tertelan batang pohon sawo yang cukup besar.

Suasana kembali sunyi seolah tidak ada makhluk hidup yang hadir di halaman belakang itu. Tetapi mata Pandan Wangi bisa melihat bahwa sosok bayangan itu masih melekat di pohon dan belum bergerak. Agaknya bayangan itu juga sedang memeriksa keadaan sebelum mungkin bergerak lebih lanjut. Karena itu mata Pandan Wangi sama sekali tidak berkedip, ia tidak mau kehilangan bayangan itu barang sekejab.

Sejenak kemudian, udara di halaman belakang rumang Ki Demang Sangkal Putung itu di pecahkan oleh bunyi lembut yang menyayat hati. Suaranya melengking dan berulang-ulang membuat siapapun yang mendengarnya merasa sedih bahkan merinding. Suara burung Kedasih.

Bersamaan dengan selesainya suara itu, bayangan itu terlihat melompat mendekati dinding belakang dan kembali bersembunyi di balik pohon pisang yang tumbuh bergerombol di pojok kiri. Ia berdiam diri sambil kembali mengamati keadaan.

Tidak lama berselang, muncul kembali suara burung kedasih yang tidak kalah menyayat hati dibanding suara sebelumnya. Hanya saja kali ini suara itu munculnya dari luar pagar halaman belakang Ki Demang Sangkal Putung. Pandan Wangi segera menyadari bahwa agaknya bunyi itu merupakah sebuah jawaban atas suara burung kedasih yang pertama dan isyarat akan hadirnya orang lain di halaman belakang ini.

“Untunglah aku sudah menunggu di sini terlebih dahulu, mudah-mudahan mereka tidak mengetahui kehadiranku”, - desis Pandan Wangi dalam hati.

Bayangan hitam yang tadi bersembunyi dibalik pohon pisang itu terlihat bergeser dan kini menempel di pagar halaman belakang. Tubuhnya tertutup bayangan tembok dan berjarak hanya sekitar tiga-empat tombak dari tempat Pandan Wangi bersembunyi.

Pandan Wangi menahan nafas dan berusaha menyamarkan dirinya dengan lebih baik. Ia ingat dan berusaha mematuhi pesan Ki Widura maupun Wahana untuk tidak berbuat apapun agar tidak merusakkan rencana yang sore tadi mereka susun.

Ketika suara burung kedasih itu terdengar lagi, ternyata jaraknya sudah sedemikian dekat dengan pagar halaman belakang itu.

“Kakang Suwadi, kaukah itu?”, - terdengar bayangan dari balik pagar itu berbisik lirih .

Tidak terdengar jawaban, tetapi tiba-tiba saja sebuah bayangan berkelebat dan langsung berbaring di atas pagar halaman belakang Ki Demang Sangkal Putung. Gerakannya cukup cepat dan ketika ia membaringkan tubuhnya ke bibir pagar, maka tubuhnya itu langsung menyatu seolah ia adalah bagian dari pagar batu itu sendiri.

Sambil berdesis pelan, bayangan yang baru datang itu langsung bertanya.

“Bagaimana, apakah sebaiknya kita bergerak malam ini?”

Bayangan yang ada di dalam pagar itu tidak langsung menjawab. Ia masih berusaha mengawasi keadaan dan ketika merasa aman ia kemudian berkata.

“Sebaiknya jangan malam ini kakang, para pengawal disini jumlahnya cukup banyak dan mudah digerakkan. Besok pagi mereka akan pergi ke Jati Anom, aku kira itulah saat terbaik untuk mencegatnya di tengah jalan”

“ Kau yakin? “

“ Ya “

“Siapa saja yang akan berangkat?”

“Hanya Pandan Wangi, bocah itu beserta Ki Widura dan Wahana yang sombong itu”

“ Kau tahu kapan akan berangkat?”

“ Pagi menjelang matahari naik sepenggalah “

Mereka terdiam, suasana kembali sunyi dan hembusan angin yang pelan itu tidak mampu menyejukkan udara yang memang cukup panas.

“Aku harus kembali kakang”

“Baiklah, aku akan laporkan kepada Ki Juwono dan orang-orang aneh itu”

Bayangan yang baru datang itu langsung melompat dan menghilang diluar pagar. Sementara bayangan pertama, mengendap-endap mendekati pakiwan dan masuk ke dalamnya. Beberapa saat kemudian terdengar suara gemericik air, agaknya orang itu sedang mencuci wajah atau kakinya. Tidak lama kemudian bayangan itu sudah berjalan menuju pintu butulan dimana ia sebelumnya datang. Langkahnya begitu tenang seolah tidak ada kejadian apa-apa yang dialami sebelumnya.

Pandan Wangi masih diam ditempatnya dan menunggu beberapa saat. Ketika telinganya sudah tidak mendengar apapun yang mencurigakan dan yakin bahwa bayangan yang kembali lewat pintu butulan itu sudah bergerak menjauh, ia segera keluar dari persembunyiannya. 

Perlahan-lahan ia berjalan menuju pintu dapur dan bermaksud untuk kembali masuk ke dalam rumah.

“Ternyata dugaan paman Widura tepat sekali “, - desisnya dalam hati.

Sambil menenangkan hatinya yang gelisah Pandan Wangi segera masuk ke dapur dan bermaksud menutup pintu. Tetapi bukan main terperanjatnya Pandan Wangi ketika dilihatnya sesosok bayangan melesat mendekat sambil berdesis lirih.



Salam, 

Wednesday, April 19, 2017

BSG - Gilang Pamungkas - Babak-05

BALADA SWANDARU GENI
Gilang Pamungkas
Babak-05


Dua bayangan yang meluncur cepat itu kemudian berdiri di sebelah menyebelah orang berpenutup wajah itu. Gilang sama sekali tidak terkejut ketika melihat salah satu dari dua orang yang baru datang dan berdiri dihadapannya itu adalah ibundanya. Hanya saja ketika melihat seorang yang sudah cukup tua dengan wajah bersih yang menatapnya sambil tersenyum, maka ia langsung menghambur memeluk pria yang baru datang itu.

“ Kakek Widura, mengapa lama sekali kakek tidak menjengukku”, - katanya setengah manja.

Orang yang baru saja datang yang tidak lain adalah Ki Widura itu tertawa kecil -,” Seharusnya kau yang menengok-ku di Padepokan Jati Anom Gilang. Kakekmu ini sudah tua dan tidak kuat kalau harus menempuh perjalanan jauh”

“ Aku mau kek, aku sudah kangen ingin menangkap ikan di empang padepokan lalu membakarnya sementara kakang Asob yang menjadi cantrik padepokan itu nanti membuat sambel kemangi “, - Genta menjawab dengan bersemangat.

Segera Gilang melepaskan pelukannya dan bermaksud meminta ijin kepada ibundanya agar diberi ijin  berkunjung ke Padepokan Jati Anom. Ia seolah sudah melupakan apa yang baru saja di alaminya. Tetapi ketika menoleh, saat itu ia baru sadar bahwa ada satu orang yang tadinya menutupi wajahnya dan kini sudah melepaskan kain penutup wajah itu.

Seraut wajah kecoklatan dengan rahang yang keras menunjukkan betapa teguhnya hati laki-laki yang tadinya menutup wajahnya itu. Sebuah senyuman ramah seolah menyembunyikan betapa tajamnya sorot mata yang di miliki laki-laki itu. Umurnya masih terhitung muda dengan tubuh yang terlihat kokoh. Ia melangkah maju dan sambil sedikit menundukkan badan, ia memegang kedua pundak Gilang.

“ Maafkan aku Gilang, aku hanya memenuhi permintaan paman Widura yang ingin melihat perkembanganmu “, - katanya sambil tersenyum.

Gilang menolehkan wajahnya dan dilihatnya kakeknya yang bernama Ki Widura itu tertawa kecil, demikian juga ibundanya. Ia segera sadar dan meraih serta mencium tangan laki-laki di hadapannya itu.

“ Paman hebat sekali dan ternyata wajah paman juga tampan. Tenaga paman sungguh sangat luar biasa sehingga dengan mudah meremas batu keras itu menjadi bubuk. Siapakah nama paman? “, -  tanyanya penasaran.

Laki-laki itu tertawa -,”Gilang apakah kau mengenal paman Sabungsari?”

“Paman Sabungsari yang prajurit itu?”

“Betul, nah aku adalah saudara sepupunya. Namaku adalah Wahana Sari”, - orang yang tadinya menutup wajahnya dengan kain itu terlihat tertawa senang.

“Apakah paman Wahana juga seorang prajurit?”’ – Gilang bertanya lebih lanjut.

Tetapi belum sempat Wahana Sari menjawab pertanyaan Gilang, Pandan Wangi telah menyela pembicaraan itu.

“Sudahlah, sebaiknya kita semua pulang dan di rumah Kademangan kita bisa berbicara lebih panjang”

Wajah Gilang terlihat  kecewa. Agaknya ia masih ingin berada di tepian sungai ini lebih lama, apalagi melihat kedatangan Ki Widura dan Wahana Sari yang menarik hatinya.

“Bunda apakah aku di ijinkan tidak pulang dulu. Aku masih ingin berlatih, apalagi ada kakek Widura atau paman Wahana yang menemaniku sampai nanti menjelang sore ”, - ia mencoba mengajukan permintaan ke ibundanya.

Pandan Wangi terlihat termangu-mangu, lalu pandangannya beralih ke Ki Widura seolah hendak menyerahkan jawaban itu kepadanya.

Ki Widura yang memahami pandangan Pandan Wangi itu tersenyum dan sambil mengelus kepala Gilang, ia menjawab.

“ Gilang, masih ada banyak waktu untuk berlatih dengan aku atau dengan paman Wahana. Tetapi saat ini ada sesuatu yang sangat penting dan harus aku bicarakan dengan ibundamu. Jadi sebaiknya kita memang pulang ke Kademangan dahulu”

Wajah Gilang terlihat kecewa,” – Bagaimana kalau paman Wahana saja bersamaku disini?”

Terdengar suara tertawa orang yang ternyata bernama Wahana Sari itu perlahan. Ia senang melihat semangat Genta yang membara untuk berlatih dan cepat akrab dengan orang yang baru dikenalnya.

“Sayang, paman Wahana sudah di pesan oleh kakek Widura untuk segera membicarakan masalah penting ini dengan ibundamu Gilang. Tetapi nanti kita akan sering bertemu, apalagi aku juga sering mampir di padepokan Ki Widura di Jati Anom”

Demikianlah, mereka berempat segera meninggalkan tepian sungai itu menuju ke Kademangan.  Ketika sudah berada diatas tanggul, mereka masih berjalan melewati beberapa petak sawah yang terlihat segar menghijau. Hanya saja saat hendak melewati jalan setapak menuju jalanan bulak yang terbuka, Ki Widura berdesis pelan tetapi bisa di dengar oleh semuanya.

“ Wangi, sebaiknya kau berjalan lebih dahulu berdua dengan Gilang. Aku akan menyusulmu sambil meyakinkan keadaan”, - ia berhenti sejenak dan melanjutkan perkataannya ketika Gilang hendak bertanya,” – Gilang, sementara kakek belum bisa bercerita. Ikutlah dengan ibundamu dan aku serta paman Wahana akan menyusulmu segera”

Kembali Pandan Wangi mengerutkan keningnya, sejak bertemu dengan Ki Widura dan Wahana Sari yang juga baru dikenalnya itu, benaknya diliputi beberapa pertanyaan. Kedatangan Ki Widura dan Wahana yang menyusulnya diantar seorang pengawal Kademangan sungguh tidak biasa. Apalagi ketika Ki Widura justru meminta pengawal itu kembali terlebih dahulu.

Hanya saja sebagai seorang perempuan yang mapan dan penuh pengalaman, Pandan Wangi menyadari bahwa sebaiknya saat ini ia menuruti saran Ki Widura tanpa banyak bertanya dulu.

Pandan Wangi dan Gilang segera melangkahkan kaki melintasi jalan terbuka yang merupakan bulak pendek untuk kembali ke Kademangan Sangkal Putung. Setelah menempuh sekitar separo dari bulak pendek itu, keduanya kemudian berbelok ke kanan mengambil jalan pintas tanpa melewati padukuhan terdekat agar segera sampai Kademangan lebih cepat.

Ada beberapa ekor kuda yang terikat di halaman Kademangan.

“Agaknya kita kedatangan tamu Gilang”, - Pandan Wangi berdesis pelan.

Gilang mengangguk, bahkan ketika mereka masuk ke halaman, terlihat Ki Demang Sangkal Putung menyambutnya dengan tergesa-gesa.

“Wangi, apakah kau tidak bertemu dengan Ki Widura dan angger Wahana?”,- tanya Ki Demang dengan wajah heran karena melihat Pandan Wangi hanya pulang berdua dengan Gilang saja.

“ Ya ayah, aku tadi bertemu. Hanya saja paman Widura dan Adi Wahana masih ingin berkeliling Kademangan dulu sebelum nanti kembali kesini,” – jawab Pandan Wangi yang juga merasakan keheranan di hati Ki Demang.

Ternyata di pendapa itu telah hadir dua prajurit dari Jati Anom yang sedang duduk beristirahat setelah menikmati makan siang. Dihadapan mereka masih terhidang minuman wedang sere dan beberapa potong jajanan kecil.

Pandan Wangi dan Gilang sengaja tidak naik ke pendapa, mereka masuk melalui pintu samping hendak menuju pakiwan terlebih dahulu.

“ Kabar penting apakah yang dibawa oleh paman Widura?”, - Pandan Wangi bertanya-tanya dalam hati.

Ditunggu sekian lama ternyata Ki Widura dan Wahana tidak segera muncul dan ini membuat gelisah kedua prajurit yang menunggunya. Demikian pula bagi Ki Demang Sangkal Putung, Pandan Wangi maupun Gilang yang ikut mondar-mandir di halaman samping.

Menjelang gelap turun, Pandan Wangi dan Gilang yang menunggu di halaman samping terperanjat ketika menangkap dua sosok bayangan yang berkelebat dengan cepat masuk ke halaman. Hampir saja Gilang berteriak kaget, sebelum dilihatnya salah seorang yang meloncat masuk itu meletakkan jari telunjuknya di depan bibir sambil berdesis pelan.

“Gilang, jangan berteriak. Apakah kau sudah tidak mengenal aku lagi?”

“ Kakek Widura dan paman Wahana, kenapa harus masuk melompati pagar samping? “, - tanya Gilang keheranan.

Ki Widura dan Wahana tidak langsung menjawab pertanyaan Gilang itu, mereka justru menoleh kepada Pandan Wangi yang wajahnya juga diliputi tanda tanya. Dengan wajah yang juga diliputi ketegangan Ki Widura kemudian berdesis pelan.

“ Wangi, marilah kita masuk ke dalam dan berbicara tanpa diketahui kedua prajurit yang menunggu di pendapa itu. Ada hal yang sangat penting dan harus kau ketahui”



Salam,

Tuesday, April 18, 2017

BSG - Gilang Pamungkas - Babak-04

BALADA SWANDARU GENI
Gilang Pamungkas
Babak-04


Orang yang menutupi wajahnya dengan kain itu terlihat lega ketika lemparan batu yang menghujaninya itu berhenti. Dilihatnya bocah kecil yang bernama Gilang itu memandangnya dengan pandangan tajam, sementara tangan kanan dan kirinya masih menggemgam beberapa batu kecil yang siap untuk disambitkan kembali ke arah lawannya.

“ Begini saja ”, - sambil menata nafasnya orang yang wajahnya tertutup kain itu berkata -, ” sesungguhnya kita ini tidak bermusuhan dan bahkan baru saja saling mengenal, jadi sebaiknya kita tidak boleh saling melukai. Bagaimana pendapatmu bocah kecil?”

“Namaku Gilang, paman berwajah jelek!”, - Gilang membalas dengan suara ketus.

“Oo, baiklah, aku minta maaf. Jadi bagaimana pendapatmu Gilang?”, - dengan tergesa-gesa orang itu memperbaiki kalimatnya.

Gilang terlihat menaikkan kedua pundaknya sambil menjawab.

“Bukankah sejak awal paman yang lebih dahulu melempari aku dengan batu? Lalu dengan sombong paman menantangku untuk beradu lari, seolah paman ini masih muda atau ingin terlihat kecil sepertiku. Nah, aku hanya melayani keinginan paman saja. Sekarang paman ingin beradu ketangkasan seperti apa? Seandainya harus berkelahipun aku tak gentar”.

Orang berpenutup wajah itu tidak langsung menjawab, melainkan membungkukkan badannya dan mengambil beberapa butir batu yang besarnya seukuran telur ayam. Dengan beberapa butir batu ditangannya ia kemudian melangkah mendekati Gilang sambil berkata.

“Begini Gilang, kita akan benar-benar adu ketangkasan dalam hal membidik. Aku akan melemparkan batu ke udara dan kau harus berusaha membidik dan mengenainya. Ada sepuluh batu yang akan aku lempar dan kau harus mengenainya dengan cepat. Kita akan melakukannya bergantian. Bagaimana?”

Mendengar perkataan orang berpenutup wajah itu, tiba-tiba saja wajah Gilang terlihat berseri-seri, bahkan tubuhnya berjingkrak-jingkrak dan terdengar suara tertawanya berderai. Ia nampak gembira sekali dan kemudian melangkah dan berdiri dekat dengan orang yang wajahnya ditutup kain itu.

“Baik, aku setuju!”, - jawabnya dengan suara riang.

Orang dengan penutup wajah itu nampaknya agak terheran-heran dengan sikap Gilang yang terlihat begitu gembira dengan tawarannya. Tetapi ia tidak bertanya lebih jauh melainkan segera mempersiapkan diri untuk adu ketangkasan ini.

Ketika melihat Gilang sudah bersiap, orang dengan penutup wajah itu kemudian memberi tanda untuk memulai permainan. Segera sebuah batu sebesar telur ayam meluncur dengan deras ke udara, membumbung tinggi seolah hendak membelah langit.

Hampir bersamaan dengan gerak tangan orang berpenutup wajah yang melemparkan batunya ke udara, saat itu pula dengan cepat tubuh Gilang bergetar. Umurnya yang masih belia itu seolah mempermudah jalinan syaraf untuk saling bersinggungan dan memberikan umpan balik yang mengandalkan pengamatan yang seksama dengan gerak naluriahnya.

Sebuah batu meluncur dengan sangat cepat dari tangan Gilang, mengejar batu yang meluncur dari orang berpenutup wajah itu dari arah sedikit menyamping. Ketika batu pertama itu hampir mencapai puncaknya, batu yang dilepaskan Genta itu mengejar dan dengan telak membenturnya sehingga arah kedua batu itu melenceng sebelum kemudian jatuh ke tanah.

“Bagus! Sekarang lihat batu kedua ini, ketiga, ke empat, ke lima, ke enam…”

Orang dengan penutup wajah itu tiba-tiba saja mengeluarkan suara riang sambil tangan kanannya terayun melemparkan batu ke udara berulang kali. Lima buah batu meluncur secara berturut-turut dan dengan kecepatan penuh membelah angkasa.

Gilang yang mendengar dan melihat gerak orang dengan penutup wajah itu sama sekali tidak gugup, matanya seolah terpaku pada gerak batu yang terlontar ke udara itu. Sementara kejelian pengamatan terpadu dengan gerak naluriah sambitannya langsung bereaksi dengan melemparkan lima batu berturut-turut mengejar batu dari orang berpenutup wajah itu.

Siang itu, angkasa diatas sungai tempat Gilang biasanya berlatih terlihat disuguhi pemandangan yang sangat menarik. Setelah batu pertama yang jatuh dibidik Gilang dengan tepat, terlihat kemudian sepuluh buah batu sedang saling berkejaran. Batu kedua, ketiga, ke empat, ke lima dan ke enam terlihat terkejar dan terbentur bahkan sebelum mencapai puncaknya sehingga arahnya bergeser. Benturan itu menimbulkan bunyi ledakan kecil yang terdengar saling berkejaran.

Kejadian itu berlangsung dalam waktu yang sangat cepat seolah tak ada jeda. Suasana di pinggir sungai itu terasa hening sebelum kemudian terdengar sayup-sayup suara batu yang berbenturan itu jatuh ke tanah dalam jarak yang cukup jauh.

Gilang masih berdiri tegak sambil memusatkan perhatiannya secara penuh pada gerak yang mungkin dilakukan oleh orang berpenutup wajah itu. Masih ada setidaknya empat buah batu yang belum dilempar orang berpenutup wajah itu. Ia tidak ingin lengah sedikitpun yang memungkinkan ia kehilangan kesempatan untuk menang dalam adu ketangkasan membidik ini.

Tetapi lawannya yang berpenutup wajah itu terlihat diam tak bergerak. Beberapa  batu yang tersisa ditangannya bahkan dilepaskannya sehingga jatuh ke tepian sungai, hanya tersisa satu batu sebesar telur ayam.

Terlihat ia menarik nafas dalam-dalam sebelum kemudian ia berkata.

“Gilang, aku harus mengakui bahwa kemampuan membidik-ku tidak sebaik yang kau tunjukkan. Kau memang pantas menjadi murid Agung Sedayu”, - orang yang wajahnya tertutup kain itu berhenti sejenak sebelum kemudian melanjutkan -,”Tetapi dalam sebuah pertarungan kemampuan membidik tidak menjadi satu-satunya penentu kemenangan. Ada yang lebih penting dan sebenarnya menjadi landasan bagi banyak orang yang belajar olah kanuragan, yaitu tentang kecepatan dan kekuatan. Dalam hal kecepatan kau masih belum bisa menyentuhku, apalagi menangkapku. Nah, dalam hal kekuatan, aku ingin tahu apakah kau mampu meniru yang aku lakukan ini”

Orang berpenutup wajah itu segera melangkah maju dan mengangkat tangan kanannya yang menggenggam sebuah batu seukuran telur ayam. Batu itu berbentuk agak lonjong dan berwarna abu-abu, sehingga Gilang bisa membayangkan kekerasan batu yang hampir setiap hari menjadi mainannya.

Tangan orang berpenutup itu terlihat terbuka sebentar sebelum kemudian menutup lagi dan menggenggam batu itu dengan kuat. Dalam satu tarikan nafas, tiba-tiba saja tangannya itu mengeras dan meremas apa yang ada di genggamannya itu sehingga hancur.

Ketika tangan itu kemudian terbuka, maka terlihat batu tersebut sudah berubah bentuk menjadi butiran-butiran kecil dan bahkan abu yang lembut.

Wajah Gilang terlihat menegang, hatinya mendadak berdebar-debar kencang. Apa yang disaksikannya kali ini membuatnya benar-benar tercengang penuh kekaguman. Ia bahkan tidak mampu berkata-kata karena mulutnya seolah terkunci.

Untuk sesaat suasana di pinggir sungai itu terasa hening sebelum dipecahkan oleh suara yang menggema, di susulnya datangnya dua sosok bayangan yang berkelebat mendekat.

“Sudahlah ngger, aku kira itu sudah cukup”


Salam,




Sunday, April 16, 2017

BSG - Gilang Pamungkas - Babak-03

BALADA SWANDARU GENI
Gilang Pamungkas
Babak-03


Tetapi Gilang tidak ingin menilai gerak lawannya itu terlalu lama, dengan cepat disusulnya orang berpenutup wajah itu. Kakinya segera terayun dan tubuhnya melesat kedepan dengan tangan yang kembali mengembang hendak menangkap lawan.

Untuk kedua kalinya Gilang harus melihat kenyataan betapa lawannya dengan mudah menghindar ke samping dan bahkan kemudian berloncatan dari batu ke batu. Tidak ingin membuang waktu, Gilang langsung menyusul dengan kecepatan penuh dibelakang laki-laki berpenutup wajah itu. Kakinya menjejak batu satu dua kali yang menyebabkan tubuhnya terlontar beberapa tombak jauh kedepan. Hampir saja Gilang mampu menyentuh punggung lawannya, sebelum tiba-tiba saja tubuh lawannya itu juga terlontar jauh kedepan.

Demikianlah, disiang hari yang panas itu keduanya berloncatan dari batu ke batu dari ujung ke ujung. Betapapun Gilang mengerahkan seluruh tenaga dan kecepatannya tetapi orang berpenutup wajah itu selalu mampu menghindar bahkan disaat-saat yang sulit. Beberapa kali kejadian terulang lagi, yaitu ketika tangan Gilang sudah hampir mampu menyentuh baju atau punggung lawannya, tiba-tiba saja orang berpenutup wajah itu terlontar kedepan dengan cepatnya.

Tiba-tiba saja Gilang menghentikan geraknya dan berdiri diam diatas batu. Ia tidak lagi berusaha mengejar lawannya melainkan berdiri diam sambil berusaha mengatur nafasnya.

Melihat Gilang tidak lagi mengejarnya, laki-laki berpenutup wajah itu terpaksa ikut berhenti sambil berteriak mengejek.

“He, kenapa kau berhenti anak dungu. Apakah kau sudah menyerah dan rela menjadi pelayanku?”

Sambil mengatur nafasnya Gilang justru menyilangkan kedua tangannya masing-masing di pinggang kanan dan kirinya. Mulutnya kini justru di hiasi sebuah senyuman lucu.

“Eh, paman berwajah jelek, tentu saja aku belum menyerah. Aku akui paman bisa bergerak lebih cepat, tetapi bukankah kepandaian berlari itu tidak cukup bagi seorang laki-laki satria? Seorang satria harus mampu bertarung dengan menggunakan kekuatan juga. Bagaimana kalau sebelum bertarung menggunakan kekuatan paman aku tantang untuk mengadu ketangkasan dalam hal membidik?”, - Gilang kini justru menantang pendatang yang wajahnya tertutupi kain itu.

Orang yang menutupi wajahnya dengan kain itu tiba-tiba saja terdiam sesaat sebelum kemudian mengeluarkan suara tertawa berkepanjangan. Ia seolah sedang menemukan hal yang lucu dan menggembirakan hatinya sehingga tertawanya terdengar keras hingga tubuhnya bergoyang-goyang.

“He, anak kecil”, - teriaknya disela-sela suara tertawanya,” – agaknya kau tahu kelemahanku, tetapi aku tidak akan gentar menerima tantanganmu. Di dunia ini hanya ada satu orang yang kemampuan membidiknya sundul langit tidak terkalahkan, dan aku yakin, anak kecil seperti kau tidak mengenal dia yang memang aku takuti”

Mendengar perkataan laki-laki yang menutupi wajahnya itu, Gilang menjadi tertarik.

“Siapakah orang yang kemampuan bidiknya itu kau takuti itu, wahai paman berwajah jelek”, - tanyanya penasaran.

“Gila, jangan kau memanggil aku dengan sebutan paman berwajah jelek terus, itu menghina namanya”, - laki-laki itu seolah-olah merajuk.

“Baiklah, baiklah. Aku minta maaf, siapakah dia yang kau takuti kemampuan bidiknya itu wahai paman yang malu jika wajahnya diketahui orang lain”, - Gilang menjadi sedikit geli.

Sejenak keduanya diam, Gilang menunggu jawaban dari orang asing itu, sementara orang yang menutupi wajahnya dengan kain itu terlihat sedang berpikir.

“Tunggu dulu, sebelum aku menjawab pertanyaanmu, kau harus memberitahu siapakah guru yang mengajarkan kemampuan bidik itu kepadamu?”, - tiba-tiba laki-laki asing itu berteriak senang.

Mendengar pertanyaan itu, sejenak Gilang melengakkan wajahnya kesamping. Ia merasa orang asing itu terlalu banyak bertanya, sementara ia ingin segera beradu ketangkasan secepatnya.

“Sudahlah, kau tidak perlu tahu siapa guruku. Kita bertanding saja sekarang”, - ujar Gilang singkat.

“ Curang, kenapa kau tidak mau memberitahuku siapa guru membidikmu?”

“ Kau juga tidak memberitahuku, siapa orang yang kau takuti dalam hal membidik itu”

Suasana di pinggir sungai itu kembali sunyi, keduanya sedang berpikir apakah sebaiknya yang dikatakan kepada lawannya.

“Begini saja, sebagai laki-laki kita harus jujur. Aku akan menghitung bilangan satu sampai tiga, kemudian kita bersama-sama menyebutkan siapakan orang yang kita maksud. Tetapi kita tidak boleh berbohong, karena kalau berbohong biarlah kita di sambar geledek. Beranikah kau anak dungu?”

“Gila, namaku Gilang dan aku bukan anak dungu!”, - tiba-tiba Gilang menyanggah.

Orang berpenutup wajah itu sedikit kaget, tapi kemudian ia menyambung perkataannya.

“Baik, baik! Beranikah kau Gilang?”

“Tentu saja aku berani!”

Angin di tepian sungai berhembus cukup kencang sementara gemericik air terus mengalir dan tidak memperdulikan apa yang menjadi pertengkaran antara kedua orang yang berbeda umur sangat jauh itu. Perlahan-lahan orang dengan penutup wajah itu mulai menghitung dimulai dari bilangan satu hingga ke tiga.

Ketika bilangan ketiga itu disebut, hampir bersamaan keduanya berteriak menyebut sebuah nama.

“ Agung Sedayu! “

“ Paman Agung Sedayu! “

Suasana kembali sepi sebelum kemudian dipecahkan oleh geraman orang asing itu.

“Bohong, kau pasti berbohong lagi bocah kecil. Bukankah Agung Sedayu itu ada di Tanah Perdikan Menoreh, bagaimana mungkin mempunyai murid disini? Kau pasti tidak jujur!”, - orang yang menutupi wajahnya dengan kain itu berteriak seolah-olah ada rasa jeri.

Sebaliknya kini Gilang malah tertawa senang, suaranya terdengar lepas berderai.

“ Ah, kiranya paman adalah orang yang pernah dikalahkan oleh paman Agung Sedayu. Tetapi aku tidak berbohong, memang aku tidak selalu bersama paman Agung Sedayu, tetapi setiap kali bertemu, aku selalu dilatihnya untuk ketangkasan membidik ini. Nah, marilah kita lakukan adu ketangkasan ini”.

Tiba-tiba saja Gilang langsung membungkukkan badannya dan ketika kembali tegak dikedua tangannya telah tergenggam beberapa batu hampir sebesar telur ayam. Tanpa berkata lebih lanjut, tangannya segera terayun deras dan menyambitkan batu itu ke arah orang yang menutupi wajahnya dengan kain lurik itu.

Orang dengan penutup wajah itu terkejut bukan main, batu itu meluncur dengan deras dan mengancam dadanya. Segera ia memiringkan badanya sehingga dadanya selamat. Tetapi sesaat kemudian ia terpaksa harus melempar tubuhnya kesamping untuk menghindari lemparan kedua, ketiga dan berikutnya.

Meskipun lemparan itu tidak disertai dengan tenaga cadangan yang kuat, tetapi bidikan Gilang itu sangat terarah sehingga orang dengan penutup wajah itu harus berloncatan cepat sekali agar terhindar dari batu yang datang bagaikan hujan. Tubuhnya bergerak cepat bagai bayangan yang membuat Gilang terkagum-kagum dan lebih bersemangat dalam melemparkan batu-batu di tangannya.

“Tunggu, tunggu…bukan begini caranya adu ketangkasan!”, - orang itu terdengar berteriak-teriak panik.

Terpaksa Gilang menghentikan lemparannya dan bertanya.

“Jadi harus bagaimana?”

Salam,





BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...