Friday, June 30, 2017

JEJAK YANG TERPILIH - Day-30

#NulisRandom2017
JEJAK YANG TERPILIH
Meditasi Puncak Fokus
Day-30


Mulai siang hingga menjelang sore hari, Bian dan Lukita menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berlatih membidik sesuai arahan Abi. Mula-mula mereka diminta untuk membidik sebuah batang pohon pepaya yang berdiri di halaman belakang area green-house dari jarak sekitar 25 meter. Agaknya ini adalah semacam tes dari Abi untuk menjajagi seberapa jauh bekal yang sudah dikantongi kedua anak muda ini. Tanpa mengalami kesulitan Bian berhasil membidik dengan tepat, sementara Lukita memerlukan beberapa kali percobaan.
Setelah Abi memberi arahan dan latihan untuk bisa fokus pada sasaran, Lukita-pun mampu melakukannya dengan tepat.
“Akan tetapi pohon pepaya adalah sasaran yang tidak bergerak ngger. Sekarang cobalah ini”
Abi meminta Bian untuk melemparkan batu sebesar telur ayam ke udara. Ketika batu ditangan Bian itu melesat kedepan, maka tangan Abi serentak bergerak dan meluncurlah batu yang seolah-olah mempunyai mata. Batu dari tangan Abi itu melesat cepat menyusul dan bahkan kemudian membentur batu yang di lemparkan Bian sehingga rontok jatuh ke tanah.
Mulut Lukita ternganga tanpa sempat bersuara.
Demikianlah, secara bergantian mereka berdua mencoba berlatih membidik benda bergerak. Semula Lukita yang melemparkan batu dengan arah bebas, sedangkan Bian mencoba membidiknya. Akan tetapi hingga belasan kali Bian tidak bisa mengenainya sama sekali, demikian pula ketika Lukita yang membidik.
Tetapi mereka berdua tidak mudah menyerah dan terus mencobanya.
Abi yang melihat semangat kedua kakak beradik itu tersenyum senang. Tidak lama kemudian ia segera mengajak mereka berdua kembali ke gazebo dan duduk sambil berbincang.
“Bian dan Lukita, sesungguhnya kemampuan bidik tiap-tiap orang itu berbeda. Akan tetapi dengan latihan yang sungguh-sungguh kalian pasti bisa melakukannya dengan lebih baik. Nah, sekarang marilah kita berlatih agar bisa lebih fokus atau konsentrasi. Ini adalah kunci keberhasilan dalam semua tindakan kita”
Sore itu Abi mengajarkan kepada keduanya tentang meditasi hening. Betapa dalam keheningan itu sesungguhnya banyak sekali keriuhan yang terpapar warna-warni seolah menempati segala sudut-sudut hati dan syaraf kita. Sebaliknya, keheningan juga mampu menawarkan sebuah godaan yang menyeret kita ke lembah kenistaan saat hati tidak mampu mengelola syaraf dan keheningan itu dengan baik.
“Maka pampatkanlah udara dalam tubuh kita ngger, tariklah nafas secara lembut lalu kelola-lah oksigen yang terhirup masuk agar mampu mengusap dan menyusuri seluruh syaraf tubuh kita hingga ke bagian-bagian yang terkecil. Jangan tergesa-gesa, rasakanlah dan ucapkan salam pada bagian-bagian tubuh kita sehingga kita bisa mengenalinya dengan baik”
Bian dan Lukita yang duduk bersila dengan punggung tegak itu berusaha mengikuti semua petunjuk Abi. Sesungguhnya mereka sudah mengenal meditasi, tetapi hanya sebatas pengaturan nafas untuk mencapai relaksasi dalam tubuh. Mata mereka terpejam dengan wajah yang dipenuhi kepasrahan.
“Bian dan Lukita, sekarang pusatkanlah energi dan oksigen dalam tubuhmu ke syaraf mata dan kedua tanganmu yang juga sebagai syaraf bidik. Rasakanlah kelembutannya, tetapi rasakan pula getarannya. Kenalilah rasa itu sebagai sebuah keadaan dimana pusat konsentrasi dalam membidik mencapai puncaknya dan rasakan pula getar di dadamu”
“Sekarang, ketika getaran fokus dan konsentrasi itu sedang ada di puncaknya tahanlah nafas kita perlahan-lahan. Jaga, jangan sampai ada oksigen yang keluar ataupun bocor. Kuncilah keadaan puncak fokus ini dengan menutup sembilan lubang dalam tubuh kita dan biarlah semua getaran itu menjalar ke seluruh tubuh. Sesungguhnya inilah kondisi puncak fokus yang harus kita munculkan disaat kita memerlukannya”
Tubuh Bian dan Lukita kini terlihat bergetar, wajah mereka terlihat sedikit memerah akan tetapi mereka tetap diam tidak bergerak. Tanpa mereka sadari muncul keringat yang cukup deras membasahi wajah dan punggung mereka. Agaknya kondisi hening ini membuat tenaga mereka terkuras.
Setelah sekian lama, perlahan-lahan dan dengan suara halus Abi membimbing mereka untuk keluar dari keheningan meditasi. Mereka mengendorkan seluruh syaraf tubuh yang menegang dan mulai melepas oksigen dalam tubuhnya melalui mulut dengan sangat perlahan. Ketika keduanya membuka matanya, kegelapan mulai turun dan hari menjelang saat maghrib waktunya berbuka puasa.
Perasaan keduanya terasa segar meski tubuh letih dan keringat membasahi sekujur badan.
“Marilah ngger, kita singgah di rumahku untuk berbuka puasa bersama”, - Abi bangkit dan menuruni tangga gazebo yang terbuat dari kayu glugu itu.
Salam,

JEJAK YANG TERPILIH - Day-29

#NulisRandom2017
JEJAK YANG TERPILIH
Bidikan Tingkat Dewa
Day-29


“ Angger Bian dan Lukita, selamat datang di gubug-ku yang sederhana ini ngger”,- sebuah suara lunak terdengar menyapa mereka dari belakang.
Bian memutar badannya dan dilihatnya seraut wajah bersih dengan senyuman yang menyejukkan. Pria paroh-baya itu seolah menawarkan ketenangan bagi lawan bicaranya.
Segera Bian berjalan mendekat dan meraih tangan kanan pria itu untuk di ciumnya. Lukita dengan cepat mengikuti sebagaimana yang dilakukan kakaknya.
“Maaf Abi, saya berkunjung tanpa memberi tahu terlebih dahulu”, - kata Bian sambil memperkenalkan Lukita adiknya.
“Tentu tidak perlu meminta maaf Bian”, - sahut Abi sambil tertawa - ,”Aku justru sangat senang jika kalian sering berkunjung kesini. Apalagi agaknya angger Lukita sangat bersemangat untk mengetahui sistem bertanam dengan cara hidroponik ini”
Lukita terlihat menganggukkan kepalanya kuat-kuat dan tanpa ragu-ragu.
“Benar Abi. Sesungguhnya saya pernah membaca artikel tentang sistem hidroponik ini. Hanya saja setelah melihat langsung keadaan disini, rasanya ketertarikan dan keunikan sistem ini menjadi berlipat-lipat”
Mulut Abi terlihat menyunggingkan senyuman lebar.
“Kalau begitu, marilah kita berkeliling sejenak sebelum nanti naik ke gazebo. Aku akan tunjukkan keadaan dalam green-house ini supaya angger Lukita lebih paham nantinya”
Demikianlah, mereka bertiga kemudian berkeliling dari satu bangunan green-house ke bangunan yang lain. Lukita terlihat tidak bisa menahan kegembiraan hatinya melihat kesegaran sayur-mayur yang membentang subur memenuhi area dalam kebun itu. Sementara, karena tidak berpuasa, ia bahkan minta ijin Abi agar diperbolehkan untuk merasakan buah tomat yang terasa segar dimulut.
Ketika matahari memanjat naik hampir ke puncaknya Abi mengajak mereka untuk naik ke Gazebo. Sesungguhnya bangunan Gazebo ini lebih banyak diperuntukkan sebagai mushola untuk sholat. Karena itu, lantai-nya yang terbuat dari kayu terlihat senantiasa bersih meskipun di lemari kecil Abi juga selalu menyediakan sajadah, sarung dan mukena.
Setelah menunaikan sholat berjamaah, Abi mengajak mereka duduk sambil berbincang.
“Angger Bian dan Lukita, untuk selanjutnya aku berharap kalian berdua lebih sering berkunjung ke sini, terutama Bian. Ada beberapa hal yang nanti bisa kita pelajari dan insya Allah itu berguna sebagai bekal dalam kehidupan ini. Sudah tentu yang bisa aku tunjukkan dan ajarkan juga amatlah terbatas sesuai kemampuan. Hanya saja, terbatas bagi seseorang itu terkadang terlihat luar biasa atau bahkan tidak terbatas bagi orang lain. Tetapi dimata Allah, sesungguhnya kemampuan kita itu amatlah kecil, bahkan tidak berarti sama sekali”
“Saya mengerti Abi”, - jawab Bian dengan suara pelan.
Sementara Lukita hanya menundukkan kepala sambil mendengarkan uraian Abi.
“ Angger berdua, jika nanti aku menunjukkan sesuatu hal yang terasa baru, maka jangan menganggap aku sedang pamer atau menyombongkan diri. Sesungguhnya aku berlindung kepada Allah Yang Maha Pengasih dari segala sifat riya’ dan ujub”, - suara Abi berhenti sejenak sambil matanya memandang sekelilingnya -,”Nah, sekarang lihatlah ke arah tiang kayu itu. Di bagian atas dekat dengan ujung tiang itu apakah angger melihat ada sebuah paku yang menancap dan tetapi hanya separo panjang batang paku itu saja?”
Tangan Abi nampak menunjuk pada sebatang tiang kayu yang berjarak sekitar 6 meter dari tempat mereka duduk. Bian dan Lukita terpaksa menajamkan pandangan matanya, karena jarak 6 meter meskipun bukan jarak yang jauh, akan tetapi untuk melihat sebatang paku tetaplah diperlukan sebuah ketajaman pandangan mata.
Paku itu sudah agak berkarat dan separo batangnya menancap ke dalam tiang, sementara separo batang yang lain masih menonjol. Abi biasanya menggunakan paku yang menonjol itu untuk dipasangi tali yang membentang ke tiang yang lain dan dipergunakan untuk menjemur atau melipat plastic UV maupun paranet.
“Menurut angger berdua, bagaimanakah caranya agar kita bisa memaku paku itu agar melesak ke dalam, tanpa alat palu dan tanpa menggeser tubuh kita dari tempat kita duduk ini?”, - tanya Abi.
Bian dan Lukita terpaksa memutar otaknya sambil mengerutkan keningnya. Akan tetapi agaknya Abi juga tidak memerlukan jawaban. Tiba-tiba saja tangannya terayun dengan cepat akan tetapi gerak itu di lakukan dengan asal-asalan tanpa konsentrasi sama sekali.
Sebuah uang logam berkilau melesat dan meluncur dengan cepat ke arah tiang itu. Terdengar sebuah bunyi dentingan cukup keras, sebelum kemudian uang logam itu jatuh ke tanah.
Akan tetapi perhatian dan mata kedua kakak beradik itu seolah tidak bergeser dan terus menatap tempat dimana sebatang paku tadi tertancap dekat di ujung tiang. Paku itu kini melesak ke dalam dan penampang paku itu kini sudah menempel rata dengan permukaan tiang kayu, tanpa ada tonjolan sama sekali.
“Sebuah kemampuan bidik tingkat dewa”, - ujar Bian maupun Lukita dalam hati -,”Selain ketepatan membidik yang tinggi, diperlukan tenaga yang cukup besar sehingga benturan uang logam itu mampu menekan paku itu sehingga masuk dan melesak ke dalam kayu. Hebatnya, Abi melakukan semua itu seolah tanpa konsentrasi”
Suasana siang itu terasa hening, Bian dan Lukita diliputi oleh kekaguman yang sangat sehingga tidak mampu mengeluarkan suara.
“Nah angger Bian dan Lukita, apakah kalian mau mencoba?”, - tanya Abi sambil menunjukkan beberapa uang logam di tangannya.
Bian dan Lukita tiba-tiba merasa gelagapan.
Salam,

JEJAK YANG TERPILIH - Day-28

#NulisRandom2017
JEJAK YANG TERPILIH
Green-House Abi
Day-28


Minggu pagi itu jalanan masih sunyi ketika mobil yang di-kendarai Bian dan Lukita membelah keluar kota Surabaya menuju ke selatan dan kemudian berbelok ke kanan alias arah barat daya kota.
Bian sengaja mengajak Lukita untuk mengunjungi Kiai Syukur atau yang kemudian ia sebut dengan Abi setelah pertemuan terakhirnya di masjid bilangan utara kota kamis malam yang lalu. Ia ingin terbuka agar adiknya itu mengetahui dengan pasti tempat-tempat yang ia kunjungi maupun dengan siapa ia berhubungan sehingga tidak menimbulkan tanda tanya.
Lalu-lintas masih cenderung sunyi sehingga sekitar satu jam kemudian mereka berdua sudah memasuki jalan yang menanjak atau daerah perbukitan yang merupakan kaki pegunungan. Untunglah jaringan internet di daerah ini masih cukup bagus, sehingga Bian bisa memanfaatkan ‘google-map’ untuk mencari alamat sesuai petunjuk Abi.
Dari jalan utama mereka berbelok ke kiri memasuki jalanan yang agak sempit tetapi terlihat bersih dan di kanan-kirinya ditumbuhi bunga-bunga yang asri. Bian sengaja mematikan AC lalu menurunkan kaca jendela mobil hingga mentok ke bawah.
Matahari bersinar penuh tanpa ditutupi sehelai awan, sementara angin berhembus tidak terlalu kencang tetapi membawa hawa sejuk khas udara pegunungan. Suasana pagi itu membuat hati kedua kakak beradik itu terasa riang dan menyenangkan.
Setelah melewati beberapa petak sawah, dari jauh mata Lukita bisa melihat lima buah bangunan yang semi terbuka dimana atapnya ditutup menggunakan plastik UV. Sementara dindingnya hanya dibatasi dengan paranet warna hitam, yang mampu menyaring jumlah sinar matahari yang masuk serta mencegah masuknya belalang atau binatang lain perusak tanaman.
“Itu mas, Green-House!”, - seru Lukita sambil menudingkan tangan ke depan.
Bian mengangguk dan pelan-pelan ia mengarahkan kendaraannya untuk masuk ke area halaman depan Green-House tersebut. Seorang pria berpeci berumur sekitar 40-an tahun dengan tergopoh-gopoh menyambut kedatangan mereka.
Senyumnya mengembang sehingga nampak gigi-giginya yang putih, tetapi mata Bian sempat menangkap adanya sebuah tattoo di lengan kiri orang berpeci tersebut.
“Selamat datang mas Bian dan mbak Lukita, mari silahkan naik ke Gazebo dulu”, - ujarnya ramah khas orang padesaan.
Bian dan Lukita saling berpandangan dengan mimik heran, bagaimana mungkin orang berpeci itu mengetahui namanya sementara mereka sama sekali tidak mengenalnya dan bahwa kedatangan mereka kesini juga sama sekali tidak di rencanakan.
“Maaf pak, apakah ini Green-House dimana Abi tinggal?”, - tanya Bian sesopan mungkin.
“Abi?”, - kini orang berpeci itu yang heran.
“Maaf, maksud saya Pak Syukur atau Kiai Syukur”,- dengan cepat Bian meralat pertanyaannya.
“Oh”, - orang berpeci itu kembali melempar senyumnya yang lebar -,”Betul mas Bian, disini kami memanggilnya dengan sebutan Abah. Tadi Abah berpesan kalau mas Bian dan mbak Lukita datang diminta agar menunggu dulu di gazebo. Abah masih membenahi saluran air di sawah sebelah kiri yang kemarin sempat jebol”
Lukita terlihat mengerutkan keningnya, ia sempat berbisik kepada Bian - ,”Apakah Abi tahu bahwa kita akan datang berkunjung?”
Bian tidak menjawab melainkan hanya menggelengkan kepalanya saja. Ia sendiri sejauh ini bahkan belum mengenal sosok Abi itu lebih dalam.
Orang berpeci yang kemudian memperkenalkan diri bernama Pak Sutar itu segera mengajak mereka melangkah ke tengah-tengah halaman di antara lima buah Green-House itu. Bangunan Gazebo terletak tepat di tengah-tengah kelima Green-House itu.
Sambil berjalan Bian dan Lukita bisa menyaksikan keadaan di dalam bangunan Green House melalui lubang-lubang paranet. Terlihat lonjoran-lonjoran pipa panjang yang diberi lubang pada jarak sekitar 20-25 cm. Lonjoran pipa paralon itu disusun miring bertingkat dalam jarak yang cukup rapat. Dalam setiap lubang berdiameter sekitar 4-5 cm itu tumbuh macam-macam jenis sayuran yang nampak begitu segar dan sehat. Sawi atau selada hijau, kangkung, pak-chou, kailan dan bahkan buah tomat.
“Ah, inilah bertanam sistem Hidroponik”, - seru Lukita seolah baru tersadarkan.
Ia sudah beberapa kali membaca artikel tentang sistem hidroponik ini dan bahkan gambar-gambarnya sempat ia simpan di gallery laptop-nya.
Pak Sutar yang mendengar perkataan Lukita itu langsung menyahut -,”Betul mbak Lukita, ini memang sistem Hidroponik. Jadi kita menanam sayuran tapi tidak menggunakan media tanah melainkan dengan mengairi pipa paralon ini dengan air bernutrisi sesuai kebutuhannya. Di bagian belakang ini Abah bahkan mulai mencoba menanam berbagai macam buah-buahan”
Bukan main senang dan tertariknya hati Lukita melihat sayur-sayuran yang segar dan membentang memenuhi area green-house. Ia tidak henti-hentinya bergerak dan bertanya kepada pak Sutar tentang sistem pengairan maupun cara tanam dan pemeliharaannya.
“Bukankah sayuran ini yang disebut organik mas Bian? Harganya mahal dan banyak restoran besar yang terkadang bahkan kesulitan mencarinya”, - sebuah ide melintas di benak Lukita.
Salam,

JEJAK YANG TERPILIH - Day-27

#NulisRandom2017
JEJAK YANG TERPILIH
VOLUNTEER
Day-27


“Gak penting sih om, cuman saya teringat dengan sepupu saya yang pernah mengkonsumsi dan ketagihan barang terkutuk itu. Rehabilitasi tidak bisa memulihkan dia, masa depannya hancur dan membawa luka dalam keluarga”, - jawab Andy dengan suara dalam.
“Siapakah nama sepupumu itu dan dimana dia An, mungkin aku tahu?”, - tanya om Hardy serius.
“Oh, namanya David om, tetapi ia tinggal dan kuliah di Manchester - UK, saya pernah tinggal bersamanya selama 2 tahun. Saat terakhir ia sudah tidak mempunyai semangat belajar ataupun semangat hidup”
“Saat terakhir?”
“Ya, dia sudah meninggal setahun yang lalu om”, - suara Andy terdengar semakin dalam - ,”Saat itulah saya memutuskan kembali ke Surabaya dan merasa gagal dalam menyelamatkan adik sepupuku dari barang terkutuk itu. Sesungguhnya ia seorang pemuda yang baik dan pandai, hanya saja pengaruh barang itu begitu kuat mencengkamnya”
Sejenak suasana menjadi hening, mereka ikut merasakan gejolak hati Andy yang pastilah di penuhi kekecewaan yang sangat atas kejadian yang menimpa adik sepupunya.
“Karena itu om”, - Andy melanjutkan kalimatnya - ,”Adalah kebetulan bahwa sekarang saya bertemu om Hardy dan om Dony dari BNN. Saya sangat mendukung pemberantasan narkoba di tanah air ini, seandainya ada yang bisa saya lakukan untuk membantu kegiatan di BNN, dengan suka-rela saya akan lakukan!”
“Ah, sungguh membanggakan”, - sahut om Hardy dan om Dony hampir berbarengan.
“Saya serius om, mungkin saya tidak bisa membantu banyak. Akan tetapi kalau ada bagian dimana saya bisa berpartisipasi untuk pemberantasan narkoba ini, saya merasa sangat siap”, - terdengar suara Andy mantab.
“Andy, om sangat menghargai pernyataanmu itu. Adalah penting menghimpun generasi muda untuk memerangi barang terkutuk itu. Ada beberapa wadah yang dapat kita manfaatkan, nanti kita akan bertemu dan bicarakan lagi dengan lebih detail”, - suara om Hardy terdengar antusias.
Malam terus merangkak sementara mereka masih melanjutkan pembicaraan.
Beberapa kali om Hardy dan om Beny menyatakan kekagumannya kepada mereka bertiga yang ternyata menguasai ilmu bela diri dengan cukup matang.
“ Mafia narkoba ini mempunyai jaringan yang cukup luas dan sel-selnya bertebaran dimana-mana. Ketika kami mampu menumpas sebuah jaringan tertentu, ternyata telah tumbuh sel-sel baru dengan cepat dan tidak kalah berbahayanya”, - om Hardy berbicara panjang - ,”Karena itu kalian bertiga harus benar-benar berhati-hati. Aku khawatir mereka mengenal kalian dan suatu ketika berniat balas dendam. Ini hal yang benar-benar harus kalian perhatikan”
Sambil memberikan pandangannya, om Hardy membagikan kartu nama-nya kepada ketiga pemuda itu.
“Jika ada apa-apa di jalan, tolong jangan sungkan untuk menghubungi om Dony atau aku”, - suara om Hardy terdengar serius.
“Siap om”, - jawab ketiganya hampir bersamaan.
Meski tidak terucapkan lebih lanjut, akan tetapi di benak ketiga pemuda itu telah tertanam sebuah niat untuk ikut serta memerangi jaringan narkoba di negeri ini. Perkenalan dengan om Hardy dan om Beny seolah telah mengikatkan sebuah benang akan terlibatnya mereka dalam sebuah petualangan yang seru dan penuh ketegangan di kemudian hari.
Salam,

JEJAK YANG TERPILIH - Day-26

#NulisRandom2017
JEJAK YANG TERPILIH
Kapten Hardy - BNN
Day-26

Peristiwa malam itu membuat hubungan Bian, Lukita dan Andy Ho menjadi semakin akrab. Sementara om Dony pada keesokan paginya menelpon dan bahkan telah mengundang mereka bertiga untuk bukber pada malam harinya.
“Jangan lupa ya Bian, ajak Lukita dan Andy”, - pesan om Dony.
Lokasi untuk bukber alias makan malam itu terletak di pinggiran kota dimana terdapat kolam pemancingan ikan. Dihari-hari biasa, pengunjung biasanya melakukan kegiatan memancing dahulu yang hasilnya kemudian di masak dengan beberapa menu sesuai pilihan. Menu ikan gurame bakar atau ikan bumbu pesmol menjadi andalan rumah makan ini.
Tetapi di bulan Ramadhan ini nampaknya kegiatan mancing di malam hari di tiadakan.
Di pojok kiri, terlihat tubuh om Dony yang jangkung itu melambaikan tangannya yang juga nampak panjang kepada mereka bertiga. Rambut om Dony kini di kuncir di belakang sementara senyumnya yang lebar seolah semakin menunjukkan betapa hidung om Dony benar-benar sangat mancung mirip burung betet.
Di sebelah om Dony, duduk seorang pria bertubuh sedang dengan wajah yang cerah. Rambutnya sudah di tumbuhi dua warna tetapi nampak tebal dan sehat dengan sisiran di belah samping. Ia segera berdiri dan menyambut ketiganya.
Om Dony memperkenalkan mereka.
“Ini adalah Kapten Hardy, beliau atasan saya di BNN – Jawa Timur ini”, - kata om Dony.
Dimata ketiga anak muda itu, Kapten Hardy merupakan pribadi yang ramah dan cenderung mau mendengar perkataan dan saran orang lain. Tidak jarang ia mengeluarkan ‘joke-joke’ segar sehingga suasana menjadi sangat cair. Tipikal pejabat semacam Kapten Hardy ini agaknya yang menjadi idola banyak orang sebagaimana banyak di sebut-sebut di social media.
“Saya sudah mendengar beberapa hal tentang Kapten Hardy dan sesungguhnya saya termasuk follower Kapten di Twitter”, - kata Andy Ho.
“Benarkah?”, - Kapten Hardy tertawa - ,”Tapi Andy, dan juga Bian serta Lukita, tolong jangan panggil aku dengan sebutan Kapten. Sebagaimana om Dony, panggil saja aku om Hardy. Rasanya terdengar lebih enak dan membuat aku lebih leluasa dalam bersikap terutama dengan anak-anak muda seperti kalian bertiga”
Malam itu om Hardy bercerita tentang kejadian kemarin malam dimana ketiganya kemudian terlibat dalam penangkapan beberapa orang yang ternyata adalah anggota sindikat narkoba.
“Sebenarnya kemarin malam itu aku hanya minta om Dony untuk membuntuti kedua pria yang selama ini berhubungan dengan Rudy teman kuliah Lukita itu. Akan tetapi nampaknya keadaan berkembang tidak terduga dan om Dony bersama kedua kawannya menutuskan untuk menangkap mereka berempat saat itu juga”, Om Hardy bercerita sambil membasahi tenggorokannya dengan es jeruk melalui sedotan.
“Ternyata ada hal yang luput dari perhatian kita, dua orang pria yang berhubungan dengan Rudy itu justru dalam pengawasan oleh komplotan mereka. Sehingga ketika kita akan tangkap, ternyata om Dony harus menghadapi bukan lagi 4 orang melainkan 7 orang. Untunglah kita berhasil menangkap 4 orang meskipun Rudy ternyata harus tewas. Sesungguhnya tiga di antara mereka sangatlah tangguh. Seorang anggota kami sekarang masih dalam perawatan instensif di RS Bhayangkara, sementara seorang yang berkumis tebal yang telah diselamatkan Lukita keadaannya kini sudah membaik”
“Luk, pria berkumis itu namanya om Lukman dan dia titip salam serta rasa terimakasih yang tidak terhingga kepadamu”, - sambung Om Hardy -,” Dia sungguh heran dan bercerita kepadaku, bagaimana mungkin seorang gadis cantik sepertimu bisa melakukan tendangan miring yang mematikan itu?”
Wajah Lukita terlihat semburat merah karena malu, tetapi dengan cepat sikap tomboy-nya muncul.
“Itu karena aku rajin berdoa om”, - sahutnya cepat.
Mereka yang mendengar jawaban Lukita itu tidak bisa menahan tertawanya.
“Sesungguhnya, tangkapan kemarin malam itu termasuk yang terbesar dan merupakan prestasi bagi kami di BNN Jatim. Apalagi Bian telah dengan berani menunjukkan aksi heroiknya sehingga mobil yang di dalamnya berisi banyak bukti itu dapat kita sita”, - kata om Hardy sambil menatap Bian.
“Ah, itu spontan saja om”, - Bian berusaha menjawab sewajarnya.
Tetapi sementara mereka berbicara, Kapten Hardy menangkap ada sesuatu yang hendak diungkapkan oleh Andy. Hanya saja Andy terlihat ragu-ragu dan menunda-nunda.
“Andy, nampaknya ada sesuatu yang menganggu hatimu dan ingin kau sampaikan. Jangan sungkan An, ada apakah? “, - kata Om Hardy langsung ke Andy.
Andy nampak sedikit terkejut sehingga gelagapan.
Salam,

JEJAK YANG TERPILIH - Day-25

#NulisRandom2017
JEJAK YANG TERPILIH
Lemparan Maut
Day-25


Om Dony seolah baru tersadarkan, ia kaget bukan main karena di dalam mobil itulah semua bukti kejahatan berada. Jika mobil itu sempat kabur dan semua barang-barang bukti itu ikut terbawa, maka sia-sialah usahanya untuk menangkap orang-orang ini.
Sambil berteriak keras om Dony segera berlari ke arah mobil itu untuk mencegah pria itu melarikan mobilnya.
Tetapi agaknya gerak pria itu cukup cepat, sambil menutup pintu dengan menekan tombol ‘central lock’ ia segera menyalakan mesin mobil. Meskipun om Dony sudah menyusul dan berusaha membuka paksa pintu itu, tetapi ia tidak berhasil. Dalam sekejab mobil itu justru melesat meninggalkan lokasi dan tubuh om Dony bahkan hampir saja terseret karenanya, tubuhnya terhuyung-huyung hampir saja terjatuh.
Dengan wajah merah menahan amarah om Dony berdiri sambil mengatur nafasnya.
Tetapi Bian yang cukup mengenal daerah itu segera berlari mendekati om Dony sambil mengambil tiga buah batu sebesar telur dari tepi jalan. Ia tahu pasti bahwa di depan adalah jalan buntu, karena jalan ke akses perumahan yang baru belum di buka. Ujung jalan buntu itu berupa gundukan tanah yang cukup tinggi sehingga kendaraan yang melintas harus berputar balik melalui “U-turn” yang ada di ujung.
Jalan di depan mini market itu adalah jalan kembar dan Bian yakin mobil itu akan berputar lalu mengambil jalan di seberang yang dibatasi dengan median taman mini itu.
“Om Dony, mobil itu pasti putar balik!”, - teriak Bian.
Tiba-tiba saja Bian berlari maju kedepan lalu menyeberang melompati media jalan mendahului om Dony. Ia sempat berteriak dan menyuruh agar semua orang yang menonton itu menyingkir.
Sesaat kemudian ia melihat mobil SUV itu sudah berbalik dan melaju kencang ke arahnya yang berdiri di tengah-tengah jalan.
Pengemudi SUV hitam itu agaknya sadar akan adanya seseorang yang menghadangnya dengan berdiri tepat di tengah jalan.
“Agaknya kau sudah bosan hidup!”,
Pengemudi itu mengumpat keras sambil menekan pedal gas sedalam mungkin sehingga mobil itu melesat kencang hendak menabrak tubuh Bian.
Seluruh syaraf di tubuh Bian menegang, adrenalin di tubuhnya terpacu dan menggelegak tak tertahankan. Matanya memandang tajam ke depan tanpa berkedip seolah ia tidak menghiraukan keadaan lain di sekitarnya. Pandangannya hanya terfokus pada satu titik!
Dalam jarak jangkau yang diyakininya, kedua tangan Bian tiba-tiba bergerak dengan sangat cepat. Dari tangan-nya melesat dengan sangat cepat tiga buah batu yang meluncur secara berturut-turut dengan jeda waktu yang sangat tipis.
Lalu tanpa melihat hasil lemparannya, Bian segera melompat ke samping dengan seluruh kecepatan yang ia miliki. Bian berhasil melompati median jalan yang berupa taman mini yang dibatasi gundukan beton setinggi kurang lebih 30 cm itu dan menyeberang ke sisi jalan yang lain.
Sementara itu, batu yang dilemparkan Bian meluncur lurus menghantam kaca mobil yang tepat di depan wajah si pengemudi mobil SUV itu. Terdengar bunyi bagai ledakan keras ketika batu yang pertama itu membentur kaca depan mobil dan membuatnya retak. Batu kedua dan ketiga mempunyai ketepatan arah yang sama persis dengan batu pertama, sehingga ketika kaca mobil itu retak akibat lemparan batu pertama, maka batu kedua mampu memecahkan kaca mobil itu hingga rontok berkeping-keping jatuh ke bawah. Inilah sifat dari kaca Kristal yang kebanyakan di pakai di mobil.
Hal yang tidak di duga oleh pengemudi mobil SUV hitam itu adalah ketepatan luncuran batu yang ketiga. Karena sudah tidak ada penghalang, batu itu melesat melewati kaca dan dengan telak mengenai jidat pengemudi tersebut.
Terasa betapa jidatnya itu bagai dihantam palu besi, sakit dan perih tak tertahankan. Kepalanya langsung pening sementara matanya berkunang-kunang, ia merintih kesakitan dan kehilangan kendali atas mobil yang di kemudikannya. Matanya tiba-tiba saja menjadi gelap.
Mobil itu terlihat oleng ke kanan sebelum kemudian menabrak median jalan. Tetapi agaknya daya luncur mobil itu sangat kencang sehingga setelah menabrak median jalan, ternyata mobil itu masih terseret dan bahkan berputar dua kali lalu menabrak sebuah pagar yang terletak di sisi kiri jalan. Mobil itu baru berhenti meluncur setelah ban bagian kirinya terperosok masuk got terbuka yang lebarnya hampir satu meter.
Posisi mobil itu kini miring ke kiri dengan mesin yang masih menyala. Dari kap depan mobil SUV hitam itu keluar asap yang cukup tebal.
Sementara itu Bian berusaha untuk kembali berdiri tegak. Dadanya berdebar kencang, sementara tubuhnya terasa agak sakit akibat lompatannya yang tergesa-gesa sehingga ia jatuh ke aspal tidak dalam posisi yang baik.
Lukita dan Andy dengan tergesa-gesa mendekati Bian, keduanya menampakkan wajah yang tegang. Tetapi ketika dilihatnya Bian sudah berdiri dan berusaha tersenyum, hati mereka merasa tenang.
“Saiki ko’on sing gendeng mas!”
Salam,

JEJAK YANG TERPILIH - Day-24

#NulisRandom2017
JEJAK YANG TERPILIH
Tendangan Menyusur Tanah
Day-24


Tepat di saat suara suitan itu menggema, serangan Andy dengan dahsyat melanda lawannya. Tangan kanan dan kirinya secara bergantian memberikan pukulan-pukulan telak di dada lawan. Terkadang tangan itu mengepal lalu berubah dengan telapak tangan terbuka dan jari yang merapat. Demikian berulang-ulang dan bergantian menghantam dada, sebelum kemudian sebuah tamparan keras mengenai kening lawannya yang membuatnya mengaduh dan terlempar.
Pria yang menjadi lawan Andy itu merasakan betapa dadanya bagaikan di pukul menggunakan palu serta lembaran besi yang teramat keras secara bergantian. Dadanya menjadi sesak dan agaknya pukulan-pukulan itu sudah melampaui daya tahan tubuhnya, sehingga ia ambruk dan terduduk di atas aspal.
Bian berseru kagum melihat gerakan Andy yang sedemikian efektif dalam menjatuhkan lawan. Tetapi belum sempat ia menyatakan kekagumannya, dilihatnya dua pria yang masih bertarung melanda om Dony serentak dan dengan serangan yang mematikan. Om Dony terpaksa melompat mundur untuk menghindar dan mengambil jarak.
Saat itulah tiba-tiba kedua pria itu justru berbalik dan berlari meninggalkan arena pertarungan menyusul pria pertama yang lolos setelah melepaskan diri dari Bian.
“Minggir!”
Sambil berteriak keras mengancam orang yang mengelilingi arena pertarungan itu, kaki mereka bergerak cepat.
Semua kejadianitu berlangsung dalam waktu yang teramat cepat. Om Dony, Bian maupun Andy merasa terlambat beberapa langkah seandainya harus mengejar kedua orang itu.
Salah seorang diantaranya menyusup diantara dua mobil yang terparkir di pinggir jalan sebelum kemudian ia melompat pagar dan melintasi halaman sebuah gedung pemerintahan. Halaman itu hanya diterangi lampu yang temaram sehingga sesaat kemudian bayangan pria itu sudah hilang tertelan gelap malam.
Tetapi agaknya tidak demikian yang terjadi dengan pria terakhir yang hendak melarikan diri itu. Ketika orang-orang yang mengelilingi arena pertarungan itu menyibak, ia segera menerobos dan berlari cepat ke depan. Perhatiannya terampas ke jalan dan kondisi di depannya sehingga ia tidak sadar ketika ada sepasang kaki yang meluncur rendah menyusuri tanah. Sepasang kaki yang di bungkus celana jeans itu bergerak sangat cepat dan dengan sengaja membidik kaki pria yang hendak kabur itu saat kaki kirinya terangkat. Pada saat yang tepat kedua kakinya justru menghantam kaki kanan pria itu sehingga ia sama sekali kehilangan tumpuan. Pria itu terjungkal dan jatuh di jalanan beraspal.
Saat itulah Bian bergerak cepat, tubuhnya melesat cepat sambil melancar sebuah tendangan berputar yang rendah dan langsung menghantam dada pria yg baru terjatuh di aspal itu. Terdengar pria itu mengeluh pendek dan kemudian terdiam tanpa bisa bangkit lagi. Pingsan.
Sementara itu Bian langsung mendekati seseorang yang baru saja melakukan tendangan menyusur tanah dan menghalangi kaburnya pria terakhir lawan om Dony itu. Dengan wajah dan nada kuatir ia berseru keras.
“Gendeng ko’on iku Luk. Kenapa ikut-ikutan”
Adalah Lukita yang ternyata telah menghambat lari pria itu dengan melakukan tendangan rendah menyusur tanah. Ia bangkit tetapi wajahnya justru terlihat cerah dan berseri-seri.
“Mas, tadi itu maksudku akan melakukan jurus ‘gunting melipat’, cuman melihat larinya yang cepat dan tenaganya yang besar aku kuatir justru aku yang terpelanting”, - jawabnya tanpa menghiraukan kekuatiran Bian.
Pengalaman barusan membuat rasa kepercayaan dirinya melambung tinggi.
Andy yang sudah berada di dekat mereka ikut menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Gendeng temen ko’on iku Luk. Tadi itu bahaya sekali”, - desis Andy.
Sementara itu om Dony terlihat mengumpulkan ke-empat pria yang tidak bisa melarikan diri dan menempatkannya di depan halaman mini-market. Kedua tangan mereka masing-masing di ikat dengan segel sementara berwarna putih yang di tarik dengan keras sehingga bahkan menyakiti kulit luar tangan mereka. Setelah menelpon dan menunggu bantuan dari kantor polisi, om Dony segera melangkah mendekati Bian, Andy dan Lukita, sementara ia minta agar pria berkumis lebat itu mengawasi ke-empat tawanan itu.
Tetapi sebelum om Dony menyatakan rasa terimakasih dan kekagumannya kepada anak-anak muda itu, Bian justru menggamit tangan om Dony sambil tangannya menunjuk ke arah sebuah mobil SUV warna hitam. Saat semua perhatian orang terampas dengan hasil pertarungan itu, seseorang nampak sedang mlipir pelan-pelan lalu menempelkan badannya tepat di pintu mobil. Agaknya ia sengaja tidak membuka menggunakan remote control yang bisa memancing perhatian.
Sejenak kemudian orang itu sudah masuk ke dalam mobil.
“Om, gerak-gerik orang itu mencurigakan!”, - bisik Bian.
Salam,

JEJAK YANG TERPILIH - Day-23

#NulisRandom2017
JEJAK YANG TERPILIH
Melarikan Diri
Day-23

Terdengar sebuah benturan yang cukup keras di iringi sebuah teriakan tertahan.
Pemuda teman Rudy yang sedang sibuk menekan dan menghajar laki-laki berkumis itu tidak sempat mengelak ataupun menangkis. Tendangan miring kaki Lukita dengan telak bersarang di dada pemuda itu yang menyebabkan tubuhnya terlempar sejauh kurang lebih sekitar tiga meter. Ia roboh diatas jalanan aspal dan merintih kesakitan, tetapi agaknya daya tahan tubuhnya masih cukup baik.
Dengan tertatih-tatih ia berusaha bangkit sambil matanya memandang Lukita dengan penuh kemarahan. Ia tidak menyangka bahwa yang menyerangnya adalah seorang gadis yang dikenalnya sebagai kenalan Rudy.
Meskipun tendangan itu begitu telak, namun agaknya tenaga gadis itu tidak begitu besar sehingga ia masih mampu bertahan. Karena itu ia berniat untuk menyerang balik gadis yang meskipun terlihat menarik tetapi sangat menjengkelkan itu.
Tetapi Lukita sama sekali tidak ingin membuang waktu, melihat lawannya yang berusaha bangkit ia segera melompat mendekat dan sebuah tendangan berputar alias ‘turning kick’ dengan telak mendarat di pelipis pemuda kanan itu. Gerakan Lukita yang cepat tanpa keraguan itu sama sekali tidak memberi kesempatan pemuda itu untuk bereaksi.
Akibat tendangan di pelipis itu, tubuh pemuda itu bagaikan terputar dan kemudian terbanting di tanah dengan keras. Meskipun tidak langsung pingsan, tetapi pemuda itu hanya bisa merintih dan sulit untuk bangkit. Sekujur tubuhnya terasa sakit sementara tenaganya memang sudah terkuras habis.
“Gila, kecepatannya luar biasa”, - rintihnya dalam hati.
Melihat lawannya sudah tidak bangkit lagi, Lukita segera bergeser dan membimbing laki-laki berkumis tebal itu untuk menepi. Wajah laki-laki itu terlihat penuh darah, tubuhnya sangat lemah sementara kakinya hampir-hampir tidak mampu menopang tubuhnya lagi.
“Om, kita minggir dulu”, - Lukita mencoba menenangkan laki-laki itu.
Laki-laki berkumis tebal itu tidak menjawab, tetapi ia menuruti ajakan Lukita untuk bergeser minggir dan kemudian duduk bersandarkan tiang listrik. Ia mencoba mengatur nafasnya yang memburu.
Sementara itu hampir di saat yang bersamaan, pukulan tangan Bian dengan telak telah menghujam di dada lawannya yang sudah terlihat lemah akibat totokan tangan sebelumnya yang membuat perutnya mual. Salah satu lawannya itu langsung roboh dan merintih kesakitan. Agaknya ia sudah tidak mampu lagi melanjutkan pertarungan.
Bian sengaja tidak melancarkan serangan susulan karena lawannya yang kedua tiba-tiba saja menyerangnya dengan sebuah tendangan tinggi sambil melayang di udara. Ketika tubuh yang melayang itu sudah dalam jarak jangkau serangan, kaki pengeroyok kedua itu dengan cepat terayun dan berputar dari atas ke bawah serta mengancam kepala dan wajah Bian. Gerakannya sangat cepat dan bertenaga sangat besar.
“Ah…”
Bukan main terperanjatnya Bian dengan gerak serangan itu. Sejauh pengamatannya, lawannya ini memang yang paling tangguh di bandingkan teman-temannya yang lain. Hanya saja sepanjang pertarungan sebelumnya, Bian melihat bahwa orang ini hanya mengandalkan gerakan-gerakan tangan dan kaki mendatar yang disertai kekuatan yang besar saja.
Tak dinyana, kini ia melihat lawannya itu melancarkan serangan melalui tubuhnya yang terbang di udara sambil memutar kakinya yang tentu saja perputaran kaki itu di lambari gerak putar badan yang membuat tenaga yang tersalur menjadi besar sekali. Inilah sebuah tendangan putar di udara yang sangat di kuasai oleh orang-orang Korea.
Bian tidak berani beresiko untuk menangkis ataupun memapaki tendangan kaki itu dengan tangannya. Ia sadar akan besarnya tenaga tendangan itu dan karenanya ia tiba-tiba saja menjatuhkan tubuhnya ke aspal dan sambil berbaring ia menggelinding ke samping untuk mengambil jarak.
“Bukan main!”, - desis Bian.
Dengan cepat ia bangkit dan bersiap untuk menghadapi serangan berikutnya yang mungkin melandanya.
Melihat serangannya tidak berhasil, orang itu terdengar mengumpat keras .
”Sungguh anak muda yang tangguh”, desis orang itu dalam hati.
Ia sempat mengamati keadaan kawan-kawannya yang agaknya justru terdesak dan bahkan sudah ada yang roboh. Keadaan kini tidak menguntungkan pihaknya.
“Semakin lama pertarungan ini, maka akan mengundang anggota polisi yang lain untuk datang serta melibatkan diri”, - geramnya dalam hati.
Karena itu, tiba-tiba saja ia mengambil keputusan yang tidak di sangka-sangka oleh Bian.
Laki-laki itu dengan cepat membalikkan badannya dan berlari menjauh sambil melekatkan jari tangan kanannya ke mulut. Sejenak kemudian terdengarlah suara suitan nyaring membelah udara malam sebagai tanda bagi teman-temannya untuk melarikan diri.
Bian terkejut dengan tindakan lawan yang melarikan diri itu. Ada niatnya untuk mengejar, tetapi ia segera mengurungkannya ketika ingat akan keberadaan adiknya di pinggir arena pertarungan ini.
Sementara tubuh orang itu sendiri sudah lenyap tertutupi oleh beberapa mobil yang parkir di pinggir jalan atau bahkan mungkin ia sudah berbelok di simpang tiga yang letaknya juga tidak terlalu jauh dari lokasi pertarungan.
Salam,

JEJAK YANG TERPILIH - Day-22

#NulisRandom2017
JEJAK YANG TERPILIH
Wing-Chun
Day-22

Bayangan itu bergerak tanpa ragu dan langsung mengambil alih salah seorang pengeroyok Bian. Gerakannya cepat dan bertenaga, tangannya mengepal dan terjulur melakukan pukulan lurus ke arah lawan. Ketika lawannya sempat bergeser ke samping dan lepas dari pukulan itu, tiba-tiba kepalan tangan itu terbuka dan melakukan tamparan ke samping dengan cepat.
Lawannya terkejut melihat pola serangan yang berubah dengan cepatnya. Ia tidak sempat menghindar sehingga pelipisnya terpaksa harus menerima tamparan itu yang membuatnya terhuyung-huyung ke samping.
“Andy!”
“Ko Andy!”
Hampir berbarengan Bian dan Lukita meneriakkan sebuah nama.
Bayangan yang dipanggil namanya itu memang Andy Ho, ia berdiri tegak menghadapi lawan yang baru saja di ambilnya dari salah seorang pengeroyok Bian.
Tanpa memalingkan muka, ia berteriak.
“Bian, aku tidak tahu masalahnya. Tetapi bahwa kau di keroyok tiga orang itu sudah cukup alasan buatku untuk ikut campur”
Bian yang mendengar teriakan Andy tidak bisa langsung menjawab karena ia harus menundukkan kepalanya rendah untuk menghindari sebuah tendangan kaki melingkar dari salah seorang pengeroyoknya. Ia kemudian sempat melontarkan dirinya untuk mengambil jarak sebelum kemudian sambil tertawa ia berteriak kepada Andy.
“An, aku juga tidak tahu masalahnya. Aku hanya membantu polisi yang sedang di keroyok oleh enam orang ini. Nah, mari kita berlomba siapa yang lebih cepat bisa menundukkan lawan”
Begitu kalimatnya selesai, tubuh Bian melesat dan melakukan tendangan putar ke arah kedua lawannya secara berurutan, ia mengincar tubuh bagian atas lawan. Sementara kedua lawannya itu bisa merasakan angin yang menyertai tendangan itu begitu keras menampar wajahnya, segera mereka bergerak ke samping agar terhindar dari ayunan kaki yang mengancam kepala mereka.
Dengan merendahkan diri dan menggeser tubuhnya ke samping, keduanya terhindar dari ayunan kaki Bian yang cepat itu. Tetapi satu hal yang tidak mereka duga adalah kecepatan gerak dan serangan lanjutan yang di lancarkan Bian. Begitu kakinya lepas dan hanya menyambar udara kosong, tiba-tiba Bian menundukkan tubuhnya dan bahkan menjatuhkan dirinya ke tanah, kakinya berputar cepat melakukan sapuan menyusuri tanah dan menyambar kaki lawan yang berdiri paling dekat dengannya.
Gerakan itu begitu cepat dan tidak terduga, tanpa sempat menghindar, betis bagian belakang salah seorang pengeroyok itu tersapu ayunan keras kaki Bian dan membuatnya jatuh terjungkal. Punggungnya membentur jalanan beraspal dan terasa nyeri.
Tetapi Bian tidak sempat melakukan serangan susulan karena ia harus bergeser ke samping untuk menghindari serangan lawannya yang lain yang datang membadai mengancam dadanya.
Andy yang melihat semangat Bian menjadi ikut terpacu.
Segera ia melibat lawannya itu untuk bertarung dalam jarak dekat. Tangan Andy menyambar-nyambar sementara kakinya bergeser dengan cepat menyesuaikan gerak tubuhnya. Serangan tangannya terkadang terjulur lurus ataupun menyamping dan disaat yang tidak terduga, tangan atau lengan itu bisa tertekuk dengan cepat sehingga siku tangannya yang justru mengancam tubuh lawan.
Demikian juga tangannya yang terkepal, tiba-tiba saja bisa terbuka dengan cepat dan melakukan sebuah tamparan ke samping yang mengagetkan lawannya.
Bian yang menyaksikan gaya bertarung Andy Ho selintasan segera mengenali gerakan-gerakan itu.
“Wing-Chun!”, - desisnya tanpa sadar.
Ia pernah menyaksikan gaya bertarung seperti yang di tunjukkan Andy itu. Seseorang yang menguasai gaya bertarung itu biasanya selalu di tunjang dengan tangan atau lengan yang sangat kuat. Mereka berlatih menggunakan sarana tiang kayu yang di beri cabang-cabang yang bersilangan. Cabang kayu yang letaknya bersilangan itu mereka pukul menggunakan punggung tangan, siku, kepalan, telapak tangan atau hampir seluruh bagian tangan. Tidak mengherankan, anggota tubuh khususnya bagian tangan mereka yang mempelajari jenis almu bela diri ini terlihat keras dan berotot.
Dengan masuknya Andy Ho yang mengambil alih seorang lawan Bian, maka keseimbangan pertarungan itu menjadi berubah dengan sangat cepat. Ternyata dalam waktu yang pendek Andy langsung bisa memberikan tekanan yang berat ke lawannya yang memang sudah mulai terlihat letih. Sementara Bian menjadi sangat longgar dan kini justru mendesak kedua pengeroyoknya. Beberapa pukulan tangan dan kakinya sempat bersarang di tubuh kedua lawannya dan bahkan seorang lawannya yang tadi terjungkal akibat sapuan kakinya terlihat sudah melemah karena menahan sakit di punggungnya, geraknya terasa melambat.
Sementara itu, pertarungan om Dony yang dikeroyok kedua lawannya masih terlihat seru. Agaknya tenaga mereka sama-sama terkuras karena sudah bertarung sekian lama. Akan tetapi sambaran tangan dan kaki mereka masih cukup kuat dan berbahaya jika mengenai tubuh lawan.
Lukita yang berdiri diluar dan mengamati jalannya pertarungan menjadi agak lega dengan kehadiran Andy Ho. Ia tidak lagi perlu mengkhawatirkan keadaan Bian yang kini justru berbalik mendesak meskipun dikeroyok dua orang.
Tetapi hati Lukita tercekat ketika dilihatnya laki-laki berkumis tebal - teman om Dony - itu ternyata kondisinya semakin lemah. Meskipun kini ia hanya melawan satu orang, tetapi agaknya tenaganya sudah terkuras habis saat menghadapi keroyokan tiga orang sebelumnya. Kebetulan lawannya adalah seorang pemuda yang merupakan teman Rudy ketika mengunjungi café.
Laki-laki berkumis itu seolah kembali menjadi bulan-bulanan tanpa sempat menangkis ataupun membalas serangan.
Saat itulah Lukita sudah tidak bisa menahan diri ataupun membuat pertimbangan-pertimbangan lain. Tanpa berpikir panjang ia segera berkelebat, tubuh dan kakinya miring sejajar seolah ia sedang berbaring dan mengancam dada pemuda teman Rudy itu.
Tubuhnya melesat bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya.

Salam,

Tuesday, June 20, 2017

JEJAK YANG TERPILIH - Day-21

#NulisRandom2017
JEJAK YANG TERPILIH
Munculnya Sesosok Bayangan
Day-21


Gerakan Bian yang cepat dan bertenaga itu benar-benar membuat kaget dan kalang kabut ketiga orang yang semula mengeroyok om Dony. Dua orang diantara ketiganya segera mengenali Bian sebagai pemuda yang tadi memberi pelajaran kepada Rudy yang kini tergeletak ditanah.

Tetapi agaknya mereka adalah orang-orang yang sangat berpengalaman dalam dunia kekerasan. Kalau tadi mereka membiarkan dan bahkan mencegah Rudy untuk memperpanjang urusan, itu karena mereka sedang tergesa-gesa dalam sebuah urusan yang sangat penting. Bukan karena gentar atas tindakan Bian terhadap Rudy, apalagi saat itu Bian hanya seorang diri bersama adik perempuannya.

Segera dua orang diantaranya mengurung dan melayangkan serangan berbarengan ke arah Bian. Seorang mengincar pelipis Bian dengan ayunan tangan kanannya yang keras sementara yang seorang lagi mengayunkan kakinya dengan tendangan sabit yang mengancam perut Bian.

Akan tetapi Bian sama sekali tidak gugup, dengan keyakinan tinggi tiba-tiba saja ia meloncat maju  justru memapaki tubuh penyerang yang mengancam perutnya dengan tendangan kaki. Ia sama sekali tidak menghiraukan serangan yang mengincar pelipisnya, karena dengan meloncat maju sambil memiringkan tubuhnya itu ia otomatis terhindar dari jangkauan ayunan tangan yang keras itu.

Gerakan Bian sedemikian cepat bahkan mendahului kecepatan kaki penyerangnya. Sebelum lawannya menyadari keadaan, tubuh miring Bian langsung menabraknya sambil menyarangkan sebuah totokan keras ke perut lawan. Meski dilakukan dengan tergesa-gesa, tetapi totokan itu membuat lawannya mengaduh karena merasakan perutnya bagaikan diaduk. Tubuh orang itu terlontar kebelakang beberapa langkah dan tanpa sadar ia membungkuk sambil memegangi perutnya dengan kedua tangannya.

Perhatian Bian langsung beralih dan dengan cepat tubuhnya melayang dan melancarkan sebuah tendangan dari arah samping justru kepada orang yang sedang melibat om Dony. Tetapi orang itu melihat serangan yang datang dan sadar akan datangnya bahaya, ia melompat mundur untuk menghindari kaki Bian dan mengambil jarak.

“Cepat om, bantu teman om Dony dan tinggalkan mereka bertiga ini”, - Bian kembali berteriak.

Om Dony yang melihat tandang Bian itu menjadi berdebar-debar. Bagaimanapun juga ia merasa sangat kuatir mengingat lawan yang mereka hadapi kali ini sesungguhnya adalah mereka yang sudah berkecimpung dalam dunia kekerasan cukup lama. Sementara ia mengenal Bian hanya sebatas pemuda penggemar olah-raga Parkour belaka.

Tetapi ketika matanya sempat mengamati keadaan temannya yang berkumis tebal, hatinya tercekat bukan main. Temannya itu kini menjadi bulan-bulanan ketiga lawannya tanpa sempat membalas.

Dalam keadaan seperti itu om Dony memang harus cepat bersikap.

“Hati-hati Bian, aku akan segera kembali!”

Sambil berteriak tubuh om Dony melesat dan melancarkan serangan dari arah belakang kepada pengeroyok temannya yang berkumis tebal itu.

Akan tetapi orang itu agaknya merasakan sambaran angin dari belakang yang mengancam tengkuknya, sehingga dengan sebat ia justru menggelindingkan tubuhnya serendah mungkin ke depan sehingga terhindar dari serangan om Dony.

Sementara seorang diantaranya kemudian menyambut serangan om Dony, dan seorang lagi masih berusaha mengejar dan menekan laki-laki berkumis tebal itu.

Kini terjadi tiga lingkaran perkelahian. Bian melayani tiga orang lawannya, om Dony berusaha menekan dua orang pengeroyoknya sementara laki-laki berkumis itu kini hanya menghadapi seorang lawan sehingga ia mulai bisa manata perlawanannya dengan lebih baik.

Demikianlah, tiga lingkaran perkelahian itu segera berkobar dengan sengitnya. Mereka masing-masing bergerak dengan cepat, menyerang, menghindar ataupun menangkis serangan. Meskipun sudah berjalan sekian lama, tetapi belum nampak siapa yang lebih unggul dan menguasai pertarungan di masing-masing lingkaran pertarungan itu.

Beberapa orang yang menonton perkelahian itu dari kejauhan sama sekali tidak berani ikut campur. Mereka tidak tahu permasalahan dan sebenarnya juga cukup ngeri melihat pertarungan yang keras itu.

Lukita yang melihat tiga lingkaran perkelahian itu menjadi sangat tegang. Ia sadar Bian akan mengalami tekanan yang paling berat karena pengeroyoknya kini berjumlah paling banyak. Terlintas dalam pikirannya untuk melibatkan diri, tetapi ia ragu-ragu dan kuatir itu nanti justru membuat Bian mencemaskannya hingga tidak bisa berkonsentrasi. Ia sangat mengenal sifat kakaknya itu.

Ketika pertarungan semakin memuncak, Lukita merasa serba salah. Sesungguhnya melihat gerak orang-orang yang begitu keras dan kasar, hatinya sedikit gentar. Tetapi di saat Bian yang dikeroyok tiga orang – meskipun saat ini belum terdesak – ia tidak bisa tinggal diam. Segera di kencangkannya ikat pinggang dan ia bermaksud memasuki arena pertarungan.

Saat itulah muncul sesosok bayangan yang berkelebat cepat memasuki lingkaran pertarungan!



Salam,

Monday, June 19, 2017

JEJAK YANG TERPILIH - Day-20

#NulisRandom2017
JEJAK YANG TERPILIH
Om Dony – Sang Intel
Day-20


Malam sudah menunjukkan pukul 21.48, Bian dan Lukita memutuskan untuk pulang. Mereka berjalan beriringan menuju lokasi parkir dimana hanya tinggal beberapa mobil yang masih berjejer. Meskipun saat ini musim panas, tetapi ketika angin berhembus agak kencang di halaman terbuka itu, mereka masih bisa merasakan sedikit kesejukan yang mengusap kulit.

Tetapi langkah Bian tiba-tiba terhenti dan tangan kiri-nya dengan gerak reflek memegang lengan Lukita seolah memberi isyarat agar adiknya itu menghentikan langkahnya. Bian merasa aneh dengan keadaan tempat parkir yang sepi dan tukang parkirnya bahkan tidak nampak. Disaat yang hampir bersamaan, telinganya menangkap adanya suara-suara ribut dan bahkan bunyi bentakan yang susul menyusul.

Suara itu memang hanya lamat-lamat yang menunjukkan bahwa jarak sumber suara itu masih agak jauh dari tempat Bian dan Lukita berdiri. Hal itu membuat Bian kemudian berlari cepat ke pinggir jalan utama sambil menggandeng tangan adiknya. Rasa ingin tahu Bian ternyata membuatnya melangkah mendekati sumber suara itu meskipun di saat yang sama ia juga memikirkan keselamatan adiknya sehingga ia gandeng tangan Lukita erat-erat.

Berjarak tiga rumah dari café tempat mereka baru saja makan, ada sebuah mini-market yang buka 24 jam dan biasanya ramai pengunjung yang keluar masuk untuk membeli barang-barang kebutuhan rumah tangga. Di depan dan di samping mini-market itulah suara-suara itu muncul yang bersumber dari adanya dua lingkaran perkelahian yang terjadi dengan sengitnya.

Di lingkaran pertama, seorang pria dengan kumis tebal dan badan yang tegap nampak sedang di keroyok oleh tiga orang. Gerak pria berkumis ini nampak mantab dan mengandalkan tenaga-nya yang besar, ia tidak ragu untuk menangkis atau membenturkan anggota tubuhnya menahan keroyokan lawan. Tetapi menghadapi keroyokan tiga orang yang menyerangnya dari tiga penjuru membuat pria berkumis tebal itu mulai kerepotan. Beberapa kali tubuhnya terlempar ke belakang atau ke samping ketika serangan pengeroyoknya itu membadai dari segala arah dan tak sempat di tangkisnya.


Wajah pria berkumis itu bahkan nampak berdarah akibat sebuah hentakan tangan yang kuat mendarat di wajahnya. Dari bibirnya sudah meleleh darah segar.

Sementara di lingkaran ke-dua, seorang bertubuh jangkung dengan rambut panjang yang terurai hingga ke bahunya sedang menghadapi keroyokan tiga lawannya. Pria jangkung berambut panjang itu mempunyai hidung yang melengkung bagaikan burung betet, sementara matanya tajam bak burung elang. Jangkauan tangan dan kakinya terlihat lebih panjang dan ini sedikit menguntungkan dalam menghadapi keroyokan tiga lawannya.

Meskipun terdesak karena menghadapi tiga orang lawan, tetapi kondisi pria jangkung ini masih lebih baik dibandingkan pria berkumis tebal dan berbadan tegap di lingkaran perkelahian pertama.

“Om Dony”, - tanpa sadar Bian dan Lukita berdesis secara bersamaan.

Mereka berdua cukup mengenal pria jangkung berambut panjang itu sebagai tetangga Tante Werdine.

Tetapi yang membuat Bian dan Lukita kemudian juga terkejut adalah para pengeroyok dari dua lingkaran perkelahian tersebut. Tiga diantaranya adalah orang yang ada di café dan merupakan teman dari Rudy yang baru saja di beri pelajaran oleh Bian.

Dua orang yang cukup umur atau berumur sekitar 35-36 tahun sedang mengeroyok Om Dony alias pria bertubuh jangkung dan bermata elang dengan hidung melengkung seperti hidung burung betet. Sementara seorang pemuda seumuran dengan Rudy nampak sedang bergabung dan mengeroyok pria berkumis tebal di lingkaran pertama.

Tanpa sadar Bian maupun Lukita justru melangkah lebih dekat.

Saat itulah mereka baru menyadari adanya dua sosok tubuh yang terbaring di atas aspal. Sosok pertama terbaring diam sama sekali tidak bergerak, sementara disebelahnya berjarak sekitar satu setengah meter adalah sosok kedua yang terbaring dengan suara merintih kesakitan.


Yang membuat Bian dan Lukita lebih terperanjat lagi adalah kenyataan bahwa sosok yang terbaring dan diam tak bergerak itu ternyata mengenakan kaos biru. Ia tertelungkup diatas aspal sehingga wajahnya tidak kelihatan, tetapi dari potongan rambut, bentuk tubuh dan pakaian yang dikenakan, Bian dan Lukita dengan cepat segera mengenalinya.

“Rudy!”

Tanpa sadar mereka berdua saling berpandangan.

Dalam keadaan seperti ini pikiran Bian segera berputar cepat.
“Om Dony adalah anggota kepolisian yang sering menyamar, sementara Rudy dan teman-temannya ini pastilah para pengedar narkoba. Tetapi kenapa om Dony melakukan penangkapan kalau ternyata sekarang malah ia di keroyok?”

Tanpa berpikir panjang, Bian segera mengambil keputusan.

“Luk, tolong kamu minggir dulu”, - Bian membisiki adiknya - ,”Aku akan membantu om Dony. Tolong kamu awasi keadaan, siapa tahu masih ada kawan-kawan mereka yang terlibat”

Lukita yang mendengar bisikan kakaknya itu segera mengangguk dan berdiri di pinggir jalan agak menjauh.

Sementara Bian langsung melontarkan tubuhnya dan masuk ke dalam lingkaran kedua dimana om Dony sedang melayani tiga orang lawannya.

“Om Dony, aku minta ijin gabung”, - teriak Bian sambil melakukan serangan ke salah seorang dari tiga pengeroyok itu.



Kaki Bian menyambar lurus melakukan tendangan gejlig ke dada. Lawannya yang terkejut tidak sempat menghindar, akan tetapi ia masih bisa menyilangkan kedua tangannya di dada. Terjadilah benturan keras, yang membuat lawan Bian itu terhuyung-huyung ke belakang hampir saja ia terdorong jatuh. Tetapi ia ternyata masih bisa menguasai tubuhnya sehingga meski dengan susah payah ia berhasil berdiri tegak kembali.

Sementara itu, Bian tidak berhenti, tangannya langsung  menyambar kepala salah satu pengeroyoknya yang lain yang berada di dekatnya. Hanya saja lawannya itu sempat menundukkan wajahnya sehingga tangan Bian hanya lewat diatas kepalanya tanpa menyentuhnya sama sekali.

“Bian, jangan ikut campur. Mundur!”

Om Dony yang melihat kedatangan Bian dan langsung masuk ke lingkaran perkelahian itu tiba-tiba saja menjadi cemas. Ia tidak terlalu mengenal Bian, sementara tiga orang yang dilawannya kini adalah orang-orang yang terhitung buas.

Tetapi Bian seolah tidak mendengar suara om Dony, ia justru dengan cepat melancarkan serangannya kini ke arah orang ke-tiga yang sedang berusaha menekan om Dony. Ia memang berhasrat untuk mengambil alih ketiga pengeroyok om Dony ini.

“Om Dony, cepat bantu kawan om Dony yang berkumis tebal itu, ia memerlukan pertolongan segera. Biarlah sementara tiga orang ini aku layani.  Aku bisa menjaga diri!”

Tanpa menunggu jawaban, tubuh Bian berkelebat dengan cepat. Tangan dan kakinya menyambar-nyambar memberikan tekanan kepada tiga orang pengeroyoknya secara bergantian. Geraknya lincah dan menimbulkan kesiur angin yang tajam yang menandakan bahwa gerak itu mengandung tenaga yang cukup besar. Sekali mengenai sasaran agaknya akan membuat lawan terjungkal!



Salam,

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...