BALADA SWANDARU GENI
Bab 3 : Gilang Pamungkas
Babak – 20
Bab 3 : Gilang Pamungkas
Babak – 20
Saat itu matahari sudah melewati puncaknya dan mulai bergeser ke arah barat. Beberapa pohon yang tumbuh agak jauh dari lapangan terbuka ini mulai menampakkan bayang-bayang panjangnya, tetapi itu sama sekali tidak menghadirkan kesejukan terutama di dua lingkaran pertarungan yang masih tersisa.
Wajah Wahana terlihat sedikit memerah, dengan cepat ia menarik nafas dalam-dalam dan mengumpulkan sebanyak-banyaknya udara di dalam perut untuk kemudian melepaskannya secara perlahan-lahan melalui mulutnya. Disaat yang sama Wahana juga mengalirkan udara itu menyusuri seluruh syaraf dan pori-pori tubuhnya. Semua tahapan dilakukan sedemikian halus dan lembut namun ini menguras tenaga Wahana, terlebih ia juga harus memperhatikan serangan lawan. Tetapi Wahana sudah memantapkan hatinya dan dalam kondisi yang sulit ini ia bertekad untuk menerapkan ajian yang menjadi andalannya itu.
Sesungguhnya ini adalah peningkatan dan pengembangan dari ajian Lembu Sekilan dan oleh orang yang menciptakannya di-namakan Aji Daya Klungsu.
“Aku masih belum menguasai sepenuhnya Aji Narantaka sebagaimana Adimas Bagus Wanabaya yang memang mempunyai bakat sangat tinggi. Semoga Aji Daya Klungsu ini mampu menahan gempuran dua manusia aneh ini”, - Wahana membuat beberapa pertimbangan dalam hati.
Ketika serangan dari dua Paksi Wulung bersaudara itu melandanya, maka Wahana cenderung tidak menghindar, melainkan melakukan gerak tolakan atas serangan tersebut. Tak dapat dihindari, kembali terjadi benturan di antara mereka yang sedang bertarung itu, hanya saja kali benturan itu seolah tidak menimbulkan bunyi sama sekali.
Tetapi akibat dari benturan itu sama sekali berbeda dibandingkan dengan benturan sebelumnya. Jika dalam benturan sebelumnya, serangan Paksi Wulung bersaudara itu tertahan dan bahkan berbelok serta sedikit terdorong karena penerapan Aji Lembu Sekilan. Kali ini serangan mereka sama sekali tidak mengenai sasaran, tubuh Wahana itu terlalu licin seolah tak terjangkau untuk disentuh.
Akibatnya, meskipun terjadi benturan tetapi tanpa dikehendaki serangan Paksi Wulung bersaudara itu selalu lewat sejengkal dari tubuh Wahana. Serangan mereka meleset, tetapi disaat yang sama Wahana masih mampu untuk tetap melancarkan daya dorong yang melanda Paksi Wulung bersaudara itu. Yang sangat mengejutkan adalah daya dorong itu kini besarnya belasan kali lipat di banding sebelumnya. Dada serta bagian dalam tubuh Paksi Wulung mendadak sesak bahkan sebelum tubuh mereka terbanting ke tanah.
Sebagai tokoh yang sudah berpengalaman, kedua Paksi Wulung itu segera sadar betapa berbahayanya daya dorong yang kini melanda tubuh mereka. Karena itu ketika masih melayang diudara, kedua tubuh orang aneh segera menggeliat dan membuat putaran diudara untuk terlepas dari garis dorongan yang dahsyat itu.
Kedua orang itu justru mampu meminjam daya dorong itu untuk kemudian melejitkan tubuh mereka keluar dari garis serangan dan kemudian berdiri tegak meskipun dengan susah payah.
Saat itulah terdengar dua buah ledakan yang sangat keras yang membuat wajah kedua Paksi Wulung bersaudara itu terperanjat bukan main. Degup jantung mereka berdentangan menjadi semakin keras.
“Untunglah, aku tidak terlambat untuk keluar dari garis serangan tadi”, - kedua Paksi Wulung bersaudara itu menyuarakan suara hatinya hampir bersamaan.
Ternyata Aji Daya Klungsu yang diterapkan Wahana mempunyai kemampuan selain menggeser serangan lawan, juga mengandung daya serang yang teramat dahsyat. Kekuatan itu tidak hanya mampu mendorong melainkan juga meledakkan tubuh lawan ketika daya dorong itu mencapai puncaknya.
Tanah yang merupakan ujung dari garis serangan Wahana itu meledak dengan sangat keras sehingga kerikil serta bebatuan disekitarnya berhamburan. Terlihat dua buah lubang yang cukup lebar dan dalam akibat ledakan Aji Daya Klungsu itu.
Kedua Paksi Wulung bersaudara itu merasakan betapa dahi dan punggung mereka semakin basah oleh keringat. Tetapi setelah hilang rasa terkejutnya, wajah mereka berdua justru nampak berseri-seri.
Tanpa berjanji mereka justru mengeluarkan suara tertawanya meskipun tidak terlalu keras.
“Apakah itu Aji Daya Klungsu?”, - tanya Paksi Wulung Muda
“Apakah itu penting Ki?”, - Wahana justru balik bertanya.
“Bagus anak muda, aku sungguh kagum kepadamu. Dimasa muda-ku dulu, aku pernah melihat ilmu semacam itu mampu mengalahkan guruku bahkan menewaskannya. Agaknya kita memang ditakdirkan bertemu disini untuk menuntaskan dendam. Nah, sekarang kita akan melihat apakah kau mampu mengalahkan ilmu yang kami ciptakan khusus untuk meredam ajian-mu itu”
Wahana mengerutkan keningnya, ia memang sama sekali tidak mengetahui alasan balas dendam yang dikatakan oleh Paksi Wulung muda itu. Menilik ucapan lawannya itu, agaknya guru atau pemilik Ajian Daya Klungsu itu pernah menewaskan guru kedua Paksi Wulung bersaudara ini.
Tetapi Wahana segera menghapus semua pertanyaan itu dan segera mempersiapkan dirinya ketika dilihatnya kedua lawannya itu kini justru saling mendekat bahkan merapat.
Sejauh ini Wahana sempat memperhatikan bahwa kedua lawannya itu senantiasa bergerak saling melengkapi. Ketika yang tua menyerang bagian tubuh atas, maka yang muda akan mengancam bagian tubuh bawah lawan dan menutup semua gerak untuk menghindar. Ketika ada yang menyerang samping kanan, maka yang satu akan menutup dengan serangan di samping kiri. Mereka seolah digerakkan oleh satu otak.
Tetapi kini kedua Paksi Wulung itu agaknya akan merubah total gaya penyerangan mereka. Mereka berdiri merapat dan ini bisa berarti bahwa serangan akan dipusatkan pada satu titik.
“Bukan main, jurus apakah yang hendak mereka perlihatkan kali ini?”, - Wahana berdesis dalam hati.
Sementara itu, di lingkaran lain, Pandan Wangi tengah berjuang keras untuk mengatasi serangan Ki Sekar Tawang yang datang membadai. Udara dingin yang menyembur lewat ayunan kedua tangan lawannya itu membuat Pandan Wangi harus sering mengambil jarak, terlebih setelah menyadari betapa kedua tangan itu mampu menggores dan menusuk tak ubahnya sebuah pedang. Karena itu, terpaksa kemudian Pandan Wangi harus mengandalkan kecepatan geraknya untuk mengambil jarak dan menghindari serangan. Sambil terus bergerak, Pandan Wangi berusaha mengamati lawan dan mencari celah untuk menyerang balik.
“Agaknya aku harus mengerahkan tenaga cadanganku semakin besar. Selain untuk menghindari serangan kedua tangan yang tajam itu, udara yang dilontarkannya semakin lama semakin dingin. Ini bisa memperlambat gerakku”, - desis Pandan Wangi dalam hati.
“Apakah yang dilakukan kakang Agung Sedayu jika menghadapi lawan seperti ini?”, - tanpa disadari pikiran Pandan Wangi membayangkan Agung Sedayu yang sudah melalui berbagai pertarungan yang sangat sengit dan bahkan hampir merenggut nyawanya.
Pandan Wangi memang mengagumi Agung Sedayu yang sudah dianggapnya sebagai seorang Guru. Terlebih ia sangat mempercayai semua perkataan dan kemampuan laki-laki yang pernah menempati relung khusus dalam hatinya itu. Karena itu, ketika dalam keadaan sulit, tiba-tiba saja alam bawah sadarnya langsung menyeruak dan memilah-milah semua perkataan Agung Sedayu sebagai acuan untuk bertindak.
“Wangi, empon-empon yang kau konsumsi ketika menjalani laku itu mempunyai sifat-sifat tanah atau bumi, tetapi pala kependem itu juga membawa sifat masing-masing. Nah, salah satunya adalah Jahe yang telah kau makan sekian lama ketika berbuka puasa. Jahe mempunyai sifat panas, dan ini juga sudah mengeram di dalam tubuhmu. Kau dapat membangkitkannya dengan mudah, bukalah simpul-simpul dalam tubuhmu dengan pengerahan sedikit tenaga cadangan yang dipusatkan pada pusarmu. Maka, semakin tinggi kau mengerahkan tenaga cadanganmu, tubuhmu akan semakin terasa hangat, bahkan dalam keadaan tertentu bisa saja seranganmu akan membawa udara panas”, - ucapan Agung Sedayu itu seolah kembali terngiang di telinga Pandan Wangi.
Saat itu, Sekar Mirah yang duduk di sebelah Agung Sedayu ikut bersuara dengan nada sedikit menggoda.
”Ketahuilah Pandan Wangi, sesungguhnya saat ini kau adalah murid kakang Agung Sedayu yang paling tangguh. Aku tentu sudah tidak dapat mengimbangimu”
“Ah..”, - Pandan Wangi mendesah.
Pandan Wangi sadar bahwa selama ini ia tidak punya banyak waktu khusus untuk berlatih. Kini ia justru harus menerapkan semua petunjuk Agung Sedayu itu justru dalam pertarungan yang sesungguhnya yang mempertaruhkan nyawanya.
Tiba-tiba Pandan Wangi melentingkan tubuhnya tinggi-tinggi melewati tubuh Ki Sekar Tawang untuk mengambil jarak. Tidak sebagaimana pertarungan sebelumnya, kali ini Ki Sekar Tawang sama sekali tidak mengandalkan kecepatannya dan ini menjadi perhatian Pandan Wangi.
“ Agaknya Ki Sekar Tawang ini harus melepaskan ajian sebelumnya untuk mengetrapkan ajian yang baru ini. Ia mungkin tidak bisa mengetrapkannya sekaligus secara bersamaan. Baiklah, sambil membangkitkan hawa panas dalam tubuhku ini, aku terpaksa mengeluarkan Aji Asta Sewu untuk balas menyerang”, - Pandan Wangi membuat sebuah rencana.
Udara di Lemah Cengkar itu terasa semakin panas meskipun matahari semakin bergeser merendah. Burung cantaka raksasa yang menjadi piaraan Paksi Wulung bersaudara sudah tidak terlihat sama sekali, mereka melarikan diri dari majikannya.
Pandan Wangi tiba-tiba menarik nafas pendek-pendek dengan cepat dan menyimpan udara itu dalam dadanya. Perutnya mengeras sebelum kemudian ia meloloskan kedua pedang tipis dari pinggangnya.
Salam,
No comments:
Post a Comment