BALADA
SWANDARU GENI
Bab IV:
Hilangnya Seorang Swandaru Geni
Babak – 26
Matahari
baru bergulir sedikit dari puncaknya, panas siang masih terasa menyengat.
Pandan Wangi berbisik kepada Gilang agar bisa menyesuaikan apapun yang nanti ia
lakukan tanpa sedikitpun meronta meskipun mungkin hanya karena rasa terkejut.
“Kau harus
percaya kepadaku Gilang, kita akan mampu melompati sungai ini dan akan berada
diseberang untuk bisa menolong Ayahmu”, - Pandan Wangi berbisik lirih.
Gilang
mengangguk, sebenarnya ia memang tidak mempunyai keraguan apapun akan kemampuan
ibundanya. Hanya saja ibundanya mungkin kuatir bahwa rasa terkejut akan membuat
reaksinya meronta dan itu akan berpengaruh dan menyulitkan usaha ibundanya.
Ketika
merasa cukup, Pandan Wangi segera menganggukkan kepalanya kepada Kiai Garda
sebagai isyarat bahwa ia sudah siap. Mereka berdiri dengan jarak sekitar
lima-enam tombak, dan sesaat kemudian Kiai Garda melemparkan sebuah batu yang
besarnya sekepalan tangan ke permukaan sungai dengan arah sedikit menyerong. Lemparan Kiai
Garda itu memang tidak melesat cepat laksana tatit, melainkan justru sangat
perlahan layaknya anak-anak yang melemparkan batu ke udara. Akan tetapi
lemparan itu dilambari dengan tenaga cadangan yang besar sehingga menimbulkan kesiur
angin yang sangat kuat.
Pada saat
yang bersamaan, Pandan Wangi mengempos semangat dan dengan sebat tangannya
menyambar lengan kanan Gilang. Sambil menggandeng lengan kanan Gilang, tubuh
Pandan Wangi melesat secepat tatit di udara untuk mengejar batu kali yang
dilemparkan oleh Kiai Garda di atas sungai Belehan itu. Keduanya seolah berubah
menjadi sepasang burung yang melayang dilangit dengan sayap-sayapnya yang
terkembang lebar.
Ketika
melayang diatas permukaan air dan sudah berada sekitar setengah lebar sungai,
Pandan Wangi segera bisa merasakan angin yang menampar keras akibat lambaran
tenaga cadangan Kiai Garda pada batu yang dilemparkannya. Inilah yang menjadi
tujuan Pandan Wangi, yaitu mencari pijakan yang akan melontarkan tubuhnya
kearah seberang sungai. Gagasan ini muncul akibat kejadian yang baru saja
dialaminya, yaitu ketika ia mampu melepaskan diri dari ancaman cambuk suaminya
dengan cara meminjam angin keras yang ditimbulkan serangan suaminya itu dan melontarkan
tubuhnya jauh kebelakang.
Kini Pandan
Wangi seolah mengulanginya tetapi dengan persiapan yang jauh lebih matang dan
tidak hanya mengandalkan gerak naluriahnya saja. Sebenarnya ia bahkan bisa saja
menunggu batu kali yang dilempar itu mendekat dan memanfaatkan batu itu sebagai
pijakan yang lebih mantab serta melontarkan tubuhnya dengan lebih jauh. Akan
tetapi ia bisa merasakan lambaran tenaga cadangan Kiai Garda itu sangat besar,
sehingga ia hanya memerlukan sambaran angin itu sebelum kemudian tubuhnya
kembali mental miring, melesat ke seberang sungai.
Kiai Garda
dan Ki Widura melihat betapa tubuh Pandan Wangi mampu melayang cepat meskipun
sambil menggandeng Gilang. Kakinya dengan ringan kemudian mendarat diatas
permukaan batu besar dipinggiran seberang yang memang menjadi tujuannya.
Bukan main
kagumnya Gilang melihat kemampuan ibundanya itu, tanpa sadar mulutnya berdecak
kagum . Sungai itu begitu lebar dan arus airnya lumayan deras, akan tetapi sambil
menggandengnya, ibundanya itu mampu melompatinya meskipun dengan bantuan
pijakan angin dari batu yang dilemparkan Kiai Garda.
“Seharusnya
ibunda segera mengajarkan ilmu meringankan tubuh ini kepadaku, sehingga aku
tidak selalu menjadi beban dan merepotkan seperti ini”, - desisnya dalam hati.
Tetapi
Gilang tidak mengeluarkan sepatah katapun. Meskipun masih bocah, akan tetapi ia
bisa merasakan betapa saat ini keadaan begitu menegangkan sehingga semua
perhatian terpusat pada apa yang saat ini mampu mereka lakukan. Bukan waktunya
untuk bertanya atau meminta penjelasan atas sesuatu yang ia belum mengerti
meskipun itu menggelitik hatinya.
Sementara
Pandan Wangi yang sudah berdiri diatas batu besar ditepian seberang masih
sempat mengedarkan pandangannya ke seluruh tepian sungai Belehan itu. Ia
melihat betapa pertarungan antara Sekar Mirah melawan orang dengan bekas luka
di pelipisnya itu masih berjalan dengan sengit. Belum terlihat siapa yang lebih
unggul meskipun kedua senjata itu menjadi lebih sering berbenturan. Tetapi
Pandan Wangi punya keyakinan bahwa asalkan tidak membuat sebuah kesalahan, maka
Sekar Mirah akan mampu mengatasi lawannya. Terlebih senjata Sekar Mirah yang
berupa tongkat baja putih itu mempunyai kelebihan dibandingkan golok besar yang
menjadi senjata orang dengan bekas luka di pelipisnya itu.
Disebelahnya,
lingkaran pertarungan antara Ki Sindupati melawan orang bertubuh jangkung itu
juga semakin sengit. Ilmu belalang serta penguasaan anggota tubuh yang dikuasai
Ki Sindupati benar-benar membuatnya sebagai pribadi yang sangat ulet. Meskipun
demikian, Pandan Wangi merasa bahwa sebenarnya Ki Sindupati itu berada dalam
keadaan yang sangat mengkhawatirkan.
Tetapi
Pandan Wangi mencoba mengabaikan semua yang dilihatnya, saat ini yang
terpenting adalah menjalankan apa yang sudah ia rencanakan bersama Gilang dan
Kiai Garda. Karena itu ia segera kembali melihat ke dalam dirinya sendiri
sambil mempersiapkan timbunan ilmu yang selama ini ada di dalam dirinya.
“Gilang,
persiapkan dirimu dengan sungguh-sungguh. Perhatikan sasaranmu dan bidiklah
dengan tepat supaya kita bisa menyelamatkan ayahmu dari pengaruh buruk itu”
Gilang
mengangguk, akan tetapi dengan nada sedikit ragu ia berkata lirih - ,”Ibunda,
dari sini aku belum bisa melihat sasaran bidik itu dengan jelas”
Pandan Wangi
mengangguk, sambil menepuk pundak anak laki-lakinya itu ia berbisik lirih,
tepat di telinga Gilang - ,”Tentu saja Gilang, jarak ini memang masih terlalu
jauh. Karena itu kau akan membidiknya hanya ketika kau sudah yakin akan sasaran
itu. Kita akan melakukan kerja sama ini sekali lagi dan yakinlah apa yang kau
pelajari dari paman Agung Sedayu akan berhasil”
Bisikan
Pandan Wangi yang diucapkan tepat ditelinganya itu membesarkan hati Gilang.
Segera syaraf kepekaan dalam tubuhnya bergetar seirama dengan tekadnya yang
besar untuk dapat melakukan yang terbaik.
Kedua ibu
dan anak itu kemudian menarik nafas lembut dan mempersiapkan diri untuk
melakukan rencana berikutnya. Hampir saja Pandan Wangi memberi isyarat kepada
Kiai Garda agar kembali melemparkan sebuah batu sekepalan tangan lagi sebagai
pijakan bagi tubuhnya untuk terlontar kedua kalinya kembali ke seberang.
Akan tetapi
agaknya semua itu harus tertunda. Dengan wajah tegang, telinga semua yang hadir
disitu tiba-tiba mendengar suara desisan panjang yang sangat keras diiringi
letupan-letupan kecil yang sangat nyaring. Suara desisan panjang dan letupan
nyaring itu terjadi berulang kali sehingga menimbulkan keriuhan yang menyakiti
telinga yang mendengarnya.
Bersamaan
dengan itu, mata mereka semua melihat betapa rumpun bambu kuning itu kini
dipenuhi oleh asap hitam dank kabut putih yang bergerak berputar-putar saling
menindih. Dalam sekejab asap hitam dan kabut putih itu menjadi tebal dan kini terdengar
pula suara gemeresak yang semakin menambah riuhnya udara di tepian sungai itu.
Tiba-tiba
saja wajah Pandan Wangi menegang, sambil menggeram ia kemudian berkata kepada
anaknya - ,”Gilang, jangan perdulikan yang lain dulu, kita harus melaksanakan
rencana kita tanpa ditunda lagi. Persiapkan dirimu sekarang juga”
Mendengar
suara ibundanya yang sedemikian bersungguh-sungguh itu, tanpa membantah Gilang
segera memusatkan segala perhatiannya atas apa yang akan dilakukannya nanti.
Sesaat kemudian Pandan Wangi bahkan sudah mengangkat tangan kanannya ke arah
Kiai Garda yang mengisyaratkan agar ia kembali melemparkan sebuah batu sesuai
rencana.
Demikianlah,
ditengah ketegangan yang sangat mencekam akibat hadirnya asap hitam dan kabut
putih yang saling menindih serta riuhnya suara yang muncul, Kiai Garda kembali
melontarkan sebuah batu ke udara dengan sasaran sekitar pertengahan lebar
sungai. Disaat yang tepat, Pandan Wangi segera melesat dan melenting cepat
sambil menyambar lengan Gilang untuk kemudian memapaki sambaran angin batu kali
itu dari arah agak menyamping.
Kejadian
itupun kembali terulang, dengan meminjam sambaran angin yang kuat akibat
lemparan batu Kiai Garda, tubuh Pandan Wangi terlontar dengan sangat cepat
menuju seberang sungai. Bahkan kali ini gerak Pandan Wangi terlihat lebih cepat
dari sebelumnya.
Sesaat
setelah mendapat pijakan angin keras itu tangan Pandan Wangi terlihat memegang
lengan Gilang dengan sangat erat sebelum kemudian melontarkan tubuh Gilang itu
kearah tepian seberang mendahului gerak tubuhnya sendiri.
Tubuh Gilang
terlontar kedepan, melayang di atas sungai menuju tepian seberang. Ia melayang
dengan arah kesamping, sedikit dibelakang Swandaru yang masih duduk dengan
lunglai. Ketika berjarak sekitar dua tombak, Gilang yang sengaja menajamkan
kedua matanya segera bisa melihat titik-titik atau noda warna hitam di belakang telinga kiri ayahnya
itu.
“Inilah
sasaran bidikku”,- desis Gilang dalam hati.
Semua
kejadian itu terjadi dalam waktu yang sangat-sangat cepat, termasuk luncuran
tubuh Gilang, ketepatan mata Gilang dalam melihat noda hitam dibelakang telinga
Swandaru serta keputusannya untuk mengunci sasaran. Semuanya terjadi dalam
sekelebatan pikiran yang bisa dikatakan teramat cepat, atau seharusnya ada
istilah lain yang bisa mewakili apa yang disebut lebih cepat dari kata cepat
itu sendiri.
Sambil
melayang di udara, tangan kanan Gilang segera terayun dan meluncurlah sepotong
bambu kuning pethuk rose secepat tatit di udara.
Ki Widura,
Kiai Garda dan bahkan Pandan Wangi yang masih melayang diudara itu bisa melihat
betapa bambu kuning itu meluncur dengan cepat dan deras menuju sasarannya.
Swandaru sendiri seolah tidak menyadari akan adanya lemparan yang sengaja
menyerangnya itu, ia tetap tertunduk tanpa bergerak sama sekali.
Akan tetapi
sebelum luncuran bambu kuning itu mengenai sasarannya, disaat Pandan Wangi dan
Gilang masih melayang diudara, tiba-tiba suasana di tepian sungai Belehan itu
kembali diguncang oleh sebuah ledakan yang teramat dahsyat. Suara ledakan itu
jauh lebih dahsyat dari suara-suara yang terdengar sebelumnya dan bahkan
membuat jantung mereka yang berdiri disitu seperti di guncang-guncang. Swandaru
yang terduduk tanpa bergerak itu bahkan terperanjat sehingga tubuhnya terloncat
ke atas meskipun hanya sesaat.
Dua
lingkaran pertarungan yang terjadi antara Sekar Mirah dan Ki Sindupati dengan
masing-masing lawannya bahkan berhenti dengan mendadak. Hentakan dan kejutan
yang terjadi itu membuat mereka melontarkan diri ke belakang untuk menahan
kejutan yang muncul serta agar bisa mempersiapkan diri lebih baik.
Sementara sambil
melayang diudara Pandan Wangi merasakan jantungnya berguncang hebat. Hatinya
menjadi semakin pepat karena kejadian yang terjadi berturut-turut itu pastilah
menyangkut keberadaan dua orang laki-laki yang menempati hatinya secara khusus.
Yang satu adalah suaminya yang kini sedang membutuhkan pertolongannya,
sementara yang satu lagi adalah Agung Sedayu yang selama ini justru selalu
menolongnya.
Tanpa
disadari, punggung Pandan Wangi kembali terasa basah kuyup oleh keringat.
Salam,
Ries