BALADA SWANDARU GENI
Bab 3 : Gilang Pamungkas
Babak – 11
Bab 3 : Gilang Pamungkas
Babak – 11
Dalam kegugupan yang di bungkus rasa kuatir atas keselamatan anak semata wayangnya itu, tiba-tiba seluruh syaraf di tubuh Pandan Wangi bergetar hebat. Sebuah sentakan yang kuat telah membangkitkan timbunan ilmu yang ada dalam dirinya dan tanpa berpikir lebih jauh, gerak naluriahnya telah melontarkan tubuh Pandan Wangi itu terbang menyusul sosok yang sedang menerkam Gilang.
Gerakan Pandan Wangi itu hampir tidak bisa diikuti oleh mata wadag. Ia seolah berubah menjadi bayangan yang dalam sekejab telah menjangkau penyerang berwajah bengis itu dan tanpa ragu kedua pedangnya terayun menyilang.
Sebelum pedang kembar Pandan Wangi itu mengenai sasaran, telinga Pandan Wangi menangkap sebuah jerit kesakitan keluar dari mulut orang berwajah bengis itu. Tetapi kekuatiran yang sangat atas keselamatan Gilang membuat Pandan Wangi tidak menahan ayunan pedang tipisnya.
Sebuah jerit kesakitan yang menyayat kembali terdengar dan orang berwajah bengis itu langsung roboh ke tanah sebelum bisa menyentuh Gilang. Dada dan lambungnya terlihat luka menyilang yang cukup dalam akibat sabetan pedang tipis Pandan Wangi. Sementara itu mata sebelah kirinya berdarah dan terluka sangat parah.
Setelah beberapa kali mengerang, tubuh itu kemudian terdiam. Sesaat keadaan terasa hening.
“Ibunda tidak usah terlalu kuatir, aku bisa menjaga diri”, - terdengar suara Gilang cukup keras.
Pandan Wangi berusaha mengatur degup di dadanya yang masih berdetak kencang. Agaknya pada saat yang tepat, Gilang telah melepaskan sebuah bidikan yang dengan tepat mengenai mata kiri penyerangnya, sebelum kemudian hentakan pedang tipisnya melemparkan penyerang itu terbanting ke tanah.
Tetapi Pandan Wangi tidak bisa mengurangi rasa cemasnya atas keselamatan Gilang, ia memperhitungkan bahwa lemparan batu itu sebenarnya tidak akan menghentikan daya luncur penyerangnya sehingga bisa saja menubruk Gilang hingga terjatuh dari kudanya.
Mempertimbangkan hal itu tiba-tiba darah Pandan Wangi menjadi panas. Dilihatnya disekitar mereka pertempuran telah berkobar semakin sengit, prajurit Jatim Anom maupun para cantrik yang baru bergabung itu harus melayani keroyokan begitu banyak orang.
Ki Widura sendiri harus melayani gempuran Ki Juwana yang dibantu oleh dua orang kepercayaannya sehingga geraknya tidak bisa leluasa. Keadaan ini sangat mengkhawatirkan.
Hanya Wahana dan dua orang aneh yang berjuluk Paksi Wulung bersaudara itu yang belum memulai pertarungan. Mereka masih berdiri dan saling memandang seolah saling menjajagi kemampuan lawan masing-masing.
Dengan cepat Pandan Wangi mengambil keputusan.
“ Gilang, berhati-hatilah. Jaga dirimu paling tidak dengan lemparan batumu, aku akan bergerak tetapi tidak akan jauh darimu”, - Pandan Wangi berbisik pelan.
Tanpa menunggu jawaban dari Gilang, tiba-tiba Pandan Wangi berteriak ke arah para cantrik dan seorang prajurit Jati Anom itu agar mendekat ke arahnya dan tidak menjauhi Gilang.
“Tidak apa-apa, kita akan bertempur di dalam kepungan”, - demikian Pandan Wangi memberi aba-aba.
Para cantrik yang sudah mengenal kemampuan Pandan Wangi, yang juga merupakan istri Swandaru murid utama Padepokan Orang Bercambuk tidak bertanya lebih lanjut, demikian pula prajurit dari Jati Anom itu. Dengan cepat mereka bergeser dan kemudian bertarung di dalam lingkaran dimana Gilang berada di bagian tengah lingkaran.
Saat itulah Pandan Wangi mengambil keputusan untuk mengurangi jumlah pengeroyok secepatnya. Ia masih belum tahu bagaimana keadaan Ki Widura yang agaknya cukup kesulitan dengan ketiga pengeroyoknya, sementara ia juga mencemaskan Wahana yang harus menghadapi dua orang aneh itu.
Karena itu, setelah beberapa kali menarik nafas pendek-pendek dan menyimpannya di dada, tiba-tiba tubuh Pandan Wangi berkelebat cepat menghambur dan menyerang ke arah depan sambil kedua pedang kembarnya berputaran cepat. Dua orang yang menjadi sasaran Pandan Wangi itu hanya sempat melihat sebuah bayangan yang terbang ke arahnya dan ketika mereka hendak mengangkat senjata untuk menyambut bayangan itu, sebuah sabetan telah menggores dada dan pundak mereka hingga mengeluarkan darah yang cukup deras.
Sementara itu, setelah menelan dua korban dibagian depan, Pandan Wangi sama sekali tidak berhenti. Tubuhnya langsung terlontar jauh ke belakang dan dengan gerak yang serba cepat pedang tipisnya kembali terayun deras. Dua buah jeritan kembali mengoyak siang yang panas di lapangan terbuka itu dan dua orang pengeroyoknya kembali roboh.
Tanpa jeda tubuh Pandan Wangi kembali melenting dengan cepat ke arah samping dan kecepatan geraknya benar-benar tidak bisa tertangkap oleh pandangan mata pengeroyoknya. Karena itu kembali terdengar jerit kesakitan ketika dua orang pengeroyoknya bersimbah darah di bagian dada dan pundaknya.
Gerakan Pandan Wangi bagaikan seekor lalat raksasa yang melenting-lenting dengan cepat mengejar lawan dan selincah burung Sri Gunting yang bermain-main di pucuk pohon. Ketika lawannya sudah roboh ia segera melenting kea rah yang tidak terduga untuk mengambil korban lagi.
Tetapi Pandan Wangi terpaksa menghentikan geraknya dan dengan cepat kembali ke samping Gilang ketika salah seorang yang agaknya pemimpin pengepungan itu meneriakkan perintah agar mereka melonggarkan kepungan dan menjauh.
Dalam sekali gebrakan yang sangat cepat, enam orang pengeroyok telah terluka cukup parah.
“Perempuan iblis”, - ucap pemimpin pengepungan yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu.
Pandan Wangi mengerutkan keningnya, menilik suaranya agaknya orang bertubuh kekurus-kurusan inilah yang kemarin malam mengunjungi halaman belakang Kademangan Sangkal Putung. Hati Pandan Wangi tiba-tiba kembali memanas, bahwa anak semata wayangnya sekarang berada dalam ancaman membuat darahnya mendidih.
Tanpa diduga oleh orang bertubuh kekurus-kurusan yang memimpin pengepungan itu, tiba-tiba saja Pandan Wangi melakukan gerak lompatan panjang. Meskipun jarak mereka sudah lebih dari lima atau enam tombak, tetapi ternyata Pandan Wangi mampu menjangkaunya dalam dua kali lompatan yang sangat cepat dan pedang tipisnya dengan deras mengancam dada orang bertubuh kekurus-kurusan itu.
Dalam kekagetannya, orang bertubuh kekurus-kurusan itu masih sempat menangkis pedang yang terayun dari tangan kanan Pandan Wangi itu sambil berusaha melompat mundur. Tangannya terasa perih dan hampir saja pedang itu lepas dari genggamannya, tetapi dengan susah payah ia masih berhasil mempertahankan senjatanya itu di genggamannya.
Hanya saja ia melupakan gerak tangan kiri Pandan Wangi yang juga menggemnggam pedang. Disaat ia berusaha mempertahankan pedang dalam genggamannya sambil meloncat mundur, ternyata sambil melompat maju mengejar gerak lawan pedang ditangan kiri Pandan Wangi melakukan gerakan menusuk yang langsung menembus dada orang bertubuh kekurus-kurusan itu. Sebuah jeritan panjang kembali membelah udara di lapangan terbuka itu.
Tubuh Pandan Wangi segera melejit ke belakang dan kini ia sudah kembali berdiri di antara Gilang dan para cantrik.
“Cepat, dua diantara kalian harus segera membantu paman Widura”, - Pandan Wangi memberi perintah kepada cantrik padepokan.
Tanpa menunggu perintah kedua kalinya, dua orang cantrik tertua segera menghambur dan membantu Ki Widura yang sedang berjuang karena dikeroyok oleh tiga orang dimana salah seorang diantaranya adalah pemimpin gerombolan ini yang bernama Ki Juwana.
Sementara itu jumlah yang mengepung Pandan Wangi dan Gilang sudah jauh berkurang. Robohnya orang bertubuh tinggi kekurusan itu membuat nyali mereka ciut dan tidak tahu harus berbuat apa. Karena itu untuk sesaat gerak pengepungan itu bagaikan berhenti dan mereka hanya berdiri dengan dada yang berdebaran.
Suasana di lapangan terbuka Lemah Cengkar itu terasa mencengkam.
Tiba-tiba terdengar sebuah suara yang menggema dan berputar-putar di udara Lemah Cengkar itu.
“Dasar pengecut, mengapa harus berhenti?”
Bersamaan dengan hilangnya suara itu, tanpa diketahui darimana datangnya, di depan Pandan Wangi kini telah berdiri dengan angkernya seorang yang berperawakan tegap. Kepalanya mengenakan caping yang sangat lebar sehingga menutupi sebagian wajahnya, sementara tangan dan kakinya kelihatan sangat berotot.
“ Guru! “, - desis sebagian besar pengepung itu.
Orang bercaping itu tidak menghiraukan ucapan pengikutnya. Tangannya bersedekap di dadanya yang bidang dan dengan suara dingin ia berkata kepada Pandan Wangi.
“Nyi Pandan Wangi, aku tidak akan berputar-putar. Apakah kau mengenal Mangesthi?”
Pandan Wangi mengerutkan keningnya, nama itu terasa asing ditelinganya.
Sebenarnya mendengar nada suara yang terasa angkuh dari orang yang baru datang itu hatinya agak tersinggung. Hanya saja Pandan Wangi memang sudah terbiasa menahan diri sehingga ia berusaha menjawab dengan suara setenang mungkin.
“Nama itu terdengar asing ditelingaku Ki Sanak. Apa hubungannya dengan anakku Gilang sehingga kau berusaha untuk menculiknya?”
Orang itu mendengus pelan, penampilannya terasa angker. Ia berdiri tak bergerak seolah hendak memamerkan otot-otot dan tubuhnya yang tegap, sementara wajahnya yang kurang jelas karena tertutupi caping lebar itu menunduk ke tanah.
“Siapakah namamu Ki Sanak?”
Pandan Wangi menyusulinya dengan pertanyaan. Ia tidak mau berada di bawah bayang-bayang orang yang berpenampilan angker dan angkuh itu.
Kembali orang itu mendengus pelan.
“ Akulah yang disebut Ki Sekar Tawang dari Padepokan Tengaran! ”
Pandan Wangi terlihat mengerutkan keningnya.
Salam,
No comments:
Post a Comment