BALADA SWANDARU GENI
Bab 3 : Gilang Pamungkas
Babak – 17
Bab 3 : Gilang Pamungkas
Babak – 17
Sesungguhnya sejak awal Ki Widura sudah melihat kelebihan lawannya yang mampu bergerak cepat dengan ayunan tombaknya yang menimbulkan suara menderu-deru. Sejauh ini Ki Widura mampu membatasi gerak lawannya itu dengan putaran cambuknya yang bahkan telah menyengat beberapa bagian tubuh lawannya. Tetapi kemudaan dan nafsu besar lawannya yang sering membuat gerakan tidak terduga itu terkadang mengejutkan Ki Widura.
Ketika lengan kirinya tergores, mulut Ki Widura berdesis menahan pedih, tetapi pada saat yang sama ia membuat sebuah gerakan yang justru membuat lawannya yang terkejut bukan main.
Dengan sedikit bergeser mundur Ki Widura memutar cambuknya cepat lalu melecutkan senjatanya itu beberapa kali dengan suara yang memekakkan telinga. Tetapi Ki Juwana yang melihat lengan lawannya terluka cukup parah tidak mau berhenti, ia mengejar Ki Widura dengan meloncat ke depan sambil mengerahkan seluruh kekuatannya dan menjulurkan tombaknya lurus mengancam dada. Dengan tatag ia memperkuat daya tahan tubuhnya dan sengaja tidak menghindari ledakan keras cambuk yang beberapa kali menyengat bagian tubuhnya. Ia memperhitungkan bahwa sengatan cambuk yang puluhan kali hinggap ditubuhnya akan terbayarkan dengan satu-dua tusukan tombaknya di tubuh Ki Widura.
Saat itulah Ki Widura menjalankan apa yang sudah menjadi rencananya. Ketika lawannya merasa sengatan cambuknya tidak membahayakan dirinya dan yakin ayunan tombakan akan mengakhiri pertarungan ini, Ki Widura segera menghimpun seluruh tenaga cadangan yang ada dalam dirinya. Ia melupakan rasa pedih akibat luka di lengan kirinya yang cukup parah. Cambuk dengan juntai panjang itu berputar beberapa saat sebelum kemudian membuat gerakan sendal pancing dan kembali menyengat tubuh lawan. Kali ini justru di bagian bawah leher Ki Juwana.
Tidak seperti ayunan-ayunan sebelumnya yang selalu meledak memekakkan telinga, ayunan cambuk kali ini bahkan hampir tidak mengeluarkan suara sama sekali. Tetapi putaran cambuk itu seolah telah memampatkan udara disekitarnya kemudian menghentakkan udara pampat itu untuk menghantam dada lawan maupun orang-orang yang ada disekitar pertarungan ini.
Udara di tanah terbuka itu seolah bergetar, lingkaran pertempuran disekitarnya seolah dipaksa untuk berhenti sesaat untuk menata debar jantung didada masing-masing.
Sementara Ki Juwana yang memang tidak berniat untuk menghindar dengan telak menerima sengatan dahsyat yang sama sekali tidak di duganya. Laju tubuhnya langsung terhenti dan bahkan kemudian terpelanting roboh ke tanah. Sengatan cambuk itu mengenai bagian bawah leher dan karenanya Ki Juwana bahkan tidak sempat mengerang kesakitan, nafasnya seolah langsung tersumbat. Tubuhnya yang terbanting ke tanah itu sempat mengejang beberapa saat sebelum kemudian diam tak bergerak. Terlihat di leher bagian bawahnya ada luka menganga yang cukup besar dan sebagian dagingnya hancur.
Ki Widura berdiri sambil termangu-mangu, ia merasa tidak mempunyai pilihan lain sehingga lawannya kali ini harus tewas ditangannya. Ia sendiri kini baru merasakan pedih di lengan kirinya yang masih terus mengeluarkan darah.
Tetapi Ki Widura tiba-tiba saja bergerak ke samping untuk menghindari sebuah serangan yang melandanya dengan tiba-tiba. Seorang anak buah Ki Juwana ternyata terlepas dari libatan cantrik yang melayaninya. Agaknya kemarahannya tidak tertahankan ketika melihat Ki Juwana yang selama ini menjadi panutannya roboh tidak bergerak. Mengambil kesempatan ketika Ki Widura lengah, dengan kemarahan yang meluap-luap ia berlari ke arah Ki Widura sambil mengayunkan goloknya sekuat tenaga mengancam dada.
Dalam keadaan yang masih dipenuhi ketegangan, ternyata Ki Widura tidak sepenuhnya lengah. Sambil bergerak ke samping, tangannya melakukan gerakan sendal pancing dan cambuk itu untuk kedua kalinya meledak tanpa mengeluarkan bunyi. Ketegangan yang masih menyelimuti benaknya membuat Ki Widura tidak sempat berpikir bahwa yang menyerangnya kali ini adalah anak buah Ki Juwana yang kemampuannya jauh dibawah lawan utamanya yang telah terdiam di tanah itu.
Kembali udara di Lemah Cengkar itu bergetar, di ikuti sebuah jerit panjang yang menyayat hati. Tubuh anak buah Ki Juwana itu terbanting ke tanah dengan luka menganga yang cukup lebar di dadanya. Ia tidak sempat mengeluh untuk kedua kalinya, tubuhnya langsung terdiam.
Cantrik yang mengejar lawannya yang terlepas itu segera berlari mendekati Ki Widura.
“ Lengan itu mengeluarkan banyak darah Ki”, - tanyanya dengan nada kuatir.
Ki Widura seolah baru merasakan betapa tubuhnya kini terasa lemah. Darah mengalir terlalu banyak, apalagi setelah ia mengerahkan tenaga untuk lecutan cambuk terakhirnya, matanya sedikit berkunang-kunang. Cantrik itu segera memapah Ki Widura untuk berjalan mendekati lingkaran dimana Gilang dan dan beberapa cantrik yang menjaganya berada.
Dengan cepat salah seorang cantrik yang mengetahu ilmu pengobatan segera merobek lengan baju Ki Widura. Setelah membersihkan luka itu dengan sedikit tergesa-gesa, ia segera menaburkan bubuk obat untuk menahan laju alir darah itu dan kemudian membebatnya.
“ Bagaimana keadaan kakek?”, - wajah Gilang terlihat diliputi rasa kuatir.
“ Aku tidak apa-apa Gilang, hanya memang perlu beristirahat sebentar”, - jawab Ki Widura sambil tersenyum tipis. Ia berusaha menenangkan hati Gilang.
Kematian Ki Juwana agaknya benar-benar membuat imbangan pertarungan itu berubah dengan cepat. Apalagi jumlah penyerang telah banyak berkurang akibat gerakan cepat dari Pandan Wangi, sementara kemampuan para cantrik itu secara orang per orang memang lebih tinggi dibandingkan para penyerangnya. Beberapa orang kembali di lumpuhkan sementara beberapa yang lain dipaksa untuk meletakkan senjatanya.
Hal itu membuat dada dan perasaan Ki Sekar Tawang berguncang-guncang. Semua sungguh diluar dugaanya, bahwa rencana sederhana untuk mengambil Gilang dan menukarnya dengan Mangesthi anaknya ternyata telah gagal. Kehadiran Paksi Wulung bersaudara ternyata tidak banyak membantu dan bahkan kini adik angkatnya Ki Juwana telah tewas.
Betapa kemarahan telah merambati hatinya, darahnya naik hingga ke ubun-ubun. Tidak tertahankan lagi, sambil menengadahkan kepalanya tiba-tiba dari mulut Ki Sekar Tawang itu muncul teriakan panjang yang menyeramkan yang sesaat kemudian teriakan itu justru berubah menjadi semacam auman dari seekor harimau yang garang.
Diiringi auman yang menggema, tubuh Ki Sekar Tawang sudah meluncur dengan cepat menerkam Pandan Wangi. Agaknya ia sudah tidak ingin berbicara lebih panjang lagi, melainkan ingin secepatnya merobohkan orang-orang yang kini berdiri di hadapannya.
Tubuhnya melakukan gerak terkam seekor harimau dengan kuku-kuku tangannya yang tajam sementara kecepatan lompatannya bagaikan gerak seekor burung rajawali yang mengejar mangsanya. Lompatan itu juga menimbulkan angin yang sangat tajam yang menandakan bahwa ia sudah melambari semua serangannya itu dengan tenaga cadangannya.
Pandan Wangi yang menyadari betapa berbahayanya serangan itu segera bergerak cepat, ia benar-benar memusatkan pengerahan tenaga cadangan khususnya untuk melambari gerak kecepatan tubuhnya. Ia tidak mau mengambil resiko untuk membentur serangan itu melainkan memilih untuk menghindar sambil mempelajari gerak lawan. Tubuhnya berkelebatan dengan cepat menghindari kejaran dan terkaman Ki Sekar Tawang yang datang seolah tiada henti.
Tetapi Ki Sekar Tawang adalah seorang yang sangat menguasai ilmunya dengan mapan. Ia juga seorang yang sangat bisa menguasai tubuhnya, sehingga di tengah-tengah penyerangannya yang terus mengejar Pandan Wangi, tiba-tiba tubuhnya bisa menggeliat dan merobah gerak harimau menjadi gerak kepak sayap rajawali yang dengan tangannya mengayun melebar mengincar tubuh Pandan Wangi.
Pandan Wangi benar-benar harus berjuang keras, tubuhnya berkelebatan untuk menghindari kejaran lawan dan disaat yang sama ia harus menahan diri untuk tidak melakukan serangan balasan.
“ Agaknya ia justru berharap agar aku melakukan serangan balasan sehingga ia bisa menggunakan kekerasan tulang dan kekenyalan kulitnya itu untuk melontarkan tubuhku. Padahal dalam keadaan semacam ini sangat sulit bagiku untuk hanya mengandalkan tenaga wadag, pasti seranganku tanpa sadar akan terlambari tenaga cadangan pula”, - Pandan Wangi membuat penilaian dalam hati.
Angan-angan dalam pikiran itu sempat membuat gerak Pandan Wangi sedikit melambat. Sebuah kibasan tangan Ki Sekar Tawang hampir saja mengenai keningnya dan hanya berjarak satu jari. Untunglah Pandan Wangi sempat melengos ke samping sehingga terhindar dari kibasan tangan itu. Tetapi tak urung tubuhnya terdorong keras dan terpelanting ke samping dan bahkan jatuh ke tanah. Angin pukulan itu sangat keras dan juga diiringi tenaga dorongan yang sangat besar.
Ki Sekar Tawang tidak mau membuang kesempatan itu, sambil mengaum tubuhnya menubruk ke depan bagaikan seekor harimau lapar yang sedang menerkam mangsanya yang sudah terbaring di tanah.
Hati Gilang terguncang-guncang karenanya. Tanpa sadar ia mengangkat pisau belati kecil milik prajurit Jati Anom yang masih tersisa ditangannya.
Salam,
No comments:
Post a Comment