BALADA SWANDARU GENI
Bab 3 : Gilang Pamungkas
Babak – 22
Bab 3 : Gilang Pamungkas
Babak – 22
--------------------------------
Mohon ijin kangmas, mbokayu…
Ternyata banyak yang penasaran dengan kemunculan ‘pemuda berwajah terang’ yang hendak membantu Wahanasari…dan ternyata hampir semua tebakan salah… duhhh…. Ada yg nebak anak Untara, Glagah Putih, Sabungsari bahkan Sukraaa wkwkwkk…. padahal di babak-20 sudah sy singgung adanya hubungan antara Wahana dengan tokoh pemuda berwajah terang ini…
Apresiasi yang tinggi pantas di hadiahkan kepada beliau yang paling jeli yaitu Ki Ageng Suryadi yang menebak dengan sangat tepat bahkan berikut ajian Narantaka yang jadi andalan sang tokoh.
Sebagai bentuk apresiasi, Ki Ageng Suryadi pantas menerima hadiah dari kami, yaitu sepotong handuk kecil yang akan kami kalungkan dileher. Selamat nggih Ki Ageng,…untuk becak-nya mohon beli sendiri…..sementara kami akan bantu carikan penumpang/langganan di sekitar alun-alun kidul….
Sugeng ngengkol nggih wkwkwkkkk……
Nuwun…
-------------------------------
Pandan Wangi termangu-mangu, sementara pemuda tanggung berwajah terang yang tiba-tiba saja sudah berdiri disebelahnya terlihat menyunggingkan senyuman lebar. Kedua alisnya hitam tebal, sementara diatas bibirnya justru dihiasi dengan seleret kumis tipis yang membayang kebiruan, kulit wajahnya cenderung bersih sehingga perpaduan itulah yang membuat wajah itu begitu terang berseri.
Belum sempat Pandan Wangi mengajukan pertanyaan, ternyata Ki Widura dengan tertatih-tatih mendekat dan menyapa pemuda tanggung berwajah terang itu.
“Ah, agaknya Raden Bagus Wanabaya sudah bosan berada di padepokan Jati Anom sehingga harus menyusul kami. Maaf Raden, ternyata perjalanan kami tidak selancar yang kami perkirakan”, - berkata Ki Widura.
Terdengar suara tertawa pemuda tanggung yang oleh Ki Widura di panggil Raden Bagus Wanabaya itu.
“Aku bukannya bosan Kek, aku hanya mengikuti para cantrik dan sudah sejak siang berada di daerah ini. Ternyata disini semua mendapatkan pengalaman yang menyenangkan, sementara aku hanya menjadi penonton. Kakek Widura, sekarang biarlah aku membantu kakang Wahana”
Tanpa menunggu jawaban ataupun menoleh lagi, Raden Bagus Wanabaya itu langsung melangkah mendekati lingkaran pertarungan antara Wahana melawan dua Paksi Wulung bersaudara. Sementara Pandan Wangi dengan wajah keheranan berbisik kepada Ki Widura.
“Siapakah pemuda itu paman?”, - tanyanya dengan suara pelan.
Sambil mengajak Pandan Wangi untuk sedikit mundur, Ki Widura menjawab -,” Wangi, Raden Bagus Wanabaya adalah cucu Panembahan Senopati. Ibundanya adalah putri Panembahan Senopati yang tertua, yaitu Raden Ayu Sekar Pambayun sementara ayahandanya adalah penguasa Mangir kala itu”
Ki Widura tiba-tiba saja berhenti sesaat, sementara Pandan Wangi seolah baru saja di ingatkan akan sebuah cerita yang pernah didengarnya dan belun jelas kebenarannya.
“Jadi, apakah ayahandanya adalah Ki Ageng Mangir yang kemudian tewas itu paman?”, - suara Pandan Wangi seolah minta penegasan.
“Ya, benar”, - jawab Ki Widura dengan suara yang juga lirih -,”Karena ayahandanya meninggal, sejak kecil Raden Bagus Wanabaya telah ikut dan dalam asuhan Pangeran Benawa. Angger Wahana adalah teman sepermainan dan bahkan saudara seperguruannya”
Pandan Wangi tidak bertanya lagi, membicarakan asal-usul pemuda tanggung berwajah terang serta berdarah bangsawan itu seolah menimbulkan rasa enggan. Ia kini berdiri di samping Gilang sambil memandang lurus ke depan.
Sementara itu tanpa banyak pembicaraan ternyata Raden Bagus Wanabaya telah mengambil salah seorang dari dua bersaudara itu yaitu Paksi Wulung Muda. Dengan gerak keras Raden Bagus Wanabaya memaksa Paksi Wulung muda itu agar melayani serangannya sehingga dia akhirnya terpisah jauh dari kakaknya Paksi Wulung Tua. Padahal sesungguhnya ilmu mereka itu adalah ilmu gabungan yang memanfaatkan kesamaan simpul saraf pikiran, otak dan tindakan maupun semua yang mengalir dalam darah dan tubuh mengingat mereka adalah saudara kembar dengan kesamaan yang hampir bisa dikatakan sempurna. Kekuatan ilmu itu akan mencapai puncaknya jika mereka berdua bertarung secara bersama-sama.
Kini masing-masing berhadapan dengan satu lawan dalam jarak yang cukup jauh dan agaknya akan sulit untuk melakukan kerja sama sebagaimana sebelumnya. Keseimbangan pertarungan itu berubah dengan cepatnya.
Sementara itu, Gilang yang melihat kemunculan pemuda tanggung yang kini tengah bertarung itu merasakan kekaguman yang besar dalam dirinya.
“Raden Bagus Wanabaya itu mungkin hanya sekitar lima-atau enam tahun diatasku. Akan tetapi melihat kemampuannya yang ternyata tidak dibawah paman Wahana, aku benar-benar terkesan. Aku akan berlatih keras agar bisa menyusulnya”, - Gilang bergumam dalam hatinya - ,”Aku akan bujuk ibunda agar mau berkunjung ke Tanah Perdikan Menoreh. Disana aku akan bisa mendapat banyak petunjuk dari paman Agung Sedayu yang katanya kalau malam hari lebih banyak di rumah. Disana juga ada paman Glagah Putih sehingga bisa sering berlatih bersama-sama. Kalau aku terus berada di Sangkal Putung, maka perkembanganku tak ubahnya jalan seekor siput”
Gilang mengangkat wajahnya ketika terdengar ledakan keras disusul teriakan nyaring dari mulut kedua Paksi Wulung bersaudara. Keduanya terlontar dan terbanting di tanah dalam jarak yang berjauhan, akan tetapi tanah tempat mereka sekarang terbaring diam itu menampakkan gejala yang sama, yaitu adanya lubang menganga yang cukup lebar akibat lepasnya ajian Daya Klungsu!
******
Sementara itu di Kademangan Krikilan, dimar dan sentir mulai di nyalakan untuk memberi penerangan di beberapa bilik dan juga pendapa. Suasana kademangan secara keseluruhan sudah mulai tenang tetapi masih diliputi duka cita yang mendalam karena meninggalnya beberapa warga dalam kejadian yang baru saja menggemparkan seisi kademangan itu.
Kiai Garda baru saja menyelesaikan kuwajibannya dan berniat untuk turun dari pendapa kademangan sebelum tiba-tiba saja dengan langkah tergesa-gesa Nyi Sulastri menghampiri. Wajahnya terlihat tegang dan bahkan dari jarak yang masih cukup jauh ia sudah berkata setengah berteriak.
“Kiai…Ki Gupala, paman…”, - suaranya gugup, nadanya penuh kecemasan.
“Ada apa Lastri? Bukankah Ki Gupala tadi sempat tidur setelah siangnya kau suapi bubur hangat”, - wajah Kiai Garda menampakkan keheranan.
“Itu tadi Kiai, sekarang…”
Nyi Sulastri yang sudah berdiri dekat dengan Kiai Garda berusaha mengatur nafasnya, sementara Kiai Garda agaknya cukup tanggap akan keadaan sehingga ia langsung kembali naik ke pendapa sambil berkata.
“Baiklah, biarlah aku lihat keadaan Ki Gupala sebentar”
Nyi Sulastri tidak menjawab tetapi langkah-langkah kecilnya langsung mengikuti di belakang Kiai Garda.
Bilik dimana Swandaru beristirahat cukup luas dengan penerangan yang cukup. Ketika melangkah masuk, kening Kiai Garda berkerut ketika melihat betapa Swandaru Geni berbaring dengan posisi meringkuk. Wajahnya terlihat kembali memucat dan dipenuhi dengan butiran keringat yang semakin lama semakin banyak, sementara nafasnya agak kurang teratur.
Ketika punggung tangan Kiai Garda mencoba menempel di leher Swandaru, dirasakannya suhu badan tamu yang dikenalnya dengan nama Ki Gupala itu kembali panas sebagaimana pertama kali ia terluka dan dalam perawatannya.
Wajah Kiai Garda berkerut seolah sedang dipenuhi berbagai pertanyaan.
“Mengapa kondisinya kembali melemah seolah pengobatan sebelumnya sirna dengan seketika? Apakah yang sedang menimpa Ki Gupala ini?”
Sementara Swandaru yang menyadari akan kehadiran Kiai Garda itu tidak banyak bergerak. Ia merasakan tubuhnya panas menggigil, sementara aliran darahnya seolah saling bertabrakan. Terlebih ketika sebuah tangan halus berulang-kali mengusap keringat di dahinya menggunakan kain setengah basah.
Jantung Swandaru seolah sedang berpacu.
Salam,
No comments:
Post a Comment