Wednesday, August 30, 2017

BROKER TINGKAT DEWA

BROKER TINGKAT DEWA

Teorinya, musuh utama dalam ber- trading adalah diri kita sendiri. Menata kestabilan psikologi adalah hal tersulit bahkan bagi mereka yang sudah trading belasan/ puluhan tahun dan bergelar Master.

Anehnya, ada saja teman yg senantiasa melihat sisi buruk/kekurangan trader lain dan mengabaikan perbaikan dalam diri. Dalam benaknya, mungkin dia merasa sudah teramat sukses, mengetahui segala hal tentang trading dan memiliki semua hal yang terbaik.

Sementara ia juga melihat disekitarnya banyak trader lain yang bergelimpangan, berdarah-darah bahkan binasa. Karena itu ia bersuara.

“Pilih broker yang terbaik atau anda akan binasa!”, - teriaknya membahana.

“Gak ada ceritanya orang berbagi ilmu dengan gratis di hotel bintang lima dan bahkan mengeluarkan ratusan juta. Itu pasti modus!”, - ia berteriak keras yang sebenarnya hanyalah mengeluarkan suara hatinya sendiri.

Sayangnya, posting atau teriakan keras dengan nada nyiyir, ketawa-ketiwi sambil merendahkan orang lain itu sama sekali tidak meraih simpati dan justru sebaliknya, eneggg. Dari balik kacamatanya ia selalu melihat bahwa meskipun sekedar silaturahim (bukan workshop/ajakan untuk gabung under IB seseorang), tetapi jika di acara itu terdapat  spanduk/ banner dari sebuah Broker yang ia ‘anggap’ abal-abal, maka semua orang yg ada disitu adalah bodoh, dungu dan pantas ditertawakan.

Ibaratnya, ia menganggap merokok itu haram dan tidak sehat karena pasti menyebabkan sakit dan kematian. Maka jika ada sebuah event olah-raga (mis. Bulutangkis) yang di sponsori oleh produsen rokok, dengan mudah dia akan menganggap bahwa semua yang hadir dan terlibat disitu adalah bodoh, dungu dan pantas direndahkan. Mereka semua telah salah arah dan menuju jalan kematian. Tak hanya sponsorshipnya yang salah dan menuju jalan kematian, melainkan juga atlet, wasit, panitia dan bahkan penontonnya.

Ia mengabaikan fakta bahwa kematian bisa saja diakibatkan oleh hal lain, seperti kecelakaan, digebuk orang karena mencuri ataupun karena keselek biji salak.

Hiikkkkkksss..

Jika kita trading dengan modal Milyard-an rupiah atau puluhan-ribu dollar, maka kita memang wajib memilih broker yang terbaik. Tetapi jika seorang pemula/atau bahkan yang sudah lama trading dengan modal cekak yang hanya puluhan/ratusan dollar, apakah kita harus mati-matian mencari broker nomor 1 di dunia, dimana untuk registrasi dan apalagi deposite/withdrawal saja susahnya minta ampun (karena gak bisa pakai bank lokal dll).

Ibaratnya, sewaktu turun di stasiun Tugu kita kepingin makan ke Gudeg-nya Yu Jum di daerah Wijilan. Nah, dia saran bahkan wajibkan harus pakai kendaraan Roll-Royce atau minimal Mercy! Pengalaman dia yang pernah kecelakaan saat mengendarai Honda, Toyota, Mitsubishi dll, membuatnya mengeluarkan vonis bahwa semua jenis kendaraan selain Roll Royce dan Mercy adalah abal-abal!!

Padahal bisa saja waktu kecelakaan dulu, sesungguhnya ia belum mahir cara mengemudi kendaraan. Hanya saja ia sudah mengambil kesimpulan baku, bahwa semua yang bukan Roll-Royce atau Mercy itu adalah Odong-odong. Teriakannya keras menyakitkan telinga karena nadanya sumbang.

(belakangan mungkin kita akan tahu dan tersadarkan bahwa ternyata ia adalah agen penjualan Roll-Royce dan Mercy, ah hebaattt…)

“Om, kalau saya pakai broker no. 1 tingkat Dewa itu apakah dipastikan profit?”,- tanya seorang teman.

“Ehmm…..nganu…nganuuu…”

Ahh…seduhan kopiku nganggur…ini tgl 9 Dzulhijah, hari yg baik untuk berpuasa karena dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang akan diampuni Allah SWT. Semoga ini bukan ghibah…

Salam,



Monday, August 28, 2017

BSG - BAB.V - AUP - Babak-05

BALADA SWANDARU GENI
Bab V: Ajaran Untuk Pulang
Babak – 05



Dahi Agung Sedayu sempat berkerut dalam, ia jarang sekali merasakan bau yang meskipun tidak terlalu tajam namun sesungguhnya melontarkan aroma yang sangat busuk dan menyengat. Dalam sekejab ia segera menyadari bahwa aroma busuk itu sangat serupa dengan bau bangkai yang sudah terpapar terbuka tanpa tersentuh apapun dalam hitungan hari atau bahkan pekan. Hanya saja bau itu ternyata sama sekali tidak menyerangnya melainkan bawaan yang tertangkap oleh indra penciumannya saat jiwa Resi Kali Belehan itu berpindah atau oncat dari tubuh sosok hitamnya dan merasuk ke dalam keris besar ber-luk tigabelas itu. Itulah sebuah sarana ilmu hitam dalam menerapkan ajian yang mereka percayai mendatangkan sebuah kekuatan.


Bahwa bau itu tidak menyerang dan mengganggunya itu agaknya merupakan prosesi oncatnya jiwa Resi Kali Belehan, dan hal itu ternyata justru memberi sebuah gagasan dibenak Agung Sedayu untuk melakukan hal serupa.


”Jika aku bisa mengacaukan daya pikirnya, maka prosesi oncat jiwa itu mungkin bisa aku gagalkan”, -  desis Agung Sedayu dalam hati.


Tanpa banyak berpikir lagi, sambil masih tetap berjongkok, tangan kanan Agung Sedayu terlihat menekan pergelangan tangan kirinya. Adalah sebuah karunia dan hasil dari latihan yang sangat tekun sehingga Agung Sedayu hanya membutuhkan waktu yang sekejab untuk bisa membangkitkan dan mengetrapkan ilmu-ilmu yang ada dalam dirinya.


Saat itu pula, melintas bau harum yang teramat tajam dan tersaring sehingga bau itu meluncur dan menyerang hanya kepada sasaran lawan. Dalam pengembangannya, ternyata Agung Sedayu mampu memampatkan inti sari ajian ini sehingga sangat sedikit orang diluar sasaran yang mampu menangkap menebarnya aroma wangi ini.


Sifat aroma wangi yang sangat tajam ini adalah menyerang dan mengacaukan daya pikir serta  pemusatan hati nurani lawan. Dalam penerapan puncaknya bahkan sanggup membuat lawan roboh karena jiwa dan daya pikir yang sudah tidak mampu menopang keinginan atau nafsunya. Agung Sedayu meyakini bahwa meski jiwa lawannya itu sedang oncat, akan tetapi serangannya tidak menyerang kewadagan atau fisik belaka, sehingga lawan pasti akan merasakan dan mengenai indra penciumannya.


Disaat lawan sedang bertarung untuk mempertahankan pengaruh bau harum mewangi itulah Agung Sedayu mempersiapkan cambuknya dan merancang sebuah serangan susulan. Wajahnya terlihat menegang dan sedikit mengeras, sifat ragu yang biasanya menempel dalam kepribadiannya seolah lenyap terhembus getaran-getaran yang keluar dari rasa kuatir dalam dirinya.


Inilah satu masa dalam kehidupan seorang Agung Sedayu dimana ia sama sekali tidak ragu lagi untuk menghancurkan lawannya. Lawan yang sedemikian tangguh dengan ilmu-ilmu yang diluar jangkauan pemahaman manusia pada umumnya. Lawan yang ternyata telah menyandarkan segala tindakannya pada kuasa gelap dan itu tercermin dari ilmu hitam yang dikuasainya.


Agung Sedayu kini telah berdiri tegak pada kedua kakinya yang kokoh, sementara ditangan kanannya telah tergenggam cambuk berjuntai panjang yang ujung.


Dengan seksama mata Agung Sedayu melihat betapa asap merah kehitaman tipis yang tadinya bergerak dari sosok tubuh hitam merambat menuju keris ber-luk tiga belas itu seolah tertahan. Asap tipis itu berputar-putar dan saling menelan dengan gerakan yang tidak menentu. Agaknya serangan bau harum yang dilontarkan Agung Sedayu mampu menghambat prosesi oncat jiwa Resi Kali Belehan itu.


Agung Sedayu segera memanfaatkan keadaan itu, tanpa menggeser tubuhnya tiba-tiba tangan kanannya terayun dengan sangat cepat. Ia mengerahkan segenap tenaga wadagnya pada ayunan cambuk yang pertama ini, sehingga saat itulah udara di sekitar sungai itu terdengar suara ledakan dahsyat bagaikan petir di langit.


Inilah ledakan pertama yang mengejutkan semua orang di tepian itu, termasuk Pandan Wangi dan Gilang yang sedang melayang menyeberang ke tepian sungai. Tetapi suara ini hanya menimbulkan kejutan di telinga dan perasaan saja sementara Gilang sudah pula melemparkan potongan bambu kuning temu ros-e itu menuju sasaran yaitu noda hitam di belakang telinga kiri Ayahnya, Swandaru Geni.


Hanya saja Agung Sedayu tidak berhenti pada tahapan itu, ia sudah menyusun rencana yang ia yakini akan berhasil meskipun mungkin akan menimbulkan dampak samping atas orang-orang yang ada di sekitar sungai ini.


Ledakan dahsyat yang pertama itu ternyata disusuli oleh ayunan cambuk Agung Sedayu yang kedua, yang sama sekali tidak mengeluarkan bunyi ledakan. Akan tetapi dari ayunan cambuk yang kedua ini, udara terasa pampat dan dada siapapun yang ada disekitar pertarungan itu bagaikan di himpit oleh gunung anakan secara tiba-tiba. Agung Sedayu ternyata telah berada dan melepaskan puncak ajian Orang Bercambuk yang merupakan ilmu turunan dari Mpu Windujati, sehingga melesatlah sinar biru keputihan yang membelah udara siang.


Benar-benar bagaikan lompatan petir dilangit dan langsung menghantam keris ber-luk tiga belas yang sedang dipegang oleh lawannya.


Terjadilah sebuah ledakan yang sedemikian dahsyat dan memekakkan telinga. Sementara itu ternyata tangan kanan Agung Sedayu telah kembali bergerak dan terayunlah kembali cambuk yang telah dilambari ilmu puncak perguruan Windujati itu untuk kedua kalinya tanpa menimbulkan suara. Susul menyusul seolah terjadi bersamaan dan tanpa jeda dengan ledakan yang terjadi.


Bagi yang hanya mengandalkan indra pendengaran, mereka hanya terkejut akibat dahsyatnya ledakan yang pertama, tanpa menyadari  bahwa sesungguhnya yang menghentak dan menghimpit dadanya serta membuatnya pingsan itu adalah ledakan kedua yang ternyata tidak mengeluarkan bunyi sama sekali.


Inilah yang dialami oleh Gilang.


Setelah menyelesaikan tugasnya untuk mengayunkan bidikannya, Gilang yang sedang melayang di udara itu merasakan gendang telinganya bagaikan pecah, dadanya pepat dan ketika kakinya mencapai pasir di tepian sungai, tubuhnya terjungkal. Sesungguhnya bocah itu telah pingsan bahkan sebelum kakinya menyentuh pasir.


Sementara itu, perhatian Agung Sedayu sepenuhnya tercurah kepada akibat dari serangannya. Ia memang sengaja membidik bilah keris yang berukuran besar dan ber-luk tiga belas itu, yang kemudian terhantam sinar petir akibat ilmu puncak dari perguruan Orang Bercambuk. Hantaman itu mengakibatkan sebuah ledakan besar kedua dan menimbulkan guncangan yang tidak kalah dahsyatnya dengan gundangan yang pertama.


Pada saat yang sama, ternyata Agung Sedayu tanpa ragu langsung menyusuli serangannya itu dengan ayunan cambuk berikutnya yang tidak mengeluarkan bunyi sama sekali.


Kembali langit disiang itu terbelah oleh meloncatnya sinar biru keputihan yang disertai goncangan yang teramat dahsyat dalam dada masing-masing orang. Kejadian itu terjadi dengan teramat cepat dan sama sekali tidak diperkirakan semua orang. Saat itulah beberapa orang langsung bergelimpangan tidak mampu menahan himpitan dalam dada mereka, pingsan.


Himpitan dalam dada itu begitu dahsyat dan mendadak, ibarat jantung siapapun yang mendengarnya seolah terlepas dari batang yang menopangnya. Dua orang pembantu Resi Belahan termasuk Ki Sindupati yang sedang bertarung langsung terkapar pingsan tidak sadarkan diri.

Sementara Sekar Mirah yang sudah pernah mendengar ledakan itu dan mengetahui bahwa himpitan didada ini pastilah berasal dari pengetrapan ilmu suaminya, ternyata ia bisa lebih menata diri dari keterkejutan yang timbul.


Akan tetapi tak urung Sekar Mirahpun terjatuh lunglai dan seluruh tenaganya bagaikan dihisap karenanya. Inilah yang juga terjadi dengan Ki Widura, yang meskipun sebenarnya tenaganya masih utuh akan tetapi  himpitan di dadanya ternyata membuat kedua kakinya tidak mampu menopang berat tubuhnya.


Kiai Garda yang sedang berdiri bebas tanpa lawan saat itu memang sedang memusatkan segala perhatiannya kepada melayangnya tubuh Pandan Wangi dan Gilang. Ia melihat saat-saat dimana Gilang yang sedang melayang itu mengayunkan tangannya untuk membidik, sehingga seluruh perasaan dan perhatiannya terampas seluruhnya pada hasil lemparan. Ternyata, Kiai Garda tidak sempat melihat hasil dari lemparan Gilang. Dua buah ledakan yang terjadi berturut-turut tanpa jeda itu membuatnya sangat terperanjat sehingga membuatnya membalikkan badan untuk melihat keadaan. Apalagi kemudian sebuah himpitan yang maha berat telah menekan dadanya.


Tak pelak Kiai Garda terbungkuk-bungkuk sambil memegangi dadanya, secara naluriah ia meningkatkan daya tahan tubuhnya hingga ke puncak untuk menahan himpitan itu. Keringat mengucur deras dan membasahi wajah serta punggung Kiai Garda, tetapi sesaat kemudian ternyata tekanan dan himpitan raksasa itu perlahan-lahan hilang sehingga ia bisa mulai menarik nafas meskipun dengan terengah-engah. Saat ia menengadahkan wajahnya, Kiai Garda melihat semua orang telah jatuh bergelimpangan.


Ketika itu Kiai Garda sudah tidak sempat melihat tubuh Pandan Wangi yang melayang dibelakang Gilang. Sebagamana Sekar Mirah, Pandan Wangi bisa langsung meyakini bahwa ledakan dan tekanan yang menghimpit dadanya itu pastilah berasal dari penuntasan ilmu cambuk Agung Sedayu, apalagi sekilas ia melihat pula lompatan sinar petir yang berwarna biru keputihan itu.


Betapa perasaan Pandan Wangi bagaikan di aduk-aduk karena-nya, saat itu ia melihat Gilang yang melayang di depannya kemudian langsung terjatuh dan pingsan. Sementara ia sendiri tidak bisa menengok kearah suaminya dan melihat hasil bidikan Gilang karena harus berjuang menahan tekanan dan himpitan di dadanya. Saat kakinya menyentuh tanah berpasir, Pandan Wangi ternyata tidak mampu menjaga keseimbangan wadag dan perasaannya sehingga tubuhnya ikut terguling dekat di tubuh Gilang yang terbaring diam.


Hanya saja Pandan Wangi ternyata masih mampu menjaga kesadarannya dan tidak sampai pingsan. Meskipun tenaganya bagaikan terhisap habis akibat menahan himpitan di dadanya, dengan susah payah Pandan Wangi berusaha bergeser dan berharap bisa merangkak mendekati tubuh Gilang yang diam. Hati Pandan Wangi dipenuhi rasa kuatir yang teramat sangat akan kondisi anaknya, sementara pada saat yang sama tidak pula bisa dipungkiri betapa menyelinap rasa kuatir yang besar atas keselamatan Agung Sedayu yang sedang menghadapi lawan yang teramat tangguh.

Tubuh Pandan Wangi yang berusaha merangkak mendekati Gilang itu sebagian bertaburkan pasir. Sementara dari wajahnya yang sayu, terlihat anak rambut di sekitar telinganya basah oleh keringat. Sambil menggigit bibirnya yang tipis, Pandan Wangi berusaha terus bergeser sambil mendesah lirih.


“Gilang!”


Salam,

Ries

Sunday, August 27, 2017

BSG - BAB.V - AUP - Babak-04

BALADA SWANDARU GENI
Bab V: Ajaran Untuk Pulang
Babak – 04

Kiai Garda terlihat mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun belum terlalu lama mengenal, tetapi ia memang bisa merasakan kedekatan antara Agung Sedayu dan Gilang. Terlebih setelah diketahuinya bahwa Agung Sedayu memang belum dikarunia momongan meskipun sudah berumah tangga sekian lama.
“Saat itulah aku membuang semua keraguan yang biasanya selalu bergelayut di dada ini Kiai”, - terdengar suara Agung Sedayu melanjutkan kalimatnya - ,”Orang seperti Resi Kali Belehan ini sangat berbahaya karena ia mampu menebar kejahatan melalui orang-orang yang dibawah kendalinya. Sikap dan ajarannya secara jelas bertentangan dengan kepercayaan dasar kita pada umumnya, bahwa Yang Maha Agung adalah kuasa tertinggi. Resi Kali Belehan ini menyandarkan hidupnya pada kuasa gelap yang ternyata justru menyeretnya pada perbuatan yang cenderung menurutkan hawa nafsu yang tidak pernah terpuaskan. Agaknya ia juga mengajarkan pengikutnya untuk menyembah kuasa kegelapan dan mengabaikan kepercayaan kita kepada Yang Maha Tunggal”
Agung Sedayu berhenti sejenak seolah hendak menelan ludahnya. Meskipun belum terlalu lama mengenal mengenal Kiai Garda, tetapi panggraita Agung Sedayu meyakinkannya bahwa orang yang juga menganggap Kiai Gringsing sebagai gurunya itu adalah pribadi yang dapat dipercaya. Ia bahkan telah menganggap Kiai Garda sebagai kakak seperguruan yang sudah sepantasnya mengetahui apa yang telah terjadi.
Karena itu Agung Sedayu mencoba mengingat dan menceritakan kepada Kiai Garda saat-saat dimana pertarungannya dengan Resi Kali Belehan itu hampir mencapai puncaknya.
Saat itu pundak kiri Agung Sedayu terasa panas dan gatal-gatal luar biasa akibat pukulan beracun dari lawannya yang secara fisik telah merubah diri menjadi ujud gurunya, Kiai Gringsing. Rasa hormat dan kehendak untuk senantiasa berbakti kepada gurunya membuat Agung Sedayu seolah tidak mempunyai tumpuan untuk bersikap melawan. Panggraitanya mampu menangkap kenyataan yang sedang ia hadapi, akan tetapi jiwanya seolah melayang tanpa sandaran sementara sikapnya menjadi sangat tumpul.
Tubuh Agung Sedayu terpental ke belakang hampir tiga tombak jauhnya. Rasa panas dan gatal-gatal yang meruak dan menyusup dalam aliran darahnya hampir pula membekukan ingatannya bahwa sesungguhnya tubuhnya sudah tawar terhadap semua jenis racun.
Saat itulah, secara tidak sengaja mata dan telinga Agung Sedayu menangkap sebuah gerakan dan teriakan yang dilakukan oleh Pandan Wangi yang sedang melompat ke tepian seberang sungai sambil menggandeng Gilang. Pemandangan dan suara teriakan yang hanya sesaat itu bagaikan sebuah tusukan jarum kecil di ulu hatinya. Terasa sakit dan teramat ngilu meski hanya sekejab, akan tetapi itulah yang kemudian menyadarkannya atas apa yang sedang dihadapinya.
Sesungguhnya Agung Sedayu tidak tahu apa yang sedang dilakukan oleh Pandan Wangi dan Gilang sehingga mereka berdua harus melompati tepian sungai menuju seberang. Dalam benaknya, Agung Sedayu merasa pastilah keduanya sedang terancam mara-bahaya sehingga harus bergerak yang diluar rencana yang sudah mereka bicarakan. Sekilas pula terbayang wajah istrinya, Sekar Mirah, yang ia ketahui juga sedang bertarung melawan salah satu pembantu Resi Kali Belehan ini.
Kekuatiran akan nasib orang-orang terdekatnya itu benar-benar menyadarkan Agung Sedayu untuk bersikap tegas tanpa ragu-ragu lagi. Jauh di lubuk hatinya, awalnya ia memang berharap bahwa pertarungan ini tidak perlu membawa kematian bagi siapapun, tetapi harapan itu agaknya akan sulit terpenuhi.
Karena itu, ketika tubuhnya terpental jauh ke belakang dan bahkan jatuh hingga berguling-guling beberapa kali, disaat itu pula Agung Sedayu segera mempersiapkan diri dan membangkitkan semua getaran dalam tubuhnya. Pengalaman yang telah tertimbun dalam dirinya mampu membuatnya untuk membatasi akibat fatal yang mungkin timbul dan bahkan dalam sekejab Agung Sedayu sudah mampu berjongkok menghadap kearah lawannya. Tangan kanannya terlihat menyentuh tanah untuk menopang berat tubuhnya, sementara tangan kirinya menempel pada lutut kaki kirinya yang ditekuk. Dengan wajah yang menegang, Agung Sedayu menatap lawannya yang sedang melayang mengejarnya sambil hendak mengayunkan sebuah keris besar ber-luk tigabelas.
Dimata Agung Sedayu yang jiwa dan nuraninya telah tersadarkan itu, ujud lawannya itu kini sama sekali tidak menyerupai ujud gurunya, Kiai Gringsing. Lawannya adalah seorang yang berpakaian serba hitam, sama sekali tidak ada motif gringsing pada kain panjangnya. Wajahnya terlihat sedikit tirus, menandakan umurnya yang cukup tua, rambut panjangnya terurai lepas kebelakang dan kepalanya dihiasi sebuah mahkota gemerlap yang agaknya terbuat dari emas.
Tetapi semua ciri fisik pada lawannya itu hanya melintas sekejab saja dipikirannya, sementara perhatian dan pandangan Agung Sedayu kemudian sepenuhnya teralihkan pada senjata keris di tangan lawannya. Keris ini berukuran lebih besar dari keris pada umumnya yang biasanya berluk sembilan, terlebih keris ditangan lawannya itu memunculkan aura gelap yang mampu menekan perasaan lawan. Terlihat warna merah menyala menyelimuti batang keris, akan tetapi warna merah itu kemudian ditimpa oleh aura yang sangat pekat dan gelap yang menyelubunginya sehingga keris itu sesungguhnya mengandung sebuah kekuatan yang teramat dahsyat dan sulit diperkirakan besarnya.
Dalam waktu yang teramat singkat dan posisi diserang, Agung Sedayu mampu berpikir cepat. Akan kurang menguntungkan jika ia harus menyambut atau membentur keris lawan yang sedang berada pada puncak kekuatannya. Otaknya berputar dengan sangat cepat dan segera ia membidik satu titik yang mampu ia jangkau dengan tatapan matanya. Agung Sedayu sengaja mengabaikan dada lawan yang sebenarnya terbuka.
Agung Sedayu meyakini bahwa serangan ke bagian dada belum tentu mampu merobohkan lawan yang sedang dalam puncak tertinggi kemampuannya, sementara keris ditangan lawan itulah yang saat ini justru sedang mengancam jiwanya.
Dalam keterbatasan waktu yang sangat mendesak dan sambil berjongkok diatas tanah, Agung Sedayu memanjatkan doa dan berserah pada kuasa Yang Maha Agung. Ia sudah memantabkan hati dan sasaran, sehingga sesaat kemudian dari kedua matanya memancar sebuah sinar merah yang melesat cepat bagaikan tatit menyambar di langit. Dua sinar merah yang meluncur dari kedua mata Agung Sedayu itu dengan telak dan tak tertahankan menghantam pergelangan tangan kanan Resi Kali Belehan yang sedang menggenggam keris pusakanya.
Sesungguhnya Agung Sedayu memang dikarunia ingatan yang cemerlang serta kemampuan untuk membaca situasi dengan sangat baik. Ilmu perlindungan atau ilmu kebal pada umumnya memusatkan kekuatan pada bagian tubuh utama manusia dalam hal ini bagian dada, perut, punggung ataupun pundak yang memang mudah dijangkau lawan. Terlebih ilmu kebal atau perlindungan yang diperoleh melalui olah nafas, maka perut dan dada merupakan puncak kekuatan perlindungan yang sangat sulit bisa ditembus lawan.
Hal itu bisa ditangkap dengan jeli oleh Agung Sedayu, terlebih situasi saat itu ia harus menghindari sambaran keris yang sangat berbahaya itu. Karena itu Agung Sedayu sengaja melepas sasaran pada dada lawan yang sebenarnya sangat terbuka, melainkan mengarahkan bidikan matanya pada pergelangan tangan kanan lawan.
Sementara itu Resi Kali Belehan terlambat menyadari gerak Agung Sedayu yang ternyata mengabaikan dadanya yang terbuka yang memang sengaja ia pakai sebagai pancingan. Hatinya terguncang dan betapa terperanjatnya ia ketika menyadari bahwa sasaran Agung Sedayu adalah pergelangan tangan kanannya yang sedang memegang keris pusaka. Sama sekali bukan dadanya yang terbuka.
Tetapi Resi Kali Belehan ini memang tokoh pinunjul dengan pengalaman luar biasa yang tertimbun dalam dirinya. Ia memiliki ilmu-ilmu yang dianggap diluar nalar atau diluar akal sehat orang pada umumnya. Menyadari dahsyatnya dua sinar merah yang keluar dari kedua mata Agung Sedayu, ia segera mengambil keputusan yang sama sekali diluar dugaan Agung Sedayu.
Agung Sedayu yang sedang membidik pergelangan tangan lawan itu terperanjat bukan main ketika merasakan serangannya yang membentur, meremas dan membakar pergelangan tangan itu seolah tidak berpengaruh sama sekali. Tubuh hitam itu seolah hanya merupakan sosok tanpa jiwa yang sama sekali tidak merasakan sakit ataupun keterkejutan sama sekali. Tubuh sosok hitam itu memang terpental dan terlihat keluar asap dari pergelangan tangannya, akan tetapi Agung Sedayu merasakan serangannya itu mengenai sesuatu yang kopong, tidak menyakiti jiwa ataupun menyakiti kehidupan yang mendukung sosok tubuh hitam itu.
Sungguh suatu keadaan yang benar-benar mencengangkan dan diluar pemahaman Agung Sedayu.
Akan tetapi saat itulah panggraita Agung Sedayu bergetar, sekejab sebelum serangan sorot matanya menghantam sasaran, matanya masih sempat melihat ada gumpalan asap merah bercampur hitam yang sangat tipis keluar dari kepala atau cakra mahkota lawan. Asap merah kehitaman itu bergerak melalui tubuh bagian atasnya dan merambat ke tangan kanannya yang sedang dipenuhi aura pusakanya yang menggelap akibat pengerahan tenaga cadangan dan ilmu yang tersalur di keris ber-luk tiga belas itu.
Sudah tentu semua kejadian itu berlangsung dalam waktu yang teramat cepat dan bahkan hanya selintasan pikiran manusia.
Tiba-tiba jantung Agung Sedayu berdetak kencang dan tidak beraturan, panggraitanya yang tajam meyakini bahwa jiwa lawannya sudah berpindah dan tidak lagi berada dalam tubuh hitam itu. Kenyataannya tubuh sosok hitam itu bagaikan segepok batang pisang yang meskipun teremas oleh bantaian serangan matanya, akan tetapi tidak terdengar jerit kesakitan ataupun keluhan yang keluar dari mulut sosok hitam itu.

Agung Sedayu memang belum pernah mendengar ada ilmu yang sanggup memindahkan jiwa, apalagi ke dalam sebuah benda mati. Akan tetapi panggraitanya mengatakan bahwa jiwa Resi Kali Belehan itu sekarang sudah oncat dari tubuh sosok hitamnya dan berpindah merasuk ke dalam keris pusakanya. Ataukah keris pusaka itu adalah sebuah benda yang didalamnya terpancar kehidupan?
Kenyataannya, keris ber-luk tigabelas itu kini memancarkan cahaya merah kehitaman yang semakin membesar, pekat dan menakutkan. Keris itu memang masih ada dalam genggaman sosok hitam yang seolah sudah tanpa jiwa, akan tetapi sosok hitam itulah yang kini justru digerakkan oleh keris yang kini mempunyai jiwa dan kemauan. Sebuah pemandangan yang tidak dipahami oleh manusia kebanyakan dan bahkan membuat jantung seorang Agung Sedayu berdenyut semakin kencang.
Sambil masih berjongkok Agung Sedayu mencoba mempertajam seluruh ilmu yang akan mendukung tindakannya. Ajian Sapta Pandulu, Sapta Pangganda dan Sapta Panggraitanya dikerahkan hingga ke puncak.
Ada aroma khas yang kemudian tertangkap oleh ajian Sapta Pangganda dan hinggap di hidung Agung Sedayu.
Salam,
Ries

Tuesday, August 22, 2017

BSG - BAB.V - AUP - Babak-03

BALADA SWANDARU GENI
Bab V: Ajaran Untuk Pulang
Babak – 03



Ketika kecepatan pusaran angin itu mencapai puncaknya, dengan cepat sekali tiba-tiba Agung Sedayu mengendalikan pusaran itu untuk masuk dan menusuk ke dasar tempuran sungai Belehan. Gerakan dengan tenaga dahsyat dan mendadak itu tak pelak membuat permukaan air di tempuran sungai Belehan itu seperti tersibak atau bahkan terbelah. Gelombang air itu kemudian naik keatas dan bahkan membentuk semacam dinding yang berbentuk lingkaran yang berputar secara terus menerus seiring pusaran angin itu. Gabungan suara menderu-deru dengan gelombang air yang tersibak itu sangat mencekam siapapun yang mendengarnya dan sungguh sulit digambarkan dengan kata-kata.


Kiai Garda mencoba mengetrapkan ajian Sapta Pandulu hingga ke puncaknya, akan tetapi ia harus mengakui bahwa kemampuannya tidak berhasil menembus dan melihat apa yang terjadi di balik dinding air yang berputar itu. Hanya saja panggraita Kiai Garda meyakini dan bisa merasakan betapa kekuatan angin pusaran itu kini tengah menyisir dan kemudian mengaduk-aduk apa yangada di dasar tempuran sungai itu. Dengan kekuatan yang sedemikian dahsyat, rasanya semua yang ada didasar itu akan terenggut dan ibaratnya tidak ada sebutir kerikilpun yang akan terlewatkan.


Sesaat kemudian, mata Kiai Garda segera menangkap betapa dari dalam pusaran air yang berputar itu berhamburanlah lumpur bercampur pasir yang terlempar naik ke udara lalu jatuh kembali kepermukaan air diluar pusaran itu. Tanah berlumpur serta pasir berwarna coklat kehitaman itu berhamburan terus menerus kearah dimana Agung Sedayu dan Kiai Garda berdiri dan jatuh di tepian sungai sekitar dua tombak didepan mereka.


Kiai Garda segera mempersiapkan diri, ia menarik nafas dalam-dalam dengan sangat lembut melalui lubang hidungnya. Tubuhnya sedikit merendah dan kaki kiri-nya bergeser kedepan setengah langkah. Kedua tangannya bergerak pelan didepan dada dan membentuk sebuah lingkaran yang diulang beberapa kali. Dengan cara ini, Kiai Garda sedang menebarkan tenaga cadangannya melalui pampatnya udara disekitarnya serta membuat sebuah dinding yang tidak kasat mata yang akan melindungi mereka dari terpaan benda apapun.


Sementara itu, meskipun mata Agung Sedayu terpaku pada pusaran angin dan pusaran air di atas tempuran sungai, akan tetapi dengan sudut matanya ia melihat bahwa Kiai Garda sudah mempersiapkan diri. Karena itu beberapa saat kemudian, Agung Sedayu segera menambah dan menghentakkan kekuatan yang lebih besar sehingga berhamburanlah lumpur bercampur pasir hitam itu dengan lebih banyak, lebih deras dan lebih jauh jangkauannya menuju kearah mereka berdua.


Dari jarak yang agak jauh, Ki Widura, Sekar Mirah, Pandan Wangi dan Gilang bisa melihat betapa air yang bercampur dengan lumpur, pasir dan bahkan kini juga ada kerikilnya itu terlontar naik dari dalam pusaran lalu dengan cepat menggerojok kearah tepian. Air itu kini berwarna pekat dan bahkan sedikit padat karena banyaknya lumpur, pasir dan kerikil di dalamnya dan dengan derasnya meluncur hendak menghantam dan mengubur Agung Sedayu dan Kiai Garda yang tetap berdiri ditempatnya.


Hampir saja mulut Gilang berteriak untuk memperingatkan kedua pamannya yang seolah tidak tahu bahaya itu. Akan tetapi matanya kemudian terbelalak ketika melihat betapa air atau lumpur kehitaman yang pekat dan padat itu seolah tertahan atau membentur sebuah dinding yang tidak terlihat lalu kemudian berhamburan jatuh ke tanah, sekitar satu tombak dari tempat Agung Sedayu dan Kiai Garda berdiri. Gelombang air pekat itu masih meluncur terus menerus dan menghantam dinding yang tidak kasat mata itu seolah tidak berhenti.


Beberapa saat kemudian mata Gilang bahkan sempat menangkap adanya sebuah benda padat berwarna hitam yang juga ikut terbawa arus gelombang luncuran dan kemudian menghantam dinding yang dibuat Kiai Garda itu.


Setelah itu secara perlahan-lahan gelombang luncuran lumpur padat itu mengecil dan bahkan kemudian berhenti seiring hilangnya pusaran air dan juga pusaran angin yang tadi ada di atas tempuran sungai Belehan itu. Suara-suara gemuruh yang sangat mendirikan bulu roma juga sudah tidak terdengar lagi dan suasana di tepian sungai itu berangsur-angsur kembali normal.


Agung Sedayu dan Kiai Garda terlihat maju beberapa langkah dari tempat mereka berdiri dan bahkan kemudian berjongkok. Dihadapannya ada timbunan lumpur yang bercampur dengan pasir dan kerikil yang berhamburan. Diantara itu semua, mata kedua orang itu menatap sesosok tubuh manusia yang tergolek diam tak bergerak.


Sosok tubuh yang tergolek diam itu bercampur atau dilumuri lumpur pekat sehingga semua bagian tubuhnya juga terlihat berwarna hitam. Rambutnya yang panjang terlihat menggimbal sementara dari sisi samping kiri, Kiai Garda bisa melihat bahwa dikepala sosok tubuh itu tersangkut sebuah mahkota yang terbuat dari emas meskipun sebagian sudah pula dikotori lumpur hitam. Di bagian depan mahkota itu berhiaskan sebuah ukiran berbentuk ular yang sedang menggulung tubuhnya sementara kepala ular itu tegak dengan tatapan mata dingin menakutkan.


Tetapi perhatian Kiai Garda teralih di bagian dada sebelah kiri sosok tubuh itu, dimana sebuah potongan kecil bambu kuning yang agak panjang ternyata telah menusuk jantungnya hingga tembus ke belakang.


“Agaknya tusukan bambu kuning pethuk ros-e inilah yang telah mengakhiri hidup Resi Kegelapan ini”, - desis Kiai Garda dalam hati.


Meskipun hanya sekilas, Kiai Garda melihat pula betapa kulit tubuh orang yang tergolek itu dipenuhi beberapa bilur-bilur yang warnanya lebih gelap seolah menampakkan adanya beberapa luka cambuk.

“Orang ini mampu melindungi tubuhnya dengan ilmu kebal yang cukup sempurna, sehingga cambuk Ki Agung Sedayu tidak mampu melukai kulitnya. Akan tetapi pastilah cambuk itu telah meremukkan tulang dan bagian-bagian dalam tubuhnya”, - diam-diam Kiai Garda membuat penilaian sendiri.


Sementara Agung Sedayu yang juga berjongkok disebelah Kiai Garda terdengar berdesis pelan - ,”Aku tidak mempunyai pilihan lain Kiai, orang ini mempunyai ilmu teramat tinggi dan sangat aneh. Hampir saja aku dikelabuhi oleh bentuk wadagnya yang mampu berubah dalam sekejab dan sulit dikenali meskipun aku sudah mengetrapkan ajian sapta panggraita”


Kiai Garda terlihat mengerutkan keningnya - ,”Bagaimanakah ia merubah bentuk wadagnya dan bagaimana mungkin Ki Agung Sedayu hampir dikelabuhi?”


Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam, diam-diam ia mengucap syukur ke hadapan Yang Maha Agung karena telah memberinya kesempatan untuk tetap bertahan hidup dan bahkan akhirnya keluar dari pertarungan yang mencekam itu.


“Kiai, sesungguhnyalah aku mempercayai bahwa diatas langit masih ada langit. Adalah salah jika aku merasa terlalu bangga dengan ilmu-ilmu yang selama ini sudah aku miliki, akan tetapi kenyataannya aku hampir saja tumbang dan tidak bisa menahan gempuran Resi Kali Belehan yang ternyata mampu merubah dirinya menjadi berbagai bentuk dalam waktu sekejab”, -  Agung Sedayu berhenti sejenak sebelum kemudian melanjutkan kalimatnya dengan nada rendah - ,”Aku tidak gentar atau takut ketika ia merubah dirinya menjadi makhluk hitam yang sangat menyeramkan, lebih menyeramkan dari makhluk Onggo-Inggi itu. Lalu dalam sekejab ia merubah dirinya menjadi perempuan cantik yang sangat menggoda dengan pakaian yang terbuka. Di kali lain, ia berubah bagaikan seorang satria atau bahkan maharaja dengan pakaian serba gemerlap dan sikap yang sangat berwibawa. Aku masih bisa melayaninya dengan baik dan bahkan mendesaknya dengan serangan-seranganku. Akan tetapi, perubahan wujudnya yang terakhir membuat hatiku begitu tercekat dan bahkan kemudian hampir-hampir melemahkan seluruh perlawananku”


Kiai Garda mengerutkan keningnya lebih dalam, dilihatnya Agung Sedayu itu menundukkan kepalanya seolah sedang menelan perasaan yang tadi mengganggunya. Dengan hati-hati Kiai Garda itu kemudian menyela dan menebak - ,”Pastilah kegoncangan hati Ki Agung Sedayu itu terjadi karena Resi itu berubah menjadi seseorang yang sedemikian dekat di hati Ki Agung Sedayu”.


Agung Sedayu menoleh sambil memandangi wajah Kiai Garda - ,”Tidak salah Kiai, dan tahukah Kiai ia berubah menjadi wujud seperti apa?”


Kiai Garda menggelengkan kepalanya pelan - ,”Tentu aku tidak tahu Ki”


“Ia berubah menjadi seseorang yang selama ini membimbing dan melindungiku. Seseorang yang sangat aku hormati, yang menganggap semua orang adalah keluarganya sementara ia sendiri tidak pernah berkeluarga. Seseorang yang telah mengabdikan hidupnya untuk membantu sesama dalam lingkup yang kecil sebagai seorang tabib, akan tetapi dalam lingkup besar, sumbang sih-nya telah membantu berdirinya sebuah kerajaan yang bernama Mataram ini”, - suara Agung Sedayu terdengar merendah.


“Ah”, - kini Kiai Garda ikut mendesah - ,”Apakah beliau guru Kiai Gringsing?”


“Selama ini sikap dan petunjuk Guru memang menjadi acuan dan panutan hidupku Kiai, dan akhir-akhir ini kerinduanku akan kehadiran Guru sebenarnya sangat membuncah. Apalagi melihat tingkah laku adi Swandaru yang sering membuatku mengelus dada. Jika saja guru sempat melihatnya, aku tidak bisa membayangkan betapa sedihnya hati orang-tua itu”, - suara Agung Sedayu terdengar prihatin, sehingga perasaan Kiai Garda ikut merinding karenanya.


Kiai Garda yang sedikit banyak sudah mengetahui persoalan diantara kakak-beradik seperguruan itu ikut menarik nafas dalam-dalam. Terbesit sebuah kekaguman atas kesabaran yang dimiliki oleh Agung Sedayu dalam menaggapi persoalan diantara mereka. Agaknya itulah cermin sikap dari ajaran gurunya Kiai Gringsing.


“Lalu bagaimana Ki Agung Sedayu bisa terlepas dari cengkeraman perasaan itu”, - Kiai Garda sengaja mengajukan sebuah pertanyaan untuk mengalihkan perasaan Agung Sedayu yang sedang peka itu.


“Aku hampir saja terlena dalam sikap cengeng Kiai, dan itu hampir saja berakibat fatal pada diriku. Lihatlah Kiai”, - Agung Sedayu tiba-tiba saja menyingkap baju bagian atas dan menunjukkan kepada Kiai Garda pundak kiri bagian atasnya yang terlihat membiru -,”Resi itu mampu mengguncangkan perlindungan ilmu kebalku dan bahkan menyarangkan pukulan beracun yang membuat seluruh kulit tubuh dan darahku terasa gatal”


Kiai Garda bergeser mendekat, sebagai seorang ahli pengobatan ia ingin meneliti luka akibat pukulan beracun itu. Keningnya terlihat berkerut dalam sebelum kemudian ia berkata pelan - ,”Racun itu agaknya telah berhenti menyebar Ki, agaknya Yang Maha Agung memberi karunia tubuh yang bebas dari segala macam jenis racun pada Ki Agung Sedayu”


Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam - ,”Sebuah karunia yang wajib aku syukuri Kiai”


“Tetapi Ki Agung Sedayu belum menjelaskan bagaimana caranya bisa terlepas dari cengkeraman perasaan itu”, - Kiai Garda mengejar jawaban dari pertanyaan sebelumnya.

“Sesungguhnya kesadaran itu muncul dengan tiba-tiba Kiai, sesaat setelah terkena pukulan beracun itu tubuhku terpental jauh ke belakang. Disaat itu pula aku melihat dan mendengar teriakan Pandan Wangi yang agaknya sedang meloncat melintasi sungai sambil menggandeng Gilang. Agaknya teriakan Pandan Wangi dan  pemandangan yang sempat kutangkap itu telah menyadarkan diriku agar segera bertindak tanpa ditunda lagi. Jika aku mati terkapar karena tindakan Resi Belehan, lalu bagaimana dengan nasib yang lain-lain, terutama Gilang yang masih bocah itu?”



Salam,

Ries 

Saturday, August 19, 2017

BSG - BAB.V. - AUP - Babak-02

BALADA SWANDARU GENI
Bab V: Ajaran Untuk Pulang
Babak – 02



Sementara Pandan Wangi yang melihat kehadiran Agung Sedayu sedang memeriksa Gilang memaksakan diri untuk bergeser mendekat. Sudut hatinya yang terdalam mengucap syukur bahwa Agung Sedayu agaknya telah menyelesaikan tugasnya tanpa cedera yang berarti, meskipun tubuhnya tampak letih dengan pakaian yang compang-camping. Akan tetapi di sisi yang lain, ia dipenuhi kecemasan yang teramat sangat dengan keadaan Gilang sehingga dengan susah payah ia memaksakan diri untuk terus merangkak dan bergeser mendekat. Tubuhnya terasa sangat lemah dan sisa-sisa tenaganya seolah tersedot habis oleh rasa keterkejutan dan kekuatirannya atas kondisi anaknya.


“Gilang!”, - desahnya lirih sambil berusaha terus bergerak.


Pandan Wangi terpaksa berhenti sejenak ketika sebuah tangan halus memegang pundaknya sambil berbisik lemah.


“Tenanglah Pandan Wangi, biarlah kakang Agung Sedayu melihat keadaan Gilang”, - suara Sekar Mirah terdengar lirih seolah ia memaksakan tenaga terakhirnya untuk mengucapkan kalimat itu.


Agung Sedayu yang sudah selesai memeriksa Gilang itu ternyata kemudian justru melangkah mendekati Sekar Mirah dan Pandan Wangi. Wajahnya yang meskipun lelah terlihat tersenyum tipis sehingga menimbulkan ketenangan pada diri kedua perempuan itu.


“Gilang hanya pingsan dan tidak lama lagi ia pasti terbangun. Sekarang, cobalah untuk memusatkan nalar-budi sejenak agar bisa memulihkan tenaga kalian berdua”


Agung Sedayu menyelesaikan kalimatnya sambil membantu Sekar Mirah menemukan tempat yang nyaman untuk duduk dan melakukan pemusatan nalar-budi. Ada sebuah pohon nyamlung yang cukup besar ditepian sungai itu meskipun letaknya agak menjorok ke tebing. Matahari yang sudah mulai turun ke barat itu memberikan naungan yang cukup bagi mereka untuk berteduh dari sengatan panas.


Setelah itu, Agung Sedayu melangkah menghampiri Pandan Wangi dan memapahnya untuk bergeser dan bergabung dengan Sekar Mirah dibawah naungan mahkota daun yang cukup rindang.


“Marilah Wangi, sebaiknya kau memperbaiki kondisi tubuh dan memulihkan tenagamu terlebih dahulu. Aku juga akan mengangkat Gilang sebelum nanti memeriksa pula keadaan adi Swandaru”

Suara Agung Sedayu yang lirih itu seolah merupakan sihir bagi Pandan Wangi sehingga ia cenderung menurut saja ketika kedua tangan Agung Sedayu terulur dan membantunya untuk melangkah. Dengan tertatih-tatih keduanya kemudian beranjak dan bergeser menuju bawah pohon nyamlung dimana ternyata Kiai Garda telah membawa Ki Widura duduk disamping Sekar Mirah. Wajah Ki Widura terlihat pucat sementara jantungnya berdetak tidak beraturan, akan tetapi sebenarnya kondisinya masih lebih baik di banding Sekar Mirah maupun Pandan Wangi yang tenaganya memang sudah terkuras dalam beberapa hari terakhir.


Setelah memberi saran agar ketiganya memusatkan nalar-budi untuk memulihkan kembali kondisi tubuhnya, Agung Sedayu kemudian berdesis kepada Kiai Garda.


“Marilah Kiai, sebaiknya kita bawa semua tubuh-tubuh yang pingsan itu ke bawah pohon ini”


Kiai Garda menganggukkan kepalanya tanpa menjawab, hatinya masih diliputi tanda tanya dan keheranan atas semua peristiwa yang baru saja mereka alami. Dengan cepat keduanya mengangkat tubuh-tubuh pingsan itu ke bawah pohon nyamplung itu dan membaringkannya dengan berderet.


Ketika keduanya selesai memindahkan tubuh-tubuh itu, tidak lama kemudian terdengar suara mengerang dari Gilang yang berbaring di sebelah Ki Widura. Ternyata Gilang adalah yang pertama kali siuman, sementara Swandaru dan dua pembantu dari Resi Belehan itu masih juga belum menampakkan tanda-tanda akan tumbuhnya kesadaran.


Dengan cepat Kiai Garda, mengambil sebuah ramuan yang agak kental dari ikat pinggangnya dan kemudian memborehkannya ke dada dan leher Gilang. Ramuan itu menebar bau yang cukup harum serta mampu menumbuhkan kesadaran dengan lebih cepat. Setelah mengerang beberapa kali ternyata sesaat kemudian Gilang bahkan sudah membuka matanya dan berusaha duduk. Ia mengedarkan pandangan matanya sambil mengerutkan keningnya ketika melihat Ibundanya, bibinya Sekar Mirah dan Ki Widura sedang duduk tegak bersila sambil memejamkan kedua matanya.


Sementara ada tiga tubuh lain yang terbaring, salah satunya adalah tubuh Ayahnya yang sedang diperiksa oleh pamannya Agung Sedayu sambil berjongkok. Dengan cepat kesadaran Gilang pulih,  sehingga ia bangkit dan bahkan melangkah mendekat.


“Bagaimana keadaan Ayah, paman?”, - tanya Gilang dengan nada kuatir.


Agung Sedayu menoleh sambil tersenyum.


“Bidikanmu sungguh luar biasa Gilang”, - kata Agung Sedayu sambil meminta Gilang mendekat - ,”Lihatlah, noda hitam di belakang telinga Ayahmu kini sudah lenyap meskipun sebagai gantinya kini bagian itu terluka dan berdarah akibat bidikan bambu kuningmu. Hilangnya noda hitam itu akan lebih memudahkan kita untuk melepaskan seluruh pengaruh buruk yang pernah ada. Apalagi, penguasa sungai itu juga sudah tidak ada lagi”


Gilang sekali lagi terlihat mengerutkan keningnya, sementara justru ada suara lain yang mengajukan kepada Agung Sedayu.


“Apa yang terjadi dan dimanakan sekarang Resi Kali Belehan itu Ki?”


Suara dan pertanyaan itu ternyata datangnya dari Kiai Garda. Agaknya ia memendam rasa penasaran yang besar sehingga ketika ada kesempatan, segera diajukannya pertanyaan yang membelit perasaannya itu.


Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam, sebelum kemudian menjawab pertanyaan Kiai Garda itu - ,“Aku memang ingin mengajak Kiai Garda untuk melihat keadaan Resi Belehan itu, tetapi kita tunggu sejenak sampai paman Widura dan yang lainnya menyelesaikan pemusatan nalar-budinya”


Kiai Garda menganggukkan kepalanya, saat ini mereka berdua memang tidak mungkin meninggalkan tempatnya. Agaknya Agung Sedayu memang memperhatikan segala hal hingga bagian-bagian yang terkecil.


“Pantaslah, ia adalah adik dari Ki Temunggung Untara yang sangat terkenal dalam menyusun strategi dan siasat perang. Agaknya keluarga Ki Agung Sedayu memang merupakan orang-orang pilihan”, - desis Kiai Garda dalam hati.


Beberapa saat kemudian ternyata Ki Widura, Pandan Wangi dan Sekar Mirah sudah menyelesaikan pemusatan nalar-budinya hampir pada saat yang bersamaan. Meskipun tenaganya belum pulih sepenuhnya, akan tetapi mereka merasakan tubuhnya  lebih segar dan sudah bisa bergerak sebagaimana biasanya.


Saat itulah kemudian Agung Sedayu mengajak Kiai Garda untuk bergeser beberapa puluh tombak dari pohon nyamlung itu, justru kembali mendekati rumpun bambu kuning yang sekarang kondisinya porak poranda. Batang-batang bambu itu roboh tidak beraturan dengan daun yang hampir-hampir gundul. Akan tetapi akar pohon bambu itu masih kokoh tertancap ditanah sehingga dalam beberapa bulan ke depan rumpun bambu itu pasti akan kembali tumbuh dengan subur. Sangat berbeda dengan kondisi dua pohon beringin raksasa yang tumbuh di seberang, dimana batang utamanya telah hangus menghitam serta kondisinya miring dengan akar yang sudah tercerabut sebagian.


“Aku mohon Kiai Garda bisa membantu”, - desis Agung Sedayu.

Kiai Garda mengerutkan keningnya karena kurang memahami perkataan Agung Sedayu. Akan tetapi setelah Agung Sedayu memberi penjelasan sekilas, ia segera mengangguk dan mempersiapkan diri.


Sesaat kemudian, dari samping kiri Agung Sedayu tiba-tiba muncul angin pusaran angin kecil yang bergerak berputar-putar. Pusaran itu seolah muncul begitu saja dan kemudian bergeser ketepian serta hendak menyeberangi sungai Belehan itu. Pusaran yang awalnya hanya kecil itu semakin lama semakin membesar dan bergerak diatas permukaan air sungai.


Kiai Garda menunjukkan wajah tegang, ia melihat Agung Sedayu hanya menyilangkan kedua tangannya di dada atau bersedekap. Akan tetapi mata Agung Sedayu menatap tajam pada pusaran angin yang awalnya kecil dan kini berubah semakin lama semakin besar. Angin pusaran yang terus membesar itu bahkan kemudian menimbulkan riak-riak air permukaan sungai itu bergelombang.


Pusaran yang terus membesar itu kini bergerak menuju tengah dan berhenti ketika berada tepat diatas pertemuan arus air atau yang disebut dengan Tempuran Kali Belehan. Pusaran angin itu tidak lagi bergeser, akan tetapi terus berputar semakin lama semakin meraksasa dan menimbulkan suara menderu-deru mengerikan.


Permukaan air dibawah pusaran angin raksasa itu bergolak semakin keras dan menimbulkan suara bergelombang. Kini permukaan air itu bagaikan diaduk oleh tangan-tangan raksasa sehingga terjadilah ombak dan gelombang yang membesar dan bahkan terangkat tinggi oleh pusaran angin raksasa itu


Kiai Garda merasakan udara di sekitar Kali Belehan itu kini kembali mencekam dan mematikan seluruh indra serta perasaannya. Pusaran angin raksasa itu terus mengaduk-aduk tempuran sungai dan mengangkat tinggi air dibawahnya sehingga muncullah gelombang ombak dengan suara yang bergemuruh dan menderu-deru.



Salam,
Ries


Thursday, August 17, 2017

BSG - BAB.V - AUP - Babak-01

BALADA SWANDARU GENI
Bab V: Ajaran Untuk Pulang
Babak – 01


---------------- 
  
MERDEKA!!!
Bersamaan dengan HUT Kemerdekaan Indonesia, merdeka pula jiwa tokoh utama kita dari penyekapan fisik dan tekanan psikis yang selama ini membelenggu. Bukan suatu kebetulan kalau pembebasan itu terjadi pada hari yang sama dengan kemerdekaan NKRI. Bukankah daun kering yang jatuh dari pangkal dahannya itu juga bukan suatu kebetulan?

Lalu apakah setelah merdeka, SG kemudian menyadari seluruh kesalahan, menggosok sisi gelapnya  serta hilang pula sifat ‘tuk-mis’-nya? Akankah ia menjadi pribadi gemilang sesuai ajaran yang senantiasa dibisik-kan secara terus menerus oleh Sang Guru Kiai Gringsing?

Akankah PW berbahagia dengan pulangnya sang suami lalu melupakan serta mengubur cinta dalam hati atas pria lain yang selama ini membelenggu nurani? Apakah AS akan melepas sepenuhnya  keberadaan Gilang dan ibundanya kepada SG ataukah akan selalu mengawasinya meski dengan sembunyi-sembunyi?

Who knows?

-----------  


Ledakan maha dahsyat itu benar-benar mengguncang udara di sekitar sungai Belehan. Kabut putih dan asap hitam terlihat bergulung-gulung saling menindih dengan suara menderu-deru serta desisan tajam yang menyakitkan gendang telinga. Suasana di siang hari itu sama sekali telah berubah, langit menggelap kelabu akibat saling tindihnya asap dan kabut. Sementara, telinga dan bahkan indra panggraita mereka tidak berfungsi dengan baik karena tertutupi oleh sebuah kekuatan yang tidak mereka kenali.


Belum lagi habis keterkejutan dan ketegangan yang membalut hati setiap orang yang hadir di tepian sungai itu, tiba-tiba jantung mereka kembali berguncang dengan kerasnya. Dua buah ledakan yang jauh lebih dahsyat dari ledakan sebelumnya kembali menggelegar dan hendak merontokkan seluruh isi dada mereka. Bersamaan dengan dua buah ledakan maha dahsyat yang terjadi berturut-turut tanpa jeda itu, langit yang menggelap itu seolah terbelah dan diterangi oleh beberapa loncatan sinar putih kebiru-biruan layaknya sambaran petir yang menyambar-nyambar di langit.


“Cambuk? Dahsyat sekali!”, - tanpa sadar Kiai Garda berdesis lirih.


Ia terpaksa harus menekan dadanya yang seperti terhimpit dua buah gunung anakan. Kedahsyatan ledakan itu benar-benar diluar jangkauan nalarnya sehingga meskipun ia sudah mengerahkan seluruh tenaga cadangannya untuk bertahan, akan tetapi tidak urung Kiai Garda harus menggigit bibirnya sambil memperkuat daya tahan tubuhnya.


Ledakan dahsyat itu meskipun sudah tidak terdengar lagi, tetapi telinga Kiai Garda sesekali masih mendengar semacam letupan-letupan kecil yang merupakan sisa-sisa kekuatan yang terlontar akibat adanya sebuah pertarungan yang maha dahsyat di arena ini. Sejenak kemudian suara-suara itu benar-benar menghilang dan suasana berangsur-angsur menjadi hening.


Meskipun perlahan, kabut putih yang saling menindih dengan asap hitam itu kemudian juga terangkat dan bergerak menjauh oleh hembusan angin. Suasana siang kembali terang benderang dan panas mataharipun mulai terasa menyengat kulit.


Untuk sesaat Kiai Garda masih merasa seolah berada dalam sebuah dunia yang tidak dikenal maupun disadarinya, dunia yang penuh ketidakpastian dan bahkan teramat menakutkan. Tetapi perlahan-lahan kesadarannya kembali pulih, seiring suasana siang yang kembali terang dan panas sebagaimana layaknya siang hari.


Akan tetapi kesadaran yang datangnya baru sekejab itu ternyata kembali terguncang ketika matanya menyapu seluruh tepian sungai itu. Terlihat tubuh-tubuh yang bergelimpangan diatas pasir seolah mereka baru saja tumbang oleh sebuah serangan yang tidak mampu mereka lawan. Ki Sindupati dan lawannya yang bertubuh jangkung itu tergeletak dengan jarak sekitar dua tombak dan agaknya keduanya sudah tidak sadarkan diri. Posisi keduanya hanya berjarak sekitar enam-tujuh tombak dari rumpun bambu kuning yang tumbuh di seberang tempuran sungai itu.


Tiga tombak disebelahnya, laki-laki dengan luka di pelipis yang menjadi lawan Sekar Mirah juga tergeletak tak sadarkan diri. Sementara hanya berjarak kurang dari satu tombak, Sekar Mirah terlihat terduduk lemah dihamparan yang berpasir sambil tangan kirinya menekan dadanya sementara tangan kanannya masih memegang tongkat baja putihnya. Kiai Garda sempat melihat betapa wajah Sekar Mirah sedemikian pucat oleh keterkejutan yang menghentak dadanya secara tiba-tiba.


Secara tidak sadar kaki Kiai Garda hampir saja melangkah hendak menghampiri Sekar Mirah untuk memberi pertolongan. Akan tetapi, mendadak Kiai Garda berhenti seolah teringat akan sesuatu yang sangat penting dan membuat dadanya berdebar-debar kencang. Dengan cepat ia membalikkan tubuhnya untuk menghadap kearah yang tadi ia punggungi. Wajahnya berubah sangat tegang, ingatannya akan Gilang menimbulkan perasaan kuatir yang sedemikian besar atas nasib bocah yang tadi sedang melayang di udara saat ledakan-ledakan itu terjadi.


Tak tertahan mulut Kiai Garda mendesah lirih ketika dilihatnya tiga sosok tubuh yang sedang terbaring lemah dalam jarak yang berdekatan. Mereka itu adalah satu keluarga, suami-istri dengan anak laki-lakinya. Pandan Wangi tergolek lemah dengan tangan yang terjulur ke samping hendak memeluk Gilang. Akan tetapi tubuhnya yang lemah ternyata tidak mampu menggeser badannya sehingga ia hanya terdiam sambil matanya berkedip sayu menatap anaknya yang terbaring diam. Tepat disamping Pandan Wangi, tergolek tubuh Swandaru yang tertelungkup diam tidak bergerak.


Disamping kanan agak belakang, terlihat Ki Widura terduduk lemah dengan wajah yang sangat pucat. Orang tua itu sama sekali tidak mampu untuk berdiri ataupun sekedar mengeluarkan kata-kata.


Hati Kiai Garda benar-benar tercekat, kenyataannya bahwa hanya ia sendiri yang masih mampu bertahan sementara semua orang yang hadir disitu ternyata bertumbangan. Ia memang tidak mampu membayangkan besarnya kekuatan yang sedang bertarung di sekitar tempuran Kali Belehan itu, yang pada kenyataannya bahkan tidak mampu ia tangkap meskipun ia telah mengetrapkan ajian sapta panggraita yang dimilikinya.


Kiai Garda yang sudah menginjak usia pertengahan abad terlihat terbengong-bengong seolah kebingungan harus melakukan apa terlebih dahulu. Pengalaman yang sudah tertimbun dalam dirinya seolah termentahkan oleh kejadian dahsyat yang susul-menyusul dan mencekam hatinya.

Akan tetapi setelah menarik nafas dalam-dalam, perlahan-lahan Kiai Garda berhasil menguasai dirinya.

Dengan tergesa-gesa dan bahkan sambil berlari ia segera menghampiri Gilang yang tergeletak tak sadarkan diri. Sambil berjongkok, Kiai Garda bermaksud memeriksa denyut nadi di pergelangan tangan kiri Gilang. Tetapi baru saja ia hendak menyentuh tangan Gilang, kembali perasaan Kiai Garda seperti disengat kalajengking ketika ada suara lirih yang menyapanya.


“Kiai”


Suara itu sebenarnya terdengar lirih saja, akan tetapi suasana batin Kiai Garda yang masih diliputi ketegangan membuatnya sangat terkejut sehingga ia terlonjak. Sambil melangkah surut untuk  mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan, kepala Kiai Garda sedikit mendongak agar bisa  melihat siapakah yang sedang menyapanya ditengah suasana yang menegangkan ini.


Saat itulah Kiai Garda menangkap seraut wajah yang dikenalnya sedang berjalan pelan dan sambil membopong tubuh Sekar Mirah dan mendudukkan tubuh itu disebelah Pandan Wangi. Wajah itu berusaha tersenyum meskipun Kiai Garda bisa menangkap bahwa sebetulnya orang itu mengalami kelelahan yang sangat. Pakaiannya terlihat kumal dan compang-camping serta berlubang-lubang dibeberapa tempat dengan noda-noda hangus seolah baru dihujani ribuan arang yang membara.


Sesaat kemudian sosok yang baru hadir itu menoleh dan berkata.


“O, maaf, apakah aku mengejutkan Kiai?”, - suaranya terdengar dipenuhi nada lelah.


Kiai Garda menarik nafas dalam-dalam, kehadiran orang ini seolah merupakan embun sejuk yang mengusap dan menghapus semua ketegangan yang selama ini merayapi hatinya. Kemunculannya seolah juga merupakan pertanda bahwa semua ketegangan yang terjadi agaknya sudah berakhir. Dengan suara pelan Kiai Garda kemudian menjawab.


“Ya, sesungguhnya aku memang terkejut Ki Agung Sedayu. Tetapi agaknya itu semata-mata karena hatiku yang diliputi ketegangan dan kecemasan melihat keadaan saudara-saudara kita khususnya angger Gilang ini”


Orang yang baru datang dan tidak lain adalah Agung Sedayu itu mengangguk-angguk sambil melangkah mendekati Gilang yang terbaring di atas pasir tepian sungai Belehan itu. Sambil berjongkok ia masih sempat berkata.


“Kiai, aku mohon Kiai berkenan menolong Paman Widura dan yang lain. Biarlah aku mencoba melihat keadaan Gilang yang agaknya sedang pingsan ini”

“O, baiklah”, - Kiai Garda seperti seorang yang baru tersadarkan dan segera bergeser untuk memberikan pertolongan kepada Ki Widura dan yang lain.


Agung Sedayu segera memeriksa denyut nadi di pergelangan tangan Gilang serta mendengar detak jantung di dada bocah itu. Diperiksanya dengan teliti seluruh anggota badan serta urat-urat di sekitar leher dan dadanya. Ia menarik nafas lega ketika tidak menemukan sesuatu yang aneh ditubuh bocah itu. Dengan cekatan, tangan kanannya melakukan beberapa kali totokan dan pijatan di sekitar telapak kaki dan dada bocah itu agar segera tersadar dari pingsannya.


Salam,
Ries




Monday, August 14, 2017

BSG - BAB.IV - HSSG - Babak-26

BALADA SWANDARU GENI
Bab IV: Hilangnya Seorang Swandaru Geni
Babak – 26



Matahari baru bergulir sedikit dari puncaknya, panas siang masih terasa menyengat. Pandan Wangi berbisik kepada Gilang agar bisa menyesuaikan apapun yang nanti ia lakukan tanpa sedikitpun meronta meskipun mungkin hanya karena rasa terkejut.


“Kau harus percaya kepadaku Gilang, kita akan mampu melompati sungai ini dan akan berada diseberang untuk bisa menolong Ayahmu”, - Pandan Wangi berbisik lirih.


Gilang mengangguk, sebenarnya ia memang tidak mempunyai keraguan apapun akan kemampuan ibundanya. Hanya saja ibundanya mungkin kuatir bahwa rasa terkejut akan membuat reaksinya meronta dan itu akan berpengaruh dan menyulitkan usaha ibundanya.


Ketika merasa cukup, Pandan Wangi segera menganggukkan kepalanya kepada Kiai Garda sebagai isyarat bahwa ia sudah siap. Mereka berdiri dengan jarak sekitar lima-enam tombak, dan sesaat kemudian Kiai Garda melemparkan sebuah batu yang besarnya sekepalan tangan ke permukaan sungai  dengan arah sedikit menyerong. Lemparan Kiai Garda itu memang tidak melesat cepat laksana tatit, melainkan justru sangat perlahan layaknya anak-anak yang melemparkan batu ke udara. Akan tetapi lemparan itu dilambari dengan tenaga cadangan yang besar sehingga menimbulkan kesiur angin yang sangat kuat.

Pada saat yang bersamaan, Pandan Wangi mengempos semangat dan dengan sebat tangannya menyambar lengan kanan Gilang. Sambil menggandeng lengan kanan Gilang, tubuh Pandan Wangi melesat secepat tatit di udara untuk mengejar batu kali yang dilemparkan oleh Kiai Garda di atas sungai Belehan itu. Keduanya seolah berubah menjadi sepasang burung yang melayang dilangit dengan sayap-sayapnya yang terkembang lebar.


Ketika melayang diatas permukaan air dan sudah berada sekitar setengah lebar sungai, Pandan Wangi segera bisa merasakan angin yang menampar keras akibat lambaran tenaga cadangan Kiai Garda pada batu yang dilemparkannya. Inilah yang menjadi tujuan Pandan Wangi, yaitu mencari pijakan yang akan melontarkan tubuhnya kearah seberang sungai. Gagasan ini muncul akibat kejadian yang baru saja dialaminya, yaitu ketika ia mampu melepaskan diri dari ancaman cambuk suaminya dengan cara meminjam angin keras yang ditimbulkan serangan suaminya itu dan melontarkan tubuhnya jauh kebelakang.


Kini Pandan Wangi seolah mengulanginya tetapi dengan persiapan yang jauh lebih matang dan tidak hanya mengandalkan gerak naluriahnya saja. Sebenarnya ia bahkan bisa saja menunggu batu kali yang dilempar itu mendekat dan memanfaatkan batu itu sebagai pijakan yang lebih mantab serta melontarkan tubuhnya dengan lebih jauh. Akan tetapi ia bisa merasakan lambaran tenaga cadangan Kiai Garda itu sangat besar, sehingga ia hanya memerlukan sambaran angin itu sebelum kemudian tubuhnya kembali mental miring, melesat ke seberang sungai.

Kiai Garda dan Ki Widura melihat betapa tubuh Pandan Wangi mampu melayang cepat meskipun sambil menggandeng Gilang. Kakinya dengan ringan kemudian mendarat diatas permukaan batu besar dipinggiran seberang yang memang menjadi tujuannya.


Bukan main kagumnya Gilang melihat kemampuan ibundanya itu, tanpa sadar mulutnya berdecak kagum . Sungai itu begitu lebar dan arus airnya lumayan deras, akan tetapi sambil menggandengnya, ibundanya itu mampu melompatinya meskipun dengan bantuan pijakan angin dari batu yang dilemparkan Kiai Garda.


“Seharusnya ibunda segera mengajarkan ilmu meringankan tubuh ini kepadaku, sehingga aku tidak selalu menjadi beban dan merepotkan seperti ini”, - desisnya dalam hati.


Tetapi Gilang tidak mengeluarkan sepatah katapun. Meskipun masih bocah, akan tetapi ia bisa merasakan betapa saat ini keadaan begitu menegangkan sehingga semua perhatian terpusat pada apa yang saat ini mampu mereka lakukan. Bukan waktunya untuk bertanya atau meminta penjelasan atas sesuatu yang ia belum mengerti meskipun itu menggelitik hatinya.


Sementara Pandan Wangi yang sudah berdiri diatas batu besar ditepian seberang masih sempat mengedarkan pandangannya ke seluruh tepian sungai Belehan itu. Ia melihat betapa pertarungan antara Sekar Mirah melawan orang dengan bekas luka di pelipisnya itu masih berjalan dengan sengit. Belum terlihat siapa yang lebih unggul meskipun kedua senjata itu menjadi lebih sering berbenturan. Tetapi Pandan Wangi punya keyakinan bahwa asalkan tidak membuat sebuah kesalahan, maka Sekar Mirah akan mampu mengatasi lawannya. Terlebih senjata Sekar Mirah yang berupa tongkat baja putih itu mempunyai kelebihan dibandingkan golok besar yang menjadi senjata orang dengan bekas luka di pelipisnya itu.


Disebelahnya, lingkaran pertarungan antara Ki Sindupati melawan orang bertubuh jangkung itu juga semakin sengit. Ilmu belalang serta penguasaan anggota tubuh yang dikuasai Ki Sindupati benar-benar membuatnya sebagai pribadi yang sangat ulet. Meskipun demikian, Pandan Wangi merasa bahwa sebenarnya Ki Sindupati itu berada dalam keadaan yang sangat mengkhawatirkan.


Tetapi Pandan Wangi mencoba mengabaikan semua yang dilihatnya, saat ini yang terpenting adalah menjalankan apa yang sudah ia rencanakan bersama Gilang dan Kiai Garda. Karena itu ia segera kembali melihat ke dalam dirinya sendiri sambil mempersiapkan timbunan ilmu yang selama ini ada di dalam dirinya.


“Gilang, persiapkan dirimu dengan sungguh-sungguh. Perhatikan sasaranmu dan bidiklah dengan tepat supaya kita bisa menyelamatkan ayahmu dari pengaruh buruk itu”

Gilang mengangguk, akan tetapi dengan nada sedikit ragu ia berkata lirih - ,”Ibunda, dari sini aku belum bisa melihat sasaran bidik itu dengan jelas”


Pandan Wangi mengangguk, sambil menepuk pundak anak laki-lakinya itu ia berbisik lirih, tepat di telinga Gilang - ,”Tentu saja Gilang, jarak ini memang masih terlalu jauh. Karena itu kau akan membidiknya hanya ketika kau sudah yakin akan sasaran itu. Kita akan melakukan kerja sama ini sekali lagi dan yakinlah apa yang kau pelajari dari paman Agung Sedayu akan berhasil”


Bisikan Pandan Wangi yang diucapkan tepat ditelinganya itu membesarkan hati Gilang. Segera syaraf kepekaan dalam tubuhnya bergetar seirama dengan tekadnya yang besar untuk dapat melakukan yang terbaik.


Kedua ibu dan anak itu kemudian menarik nafas lembut dan mempersiapkan diri untuk melakukan rencana berikutnya. Hampir saja Pandan Wangi memberi isyarat kepada Kiai Garda agar kembali melemparkan sebuah batu sekepalan tangan lagi sebagai pijakan bagi tubuhnya untuk terlontar kedua kalinya kembali ke seberang.


Akan tetapi agaknya semua itu harus tertunda. Dengan wajah tegang, telinga semua yang hadir disitu tiba-tiba mendengar suara desisan panjang yang sangat keras diiringi letupan-letupan kecil yang sangat nyaring. Suara desisan panjang dan letupan nyaring itu terjadi berulang kali sehingga menimbulkan keriuhan yang menyakiti telinga yang mendengarnya.


Bersamaan dengan itu, mata mereka semua melihat betapa rumpun bambu kuning itu kini dipenuhi oleh asap hitam dank kabut putih yang bergerak berputar-putar saling menindih. Dalam sekejab asap hitam dan kabut putih itu menjadi tebal dan kini terdengar pula suara gemeresak yang semakin menambah riuhnya udara di tepian sungai itu.


Tiba-tiba saja wajah Pandan Wangi menegang, sambil menggeram ia kemudian berkata kepada anaknya - ,”Gilang, jangan perdulikan yang lain dulu, kita harus melaksanakan rencana kita tanpa ditunda lagi. Persiapkan dirimu sekarang juga”


Mendengar suara ibundanya yang sedemikian bersungguh-sungguh itu, tanpa membantah Gilang segera memusatkan segala perhatiannya atas apa yang akan dilakukannya nanti. Sesaat kemudian Pandan Wangi bahkan sudah mengangkat tangan kanannya ke arah Kiai Garda yang mengisyaratkan agar ia kembali melemparkan sebuah batu sesuai rencana.


Demikianlah, ditengah ketegangan yang sangat mencekam akibat hadirnya asap hitam dan kabut putih yang saling menindih serta riuhnya suara yang muncul, Kiai Garda kembali melontarkan sebuah batu ke udara dengan sasaran sekitar pertengahan lebar sungai. Disaat yang tepat, Pandan Wangi segera melesat dan melenting cepat sambil menyambar lengan Gilang untuk kemudian memapaki sambaran angin batu kali itu dari arah agak menyamping.


Kejadian itupun kembali terulang, dengan meminjam sambaran angin yang kuat akibat lemparan batu Kiai Garda, tubuh Pandan Wangi terlontar dengan sangat cepat menuju seberang sungai. Bahkan kali ini gerak Pandan Wangi terlihat lebih cepat dari sebelumnya.


Sesaat setelah mendapat pijakan angin keras itu tangan Pandan Wangi terlihat memegang lengan Gilang dengan sangat erat sebelum kemudian melontarkan tubuh Gilang itu kearah tepian seberang mendahului gerak tubuhnya sendiri.


Tubuh Gilang terlontar kedepan, melayang di atas sungai menuju tepian seberang. Ia melayang dengan arah kesamping, sedikit dibelakang Swandaru yang masih duduk dengan lunglai. Ketika berjarak sekitar dua tombak, Gilang yang sengaja menajamkan kedua matanya segera bisa melihat titik-titik atau noda  warna hitam di belakang telinga kiri ayahnya itu.


“Inilah sasaran bidikku”,- desis Gilang dalam hati.


Semua kejadian itu terjadi dalam waktu yang sangat-sangat cepat, termasuk luncuran tubuh Gilang, ketepatan mata Gilang dalam melihat noda hitam dibelakang telinga Swandaru serta keputusannya untuk mengunci sasaran. Semuanya terjadi dalam sekelebatan pikiran yang bisa dikatakan teramat cepat, atau seharusnya ada istilah lain yang bisa mewakili apa yang disebut lebih cepat dari kata cepat itu sendiri.


Sambil melayang di udara, tangan kanan Gilang segera terayun dan meluncurlah sepotong bambu kuning pethuk rose secepat tatit di udara.


Ki Widura, Kiai Garda dan bahkan Pandan Wangi yang masih melayang diudara itu bisa melihat betapa bambu kuning itu meluncur dengan cepat dan deras menuju sasarannya. Swandaru sendiri seolah tidak menyadari akan adanya lemparan yang sengaja menyerangnya itu, ia tetap tertunduk tanpa bergerak sama sekali.


Akan tetapi sebelum luncuran bambu kuning itu mengenai sasarannya, disaat Pandan Wangi dan Gilang masih melayang diudara, tiba-tiba suasana di tepian sungai Belehan itu kembali diguncang oleh sebuah ledakan yang teramat dahsyat. Suara ledakan itu jauh lebih dahsyat dari suara-suara yang terdengar sebelumnya dan bahkan membuat jantung mereka yang berdiri disitu seperti di guncang-guncang. Swandaru yang terduduk tanpa bergerak itu bahkan terperanjat sehingga tubuhnya terloncat ke atas meskipun hanya sesaat.

Dua lingkaran pertarungan yang terjadi antara Sekar Mirah dan Ki Sindupati dengan masing-masing lawannya bahkan berhenti dengan mendadak. Hentakan dan kejutan yang terjadi itu membuat mereka melontarkan diri ke belakang untuk menahan kejutan yang muncul serta agar bisa mempersiapkan diri lebih baik.



Sementara sambil melayang diudara Pandan Wangi merasakan jantungnya berguncang hebat. Hatinya menjadi semakin pepat karena kejadian yang terjadi berturut-turut itu pastilah menyangkut keberadaan dua orang laki-laki yang menempati hatinya secara khusus. Yang satu adalah suaminya yang kini sedang membutuhkan pertolongannya, sementara yang satu lagi adalah Agung Sedayu yang selama ini justru selalu menolongnya.


Tanpa disadari, punggung Pandan Wangi kembali terasa basah kuyup oleh keringat.



Salam,

Ries

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...