BALADA SWANDARU GENI
Bab 3 : Gilang Pamungkas
Babak – 09
Bab 3 : Gilang Pamungkas
Babak – 09
Tidak di-nyana dua burung aneh itu mampu melihat bahaya yang mengancam dadanya. Sambil memperlambat kecepatan terbangnya, sayap kanan dan kiri kedua burung itu bergerak menyamping berulang kali melakukan gerak tepisan untuk menyabet batu yang mengarah ke tubuh masing-masing.
Kedua batu sebesar telur yang mengancam dada burung itu ternyata berhasil tertepis untuk kemudian melenceng dan jatuh ke tanah tanpa melukai kedua burung yang menjadi sasaran lempar Gilang.
Tetapi belum lagi batu yang tertepis itu jatuh menyentuh tanah, terdengar suara mendesing dan dua buah batu kembali melesat dan mengancam dada kedua burung itu. Gilang yang melihat kedua batu pertamanya tertepis dengan mudah itu telah meluncurkan lemparan keduanya dengan lebih kuat dan lebih cepat.
Meskipun tidak bisa melihat dengan jelas, tetapi Pandan Wangi bisa merasakan bahwa kedua burung itu agaknya cukup terkejut ketika harus menerima lemparan yang kedua kalinya sebelum mereka sempat mengambil nafas lebih lanjut atas keberhasilan menepis lemparan yang pertama.
Kedua burung itu kini terlihat seolah berhenti, mengambang di udara sambil mengepak-epakkan sayapnya berulang kali. Mereka melakukan gerak tepisan dengan kedua sayapnya yang yang lebar dan sangat kuat itu sehingga batu yang mengancamnya itu kembali tertepis.
Adalah seorang Gilang yang ternyata mampu berpikir dan bertindak dengan cepat. Darah seorang Argapati yang mengalir dalam tubuhnya terpadu dengan sikap seorang Swandaru Geni yang tidak pernah mengenal takut membuatnya mampu mengambil keputusan dengan cepat.
Menyadari lemparan pertamanya mampu ditepis kedua burung itu dengan mudah, maka ia menambah tenaganya pada lemparan yang kedua, dan yang tidak diduga oleh Pandan Wangi maupun semua yang melihat adegan itu, ternyata Gilang langsung menyusuli dengan lemparan ketiga meskipun lemparannya yang kedua belum mengenai sasaran. Selisih waktu antara lemparan kedua dan ketiga itu hanya sekejaban mata.
“Kena!”, - kembali Gilang berteriak keras.
Ketika kedua burung itu sibuk untuk menepis lemparan batu yang kedua, ternyata lemparan yang ketiga lepas dari pengamatan burung itu. Tak ayal kedua burung itu berkaok-kaok kesakitan ketika lemparan ketiga itu dengan deras mengenai paha dan perut mereka. Sementara batu yang kedua juga tidak berhasil mereka tepis dengan sempurna.
Sambil terbang menjauh kedua burung itu memperdengarkan suara ribut yang memekakkan terlinga. Mereka berkumpul dengan kawan-kawannya dan terbang berputaran diatas udara Lemah Cengkar itu. Agaknya burung-burung itu sedang mempersiapkan serangan berikutnya.
Wahana yang melihat kejadian itu terlihat tidak bisa menahan kekagumannya pada Gilang.
“Darimana kau dapatkan batu-batu itu Gilang”, - teriaknya mengatasi suara riuh rendah burung-burung itu.
“ Ada dikantong pelana kudaku paman, banyak sekali. Aku selalu membawanya untuk bisa berlatih setiap saat,” – Gilang menjawab dengan suara yang tidak kalah kerasnya -,” Ayo paman, kali ini kita akan sungguh-sungguh berlomba ketangkasan”
Sambil menjawab, dengan gerak pelan tangan Gilang melemparkan beberapa batu sebesar telur itu ke arah Wahana yang segera menangkapnya. Sikap Gilang yang begitu ceria seolah menganggapnya sedang bermain-main itu mempengaruhi Wahana, sehingga tiba-tiba saja ia turun dari kudanya sambil matanya menatap ke arah gerombolan burung itu.
“Gilang, lihat! Kali ini harus ada yang roboh! ”
Sebelum kalimatnya selesai ternyata batu ditangan Wahana itu telah melesat secepat tatit di udara. Berbeda dengan lemparan Gilang yang hanya dilambari tenaga wadag, Wahana justru melambari lemparannya dengan tenaga cadangan yang cukup besar. Ia yakin bahwa ada orang yang mengendalikan burung-burung itu dan salah satu cara agar orang itu bisa segera menampakkan diri adalah dengan cara merobohkan burung-burung piaraannya itu.
Sebenarnya jarak Wahana dengan burung-burung di udara itu cukup jauh. Tetapi lemparan Wahana yang dilambari dengan tenaga cadangan itu bergerak cepat membelah udara Lemah Cengkar hingga menimbulkan suara desing yang sangat tajam. Kecepatan lemparan itu berlipat-lipat dibandingkan lemparan Gilang.
Belum sempat Gilang mengedipkan matanya, terdengar suara burung yang menjerit kesakitan disusul jatuhnya sosok burung yang sudah terdiam mati sebelum tubuhnya menyentuh tanah.
“Bagus paman, hebat sekali. Ayo terus paman!”
Tanpa menunggu jawaban tiba-tiba saja Gilang meloncat turun dari kudanya dan segera tangan kanannya kembali terayun. Dengan posisi berdiri, maka lemparan Gilang menjadi jauh lebih kuat dibandingkan saat ia melemparkannya dari atas punggung kuda.
Wahana yang melihat tingkah laku Gilang segera mengimbanginya.
Dari tangan keduanya, meluncurlah batu-batu sebesar telur itu ke udara memburu gerombolan burung yang terbang di udara dengan suara riuh rendah. Agaknya lemparan Wahana yang pertama dan langsung menjatuhkan satu burung raksasa hingga mati itu membuat nyali kawanan burung itu menciut sehingga gerakan mereka menjadi tidak beraturan.
Tiga buah batu dari tangan Gilang langsung mengenai dan menyakiti dada tiga burung lain yang segera menjerit kesakitan sambil terbang menjauh meninggalkan suara riuh rendah. Sementara sebuah batu dari tangan Wahana kembali menelan korban yang langsung mati sebelum tubuhnya menyentuh ke tanah.
Dua ekor burung berukuran besar telah mati sebelum terjatuh ditanah, sementara burung-burung lainnya terlihat jeri dan berkaok-kaok terbang menjauh.
Gilang bersorak kegirangan, ia berniat untuk menyusuli dengan lemparan berikutnya, tetapi burung itu terbang menjauh dan agaknya diluar jangkauan lemparannya. Terpaksa mereka menunggu dan Wahana segera mengisyaratkan agar Gilang kembali naik ke atas punggung kudanya.
Gilang bersorak kegirangan, ia berniat untuk menyusuli dengan lemparan berikutnya, tetapi burung itu terbang menjauh dan agaknya diluar jangkauan lemparannya. Terpaksa mereka menunggu dan Wahana segera mengisyaratkan agar Gilang kembali naik ke atas punggung kudanya.
Saat itulah terdengar suara siulan nyaring yang berulang-ulang, membelah udara dan mampu mengatasi riuh rendah suara burung-burung itu. Bahkan agaknya siulan itu merupakan panggilan yang bisa dimengerti oleh gerombolan burung-burung raksasa tersebut, yang langsung melesat menuju satu tempat.
Agaknya burung-burung itu sudah sangat terlatih, dengan tertib mereka kemudian terbang berbaris dengan jumlah yang kini hanya tinggal sebelas ekor. Mereka terbang merendah ke arah utara tanpa menimbulkan bunyi, kemudian dengan tiba-tiba berbelok ke kiri dengan membentuk semacam garis melengkung seperti bulan sabit.
Garis belokan yang tadinya melengkung itu perlahan-lahan berubah menjadi garis lurus dan kini ke sebelas burung itu terbang dari arah barat menuju timur dimana Ki Widura dan yang lain-lainnya berada.
Ketika gerombolan burung raksasa itu sudah membentuk garis lurus yang sempurna, terdengar kembali suara berkaok-kaok yang riuh rendah. Bersamaan dengan itu, mata Gilang terbelalak ketika muncul dua orang dengan penampilan yang aneh yang tidak diketahui darimana datangnya. Mereka seolah muncul dengan tiba-tiba dari dalam tanah, dan kini kesebelas burung raksasa itu terbang berbaris di belakang keduanya seolah sengaja mengiringi kemunculannya.
“Ah, Paksi Wulung bersaudara!”, - tiba-tiba bibir Wahana berdesis lirih.
Salam,