BALADA SWANDARU GENI
Bab 3 : Gilang Pamungkas
Babak – 12
Bab 3 : Gilang Pamungkas
Babak – 12
Pengenalan Pandan Wangi atas nama-nama tokoh kawentar memang agak terbatas. Waktunya lebih banyak di habiskan dalam perjalanan antara Kademangan Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh serta kebersamaan dengan Gilang anaknya. Dengan data datar ia segera berkata kepada orang yang menyebut dirinya dengan Ki Sekar Tawang.
“Maafkan aku Ki Sekar Tawang, aku belum pernah mendengar namamu yang mungkin diluar sana sudah sangat dikenal. Aku juga tidak mengenal Mangesthi, yang tadi kau tanyakan”
Kembali Ki Sekar Tawang mendengus pelan tanpa merubah posisi berdirinya.
Sementara itu, prajurit Jati Anom yang mengiringi Ki Widura dan Wahana itu terlihat mendekati Pandan Wangi dan berbisik pelan.
“Nyi Pandan Wangi, Mangesthi adalah lawan Nyi Sekar Mirah pada saat peperangan terakhir melawan pasukan Ki Saba Lintang. Ia bisa ditangkap hidup-hidup dan kini sebagai tawanan prajurit Mataram. Agaknya Ki Sekar Tawang ini adalah guru atau ayahnya”, - suara prajurit itu berbisik sangat pelan.
Tidak disangka ternyata Ki Sekar Tawang yang berdiri agak jauh itu mendengar perkataan prajurit itu dan langsung menyahut.
“Ya, aku adalah ayah sekaligus gurunya. Nah, sekarang seharusnya kau tahu niat kedatanganku kali ini Nyi ”, - suaranya terdengar penuh tekanan.
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam, entah mengapa tiba-tiba saja ia teringat kepada Agung Sedayu yang senantiasa juga dikejar-kejar oleh orang-orang yang mendendamnya. Kini masalah yang sama agaknya akan menimpanya meskipun dengan latar belakang yang berbeda karena ia memang tidak pernah berhadapan dengan Mangesthi. Tetapi bagaimanapun Sekar Mirah adalah adik iparnya dan apa yang dilakukan adalah termasuk dalam tanggung jawabnya.
Pandan Wangi kemudian justru maju beberapa langkah mendekati pendatang yang berdiri angker itu.
“Ki Sekar Tawang, kau adalah ketua padepokan dan menilik usiamu yang sudah matang, seharusnya kau tahu akibat dari sebuah peperangan. Sejauh yang aku dengar Mangesthi bertarung satu-lawan-satu dengan adik iparku dan kebetulan ia bisa tertangkap hidup-hidup. Apakah kau bermaksud membalas dendam dengan cara yang licik dan menjadikan seorang bocah kecil yang kebetulan adalah anakku ini menjadi sasaran?”, - tiba-tiba suara Pandan Wangi penuh tekanan.
Naluri-nya sebagai seorang Ibu mengalir kuat dalam perasaannya saat ini.
Ki Sekar Tawang yang sejak kedatangannya selalu berdiri menyamping dengan kepala tertunduk itu merasakan tekanan suara itu. Pelan-pelan ia menggeser posisi berdirinya hingga berhadapan lurus dengan Pandan Wangi dan sambil mendengus terdengar suaranya yang berat.
“Apakah kau kira dengan menjatuhkan delapan anak muridku kau merasa sudah tidak terkalahkan Nyi? Aku akan katakan niatku cukup sekali, serahkan bocah kecil bernama Gilang itu kepadaku. Aku berjanji tidak akan melukainya seujung rambutpun. Dalam satu pekan kita bertukar tawanan, kau bawakan Mangesthi anakku, dan Gilang akan kembali kepadamu dengan selamat”
Perkataan Ki Sekar Tawang itu telah menjawab seluruh teka-teki yang menggelayuti benak Pandan Wangi selama ini. Keterangan yang diperoleh telik sandi hanyalah tentang Ki Juwana dengan komplotannya. Ternyata di belakang Ki Juwana adalah Ki Sekar Tawang yang juga ayah Mangesthi yang kini berdiri di depannya.
Tiba-tiba dada Pandan Wangi berdebar-debar, ini adalah persoalan anak dan ia sedikit banyak bisa merasakan kegalauan yang ada dalam hati laki-laki bercaping yang berdiri tegap dihadapannya itu. Meskipun Mangesthi adalah gadis dewasa yang sudah bisa mengambil sikap sendiri dan sangat berbeda dengan Gilang yang masih bocah kecil, tetapi bagaimanapun juga anak tetaplah anak.
Karena itu segera Pandan Wangi berbisik meminta agar prajurit Jati Anom dan seorang cantrik dari Padepokan Orang Bercambuk itu mendampingi dan melindungi Gilang. Sedang Pandan Wangi sendiri kembali menyarungkan kedua pedangnya dilambung dan dengan kepala tegak ia berkata kepada Ki Sekar Tawang.
“Ki Sekar Tawang, aku sama sekali tidak berbangga telah menjatuhkan beberapa anak muridmu itu. Apa yang aku lakukan adalah sekedar melindungi rombongan dan keluargaku. Nah, jika kau berkeras akan mengambil anakku Gilang, kau tentu tahu siapa yang terlebih dahulu harus kau lewati. Marilah, aku sudah siap untuk melayanimu”
Pandan Wangi segera meningkatkan kewaspadaannya hingga ke puncak. Ia sadar laki-laki berpenampilan angker dan dipanggil sebagai guru oleh para pengeroyoknya ini agaknya mempunyai kemampuan yang sangat tinggi. Kedatangannya yang tiba-tiba tanpa diketahui darimana arah datangnya menunjukkan betapa ia tidak boleh diremehkan sama sekali.
Karena itu Pandan Wangi tidak ingin lengah sama sekali. Didengarnya Ki Sekar Tawang itu kembali mendengus pelan, tetapi Pandan Wangi masih bisa menangkap gerak tangan laki-laki itu yang seolah-olah mengibas ke arahnya. Serangkum angin yang tajam disertai daya dorong yang kuat menerpa tubuh Pandan Wangi yang dengan cepat memiringkan tubuhnya ke samping sehingga lolos dari serangan pertama itu.
Tetapi Gilang yang duduk diatas kuda dikelilingi beberapa cantrik yang berdiri di belakang Pandan Wangi sempat merasakan sambaran angin tersebut. Untunglah jarak mereka sudah cukup jauh sehingga serangan itu tidak sampai mendorong dan membanting tubuh mereka hingga jatuh. Hanya saja kulit mereka seperti dihembus udara keras yang disertai tusukan-tusukan kecil yang terasa pedih di permukaan kulit.
“Kalian semua, menjauhlah”, - terdengar suara Pandan Wangi berteriak.
Pandan Wangi yang menyadari betapa berbahayanya serangan permulaan itu jika mengenai para cantrik segera membuka serangan. Ia merasa tidak perlu mulai pertarungan ini dengan penjajagan awal, karena akan percuma dan membuang-buang waktu. Dengan cepat tubuhnya meluncur dan melibat Ki Sekar Tawang dalam jarak pendek. Tangan kanan dan kiri terayun-ayun mengancam dada dan pundak lawannya secara bergantian.
Tetapi Ki Sekar Tawang sama sekali tidak gugup karenanya, dengan gerakan sederhana dan beberapa kali melakukan egosan ke samping ia bisa terlepas dari serangan Pandan Wangi. Bahkan ketika ruang gerak menghindarnya terasa sempit, dengan tanpa ragu-ragu Ki Sekar Tawang itu menerima atau bahkan sengaja mengumpankan dadanya untuk menerima ayunan tangan Pandan Wangi yang cukup deras.
Ayunan telapak tangan Pandan Wangi yang merapat itu mengenai dada Ki Sekar Tawang dengan telak. Meskipun belum dengan sepenuh tenaga tetapi ayunan itu sangat kuat dan seharusnya bisa membuat lawan terpelanting roboh.
Yang terjadi kemudian justru membuat dada Gilang berdetak kencang. Tangan Pandan Wangi itu bagai menghantam tembok besi yang teramat keras, disaat yang sama tembok itu juga mempunyai daya pantul yang sangat kuat sehingga tubuh Pandan Wangi terlontar kebelakang dengan keras dan hampir saja terpelanting.
Untunglah Pandan Wangi sempat menyadari keadaan, saat terlontar balik itu tubuhnya melakukan gerak berputar dua tiga kali diudara sehingga kakinya bisa menginjak tanah dengan baik tanpa terpelanting. Tangannya terasa panas sementara daya pantul yang kuat itu sangat mengejutkannya.
“Tulangnya sekeras besi, sementara kulit yang membungkus tulang itu sangat liat dan selentur karet. Ilmu apakah yang dimiliki oleh Ki Sekar Tawang ini?”, - diam-diam Pandan Wangi mengagumi kemampuan lawannya itu.
Belum sempat Pandan Wangi merenungi dan mengagumi kemampuan lawannya itu, tiba-tiba ia terpaksa harus menghindar dengan cepat dan berputar diudara beberapa kali. Sebuah benda yang berputar meluncur dengan sangat cepat dan mengancam dadanya. Benda itu berputar dan menimbulkan suara mendesing yang tajam, meluncur mengancam dada Pandan Wangi.
Berhasil menghindari serangan pertama, hati Pandan Wangi terkejut bukan main ketika melihat benda itu seolah digerakkan oleh tenaga gaib yang mampu membuatnya berputar balik dan kembali meluncur menyerang bagian atas Pandan Wangi. Dengan dada berdegup kencang Pandan Wangi kembali melakukan gerak putaran di udara untuk menghindari serangan benda berputar itu. Meski sekilas, matanya sempat menangkap bahwa benda itu adalah caping lebar yang dipakai oleh Ki Sekar Tawang.
Tidak mau berada dibawah bayang-bayang kemampuan lawannya, segera Pandan Wangi membuat rencana berani. Saat caping lebar yang berputar kencang itu kembali menyambar dan sudah sangat dekat dengan dadanya, ia segera melakukan gerak egos satu putaran.
Caping berputar itu melintas sangat cepat dekat sekali dengan tubuh Pandan Wangi yang berputar. Pada saat yang tepat, begitu caping itu melewati tubuhnya, kedua tangan Pandan Wangi melakukan gerak dorongan yang disertai tenaga cadangan yang cukup besar. Daya luncur caping itu kini seolah menjadi berlipat dan dengan deras meluncur justru ke arah pemiliknya yaitu Ki Sekar Tawang.
Melihat kejadian itu, kembali Ki Sekar Tawang mendengus dan bahkan kali ini cukup keras. Ia kagum dengan kelincahan Pandan Wangi yang mampu menghindari serangan caping berputarnya itu dan bahkan kini mengembalikan ke arahnya dengan sangat cepat.
Tangannya segera terangkat dan bergerak dengan cepat, caping itu dengan mudahnya ia tangkap dan kini sudah berada di tangannya. Hanya saja Ki Sekar Tawang tidak menyangka bahwa Pandan Wangi menyertai dorongannya itu dengan sebagian tenaga cadangannya sehingga sesaat setelah menangkap caping itu, tubuh Ki Sekar Tawang tergetar keras dan bahkan mundur beberapa langkah.
Dalam gebrakan awal itu masih belum nampak siapa yang lebih unggul karena meskipun Pandan Wangi sempat terlihat kerepotan melayani serangan-serangan lawannya, tetapi itu lebih banyak disebabkan kekagetannya melihat tandang lawan yang mampu mengendalikan caping lebarnya. Sementara itu, Pandan Wangi juga mampu membuat lawannya itu tergetar surut beberapa langkah.
Wajah Ki Sekar Tawang terlihat memerah, sementara Pandan Wangi sudah berdiri tegak siap untuk menghadapi serangan berikutnya.
Tetapi belum lagi mereka bergerak, udara di Lemah Cengkar itu kembali diwarnai teriakan keras susul menyusul. Dengan sudut matanya Pandan Wangi melihat dua sosok manusia perpenampilan aneh yang meluncur cepat menyerang Wahana. Yang satu menyerang bagian bawah sementara saudaranya yang lain meluncur dan menebaskan tangannya mengancam bagian atas tubuh Wahana.
Gerakan mereka dilakukan dengan berbareng tetapi menyerang bagian tubuh lawan yang berbeda. Mereka seolah digerakkan oleh satu pikiran sehingga daya serangnya bukan main berbahayanya. Angin menderu keras seiring gerak serangan itu.
Salam,
No comments:
Post a Comment