Sunday, July 30, 2017

BSG - BAB.IV - HSSG - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI
Bab IV: Hilangnya Seorang Swandaru Geni
Babak – 16



Matahari pagi memang sudah bersinar dengan terang sehingga meskipun mahkota pohon yang rimbun itu membuat bayangan atau naungan dibawahnya, akan tetapi mata Pandan Wangi dan yang lainnya dapat dengan jelas melihat siapa yang ada dibawah pohon preh besar itu. Hati mereka bertiga terasa sejuk bahkan Sekar Mirah tiba-tiba saja hendak berpacu ke depan supaya segera sampai di bawah pohon itu.


“Tunggu Mirah!”


Tangan Pandan Wangi memberi isyarat agar Sekar Mirah menahan diri, sementara sambil menajamkan tatapan matanya ia sempat berdesis kepada Kiai Garda - ,”Kiai,  bukankah saat ini pandangan kita tidak sedang menangkap sosok-sosok semu itu lagi?”


Kiai Garda tersenyum melihat kehati-hatian Pandan Wangi. Dengan suara yang rendah ia kemudian menjawab -,”Agaknya memang tidak Nyi, ternyata sekali lagi Ki Agung Sedayu sudah mendahului kita yang semalam suntuk berjalan melintasi hutan itu”


Pandan Wangi dan Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam seolah hendak membuang segala ketegangan yang selama ini bergelayut dalam dada dan perasaan mereka. Gilang yang melihat kedatangan mereka segera berlari mendekat sambil ditangannya memegang cambuk kecil yang merupakan pemberian dari Kiai Garda.


“Mengapa ibunda lama sekali?”, - tanya bocah kecil itu dengan polos.


Pandan Wangi terlihat mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan anak lelaki satu-satunya itu.  Sementara Kiai Garda dan Sekar Mirah justru tersenyum lebar, sambil melompat turun dari kudanya Kiai Garda bahkan tidak tahan untuk menjawab pertanyaan Gilang.


“Angger Gilang, cobalah bertanya kepada paman Agung Sedayu, apakah kita yang terlalu lamban ataukah perjalananmu yang terlalu cepat”


Sementara itu Agung Sedayu dan Ki Widura tampak berdiri dan menyambut kedatangan mereka bertiga - ,”Marilah, agaknya kita masih sempat beristirahat sejenak disini, sementara biarlah kuda-kuda itu minum air dari belik kecil disudut itu dan makan rumput sepuasnya”

Mereka segera mencari tempat terbaik untuk sekedar duduk dan melepas lelah. Ki Widura bahkan kemudian membuka bekalnya yang tersimpan dalam buntalan kain dan mengeluarkan beberapa potong ubi talas untuk sekedar mengganjal perut mereka yang hampir semalaman tidak terisi makanan sama sekali.


Akan tetapi sebelum mereka mulai menggigit dan menyuapi mulut dengan ubi talas yang sudah dingin itu, tiba-tiba Agung Sedayu justru bangkit berdiri sambil memberi isyarat agar semuanya diam dan  tetap duduk ditempatnya. Wajah Agung Sedayu terlihat sedikit menegang dan sambil melangkah maju ia berdiri dan mengamati keadaan sekelilingnya.


Cuaca begitu cerah dan angin pagi berhembus tidak terlalu kencang sehingga duduk dibawah pohon rindang ini terasa cukup nyaman. Akan tetapi bagi mereka yang sekarang duduk dibawah pohon itu, udara terasa panas dan bahkan penuh ketegangan.


Kiai Garda yang tanggap akan keadaan yang dirasakan Agung Sedayu itu segera ikut mengerahkan dan menajamkan seluruh panca indra serta panggraitanya hingga ke puncak. Sambil tetap duduk ditempatnya, Kiai Garda memang merasakan adanya sesuatu yang aneh dan cukup mencekam. Hanya saja ia tidak tahu apakah gerangan yang aneh dan mencekam itu, penglihatan batinnya terasa tertutupi oleh tabir tipis sehingga semuanya nampak remang-remang.


Agung Sedayu tiba-tiba saja melangkah kembali dan kemudian duduk di sebelah Gilang  yang sedang bersandar di batang pohon preh itu sambil membelai cambuknya. Bagi Gilang, cambuk itu kini menjadi sebuah benda yang sangat menarik dan tidak akan terpisah dari tubuhnya meskipun saat ini pikiran dan perhatiannya ikut tegang karena keadaan disekitarnya.


Sambil memperbaiki letak duduknya, tangan kanan Agung Sedayu kemudian meraih sesuatu dari balik kain panjangnya dan sesaat kemudian ia telah menggenggam sebuah benda kecil yang terbuat dari bambu. Agung Sedayu itu kemudian meletakkan ujung benda kecil itu di mulutnya dan meniupnya. Sesaat kemudian terdengarlah alunan nada yang mengalir lembut, mengalun mendayu-dayu seolah sedang membelai perasaan siapapun yang mendengarnya.


Bukan main terguncangnya perasaan Pandan Wangi, wajahnya tiba-tiba terasa panas sehingga tanpa sadar ia menundukkan kepalanya dalam-dalam. Suara seruling itu tiba-tiba saja melemparkan ingatannya melayang jauh ke belasan tahun silam. Ketika pertama kali ia mengenal seorang  penggembala muda yang bernama Gupita, yang secara bersama-sama telah berhasil melukai seorang gegedug tangguh yang bernama Ki Peda Sura. Masih terasa sentuhan tangan Gupita yang menarik lengan-nya dan mengajaknya untuk berlari-lari melompati pematang sawah agar terlepas dari kejaran pasukan dan anak buah Ki Peda Sura.


Cara dan suara seruling itulah yang juga digunakan Gupita untuk mengundangnya agar ia bisa keluar dari pasukannya dan menemui gembala yang biasanya selalu membawa berita untuk kepentingan pasukan Tanah Perdikan Menoreh saat itu.


Tiba-tiba alunan seruling itu nadanya berubah meninggi dan meliuk-liuk tajam luar biasa. Hal ini membangunkan Pandan Wangi yang kemudian berusaha sekuat tenaga untuk menguasai dirinya dan lepas dari kenangan yang selalu membelit ingatannya itu. Apalagi ia sadar bahwa saat sekarang ini mereka semua ada dalam keadaan yang cukup berbahaya serta mengkuatirkan keadaan suaminya yang belum diketahui keberadaannya.


Ketika yang lain sedang terpukau oleh alunan suara seruling itu, Kiai Garda justru berusaha memahami apa yang muncul akibat suara seruling yang ditiup Agung Sedayu. Mata batinnya bisa menangkap bahwa seruling itu kini tidak hanya sekedar mengeluarkan suara, melainkan mengandung sebuah energi batin yang mampu memampatkan udara. Energi itu bergulung-gulung semakin membesar seiring dengan nada suara seruling yang kadang naik tinggi sekali lalu tiba-tiba menukik tajam seolah sedang menangkap dan menghantam sasaran yang dituju. Kiai Garda seolah sedang melihat seekor burung rajawali yang terbang cepat ke angkasa untuk mengawasi mangsanya di bawah. Ketika mangsa itu sudah tertangkap oleh mata tajamnya, maka dengan kepak sayapnya rajawali itu bisa menukik tajam secepat tatit dan menyambar-nya dengan kuku-kukunya yang tajam.


Saat itulah bersamaan dengan nada yang menukik tinggi tajam, Agung Sedayu tiba-tiba saja menghentikan tiupan serulingnya secara mendadak. Pada saat yang sama terdengar suara gemeresak keras dan tiba-tiba saja telah jatuh berhamburan beberapa buah benda hitam tidak jauh dari tempat mereka duduk.


Suasana dibawah pohon preh itu terasa hening untuk sesaat, sebelum kemudian Gilang meloncat mendekati benda hitam yang jatuh dari ranting mahkota pohon itu sambil berteriak pelan.


“Burung gagak hitam paman”, - seru Gilang sambil mengamati dengan cermat - ,”Semuanya ada empat ekor dan semuanya mempunyai jambul yang indah. Mengapa ia tiba-tiba saja jatuh dan mati?”


“Kau salah Gilang, semuanya ada lima”, - Kiai Garda tiba-tiba menyela.


Gilang melengak, ia mencoba mengamati dan menghitung jumlah burung yang kini terbaring kaku ditanah, tetapi jumlahnya memang hanya ada empat. Dengan wajah bertanya-tanya, Gilang menoleh kepada Kiai Garda.


“Hanya ada empat paman”


“Lihatlah!”


Sambil berkata, jari Kiai Garda menunjuk ke arah jalanan bulak dan berjarak sekitar empat-lima tombak dari tempat mereka duduk. Agaknya ada satu ekor burung yang merupakan pemimpin dari burung-burung itu yang mempunyai daya tahan lebih tinggi dibanding empat ekor yang lain. Burung ini berusaha terbang menjauh ketika burung lainnya sudah rontok berjatuhan akibat serangan udara pampat yang keluar dari suara seruling Agung Sedayu. Akan tetapi belum sempat ia terbang menjauh, suara seruling Agung Sedayu terdengar mendengking tajam dan langsung menyambar serta mencekik pernafasan burung ini. Tak ayal, burung ke lima inipun jatuh dan tewas seketika bahkan sebelum tubuhnya menyentuh tanah.


Tanpa menunggu lebih lama, Gilang langsung melompat dan mengambil bangkai burung yang sudah kaku itu serta mengumpulkannya dengan yang lain. Meskipun ia tidak mengetahui urutan kejadiannya, tetapi Gilang meyakini bahwa terbunuhnya lima burung gagak ini ada hubungannya dengan tiupan seruling Agung Sedayu, pamannya.


“Apakah yang sebenarnya terjadi kakang?”, - tanya Sekar Mirah sambil berbisik.


Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam sebelum menjawab pertanyaan istrinya - ,”Marilah, sambil aku bercerita kita harus pula mengisi perut agar tubuh kita segar. Aku tahu dalam beberapa hari ini kita semua kurang beristirahat dan bahkan selalu dicengkam ketegangan serta mara bahaya. Sekarang kita bisa benar-benar beristirahat meskipun hanya sebentar. Aku kira tidak ada lagi yang mencuri dengar pembicaraan kita ataupun mengawasi kehadiran kita saat ini”


Semua yang hadir mengerutkan keningnya dan pandangan mereka semua beralih kepada lima bangkai burung yang tergeletak di tanah itu. Mereka memahami keterangan Agung Sedayu bahwa agaknya burung-burung gagak hitam inilah yang mengawasi kehadiran mereka disini.


Sambil mulai menikmati ubi rebus bekal yang dibawa Ki Widura, mereka mengajukan beberapa pertanyaan kepada Agung Sedayu.


“Semuanya begitu mencengkam dan aneh kakang, rintangan demi rintangan muncul susul menyusul tiada henti. Sebenarnya siapakah laki-laki berpakaian gelap itu dan apakah benar ia ada hubungannya dengan persoalan kita di Kali Belehan ini? Apakah kakang juga mengetahui adanya lima orang yang mati di gardu perondan itu?”, - Sekar Mirah mengajukan beberapa pertanyaan sekaligus.


Sebelum Agung Sedayu menjawab, tiba-tiba terdengar suara Gilang yang menyela - ,”Aku tahu bibi Mirah, orang yang di pukul paman Garda itulah musuh yang sesungguhnya. Sedangkan yang lain adalah bentuk semu ciptaan orang jahat itu”


Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Kiai Garda nampak terkejut.


“Darimana kau mengetahui itu Gilang”, - tanya Pandan Wangi penasaran.


“Aku bersama paman Agung Sedayu dan kakek Widura ada dibelakang ibunda dan melihat semuanya. Bahkan aku juga melihat sewaktu ibunda marah dan membantai lima ekor kelelawar di mulut hutan tadi malam. Kapan ibunda mengajari aku ilmu meringankan tubuh itu?”, - kata Gilang dengan polos.


“Ah”, - Kiai Garda, Pandan Wangi dan Sekar Mirah berdesis perlahan.


Mereka bertiga baru sadar bahwa ternyata perjalanan selama ini selalu dibayangi oleh Agung Sedayu yang mungkin mengkuatirkan keselamatan ketiganya. Diam-diam kekaguman mereka atas kemampuan Agung Sedayu semakin dalam. Sekar Mirah sendiri sesungguhnya sangat heran dan tidak dapat memahami cara belajar suaminya yang dalam waktu pendek kemampuannya bisa meningkat sangat tinggi, menjulang tak terkejar.


“Sudahlah”, - Agung Sedayu berkata dengan suara pelan - ,”Mudah-mudahan kita akan tetap terhindar dari bahaya berikutnya yang masih mengancam. Sesungguhnya, orang berpakaian hijau gelap itu bukanlah orang yang berwatak jahat”


“Siapakah dia kakang? Apakah benar ia sedang dipengaruhi oleh sebuah kekuatan lain dan kakang bisa menyadarkannya?”, - Sekar Mirah memburu dengan pertanyaan lanjutan.


“Memang benar”, - jawab Agung Sedayu yang kemudian melanjutkan penjelasannya - ,”Ketika melihat tatapan matanya yang kosong dan sikap keterkejutannya setiap kali mendapatkan serangan, aku menduga dan bahkan yakin ada kekuatan yang mengendalikannya. Karena itu aku sengaja ambil alih agar kau tidak melukainya Mirah, keterangan dari orang seperti dia sangat kita butuhkan. Laki-laki berpakaian gelap itu bernama Sindupati dan berasal dari lereng Gunung Lawu sebelah timur. Pertikaiannya dengan kakak kandungnya yang bernama Wirapati telah menghancurkan cita-cita orangtuanya untuk mengembangkan sebuah padepokan yang selama ini mereka bangun. Dalam sebuah perang tanding ia ternyata harus mengakui kelebihan Wirapati kakak kandungnya yang selama ini ia anggap memiliki kemampuan dibawahnya. Ambisinya untuk mengungguli kakak kandungnya itu telah membawanya mengembara untuk mencari ilmu kesaktian yang lebih tinggi lagi”


Agung Sedayu tiba-tiba menghentikan kalimatnya dan suaranya menjadi sedikit serak, sesungguhnya ia mengalami sedikit kesulitan untuk melanjutkan ceritanya. Akan tetapi ia memaksakan diri untuk menceritakan hal yang sebenarnya agar bisa memberi gambaran menyeluruh atas apa yang mereka alami saat ini.


Hal itu sangat disadari oleh Sekar Mirah maupun Pandan Wangi yang kemudian menundukkan kepalanya dalam-dalam. Mereka berdua seolah sedang mendengar sebuah cerita yang sebenarnya di alami oleh Agung Sedayu itu sendiri bersama adik seperguruannya Swandaru. Tanpa terasa dada kedua perempuan itu menjadi sesak karenanya.


Demikian juga dengan Kiai Garda, ia sedikit banyak sudah mengetahui persoalan dalam diri murid termuda Kiai Gringsing itu. Dalam hati, ia memuji sikap Agung Sedayu yang berkenan menceritakan persoalan dari orang berpakaian gelap yang ternyata bernama Sindupati itu, meskipun sebenarnya hal itu membangkitkan kenangan pahit dalam diri keluarga perguruan orang bercambuk. Tetapi agaknya dugaannya benar tentang orang berpakaian gelap itu adalah keluarga dari Padepokan Belalang Hijau di lereng timur Gunung Lawu.


Hanya Gilang yang tidak terlalu berpengaruh dengan cerita itu, ia memilih asyik menundukkan kepalanya sambil memilin dan mengelus-elus cambuk kecilnya.


“Sayang, keinginan yang berlebihan untuk menguasai ilmu yang lebih tinggi itu telah mengantarnya ke jalan yang salah meskipun ia sendiri tidak sepenuhnya menyadari,” – Agung Sedayu melanjutkan uraiannya - ,”Berawal dari kelebihan yang sebenarnya juga dimiliki oleh semua anggota keluarga mereka, yaitu kemampuan dalam berhubungan dan mengendalikan beberapa jenis binatang, khususnya belalang, ia bertemu dengan seorang yang menyebut dirinya sebagai Resi Bening Aji. Ia terpikat dengan pangeram-eram yang ditunjukkan oleh Resi Bening Aji yang berjanji akan menurunkan ilmunya dengan syarat Sindupati membantu dia untuk menakhlukkan dan menguasai apa yang ia sebut dengan Panca-Lawa. Ketika akhirnya Sindupati berhasil menguasai Panca-Lawa atau lima ekor kelelawar yang aslinya bersarang di pantai laut kidul dan dianggap mempunyai kekuatan khusus itu, ternyata saat itu pula ia sudah sepenuhnya dalam pengaruh atau kekuasaan Resi Bening Aji itu”


Semua yang mendengar cerita Agung Sedayu itu wajahnya terlihat berkerut serta menunjukkan keprihatinan.


“Apakah Resi itu adalah penguasa Kali Belehan ini kakang? Juga pangeram-eram seperti apakah yang membuat Ki Sindupati itu tertarik untuk berguru kepada Resi itu?”, - kembali Sekar Mirah mengajukan pertanyaan yang sebenarnya juga ada dalam dada semua yang hadir disitu.


Agung Sedayu memandang wajah istrinya dengan mata redup, sebelum kemudian menjawab - ,”Ya, menurut Ki Sindupati, Resi Bening Aji ternyata adalah penguasa Kali Belehan ini. Ia sengaja menunjukkan beberapa aji kesaktiannya yang mampu memecahkan batu sebesar kerbau menjadi debu yang lembut, akan tetapi yang menggoda Ki Sindupati adalah kemampuan Resi Bening Aji itu untuk merubah bentuk dirinya. Resi itu mampu merubah dirinya menjadi seorang pemuda berwajah sangat tampan yang dengan mudah mampu menakhlukkan hati banyak perempuan yang diminatinya. Akan tetapi ia juga bisa merubah dirinya menjadi laki-laki tua yang lemah tanpa daya untuk mengelabuhi orang lain”

Kiai Garda terlihat mendongakkan kepalanya - ,”Apakah itu aji Panca Rupa Ki?”.


Terlihat Agung Sedayu menggelengkan kepalanya - ,”Aku tidak tahu pasti Kiai, akan tetapi agaknya dugaan Kiai bisa mendekati kebenaran. Orang itu selalu menggenapi semua yang ada pada dirinya dengan angka lima, mulai jumlah kelelawar, jumlah burung gagak hitam dan menurut Ki Sindupari orang itu juga mampu merubah dirinya menjadi lima wajah yang berbeda”


“Yang membuatku jiwa Ki Sindupati berguncang adalah kenyataan bahwa ternyata penguasaan terhadap Panca-Lawa itu atau kelelawar yang berjumlah lima itu adalah tipu muslihat Resi itu untuk membunuh orang-tua dan saudara tua-nya yang bernama Wirapati. Ki Sindupati sama sekali tidak mengetahui permusuhan yang terjalin antara orangtuanya dengan Resi itu dimasa lalu. Ia juga tidak menyadari bahwa penguasaan atas Panca-Lima itu artinya adalah bahwa kemungkinan penakhlukan atas ilmu belalang yang selama ini dikuasai keluarganya. Akhirnya, dengan kesadaran yang semakin lama semakin kabur, ia justru membantu Resi itu untuk membunuh orangtua dan kakak kandungnya”


Wajah Pandan Wangi dan Sekar Mirah terlihat memerah dan menahan kemarahan yang tiba-tiba saja menggelegak di dalam dada. Entah mengapa, tiba-tiba saja timbul kekuatiran yang sangat besar atas kemungkinan yang sedang dihadapi oleh Swandaru. Semakin lama Swandaru berada dalam sekapan mereka maka kesadarannya juga akan semakin terpuruk.


“Apa yang harus kita lakukan kakang? Bukankah kalau kita menunda tindakan kita, maka keadaaan dan kesadaran kakang Swandaru akan semakin buruk?”, - tanya Pandan Wangi dengan wajah tegang.


“Aku mengerti Wangi”, - jawab Agung Sedayu - ,”Sesungguhnya aku juga sedang berhitung akan kekuatan kita. Aku menduga penguasa Kali Belehan itu mempunyai pembantu berjumlah lima orang pula. Kini sudah berkurang dua orang, yaitu Ki Sindupati dan seorang lagi yang ditewaskan oleh Kiai Garda di mulut padukuhan kecil itu. Maka, paling sedikit kita akan menghadapi tiga orang pembantunya, Resi Kali Belehan itu sendiri dan satu lagi yang tidak boleh di lupakan adalah makhluk yang bernama Onggo-Inggi itu”


Hati Sekar Mirah menjadi semakin panas dan tidak sabar mengingat keselamatan Swandaru Geni. Dengan hati membara ia menggenggam tongkat baja putihnya dengan erat dan hendak bangkit untuk mengajak mereka semua segera bergerak.


Akan tetapi Sekar Mirah terpaksa menghentikan geraknya ketika Agung Sedayu memberi isyarat dengan tangannya agar ia tetap di duduk ditempatnya. Wajah Agung Sedayu terlihat menegang sambil wajahnya menoleh ke jalanan bulak panjang yang baru saja mereka lalui.


“Berhati-hatilah, aku belum tahu siapa yang datang ini!”

Kembali dada Pandan Wangi dan Sekar Mirah dan bahkan Kiai Garda terasa berdentangan. Mereka duduk belum terlalu lama, akan tetapi kini akan muncul lagi persoalan atau hambatan yang belum mereka ketahui asalnya darimana.

Keringat dingin mengalir di dahi dan pipi Pandan Wangi yang halus.


Salam,

Ries

Saturday, July 29, 2017

BSG - BAB.IV - HSSG - Babak-15

BALADA SWANDARU GENI
Bab IV: Hilangnya Seorang Swandaru Geni
Babak – 15



Suara Kiai Garda selanjutnya terdengar begitu bersungguh-sungguh - ,”Itulah awal dugaanku Nyi, hanya saja waktu itu semua masih berupa dugaan berdasar panggraita yang bisa kutangkap. Akan tetapi kedatangan Ki Agung Sedayu dengan seluruh tindakannya tadi membuat keyakinanku semakin tebal. Kita sedang berhadapan dengan sebuah kekuatan yang sangat kuat dan ber-aura gelap. Mudah-mudahan Ki Swandaru dan kita semua senantiasa dalam perlindungan Yang Maha Agung”


Pandan Wangi dan Sekar Mirah yang mendengar perkataan Kiai Garda tidak menjawab meskipun dalam hati mereka memanjatkan doa yang sama. Saat ditengah hutan dan diselimuti kegelapan yang pekat seperti sekarang ini, terasa betapa lemahnya diri mereka sebagai manusia. Ada kekuatan lain yang senantiasa menggerakkan kehidupan ini, dan kekuatan itu adalah yang membuat hidup sekaligus yang mematikan hidup umat manusia beserta alam semesta.


Meskipun melangkah dengan sangat lamban, tetapi akhirnya mereka bertiga berhasil keluar dari dalam hutan itu sesaat sebelum matahari terbit. Lebih dari setengah malam mereka melintasi hutan ini dengan hati yang sangat tegang serta diburu-buru waktu. Tubuh mereka sebenarnya terasa sangat letih dan ingin beristirahat, akan tetapi Kiai Garda justru mengajak ketiganya untuk terus berpacu.


“Akan lebih baik kita melanjutkan perjalanan yang tinggal sejengkal ini Nyi. Kita tinggal melewati sebuah bulak pendek dan sebuah padukuhan pertama setelah melintasi hutan ini. Tetapi itu adalah padukuhan yang kecil sehingga kita tidak perlu mampir, terutama untuk menghindari pertanyaan yang tidak perlu dari para penghuninya. Setelah padukuhan kecil itulah kita akan berpacu dan akan melintasi sebuah bulak panjang. Sebelum masuk ke bulak panjang itulah ada sebuah pohon preh yang sangat rimbun di sebelah kiri jalan dan itu adalah tujuan kita”, - Kiai Garda mencoba menguraikan keadaan yang akan mereka lintasi.


Ternyata Sekar Mirah dan Pandan Wangi sama sekali tidak keberatan, keduanya langsung melompat ke atas pelana kuda masing-masing dan meminta Kiai Garda agar berjalan didepan sebagai penunjuk jalan. Tubuh keduanya yang sudah terlatih disertai beban persoalan yang sedang membelit mereka membuat rasa lelah dan letih itu dengan mudah terabaikan.


Demikianlah, ketiganya berpacu dengan cepat melintasi bulak di tepi hutan yang ternyata memang hanya pendek saja. Menjelang memasuki padukuhan yang masih terlelap tidur itu mereka memperlambat derap kaki kuda supaya tidak menimbulkan pertanyaan ataupun kecurigaan dari para penghuninya. Matahari sebentar lagi akan memunculkan sinar merahnya dan mereka berharap dapat melintasi padukuhan itu tanpa halangan.

Akan tetapi di mulut padukuhan itu mereka bertiga terpaksa menarik kekang kudanya agar berjalan lebih lambat. Ada sebuah bangunan gardu perondan yang terletak di sisi kiri jalan dengan penerangan berupa lampu minyak yang masih menyala meskipun redup. Kiai Garda dan yang lain merasa aneh karena pada saat seperti ini biasanya gardu sudah sepi dan para peronda itu sudah pulang ke rumah masing-masing. Apalagi lampu minyak yang masih menyala itu sebenarnya lebih menimbulkan rasa curiga mereka bertiga.


“Rasanya ada yang aneh dengan panjaga gardu itu Kiai?”, - desis Pandan Wangi pelan.


Kiai Garda tidak menjawab melainkan hanya menganggukkan kepalanya. Dengan meningkatkan kewaspadaan, kuda ketiganya melangkah maju setapak demi setapak mendekati gardu itu yang kini jaraknya tinggal kira-kira delapan tombak. Saat itulah mata Kiai Garda menangkap sesuatu yang aneh, sehingga ia mengerutkan keningnya sambil berdesis perlahan, akan tetapi ternyata terdengar oleh dua perempuan yang menjadi teman seperjalanannya.


“Mengapa para peronda itu tidur bergelimpangan? Atau jangan-jangan mereka sudah tidak bernafas lagi?”, - suara Kiai Garda terdengar penuh tanda tanya.


Sekar Mirah dan Pandan Wangi tidak menjawab dan dalam jarak yang sudah pendek itu mereka memang melihat ada dua orang yang berbaring diatas gardu perondan dengan saling-silang. Kaki peronda yang nampaknya lebih muda terangkat dan menindih wajah temannya yang lebih tua. Sementara wajah peronda yang lebih muda itu justru tergantung di bibir lantai gardu tanpa ia menyadari bahwa bisa saja sebentar lagi ia akan terjatuh ketanah. Yang mengejutkan adalah bahwa di beberapa bagian tubuh keduanya terdapat beberapa bekas goresan yang meninggalkan jejak darah di tubuh dan baju mereka.


Selain itu, ada tiga orang lain yang terbaring di tanah didepan gardu perondan itu. Semuanya masih muda dan hanya satu orang yang umurnya agak lebih tua. Tidak berbeda dari dua peronda yang ada di gardu, tubuh ketiganya juga terlihat goresan di dada, pundak dan bahkan pelipisnya.


Kiai Garda, Pandan Wangi dan Sekar Mirah masih duduk di atas punggung kudanya sambil berpandangan. Mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan karena rasanya adalah tidak pantas kalau mereka harus meninggalkan orang-orang yang entah sudah meninggal atau mungkin masih ada yang hanya pingsan.


“Tetaplah berada di punggung kuda Nyi, aku akan melihat mereka”


Kiai Garda kemudian terlihat meloncat turun dari kudanya, ia melangkah hati-hati mendekati gardu perondan tempat lima orang padukuhan yang berbaring tidak beraturan itu. Kakinya melangkah maju satu persatu dengan penuh kewaspadaan, ketika jaraknya tinggal sekitar dua tombak tiba-tiba Kiai Garda berhenti dengan mendadak lalu terdiam.


Sebenarnyalah Pandan Wangi dan Sekar Mirah terkejut melihat Kiai Garda yang menghentikan langkahnya secara mendadak. Dilihatnya orang berusia setengah baya itu berdiri diam seolah sedang memusatkan nalar budi-nya, sebelum kemudian tubuhnya tiba-tiba saja melesat kedepan dan tangan kanannya langsung menghantam dada salah seorang diantara mereka yang sedang berbaring di tanah itu penuh luka. Orang yang menjadi sasaran Kiai Garda itu adalah yang berumur paling tua diantara kelima orang yang terbaring itu.


Hantaman Kiai Garda itu dilakukan dengan sangat cepat dan dilambari tenaga yang cukup besar. Terlihat tubuh yang menjadi sasaran itu menggeliat seolah hendak menghindar, akan tetapi ia sudah tidak mempunyai waktu lagi karena serangan itu langsung menghantam dadanya dengan telak. Tubuhnya merintih perlahan menahan sakit yang sangat sebelum kemudian kembali terdiam.


Sementara itu ternyata Kiai Garda tidak lagi ingin melihat ataupun menyerang tubuh lain yang sedang terbaring. Dari tempatnya berdiri, tubuh Kiai Garda langsung melesat dan melejit tinggi sebelum kemudian langsung hinggap di punggung Turangga Kliwon.


Tanpa menunda lagi ia segera melecut dan memacu kudanya dengan cepat sambil berteriak kepada Pandan Wangi dan Sekar Mirah.


“Cepat Nyi, kita tinggalkan tempat ini segera!”


Betapa terkejutnya Pandan Wangi dan Sekar Mirah melihat apa yang sudah dilakukan Kiai Garda. Tanpa sadar mereka langsung ikut melecut kudanya dan memacu mengejar Kiai Garda yang sudah berderap agak jauh di depan.


Demikianlah, pagi itu padukuhan kecil itu diguncang oleh derap tiga ekor kuda yang sedang saling berkejaran. Beberapa penghuninya yang sudah bersiap akan pergi kesawah atau beberapa perempuan yang sedang menyapu halaman terpaksa mengangkat wajahnya dengan hati yang bertanya-tanya. Akan tetapi mereka tidak sempat melihat siapakah yang berada di atas punggung kuda-kuda yang melintas dengan cepat itu. Yang tersisa hanyalah kepulan debu yang naik membumbung tinggi ke udara.


“Dasar tidak tahu kesopanan, pagi-pagi sudah membuat keributan saja”, - geram seorang perempuan yang sedang menggendong anaknya sambil menyapu halaman menggunakan sapu lidi.




Ketika akhirnya mereka sudah keluar dari padukuhan kecil itu, akhirnya Kiai Garda mengurangi kecepatan lari kudanya dan menunggu Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Kedua perempuan yang hatinya dipenuhi tanda tanya itu segera menyusulnya dan kini bisa berpacu bersebelahan.


“Apa yang terjadi Kiai, mengapa Kiai justru memukul orang yang pingsan dan sedang terluka itu?”, - Sekar Mirah tidak tahan untuk mengajukan pertanyaan yang mengganjal dalam hatinya.


Wajah Kiai Garda terlihat bersungguh-sungguh, ia kemudian menjawab dengan suara berat - ,”Kita  benar-benar sedang berhadapan dengan lawan yang mempunyai kemampuan sangat tinggi Nyi. Hampir saja kita akan tertipu untuk kesekian kalinya. Apakah Nyai berdua sempat memperhatikan, siapakah atau apakah yang sedang kita lihat ketika berada di gardu perondan itu?”


Pandan Wangi dan Sekar Mirah menampakkan wajah terheran-heran. Dari kalimat Kiai Garda itu mereka bisa menduga bahwa ternyata apa yang mereka lihat atas lima orang yang terluka dan sedang terbaring tadi bukanlah seperti apa yang nampak di mata mereka.


Dengan ragu-ragu Pandan Wangi kemudian berkata - ,”Apakah ternyata mereka juga bentuk semu Kiai?”


“Ya, aku yakin”, - jawab Kiai Garda - ,”Ketika jarakku tinggal sekitar dua tombak itu aku bagaikan tersadarkan bahwa ada sesuatu yang aneh menyentuh panggraitaku. Karena itu aku kemudian mempertajam nalar budi dan meyakini bahwa mereka adalah bentuk-bentuk semu yang jauh lebih sulit dikenali dibandingkan kelelawar maupun orang berpakaian gelap itu. Semuanya adalah bentuk semu, kecuali satu orang yang kemudian aku serang dengan mendadak, agaknya justru dia-lah yang melepaskan bentuk-bentuk semu itu”


Sambil menata nafas, Kiai Garda melanjutkan - ,”Aku tidak mempunyai pilihan, selain secepatnya menyerang dan melumpuhkan laki-laki yang sedang terbaring itu. Jika tidak, kita pasti akan tertahan lebih lama dipadukuhan kecil itu, apalagi jika para penghuni padukuhan keluar rumah semuanya. Bentuk semu yang tercipta itu benar-benar hampir saja mengelabuhi kita semua. Agaknya kemampuan orang tadi lebih tinggi dibanding laki-laki berpakaian gelap yang menjadi lawan Nyi Sekar Mirah tadi malam”


Dada Pandan Wangi dan Sekar Mirah menjadi semakin berdebar-debar. Mereka merasa bersyukur bahwa Kiai Garda ternyata adalah seorang teman perjalanan yang sangat bisa diandalkan.


“Sesungguhnya aku merasa bahwa di padukuhan kecil ini menyimpan banyak hal-hal gelap yang membuat kita harus selalu bersiaga. Karena itu mulai sekarang kita harus meningkatkan kewaspadaan serta memusatkan nalar-budi ke tingkat tertinggi”, - Kiai Garda seolah memberi peringatan kepada dirinya sendiri.


Kiai Garda tidak lagi berkata apa-apa melainkan memacu kudanya dengan lebih cepat. Matahari sudah naik hampir sepengalah dan udara pagi serta angin lembut mengusap kulit tubuh mereka yang sebenarnya sangat letih. Bagaimanapun juga, berpacu diatas kuda selama tiga hari tanpa berhenti membuat kondisi fisik mereka keletihan.


Sejenak kemudian mereka sudah berada di ujung bulak yang panjang. Dari kejauhan mereka sudah bisa melihat ada sebuah pohon preh raksasa yang sangat rimbun berdiri disisi kiri jalan. Udara pagi yang sejuk itu membuat ketiganya ingin segera sampai dan duduk bersandar batang pohon yang di naungi daun yang rindang itu.


“Tentu akan menyenangkan sekali jika kita sempat beristirahat dibawah pohon itu”, - desis Pandan Wangi sambil memacu kudanya lebih cepat lagi sehingga ia kini berada paling depan.


Akan tetapi mendadak dada Pandan Wangi dan lainnya berdebar kencang ketika mata mereka menangkap adanya beberapa orang yang ternyata sudah berada dibawah pohon preh itu. Jarak itu memang masih agak jauh, akan tetapi berkaca dari pengalaman sebelumnya, mereka tidak mau lengah. Meskipun tidak berjanji, sambil masih diatas punggung kuda ketiganya segera memusatkan nalar budi-nya untuk mempertajam aji Sapta Pandulu dan mengenali siapa yang sedang mereka hadapi di depan.


Mereka tidak ingin dikelabuhi untuk ke sekian kalinya dengan bentuk-bentuk semu yang hanya mengganggu.


Salam,

Ries

BSG - BAB.IV - HSSG - Babak-14

BALADA SWANDARU GENI
Bab IV: Hilangnya Seorang Swandaru Geni
Babak – 14



Sementara itu, Kiai Garda, Pandan Wangi dan Sekar Mirah mulai berjalan menembus kegelapan hutan yang ternyata semakin pekat. Sambil memegang kendali kuda masing-masing mereka maju selangkah demi selangkah sehingga perjalanan itu terasa sangat lamban.  Kiai Garda yang berada paling depan benar-benar mencoba menajamkan indra penglihatannya agar bisa memilih jalan yang tidak hanya bisa mereka lintasi, akan tetapi juga dapat di lintasi kuda-kuda mereka. Untunglah beberapa saat setelah berada di dalam hutan, mata mereka semakin terbiasa sehingga bisa memilih jalan yang terbaik untuk terus melangkah maju. Mereka berjalan berurutan bagaikan urut kacang.



Sambil terus melangkah maju, angan-angan ketiganya masih terpancang pada kejadian yang baru saja mereka alami. Kehadiran laki-laki berpakaian gelap itu masih memunculkan banyak tanda tanya yang belum terjawab. Sementara kehadiran Agung Sedayu yang tiba-tiba saja mampu menyusul ketiganya yang sudah berkuda hampir tiga hari tanpa berhenti juga sama sekali diluar nalar mereka. Apalagi disertai pula oleh Ki Widura dan Gilang.


“Siapakah kira-kira laki-laki berpakaian gelap itu Kiai?”, - tiba-tiba Sekar Mirah tidak bisa menahan hatinya untuk bertanya kepada Kiai Garda.


Kiai Garda yang mendengar pertanyaan Sekar Mirah itu tidak langsung menjawab, kakinya terus melangkah maju untuk mencari pijakan terbaik bagi kaki-kaki mereka maupun kudanya.


“Aku juga tidak tahu Nyi, tetapi sesungguhnya aku menangkap kesan yang aneh pada wajahnya. Entahlah, apakah Nyi Pandan Wangi juga sempat memperhatikan”, - jawab Kiai Garda justru melempar pertanyaan kepada Pandan Wangi.


Pandan Wangi yang berjalan paling belakang dan mendengar kalimat Kiai Garda itu mencoba mengingat wajah laki-laki berpakaian gelap itu. Dengan sedikit ragu-ragu ia kemudian menjawab - ,”Kiai, seingatku wajah laki-laki itu terlihat bersih akan tetapi tatapan matanya sering terlihat kosong. Ia seolah tidak menyadari sepenuhnya atas tindakan yang dilakukannya, akan tetapi ia segera menunjukkan keterkejutan dan bereaksi dengan cepat setiap kali datang serangan dari Sekar Mirah. Entah, apakah pandanganku ini benar”


Kiai Garda menarik nafas dalam-dalam - ,”Sungguh mengagumkan, Nyi Pandan Wangi mempunyai pandangan yang teramat tajam. Sejujurnya aku kagum atas kejelian Nyi Pandan Wangi”


“Ah, Kiai terlalu memuji”, - sahut Pandan Wangi cepat.


Kiai Garda tidak lagi menjawab, melainkan berkata kepada Sekar Mirah - ,”Sebenarnya itulah yang menjadi teka-teki bagiku Nyi, mungkin Nyi Sekar Mirah tidak menyadarinya karena harus langsung berhadapan dengan laki-laki itu. Sementara kami yang berdiri diluar arena tentu saja mempunyai kesempatan yang lebih luas untuk bisa melihat dan menilai kesan dan sikap pada laki-laki berpakaian gelap itu”


Sekar Mirah semakin mengerutkan keningnya - ,”Bagaimanakah kesan dan penilaian Kiai atas laki-laki itu?”


Kembali Kiai Garda tidak langsung menjawab, baginya melangkah terus maju adalah lebih penting sehingga mereka akan sampai di tepian Kali Belehan dengan lebih cepat. Setelah menemukan jalan yang agak longgar dengan sedikit rintangan, ia kemudian berkata.


“Aku tidak tahu apakah pengamatanku ini benar, akan tetapi sesungguhnya aku merasakan adanya sebuah kekuataan yang sangat kuat mempengaruhi tindakan laki-laki berpakaian gelap itu. Ia bertindak karena adanya pengaruh dari luar, bukan atas kehendaknya sendiri karena jiwanya lebih sering kosong. Hanya saja, dasar kemampuan olah kanuragannya yang tinggi setiap kali mampu menyentuh syaraf kesadarannya meskipun hanya sepintas, terutama jika datang serangan membadai  dari Nyi Sekar Mirah”


Sekar Mirah dan Pandan Wangi kembali mengerutkan keningnya, tiba-tiba saja mereka seolah tersadarkan dan kembali membayangkan gerakan-gerakan mendadak yang sering di lakukan laki-laki berpakaian hitam itu. Pandan Wangi harus mengakui bahwa apa yang diurakan Kiai Garda itu tidak jauh dari apa yang ia lihat, ia kembali membayangkan raut wajah laki-laki berpakaian gelap itu.


“Wajah itu sama sekali tidak menunjukkan kebengisan Kiai, bagaimana mungkin ia memelihara lima kelelawar yang haus darah itu?”, - desis Pandan Wangi dengan tiba-tiba.


Kiai Garda menggelengkan kepalanya - ,”Tentu aku juga tidak tahu Nyi, akan tetapi aku menduga bahwa ada orang yang mengendalikan dia dan mempunyai pengaruh yang tidak terlawan. Laki-laki berpakaian gelap itu nampaknya sering tidak sadar atau bahkan kehilangan kepribadiannya. Dalam hal ini, agaknya Ki Agung Sedayu pasti mempunyai penilaian yang lebih banyak dan lebih tajam sehingga ia memutuskan untuk muncul dan menangani sendiri laki-laki berpakaian gelap itu. Sementara kita diminta untuk terus berjalan agar tidak terlambat hingga ke tujuan”


Disebutnya nama Agung Sedayu membuat hati Pandan Wangi berdebar-debar. Entah mengapa ia selalu mempunyai harapan yang besar akan terlepas dari segala masalah yang membelit hati dan perasaannya setiap kali nama Agung Sedayu disebut. Kali inipun Agung Sedayu hadir dalam usahanya untuk membebaskan Swandaru yang tidak lain adalah suaminya.


Pandan Wangi menggigit bibirnya untuk mengusir bayangan-bayangan yang tidak semestinya itu. Sementara perhatiannya kembali dipusatkan kepada jalan di depannya yang kadang cukup sulit untuk dilalui khususnya oleh kuda mereka.


Sementara Sekar Mirah merasakan kebanggaan didadanya seolah mekar dengan sendirinya. Agung Sedayu yang dulu dikenalnya sebagai pemuda yang penuh dengan sikap ragu-ragu, kini ternyata telah berkembang pesat dan bahkan menjelma menjadi laki-laki yang banyak disebut-sebut untuk menyelesaikan berbagai kesulitan. Bahkan sumbangsih-nya atas berdirinya kerajaan Mataram diakui oleh Ki Patih Mandaraka dan Panembahan Senapati hingga Raja yang memerintah sekarang.


Sambil terus melangkah, hati Pandan Wangi tiba-tiba tercekat, tanpa bisa menahan diri lagi ia kemudian bertanya kepada Kiai Garda.


“Kiai, apakah Kiai Garda melihat ada hubungan antara laki-laki berpakaian gelap itu dengan persoalan kita di Kali Belehan nanti Kiai?”, - suara Pandan Wangi bergetar.


Terdengar suara Kiai Garda berdeham, sementara Sekar Mirah yang berjalan di tengah-tengah juga memperdengarkan suara terpekik meskipun lirih. Sekar Miirah sama sekali tidak berpikir jauh serta mengurai keadaan yang baru saja mereka hadapi.


Sambil menata kalimatnya, Kiai Garda kemudian menjawab dengan hati-hati – ,” Nyi Pandan Wangi, sejak awal kemunculan laki-laki berpakaian gelap itu aku memang berusaha untuk menguras seluruh ingatan dalam diriku. Dari kemampuan dan unsur gerak meringankan tubuh laki-laki berpakaian gelap  itu, rasanya aku pernah melihat atau paling tidak mendengar seseorang bercerita tentang sebuah perguruan di lereng Gunung Lawu wetan”


“Apakah nama perguruan itu Kiai?”, - tanya Sekar Mirah.


“Mereka mendirikan sebuah Padepokan dan orang menyebutnya dengan nama Padepokan Belalang Hijau, dan aku kira mereka pantas menyandang nama itu. Hal itu tidak lepas dari kemampuan penghuninya yang rata-rata menguasai ilmu meringankan tubuh dengan sangat baik. Konon dalam sekali lompatan mereka bisa terlontar hampir belasan kali panjang tubuhnya dan itu semua dilakukan tanpa ancang-ancang. Aku lihat lawan Nyi Sekar Mirah mampu melakukannya dengan sangat baik meskipun terkadang ia seperti hilang ingatan”


Dada Sekar Mirah dan Pandan Wangi menjadi semakin berdebar-debar.


“Apakah Kiai menduga bahwa laki-laki berpakaian gelap itu adalah guru dari Padepokan Belalang Hijau? Lalu mengapa ia justru memelihara kelelawar dan bukan belalang?”, - Sekar Mirah mengejar dengan pertanyaan lanjutan.


Udara malam terasa semakin menusuk kulit tubuh, untunglah di dalam hutan ini meskipun gelap akan tetapi tidak terlalu banyak angin yang menerpa tubuh mereka karena sudah tertahan oleh rapatnya batang dan dedaunan disekitarnya. Agaknya tengah malam sudah mereka lalui beberapa saat yang lalu.


Setelah menggeleng-gelengkan kepalanya, Kiai Garda yang terdiam untuk beberapa lama itu kemudian menjawab pertanyaan Sekar Mirah sambil mempertajam ingatannya.


“Sepengetahuanku, padepokan itu sudah lama hancur atau tidak terdengar keberadaannya sejak belasan tahun silam. Menurut kabar, pendiri padepokan yang saat itu sudah berusia lanjut berniat untuk mengundurkan diri dan mengasing di puncak Gunung Lawu. Saat itulah terjadi perebutan pimpinan antara dua putranya sehingga terjadi pertarungan sengit di puncak Lawu yang disaksikan oleh guru sekaligus orangtua mereka. Hanya saja bagaimana hasilnya tidak banyak orang yang tahu dan saat itu pula keberadaan padepokan itu justru mulai dilupakan orang. Tetapi aku menduga bahwa laki-laki berpakaian gelap yang kita temui di mulut hutan tadi adalah salah satu dari putra pemimpin Padepokan Belalang Hijau itu. Hal ini juga berdasar dari pakaian yang dikenakan-nya yang juga berwarna hijau meskipun gelap. Sedang mengapa ia justru memelihara kelelawar dan bukan belalang, hal itu sama sekali tidak aku ketahui alasannya”


Pandan Wangi dan Sekar Mirah mendengarkan penjelasan Kiai Garda sambil merenung, agaknya yang namanya perebutan kekuasaan memang terjadi dimana-mana. Tidak hanya di tingkat atas yang melibatkan perang antar kerajaan sebagaimana yang terjadi antara Pajang dan Jipang, atau yang terakhir antara Mataram melawan Madiun, akan tetapi juga terjadi dalam tingkat padepokan bahkan dalm sebuah keluarga.


“Semua itu menggambarkan betapa pengumbaran nafsu dan sifat tamak manusia akan berakibat kehancuran bagi manusia yang lain maupun manusia itu sendiri”, - desis Pandan Wangi dalam hati.


Akan tetapi yang terucap dari bibir Pandan Wangi ternyata lain - ,”Kiai Garda belum menjawab pertanyaanku, apakah Kiai melihat ada hubungan antara laki-laki berpakaian gelap itu dengan persoalan kita di Kali Belehan?”


Kini Kiai Garda terlihat mengangguk angguk-kan kepalanya - ,”Tadinya aku juga sama sekali tidak yakin Nyi, semuanya masih berupa teka-teki. Akan tetapi kemunculan Ki Agung Sedayu yang tiba-tiba dan langsung bertindak keras kepada laki-laki berpakaian gelap itu membenarkan dugaanku bahwa laki-laki itu ada dalam pengaruh kekuatan lain di luar dirinya. Laki-laki itu tidak sadar apa yang sedang dilakukannya, apalagi Ki Agung Sedayu langsung meminta kita untuk berangkat ke Kali Belehan tanpa menunda waktu, dugaanku rasanya semakin kuat”


“Seperti apakah dugaan Kiai itu?”, - tanya Sekar Mirah dengan hati tercekat.


Kiai Garda menarik nafas dalam-dalam, ia sebenarnya enggan untuk berbicara terus terang Akan tetapi ia sadar bahwa kedua perempuan yang saat ini berjalan bersamanya ini adalah bukan perempuan biasa dan bahwa memang keduanya sangat berkepentingan dengan persoalan yang sedang mereka hadapi.  Adalah lebih baik untuk mengetahui keadaan atau dugaan yang sesungguhnya sehingga bisa mempersiapkan diri dengan lebih baik ketika nanti menghadapi masalah di Kali Belehan.


“Dugaanku adalah bahwa kekuatan yang mempengaruhi dan tidak terlawan oleh laki-laki berpakaian gelap itu berasal dari penguasa Kali Belehan. Aku ingat perkataan Ki Agung Sedayu sesaat setelah mengetrapkan ajian Rogoh Sukma di sanggar beberapa hari yang lalu, saat itu Ki Agung Sedayu mengatakan bahwa dibalik makhluk Onggo-Inggi yang menyeramkan itu, ada sebuah kekuatan yang memancarkan aura gelap yang justru jauh lebih berbahaya dari Onggo-Inggi itu sendiri. Kekuatan inilah yang agaknya telah mempengaruhi dan mengendalikan perilaku laki-laki berpakaian gelap itu”, - suara Kiai Garda tiba-tiba bernada kekuatiran yang sangat dalam.


Pandan Wangi dan Sekar Mirah yang mendengar uraian Kiai Garda itu mencoba mencerna dengan lebih dalam. Pada dasarnya keduanya adalah perempuan yang dikarunia nalar yang cerdas sehingga bisa menilai sebuah keadaan atau keterangan yang sampai kepada mereka. Kalimat terakhir yang diungkapkan dengan nada penuh kekuatiran itu seolah membimbing dugaan mereka untuk menghasilkan kesimpulan yang membuat hati keduanya tercekat.


Butir-butir keringat tiba-tiba saja muncul memenuhi wajah serta punggung Pandan Wangi, bahkan ia tidak bisa menahan diri lagi untuk meminta penegasan atas kesimpulan dugaannya itu kepada Kiai Garda.


“Kiai”, - suara Pandan Wangi terdengar tersendat - ,”Apakah kita mempunyai dugaan yang sama, bahwa kekuatan yang menguasai dan mengendalikan laki-laki berpakaian gelap itu adalah kekuatan yang sama yang saat ini menguasai kakang Swandaru?”


Butir keringat dingin kini juga membayang di wajah Kiai Garda.



Salam,

Ries

Friday, July 28, 2017

BSG - BAB.IV - HSSG - Babak-13

BALADA SWANDARU GENI
Bab IV: Hilangnya Seorang Swandaru Geni
Babak – 13



Ujung kaki Pandan Wangi sudah hampir menotol tanah untuk melesat ke depan saat didengarnya suara Kiai Garda berbisik pendek.


“Tahan Nyi, lihatlah!”, - sambil berdesis pelan Kiai Garda maju beberapa langkah.


Ketika itu, keadaan Sekar Mirah terlihat sangat terpojok dan hampir tidak ada ruang untuk menghindar. Dalam satu gerak berikutnya maka pertarungan itu agaknya akan berakhir dan sudah dapat dibayangkan bagaimana keadaan Sekar Mirah.


Hanya saja ada yang luput dari pengamatan Kiai Garda maupun Pandan Wangi, yaitu bahwa Sekar Mirah mempunyai keyakinan yang teramat tinggi atas tindakannya. Seperti juga Swandaru yang sering mengambil keputusan dengan cepat dan berani mengambil resiko, ternyata sifat itu juga menempel pada diri Sekar Mirah.


Ia sadar akan sulit untuk melayani lawannya yang kini berjumlah menjadi tiga orang serta mempunyai ilmu meringankan tubuh yang mumpuni. Padahal ia meyakini sepenuhnya bahwa lawan yang sesungguhnya tetaplah hanya satu orang, sebagaimana Agung Sedayu sendiri mengakui bahwa meskipun mempunyai sifat yang lebih pekat dan lebih sulit dipecahkan, tetapi pada dasarnya ajian  Kakang Kawah Adi Ari-Ari tidak ubahnya adalah mempertajam bentuk-bentuk semu yang tercipta sehingga sulit di kenali lawan.


Karena itu Sekar Mirah mengambil sebuah tindakan yang teramat berani. Gerak putaran tongkatnya memang agak mengendor ketika ia memusatkan nalar budi-nya lebih tajam, akan tetapi ia memperhitungkan bahwa dalam jeda waktu itu ia akan sudah berhasil mengenali satu dari tiga orang lawan yang sesungguhnya. Keyakinan yang tinggi itulah yang telah menyelamatkan Sekar Mirah, sehingga pada saat yang tepat ia bisa mengenali wujud asli dari lawannya.


Ketika serangan tiga laki-laki berpakaian gelap itu datang membadai karena melihat celah atau peluang akibat melambatnya putaran tongkat Sekar Mirah, saat itulah mata batin Sekar Mirah meyakini dan mengenali seorang lawan yang sesungguhnya. Ia sama sekali tidak ragu-ragu, tubuhnya secara tiba-tiba berputar ke kiri dan sepenuhnya menghadap ke lawan sesungguhnya, Sekar Mirah sama sekali tidak menghiraukan dua orang laki-laki berpakaian gelap lainnya yang juga menyerangnya dari arah berbeda karena ia yakin itu hanyalah ujud semu. Keadaan inilah yang tertangkap oleh mata Kiai Garda yang jeli dan tajam saat ia berdesis lirih memperingatkan Pandan Wangi.

Saat itu Sekar tidak mempunyai waktu banyak karena serangan dari lawannya sudah sedemikian dekat. Dengan sedikit memiringkan tubuhnya, tangan kanannya yang memegang tongkat terayun sekuat tenaga membentur tombak pendek bermata tiga yang menusuk lurus mengancam dadanya. Ia benar-benar tidak menghiraukan serangan dua lawan yang lain yang ternyata memang sama sekali tidak mampu menyentuh apalagi menyakiti kulit tubuhnya.


Semua kejadian itu terjadi dalam sekejab mata dan memang sudah tidak ada waktu lagi untuk menghindar. Terjadilah sebuah benturan yang keras dan menimbulkan suara gemerincing nyaring. Tenaga Sekar Mirah yang sudah berada di puncaknya itu benar-benar tidak terlawan, laki-laki berpakaian gelap itu tanpa sadar berteriak keras ketika tangannya tidak mampu mempertahankan senjatanya. Tombak pendek bermata tiga itu terlontar ke samping dan melambung di udara.


Akan tetapi, peristiwa yang terjadi berikutnya kembali membuat Kiai Garda dan Pandan Wangi terpekik kagum ketika melihat sebuah gerakan yang sangat gesit dari lawan Sekar Mirah itu.


Ketika melihat senjata lawan sudah terlepas dari tangan, Sekar Mirah segera menyusulinya dengan tendangan kaki kiri mendatar yang mengancam dada atau perut lawan. Sementara dalam keterkejutan karena lepasnya senjata, tidak dinyana orang berpakaian gelap itu telah mengambil keputusan yang sangat tidak biasa. Tendangan kaki kiri Sekar Mirah yang mengancam dadanya itu tidak di hindarinya, melainkan justru di sambutnya dengan pukulan tangan kanan yang tepat mengenai telapak kaki Sekar Mirah.


Kembali terjadi benturan yang keras dan kali ini adalah antara telapak kaki kiri Sekar Mirah dengan pukulan tangan kanan lawannya. Benturan itu sama sekali tidak menimbulkan bunyi keras ataupun teriak kesakitan, keduanya seolah hanya merasakan sentuhan wadag yang sewajarnya. Akan tetapi inilah yang menjadi kelebihan dari lawan Sekar Mirah, ternyata sentuhan atau benturan itu dijadikannya sebagai pijakan atau daya lontar yang membuat tubuhnya melesat ke udara dan melayang cepat justru ke arah tombak pendek bermata tiga yang tengah melayang di udara. Dengan kecerdikan dan kegesitan yang luar biasa, laki-laki berpakaian gelap itu telah meminjam tenaga tolakan akibat benturan itu untuk mengejar senjatanya. Ketika kedua kakinya menyentuh tanah, ternyata di tangan kanannya juga sudah tergenggam tombak pendek bermata tiga itu.


Sekar Mirah tidak dapat menyembunyikan kekagumannya melihat ketangkasan lawannya itu. Apalagi, hampir tidak berselang waktu, kedua bentuk semu lawannya itu kemudian melompat saling menyilang sehingga ia harus menajamkan mata hatinya untuk mengenali lawan yang sesungguhnya. Hanya saja Sekar Mirah sama sekali tidak gentar, pengalaman yang baru saja di alaminya itu membuat ia lebih yakin untuk mengenali lawan yang sesungguhnya dengan lebih cepat dan kemudian mengatur serangan dengan lebih baik.


Demikianlah, pertarungan itu kembali berlangsung dengan sengitnya. Keduanya terlihat lebih berhati-hati, meskipun Sekar Mirah mampu mengenali lawan yang sesungguhnya dengan lebih cepat, akan tetapi ketiga bayangan itu terkadang bahkan tidak menyerangnya melainkan hanya melompat saling silang diantara mereka sendiri sehingga itu kembali mengaburkan mata batin Sekar Mirah. Sementara putaran tongkat Sekar Mirah yang rapat itu juga tidak mampu ditembus oleh lawannya.


Malam terus merangkak, gelap semakin pekat dan waktu sudah mendekati wayah sepi uwong.


Saat itulah tanpa diketahui dari mana asalnya tiba-tiba terdengar suara yang sangat dikenal oleh Sekar Mirah dan mereka yang sedang berdiri di luar arena pertarungan itu.


“Sudahlah Mirah, aku minta lepaskan lawanmu”


Bersamaan dengan habisnya kalimat itu, tiba-tiba telah berdiri tiga sosok manusia di sebelah Pandan Wangi dan Kiai Garda. Betapa terkejutnya perasaan Kiai Garda dan Pandan Wangi dengan kehadiran tiga sosok disamping mereka yang sama sekali tidak menimbulkan suara ataupun tanda-tanda lain. Keberadaannya begitu tiba-tiba seolah mereka muncul dari dalam tanah.


Akan tetapi begitu melihat siapa yang berdiri di samping mereka, hati Pandan Wangi khususnya bagaikan disiram air dingin dan sejuk. Segera ia bergeser beberapa langkah sambil memeluk salah seorang diantaranya.


“Kau tidak apa-apa Gilang?”, - suara Pandan Wangi terdengar lirih seolah berbisik.


Gilang yang merasakan nada suara PandanWangi tidak seperti biasanya itu sempat agak terheran-heran, akan tetapi ia menduga bahwa pertarungan yang terjadi di depannya itu cukup menyita hati dan perhatian ibundanya.


“Aku baik-baik saja ibunda”, - jawab Gilang cepat.


Sesungguhnya yang datang adalah Gilang, Ki Widura dan juga Agung Sedayu yang saat itu langsung melangkah maju mendekati pertarungan antara Sekar Mirah melawan laki-laki berpakaian gelap itu. Dengan wajah yang berkerut, Agung Sedayu mengamati wajah dan perawakan lawan Sekar Mirah yang terus bergerak sambil memainkan tombak bermata tiga. Gerak dan ilmu meringankan tubuhnya itu sesungguhnya sangat menarik perhatian Agung Sedayu.


Wajah Agung Sedayu terlihat bersungguh-sungguh, ia berhenti sekitar dua tombak dari lingkaran pertarungan itu sambil mengulangi kalimatnya agar Sekar Mirah melepaskan lawannya. Akan tetapi Sekar Mirah yang sudah tahu akan kehadiran suaminya itu seolah tidak mendengar permintaannya. Justru putaran tongkat baja putihnya semakin cepat dan membuat kabut putih bergulung-gulung yang lebih dahsyat untuk melindungi tubuhnya.


Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam, sebagai seorang suami yang sudah hidup bertahun-tahun dengan istrinya, ia sangat mengenali watak Sekar Mirah. Agaknya harga dirinya yang terlalu tinggi mencegahnya untuk menuruti permintaan suaminya agar melepas lawannya. Apalagi ia masih punya keyakinan akan mampu memenangkan pertarungan ini.


“Mirah, dengarkan aku, apakah kau tidak menyadari bahwa kalian sengaja ditahan disini selama mungkin agar tidak segera sampai di Kali Belehan tepat waktu. Saat ini keselamatan adi Swandaru adalah yang terpenting, aku minta sekali lagi lepaskan lawanmu”, - terdengar kembali suara Agung Sedayu kali ini dengan penuh tekanan.


Semua yang mendengar perkataan Agung Sedayu menjadi terperanjat tak terkecuali Sekar Mirah. Ia jarang sekali mendengar suaminya itu berkata kepadanya dengan penuh tekanan seperti kali ini. Karena itu, ketika dilihatnya sebuah celah, tubuhnya segera melesat menjauh dari lawannya dan berdiri di samping Agung Sedayu.


Sementara Agung Sedayu tidak mau membuang-buang waktu, sambil berdiri tegak memusatkan nalar budinya, ia berkali-kali mengusap pergelangan tangan kirinya menggunakan tangan kanannya. Malam gelap gulita itu tiba-tiba saja dipenuhi oleh kabut tipis yang keluar dari dalam tanah atau bahkan sebagian turun dari langit memenuhi arena pertarungan itu. Semakin lama kabut itu semakin tebal sehingga membentuk perisai yang menghalangi pandangan mereka yang ada disitu.


Kiai Garda mengerutkan keningnya dalam-dalam, ia benar-benar tidak habis pikir atas kemampuan yang dimiliki murid tertua Kiai Gringsing. Saat menyusun rencana di padepokan beberapa hari yang lalu, ia sebenarnya mempunyai banyak pertanyaan di benaknya, akan tetapi demi menjadi etika dan kepantasan ia tidak langsung menanyakan kepada Agung Sedayu. Kini ternyata terbukti bahwa Agung Sedayu mampu menyusulnya dengan cepat meskipun tanpa kuda, sementara ia menghabiskan tiga hari perjalanan terus-menerus diatas punggung kuda. Terlebih ia juga menyaksikan sendiri kedatangan Agung Sedayu yang seolah-olah muncul dari dalam tanah serta mampu menghadirkan kabut yang membuat dinding di arena pertarungan ini.


Belum selesai Kiai Garda dengan angan-angannya, tiba-tiba hidung semua yang ada di arena pertarungan itu menangkap adanya bau yang sangat harum dan tajam. Bau itu hanya melintas sesaat saja di indra penciuman dan perasaan mereka sebelum kemudian berhembus dan berlalu begitu saja.


Tetapi tidak demikian bagi laki-laki berpakaian gelap yang menjadi sasaran utama dari munculnya bau harum yang tajam itu. Ketika masih terheran-heran dengan munculnya kabut putih yang kini menjadi tebal itu, tiba-tiba bau harum itu langsung menyergapnya dengan menusuk langsung ke indra penciumannya dan menembus hingga ke syaraf otak. Seketika ia seperti orang yang hilang semua kesadarannya dan setelah berdiri kebingungan beberapa saat, tubuhnya tiba-tiba saja roboh ke tanah. Pingsan!

Agung Sedayu yang tahu pasti bahwa laki-laki berpakaian gelap itu kini sudah jatuh pingsan segera melepas semua ajian yang tadi dipergunakan untuk menyerangnya. Dengan cepat kabut itu tersibak, sehingga yang terlihat adalah gelap malam sebagaimana biasanya. Sementara bau harum yang tajam itu juga sudah tidak berbekas sama sekali seolah bau itu memang tidak pernah melintas.


Dari jarak beberapa tombak, semua mata melihat betapa laki-laki berpakaian gelap itu kini terbaring diam. Dengan tergesa-gesa Agung Sedayu segera melangkah dan sambil berjongkok ia memeriksa pergelangan tangan orang itu dimana ia masih merasakan denyut nadi meskipun lemah.


Agung Sedayu segera membalikkan badannya dan menghadap ke arah Kiai Garda yang lainnya yang ternyata juga sudah melangkah mendekat. Kembali dengan suara yang bersungguh-sungguh ia berkata.


“Maaf Kiai, dan juga yang lainnya, agaknya persoalan yang kita hadapi benar-benar rumit dan bahkan sangat membahayakan kita semuanya. Terlebih lagi, kita dibatasi oleh waktu. Menurut pemahamanku, bulan purnama sudah lewat dua pekan lalu dan besok adalah puncak dari hari kegelapan. Itu adalah batas akhir bagi kita untuk bisa menyelamatkan adi Swandaru, karena kalau lewat dari hari itu agaknya kita akan mengalami lebih banyak kesulitan”


Agung Sedayu terlihat berhenti sejenak, untuk menata kalimatnya.


“Karena itu, kita harus sudah tiba di tepi Kali Belehan itu paling lambat besok pagi. Aku mohon Kiai beserta Pandan Wangi dan Sekar Mirah segera melanjutkan perjalanan sekarang. Tidak perlu ditunda –tunda lagi, tinggalkan kami disini”, - Agung Sedayu melanjutkan kalimatnya.


Kiai Garda, Pandan Wangi dan Sekar Mirah menunjukkan wajah tegang. Ada banyak pertanyaan yang hendak di ajukan, akan tetapi mereka sadar bahwa ini bukan saat yang tepat, apalagi mereka diburu waktu untuk segera sampai ke tujuan. Segera mereka bertiga mengambil kuda-kuda mereka dan bersiap untuk melanjutkan perjalanan.


“Bagaimana dengan orang itu kakang?”, - tanya Sekar Mirah sambil matanya melirik ke arah laki-laki berpakaian gelap yang kini terbaring di tanah.


“Jangan hiraukan dia, aku akan mengurusnya”, - jawab Agung Sedayu pendek.


“Aku titip kedua kemenakanku itu Kiai”, - terdengar suara Ki Widura yang ditujukan kepada Kiai Garda.


“Ah, ternyata mereka adalah perempuan luar biasa yang mampu melindungi diri sendiri bahkan orang lain Ki”, - jawab Kiai Garda sambil tersenyum.


Demkianlah, tanpa sempat bercakap-cakap lebih lama sebagaimana kebiasaannya, ternyata mereka harus segera berpisah dan melanjutkan perjalanannya. Menembus hutan yang meskipun tidak terlalu rapat akan tetapi tentu saja sangat gelap.


Sepeninggal mereka, Agung Sedayu segera berjongkok dan kembali memeriksa keadaan tubuh laki-laki berpakaian gelap itu dengan lebih seksama. Beberapa kali di urut-nya syarat di belakang telinga laki-laki itu, akan tetapi orang itu tidak bereaksi sama sama sekali.


Akhirnya, Agung Sedayu menoleh sambil berkata - ,”Marilah paman, juga kau Gilang, kita akan mencoba apa yang sudah kita rencanakan kepada laki-laki ini. Semoga dugaanku tidak meleset”


Mata Gilang terlihat berkedip-kedip.



Salam,
Ries


BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...