BALADA SWANDARU GENI
Bab 3 : Gilang Pamungkas
Babak – 21
Bab 3 : Gilang Pamungkas
Babak – 21
Tanpa menimbulkan suara, tubuh Pandan Wangi berkelebat seolah bayangan mengitari lawan. Kakinya sekali-kali menyentuh tanah sementara sambil bergerak, pedangnya mulai melakukan ayunan menyamping atau mengiris lawan. Ia tidak melakukan ayunan langsung ataupun tusukan lurus karena masih ingin menjajagi apakah pedangnya masih akan membentur dinding yang keras serta mampu memukul balik dirinya.
Ki Sekar Tawang sempat terperanjat melihat gerak Pandan Wangi yang melayang tanpa ancang-ancang dengan kecepatan yang tidak sewajarnya. Dalam waktu sekejab Pandan Wangi sudah begerak mengitari tubuhnya beberapa putaran dan yang membuat dada Ki Sekar Tawang berdegup kencang adalah ketika matanya tiba-tiba saja menangkap puluhan bahkan ratusan tangan sedang mengayunkan pedang tipis dengan gerak mengiris mengancam bagian-bagian tubuhnya pada saat yang bersamaan!
“Bukan main perempuan ini”, - Ki Sekar Tawang tanpa sadar mengeluarkan keringat dingin.
Dengan hati mencelos Ki Sekar Tawang terpaksa melakukan gerak melingkar untuk menghindari serangan yang seolah datang melandanya dari semua arah itu. Sebenarnya ia yakin akan mampu mengenali satu serangan sesungguhnya yang akan mengancam tubuhnya, hanya ia memang memerlukan waktu meskipun hanya sekejab. Sayangnya Pandan Wangi sama sekali tidak memberinya waktu yang sekejab itu.
Sambil bergerak menghindar tangan Ki Sekar Tawang meraih sesuatu di balik bajunya. Kini di tangan kanannya telah tergenggam sebuah trisula bermata tiga berpamor kebiru-biruan. Tubuhnya berputar cepat sementara tangan kanannya melakukan gerak menangkis dan berusaha memerangkap pedang lawan agar terjebak di antara libatan ujung mata trisulanya untuk kemudian diputar agar terlepas dari tangan lawan. Sementara tangan kiri Ki Sekar Tawang masih menebar udara dingin sambil mencari kesempatan menyerang lawan.
Tetapi Pandan Wangi yang melihat jenis senjata lawannya itu ternyata langsung maklum dan tahu bagaimana cara menghadapinya agar senjatanya tidak terperangkap. Yang terdengar kemudian adalah suara berdenting puluhan kali disertai percikan bunga api di udara disusul tubuh keduanya yang terlontar mundur mengambil jarak cukup jauh.
Meskipun tubuh Ki Sekar Tawang menebar hawa dingin, tetapi wajahnya terlihat kemerah-merahan akibat tekanan lawan. Ia benar-benar tidak menyangka akan menghadapi perlawanan yang sedemikian uletnya dari seorang perempuan yang tidak terlalu diperhitungkannya.
Sementara wajah Pandan Wangi terlihat juga semakin memerah, akibat pengerahan hawa murni dalam tubuhnya untuk melawan hawa dingin yang ditebar lawan. Dalam benturan senjata yang terjadi puluhan kali tadi, ia merasakan betapa hawa dingin itu tidak hanya menusuk kulitnya melalui angin serangan lawan, melainkan juga merasuk ke bagian dalam tubuhnya melalui benturan senjatanya. Seandainya ia terlambat untuk membuka simpul saraf untuk membangkitkan hawa panas dalam tubuhnya, maka hasilnya akan lain.
Tetapi Pandan Wangi masih ragu apakah lawannya telah melepas Aji Penthal Waja yang mampu membuat tulangnya begitu keras dan bahkan membalikkan serangan. Kenyataan bahwa Ki Sekar Tawang cenderung menghindari ujung pedangnya dan bahkan kemudian mengeluarkan senjata trisulanya untuk menangkis setiap serangan itu tidak berarti bahwa lawan telah melepas ajian Penthal Waja. Hal ini membuat Pandan Wangi berpikir keras dan menyusun sebuah serangan yang terencana.
“Aku tidak boleh tergesa-gesa, aku harus mencari saat yang tepat sebelum melepaskan serangan mematikan ke arah lutut bagian dalamnya. Aku yakin, itu adalah bagian terlemahnya bahkan seandainya masih dilindungi oleh aji Penthal Waja sekalipun”, - Pandan Wangi berkata dalam hatinya.
Tanpa menunggu lebih lama, kembali tubuh Pandan Wangi berkelebat menyerang lawannya. Beberapa kali Pandan Wangi bahkan melakukan gerak kembangan untuk mengelabuhi pandangan Ki Sekar Tawang yang kini merasa seolah sedang di kepung dan diserang oleh ratusan bahkan ribuan tubuh dengan kedua tangan yang terayun-ayun cepat mengayunkan pedang dengan bunyi mendesing tak berkesudahan. Jumlah tubuh dan tangan yang menyerang dari segala arah itu benar-benar membuat Ki Sekar Tawang harus memusatkan seluruh perhatiannya agar bisa menangkis dan menghindari serangan dengan tepat. Kini ternyata suara pedang Pandan Wangi yang terus terayun dilambari tenaga cadangan itu menimbulkan suara mendesing dan mulai menyakiti telinganya.
Pandan Wangi seolah berubah menjadi ribuan burung Srigunting yang selain bergerak cepat juga bersuara mencicit tanpa henti. Ia berusaha mengurangi kemungkinan benturan dengan senjata lawan karena agaknya itu akan kurang menguntungkan bagi dirinya.
Sementara Ki Sekar Tawang masih berusaha melayani serangan yang datang membadai itu dengan tenang. Ia mulai meningkatkan tenaga cadangan yang melambari setiap ayunan tangan maupun trisulanya sehingga hawa dingin yang diitimbulkannya semakin lama semakin menggigit. Angin berhawa sangat dingin yang ditimbulkan dari ayunan tangannya bahkan terasa oleh mereka yang berdiari agak jauh dari arena pertarungan.
“Ajian seribu bayanganmu ini hanya merepotkan Nyi, akan tetapi tidak akan mampu merobohkan aku”, - geram Ki Sekar Tawang.
Pandan Wangi yang mendengar perkataan lawannya itu tidak menyahut. Ia mengakui bahwa pengamatan Ki Sekar Tawang cukup baik sehingga setiap ayunan pedang rangkapnya yang nampaknya berjumlah ratusan bahkan ribuan itu ternyata mampu dihindari atau ditangkis lawannya dengan baik.
Bahkan kini giliran Pandan Wangi yang terperanjat ketika Ki Sekar Tawang merubah gaya bertarungnya.
Selain tenaga dan hawa dingin yang semakin bertambah, Ki Sekar Tawang tiba-tiba saja cenderung bergerak dengan cara memutar tubuhnya ke kiri bagaikan gasing. Ia seakan tidak peduli akan serangan yang mengarah kepadanya tetapi pada kenyataannya semua ayunan pedang rangkap Pandan Wangi selalu tertepis dan bahkan menyisakan rasa dingin yang semakin merasuk hingga ke kulit, daging dan bagian dalam lawan.
Gerakan memutar bagai gasing ini ternyata menyulitkan Pandan Wangi untuk mengarahkan serangannya. Terlebih kini tubuh di sekitar Ki Sekar Tawang seolah dilapisi uap dingin yang tebal yang membuat orang biasa akan menggigil karenanya.
Pandan Wangi yang kini merasakan tekanan balik terpaksa harus berjuang dan berpikir keras untuk melihat kelemahan lawannya. Tetapi ia sama sekali tidak ingin merubah rencana awalnya dan hanya mencari kesempatan untuk melakukannya disaat yang tepat.
Demikianlah, pertarungan diantara mereka menjadi semakin sengit, silih-ungkih singa-lena. Peluh bercucuran dan tenaga mereka berdua sedikit demi sedikit mulai menyusut. Ki Sekar Tawang yang sebenarnya mempunyai kelebihan tenaga terpaksa harus banyak menghamburkannya untuk melakukan gerak putaran bagai gasing disamping tenaga cadangannya yang semakin terkuras untuk menebar hawa dingin.
Mendadak Pandan Wangi melentingkan tubuhnya ke arah yang sama sekali tidak disangka-sangka lawan. Tubuhnya bagaikan seekor lalat yang mampu hinggap di punggung banteng lalu dengan cepat pindah ke kaki belakang lalu ke kepala atau bahkan wajah banteng itu sendiri. Tanpa dapat dicegah ribuan bayangan pedang rangkap seolah datang membadai mengancam ke seluruh bagian tubuh Ki Sekar Tawang disaat yang bersamaan. Ayunan pedang rangkap Pandan Wangi terlihat berkeredep akibat pantulan matahari sore yang hampir tenggelam diikuti suara mendesing yang semakin tajam. Benar-benar sebuah serangan yang mematikan!
Terdengar Ki Sekar Tawang menggeram, ia sadar bahwa Pandan Wangi tidak akan memberinya ruang gerak lebih luas. Tidak banyak pilihan, ia segera mengerahkan tenaga cadangannya hingga ke puncak dan putaran tubuhnya yang bagai gasing itu semakin cepat diiringi hembusan hawa dingin yang mulai terasa membeku.
Tiba-tiba gerak gasing itu berhenti seketika, trisula ditangan kanan Ki Sekar Tawang terlihat teracu ke atas seolah hendak menusuk langit. Disaat yang sama kaki kirinya di tekuk keatas sambil tangan kirinya melakukan gerak sembah didada. Ini adalah gerak persiapan untuk melepas ajian andalannya sebelum membentur serangan Pandan Wangi yang datang membadai. Agaknya Ki Sekar Tawang menyadari bahwa kali ini lawannya akan melancarkan sebuah serangan mematikan dan karena itu ia menghimpun seluruh tenaga cadangannya hingga ke puncak. Benturan yang akan terjadi kali ini akan menentukan siapa yang lebih unggul. Dengan tubuh yang diselimuti uap putih dan kembali berlindung pada ajian Penthal Waja Ki Sekar Tawang terlihat hendak memapaki serangan Pandan Wangi.
Saat itulah Pandan Wangi juga berniat melepaskan semua rencana serangannya. Ia sudah memperhitungkan akibat dari benturan-benturan awal yang mungkin terjadi, saat itulah ia merencanakan untuk bergerak menyusuri tanah sambil menghisap kekuatan inti bumi dan mengincar lutut bagian dalam lawannya yang ia yakini merupakan bagian terlemah. Diatas itu semua, Pandan Wangi berniat untuk menyerang menggunakan kelebihan yang selama ini belum dilihat lawannya yaitu kemampuannya untuk menjangkau sasaran terlebih dahulu bahkan sebelum pedangnya menyentuh kulit lawan. Ia meyakini unsur keterkejutan pada lawan akan memberi keuntungan baginya.
Ki Widura, Gilang dan beberapa cantrik yang melihat pertarungan itu tanpa sadar harus menahan nafas mereka masing-masing. Sungguh pertarungan yang luar biasa dan tidak pernah mereka saksikan sebelumnya. Ketegangan di hati mereka memuncak dan mereka menduga bahwa akan terjadi benturan yang sangat dahsyat nantinya.
Ketika semua perhatian terenggut akan adanya benturan atas pertarungan antara Pandan Wangi dengan Ki Sekar Tawang, saat itulah terdengar suara teriakan keras seorang wanita. Di lingkaran lain, sesosok tubuh ramping melayang dengan cepat memapaki serangan Paksi Wulung tua yang saat itu secara bergadengan dengan adiknya mereka sedang melancarkan sebuah serangan dahsyat ke Wahana.
Tidak banyak yang bisa dilihat oleh Ki Widura, Gilang ataupun para cantrik.
Hanya saja tubuh ramping yang memapaki serangan Paksi Wulung tua dari samping itu terlihat membentur lalu terlontar jauh ke belakang bagai layang-layang putus.
Saat itulah, hati Ki Sekar Tawang berguncang dan dengan gugup berkata.
“Tunggu Nyi, tunggu!”
Lalu tanpa menghiraukan Pandan Wangi ataupun keselamatan dirinya dari serangan lawan, Ki Sekar Tawang langsung melejit jauh, mengejar dan menangkap bayangan ramping yang terlontar ke udara itu.
Pandan Wangi yang sudah hampir melepaskan semua serangannya itu terpaksa berhenti. Adalah bukan sikap satria seandainya ia terus melanjutkan serangannya meskipun sesungguhnya saat itu ia mempunyai keuntungan waktu beberapa kejab.
Dilihatnya Ki Sekar Tawang mampu menangkap sosok ramping itu tepat sebelum jatuh ke tanah.
Sambil berjongkok di tanah Ki Sekar Tawang melihat wajah yang sangat dikenalnya itu terlihat pucat dan ada darah meleleh disusut bibir gadis bertubuh ramping itu.
Dengan suara bergetar terdengar suara Ki Sekar Tawang
“Mangesthi, kenapa kau lakukan itu nduk?”
“Bapa, marilah kita pergi. Ini bukan salah orang-orang Sangkal Putung”, - suara gadis ramping yang ternyata adalah Mangesthi itu terdengar lemah.
Ki Sekar Tawang tidak menjawab, diambilnya dua butir ramuan dari kantong ikat pinggangnya lalu dimasukkannya ke mulut Mangesthi. Denyut nadi Mangesthi lambat dan ini menandakan luka dalam yang cukup serius dan perlu penanganan segera.
Segera di bopongnya anak perempuannya itu dan sambil berdiri ia menghadap Pandan Wangi.
“Nyi Pandan Wangi, aku minta maaf telah melakukan tindakan yang salah. Saat ini yang terpenting adalah menyelamatkan nyawa Mangesthi anakku ini. Jika kau merasa perlu memberiku hukuman, silahkan datang ke Padepokanku. Aku pamit!”
Tanpa menunggu jawaban Pandan Wangi tubuh Ki Sekar Tawang melesat cepat. Dalam lima enam kali lompatan ia sudah menghilang dari lapangan terbuka ini.
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Matahari sudah sedemikian rendah dan sebentar lagi keadaan disini akan diselimuti kegelapan.
Akan tetapi yang terjadi di lingkaran pertarungan antara Wahana dan Paksi Wulung bersaudara seolah tidak segera berakhir.
Dengan langkah tanpa ragu Pandan Wangi mendekati arena pertarungan itu untuk mengambil alih salah satu lawan Wahana.
“Adalah cukup adil seandainya aku mengambil salah satu dari mereka sebagai lawanku”,- desis Pandan Wangi dalam hati.
Pandan Wangi menyarungkan kedua pedang rangkapnya dan bersiap memasuki arena.
“Nyi Pandan Wangi, biarlah aku saja yang menemani kakang Wahana!”
Suara itu datang begitu tiba-tiba.
Juga tanpa diketahui darimana datangnya, seorang pemuda tanggung yang berwajah sedemikian terang sudah berdiri dekat disebelah Pandan Wangi.
Salam,
No comments:
Post a Comment